Senyum terpatri di bibir ibu satu anak itu menyaksikan putrinya bermain menyusun batu-batu kecil di danau Ranau, Liwa.
Pemandangan laut nan eksotis dan dengan gelombang kecil dihimpit batu karang. Tempat yang bagus, dengan suasana hati tak menentu. Bu Wati mengajak Nayna ke Lampung untuk kedua kalinya dengan tempat berbeda.
"Jangan melamun." Nayna menoleh, ia melihat Lio berdiri di belakangnya. Keberangkatannya tentu saja diketahui Lio karena Arkan mengajak Laras, tunangannya.
Dan pagi itu. Lio datang berdua dengan adiknya ke rumah bu Wati.
"Ica anteng ya?." lagi Lio bersuara dan mendapat anggukan dari Nayna.
Tangan Lio terulur, menanti tangan mungil milik Nayna. "Kita jalan ke sana." Lio menunjuk ujung danau.
Nayna tersenyum menyambut uluran tangannya. Berjalan berdua meninggalkan Ica yang sedang bermain dengan neneknya.
"Kamu tahu Nay?." Lio mengusap tangan kecil dalam genggamannya.
"Mimpiku, terasa nyata." Langkahnya terhenti setelah agak jauh berjalan dan menatap mata indah kekasihnya. "Aku pernah bermimpi menggandeng tanganmu, di pantai Angso duo. Dan Tuhan menjadikan mimpi itu di sini." lanjut Lio.
Tangan Nayna dikecup dalam oleh pria tersebut. "Masa iddahmu telah berakhir, apa sudah saatnya?."
Nayna tersipu. lima bulan ia sudah menjanda, walau kehidupannya tidak berubah. Masih tinggal sendiri dan jualan seperti biasanya, Arkan yang bolak balik jemput Ica. Hanya bu Wati yang sedikit lebih pendiam, karena marah akan keputusan keduanya memilih bercerai.
Selama lima bulan itu pula, Lio pergi bertugas dan baru kembali seminggu yang lalu.
"Aku sudah mengurus kepindahanku."
Nayna mengangkat kepalanya yang tertunduk, matanya beradu dengan manik milik Lio. Pria ini masih sama.
Dulu ia bilang akan kembali, meski Nayna harus menunggu. Dan, beberapa bulan yang lalu ia bilang akan menetap di Jambi, inipun dilakukannya.
Apakah ada sedikit celah, untuk Nayna menghapuskan nama lelaki itu dari hatinya?. Air mata wanita muda tersebut menitik di pipi meronanya.
"Nayna, will you marry me?"
Pecahan ombak, hilir mudik manusia dan deru angin siang nan terik menjadi saksi lamaran seorang Marlio Hartawan pada kekasihnya.
"Terima! Terima! Terima!!"
Sorak dan tepuk tangan riuh membuat Nayna gelagapan, wajah wanita itu kembali merona. Mereka sudah dikelilingi muda-mudi, jarak Nayna berdiri dan Lio berlutut satu kaki hanya tiga langkah.
Seandainya Lio tidak berteriak, pasti orang - orang tidak mendengar.
"Say yes, Yuk!." teriakan seorang cewek di belakang Nayna.
"Yes! Yes!"
Tepukan semakin semarak, sehingga senyum manis Nayna terbit. Ia menganggukkan kepalanya, sehingga menimbulkan teriakan lebih heboh dan celutukan cie cie dari anak-anak alay tersebut.
Satu cincin bermata putih, terpasang indah di jari manis Nayna. Saat akan menatap Lio, mata Nayna menangkap sosok Arkan sedang menggandeng lengan Laras, menatap datar ke arahnya, di antara kerumunan orang banyak.
Tanpa aba-aba, Lio menggendong Nayna dan membawa lari menjauh dari kerumunan dengan teriakan haru.
Nayna bahagia, bahagia akan hidupnya. Bersama orang yang dicintainya, terlepas masa lalu pernah menikam hatinya.
"Kamu akan menikah?." tanya Arkan suatu malam setelah lamaran romantis Lio.
Nayna mengangguk, ia memeluk lututnya dengan jaket tebal milik Lio.
"Secepat ini?."
Lagi Nayna mengangguk dengan senyum di bibirnya. Ingatannya kembali pada kejadian satu hari yang lalu di danau Ranau.
"Sudah lupa sama aku?."
Kepala Nayna memutar, menatap pria di sampingnya yang sudah berstatus mantan. "Hubungan kita tetap ada, karena ada Ica."
Jawaban logis, namun dibantahkan oleh ego Arkan.
"Lupa dia pernah---"
"Dia sudah kembali, semoga Mas tidak lupa di mana jiwaku saat itu." Nayna berdiri, pembicaraan yang rumit, batinnya.
"Kamu tidak ingin menolak?."
"Atas dasar apa?." tanya Nayna tanpa berbalik, memilih membelakangi mantan suaminya itu.
"Aku sudah janda. Bukankah Mas yang memberikan status itu? Apa aku pernah meminta?"
***