Sebelas dua belas tanpa ampas. Apakah aku pantas? -Inge
🍁🍁🍁
'Ayah, lihat Juna. Berhasil bawa pulang Laura,' Juna menatap langit yang mulai berubah jingga, senja sore itu menjadikan sebuah awal mula Juna jatuh cinta pada Laura.
Saat akan memasuki gapura desa, Juna memerintahkan 30 pasukannya beserta keempat temannya menunggu dengan menjaga jarak dari rumah Laura.
"Baik bos," ujar salah satu dari mereka.
Laura turun dari motor Juna. Kalinya seperti di paku tak ingin memasuki rumahnya.
Melihat Laura yang hanya diam, Juna tau Laura takut.
Juna menyentuh kedua bahu Laura.
"Ra, percaya sama aku. Lagian kamu gak di culik seharian. Mereka gak akan tau kalau kamu diem," ujar Juna, mungkin Laura terlalu jujur kepada kedua orang tuanya.
"Iya, aku gak bakalan bilang. Makasih ya, buat semuanya," lirih Laura, kondisinya melemah. Di sekap pada ruangan pengap membuatnya dehidrasi. 'Gak, kak Juna gak boleh tau kalau aku sakit. Aku harus baik-baik aja,' Laura berusaha menyeimbangi tubuhnya. Berlari memasuki rumah sebelum dirinya pingsan.
Juna yang melihat Laura berlari tergesa pun heran.
"Kenapa lari? Kan bisa jalan aja," ujar Juna heran.
"Mungkin gak mau ketauan sama orang tuanya kali bos, atau gak biar gak di marahin, kan Laura baru pulang jam segini," tambah Sam positif, memangnya adakah seorang gadis pulang sebelum maghrib di marahi? Sepertinya sudah tidak ada, rata-rata bebas pulang malam jam berapapun.
"Bos gak pulang? Mau maghrib nih, nanti om Antariksa marah," Jaka mengingatkan, Juna melamun.
"Ah, iya juga. Ayo," Juna menaiki motornya, terpaksa mengebut demi Antariksa.
🍁🍁🍁
Seseorang turun dari mobil Lamborghini Aventador hitamnya. Rambut yang di terpa angin, kulit putihnya bersinar terkena matahari, tingginya bak model internasional. Sempurna, siswi baru itu menjadi pusat perhatian murid SMA PERMATA yang tadinya ingin masuk dan antri finger print pun mengurungkan niatnya saat ada model cantik nyasar di sekolah mereka.
"Waduh, itu siapa? Kaya bener dah,"
"Weits, gak main-main nih. Di sekolah kita sekarang ada tiga anak sultan!"
"Punya pacar belum?"
"Eh, sayang namanya siapa?"
Inge berjalan dengan gaya berkelasnya. Mencari kelas yang sudah di tentukan oleh ayahnya, SMA PERMATA ini adalah sekolah milik Gilang Widyantara.
Inge yang melihat geng Meteor, dimana sang ketua berjalan memimpin pun membenarkan rambutnya, berkedip genit, berjalan se-anggun mungkin, menarik perhatian Juna.
"Juna!" panggil Inge lantang, Juna menoleh.
"Iya?" Juna merasa asing dengan siswi tersebut, apakah ia pernah bertemu sebelumnya?
"Kelas 11 IPS 5 dimana ya?" Inge sudah tau jika ia akan satu kelas dengan Juna. 'Gue gak peduli Juna dekat sama siapa, tapi yang terpenting gue akan dapetin Juna,' batin Inge keukeuh.
"
Itu, ayo cantik ikut sama kita. Kan sekelas," genit Sam memulai aksi pdkt-nya.
Sesampainya di SEBELMA, Inge duduk di bangku kosong tepat belakang Juna singgah. Beruntungnya hari ini.
Bu Aisofa, memasuki kelas. Sebelum memulai jam pelajaran pertama, wali kelas terlebih dahulu membimbing doa.
"Sudah masuk semua?" tanya bu Aisofa, sekretaris memberikan absensi ke meja guru.
"Masuk semua bu," jawab Dita selaku sekretaris SEBELMA.
"Baik, silahkan berdoa dalam hati. Berdoa mulai,"
"Berdoa selesai," bu Aisofa melihat murid baru. "Kamu, murid baru. Silahkan perkenalkan diri di depan," bu Aisofa menunjuk murid baru tersebut.
Inge berjalan maju ke depan.
Tatapan memuja dari kaum adam di SEBELMA tak henti memandangi wajah cantik jelita murid baru itu.
"Cantik banget dah. Jadi pingin bungkus jadiin mantu,"
"Itu yang bawa Lamborghini Aventador tadi! Oh my god, tajir melintir tuh,"
"Perkenalkan nama saya Inge Widyantara. Pindahan dari Bandung, kalian bisa panggil saya Inge," Inge memperkenalkan diri dengan senyum riangnya. Menyihir kaum adam SEBELMA menjadi melting, baper, dag-dig-dug serr di buatnya.
"Semoga kalian bisa berteman baik dengan Inge. Silahkan duduk,"
Inge kembali ke tempat duduknya sembari mencuri pandang pada Juna dengan ekspresi tanpa minat selama ia memperkenalkan diri.
