webnovel

Teman Lama

Surabaya

Julian POV

Serta-merta, wajahku berpaling meninggalkan Dania sambil menyembunyikan senyum yang tak kunjung kadaluarsa dari bibirku. Kejutan sekali. Ya, sudah lama sekali, aku ingin berjumpa dengan perempuan itu. Dania, cinta pertamaku, kalau boleh jujur.

Bolehkah aku merasa senang? Tentu saja. Biasanya, kota ini mengingatkanku akan kekeraskepalaan Bunga yang dulu tidak mau pindah ke Jakarta. Padahal, kalau mau, aku bisa mencarikan pekerjaan dengan gaji lebih besar di sana. Bunga tidak mau, dia bilang dia terlanjur cinta pada pekerjaannya sekarang. Ah, mengingat hubunganku dengan Bunga membuat senyumku langsung pudar. Padahal, aku mencintai wanita itu. Namun, segala ketidakterbukaan Bunga terkadang membuatku kesal. Entah, aku tidak menuduh Bunga berbohong, tetapi semenjak dia hilang ingatan aku merasa ada hal lain yang disembunyikan dariku.

Aku akui, Bunga memang perempuan mandiri, sampai-sampai berbagai masalah pun dia lebih senang menyelesaikannya sendiri tanpa campur tanganku. Terkadang, aku merasa sama sekali tidak berguna baginya. Itu sudah terjadi sejak dia mengalami kecelakaan itu. Itu sudah menjadi perangai barunya yang sulit dirubah, jadi sebenarnya, memang wajar jika aku berpikir Bunga tidak terbuka kepadaku. Namun kekeraskepalaan yang berlarut-larut itu lama kelamaan membuatku jengkel.

Selapis udara panjang meluncur turun dari rongga hidungku.

Aku hanya senang karena bertemu teman lama dan pastinya bisa diajak berdiskusi dan berbagi cerita. Tidak kurang dan tidak lebih. Hanya itu yang bisa aku gembirakan dari pertemuan ini.

Walaupun, kalau boleh jujur.... Dania dulunya adalah orang yang pernah aku cintai. Pernah... dulu... aku.. dambakan...

Setelah sekian tahun memendam cinta kepada perempuan itu, aku bertemu Bunga. Lalu, Dania perlahan lenyap dari dalam hatiku meski aku mengakui masih ada setitik kecil dirinya yang tak mau pergi. Bertahan di sana, dengan doa dariku 'siapapun jodohnya nanti, semoga dia berbahagia'. Aku pun mencabuti memori-memori tentang Dania yang muali berkembang biak sedikit demi sedikit.

***

"Welcome to Surabaya, city of heroes, Dania..." ucapku begitu mereka kami bertemu di caffe outdoor dekat hotel sore harinya.

Sejak tadi, Dania memang sudah curi-curi pandang dari jendela, mencari apa yang bisa dilihatnya. Keduanya bahkan bertukar posisi duduk, agar Dania lebih leluasa mengamati di pinggir jendela.

"Mungkin, aku harus menambah waktu liburanku beberapa hari di sini. Bagaimana menurutmu, Fajar? Jadi, guide-ku selama aku di sini ya," pintanya ringan dengan wajah yang dilekati senyum manis.

Hanya senyum terbentuk di parasku. Mata Dania membulat, wajahnya sedikit memerah karena malu. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan sesaat.

"Ah, Fajar... Maafkan aku," tawa kecilnya terulang lagi, "mana mungkin kamu sempat. Kamu kan sibuk. Mungkin, aku bisa berjalan-jalan sendiri."

"Seandainya saja aku bisa menemanimu."

Angin mengalir bersahabat, menerpa wajahku, aku merasa disambut pulang ke rumah.

Rumah.

Kuisi lagi penuh paru-parunya, merasakan pengap oksigen membasuh organ penciumanku. Kepalaku berpaling ke arah wanita berblus biru muda yang duduk santai dan tampak nyaman memandang sekelilingnya. Tas tangan dan high heels warna putih yang dipakainya berpadu serasi, menambah pancaran anggun dari perempuan itu. Rambut panjang Dania berkibar dibelai-belai aliran udara. Tahu-tahu saja, otot-otot di wajahku menarik kedua ujung bibirku. Aku baru menyadari jika kami berdua begitu serasi hari ini, sama-sama biru.

Hatiku mendadak terusik dengan rasa senang yang membanjir ini. Entah mengapa, aku teringat Bunga. Tanpa menunda lagi, seperti yang selalu kulakukan ketika di Surabaya, aku menghubunginya.

"Dania, setelah ini kamu mau kemana?" tanyaku sembari menunggu teleponku tersambung.

"Temanku katanya ingin menyusul kesini."

"Kalau kamu butuh apa-apa, jangan sungkan untuk menghubungiku."

Terdengar nada sambung.

Aku langsung berdiri, dengan HP menempel di telinga.

Nada sambung kedua.

"Hmm, kalau memang tidak merepotkanmu."

Nada sambung ketiga.

"Tentu saja tidak." balasku

"Terima kasih," ucapnya sambil tangannya mengayun mengelus lenganku.

Bagai ada kejutan listrik memecut tubuhku. Sontak, aku terkejut, tetapi saat itu juga, aku bisa meredamnya sedalam mungkin. Mataku menyala bergelora lurus menatap kedua bola mata milik Dania.

Nada sambung keempat.

Tersambung.

Sapuan jari-jemari itu telah menjauh dariku. Sorot mataku mengikuti gerak perempuan yang kembali duduk.

Barulah aku sadar masih punya sebuah sambungan telepon. Sejenak, aku terdiam, mendengarkan bunyi statis di antaraku dan Bunga.

"Halo, Sayang," panggilku, telingaku menangkap keramaian yang menjadi latar setelah usai bunyi statik tadi.

"Halo," suara Bunga menepuk pendengaranku dengan nada datar.

Satu helaan napasku keluarkan sembari membalas, "Aku sudah di Surabaya, kota kelahiranmu, nanti aku mampir ke rumahmu sebentar, lalu melanjutkan pekerjaanku di hotel."

"Fajar, aku pulang sekarang ya?" tanya Dania.

"Itu suara siapa?" Sambar Bunga tepat seusai aku mengucapkan kata hotel.

Aku memberi sedikit jarak antara diriku dan Dania. Langkahku membawaku pada kerumunan orang yang ada di pinggir jalan. Aku berdiri di dekat salah satu pilar yang berwarna hijau. Mataku mengikuti arus kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya.

"Siapa?" Bunga mengulang.

Jawaban itu sudah di ujung mulutku, tetapi rongga mulutku terasa kering. Mendadak aku merasa suaraku tertahan di kerongkongan. Bagus. Tidak mungkin kalau aku katakan itu Dania. Meskipun aku tahu Bunga tidak mungkin mengenali Dania.

"Julian," panggilnya, "Kenapa diam?"

Aku tersadar, agaknya aku berpikir terlalu lama untuk menjawab pertanyaan Bunga. "Teman. Angle," ujarku dengan suara senormal mungkin. Aku asal saja menyebutkan nama.

Aku memalingkan tatapanku ke jalanan. "Lisa yang menitipkan dia padaku. Aku sekarang mau antar dia ke hotel dulu, tempat dia menginap."

"Oh, oke kalau begitu."

To Be Continued