Inge kesal. 'Kok Juna gak seneng? Biasanya kan cowok-cowok langsung jatuh cinta gitu. Lah Juna? Ck, apa udah punya pacar ya?' Inge penasaran, hal tersembunyi sekecil apapun dengan mudah ia temukan. Dirinya bukanlah sembarang orang, ia adalah ketua mafia terbesar sekaligus terkenal dan di takuti di Amerika Serikat. Meskipun di negeri kelahiran sang ibu ini semua orang belum tentu mengenali identitasnya.
Saat bel istirahat berbunyi, Inge mencoba ikut dengan Juna.
Namun Sam dan Alvaro saja yang menanggapinya. Selebihnya yang lain Inge itu tidak ada.
"Sama kita-kita aja. Daripada sama bos, wah di marahin pawangnya mampus kau!" ucap Alvaro menggebu. Tiara tidak main-main dalam melabrak.
Raut Inge berubah takut, takut yang pura-pura.
"Gak deh. Tapi kan aku mau temenan sama Juna masa gak di bolehin?" Inge malah tertantang jika ia di labrak oleh pawangnya Juna, mungkin termasuk fans-nya.
"Boleh malah. Tapi jangan deket-deket bos Juna ya. Mending sama kita aja, gak bakalan ada tuh yang ngelabrak. Ya, jomblo lah pokoknya," curhat Alvaro sedih. 'Gue harap Inge bisa kepincut sama gue. Jangan Sam deh, yang ada Inge nangis kejer 7 hari 7 malam, 168 jam,'
'Gue harap Inge gak bakalan kepincut sama Alvaro. Ya kali, yang ada Inge bakalan panas demam kena gombalan mautnya,' batin Sam. Alvaro memang raja gombal, dari segi mana pun para kaum hawa akan mudah jatuh cinta pada Alvaro. Dari puisi, pantun, hingga lagu buatan sendiri.
Setelah duduk di singgahsana semestinya, geng Meteor yang biasanya bercanda, tertawa, saling meledek aib lucu, kini sunyi, sepi, tanpa ada suara. Saat makan, minum, hanya dentingan suara sendok dan garpu serta kunyahan yang mengisi meja itu. Inge merasa awkard dengan suasana ini, walaupun Sam dan Alvaro mengajaknya ngobrol.
Di meja lain, tepatnya Laura yang hanya memakan nasi goreng dengan tak minat pun membuat Bram bertanya-tanya.
"Kamu sakit ya?" Bram menyentuh dahi Laura yang terasa hangat.
Hingga perlakuan Bram itu tertangkap penglihatan Juna.
'Ngapain nyentuh dahi Laura? Sok perhatian lagi,' batin Juna kesal, mengaduk baksonya tanpa minat.
Jaka yang melihat Juna badmood pun tau.
"Bos, itu baksonya dingin. Kalau di aduk gitu ntar gak enak loh," Jaka membuyarkan aksi kegalauan Juna. Jaka melirik sudut mata Juna yang tertuju pada Laura, sampai Bram menyuapinya. Pantas saja Juna tak nafsu makan.
"Maaf Jak. Udah kenyang," Juna berdiri, melangkah menuju meja dimana Laura yang terdiam dengan muka pucatnya.
Inge yang melihat Juna berdiri menghampiri seorang cewek pun hanya menatapnya, lebih baik memperhatikan dulu sebelum bertindak.
'Itu ya pacarnya Juna? Kayaknya penyakitan sih, wajahnya aja pucat kayak mayat hidup,' batin Inge kesal, siapapun itu Inge tak akan membiarkan Juna menjadi milik cewek penyakitan itu. Dan Inge akan mendapatkan apapun yang dia mau. Pantas atau tidak, obsesi akan ketampanan Juna sudah melambung tinggi selangit, harta, dan martabat Juna yang tinggi membuat Inge ingin memiliki Juna demi popularitas dan kedudukan pada publik sebagai couple goals. Ah, Inge terlalu tinggi memikirkan hal itu, sebelum Juna menikah tikung-menikung di belokan tajam dan tanjakan masih berlaku.
Sedangkan Tiara yang tadinya ingin menghampiri Juna di tahan oleh Rani.
"Ra, lo gak tau dia siapa?" Rani berbisik pelan, takut ada yang mendengarnya.
Tiara menatap Rani penasaran. "Emang siapa? Kan cuman murid baru, ngapain sih langsung deketin Junaku. Kenal gak, emang cewek gatel," tekan Tiara kesal. Meskipun issue jika murid baru itu anak sultan pertama sebelum Juna pun Tiara tak peduli.
"Dia, anak dari Gilang Widyantara. Rahasia terbesar dan gak ada yang tau ra. Kalau Inge itu, ketua mafia terpopuler dan paling di takuti di Amerika Serikat," jelas Rani menggebu, segala informasi kupas tuntas se-tajam silet Rani tau dari kecil sampai terbesar.
Tiara mematung. "M-mafia?" setaunya setelah membaca novel di aplikasi biru laut, Tiara mengetahui segala seluk beluk mafia, jika Inge memang ketua mafia, Tiara tidak bisa bertindak apa-apa.
🍁🍁🍁