webnovel

Belum selesai

Surabaya

Bunga POV

Setelah melalui perjalanan panjang sampai disini tanpa melalui rute perjalanan udara.

Di sinilah aku berdiri sekarang, di depan pintu sebuah tempat yang dulu selalu aku sebut rumah. Di dalam rumah itu pernah ada wanita yang aku cintai, wanita yang sudah kukenal hampir sepanjang umurku.

Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah menatap rumah itu tanpa berani untuk masuk kedalamnya.

"Bodoh, apa yang kamu pikirkan? Bagaimana mungkin aku sanggup bertemu dengan Mama dengan wajah orang lain?" ucapku lirih

Perasaan nelangsa itu membawaku mundur perlahan dari area itu dan memutuskan untuk tinggal di hotel untuk sementara.

***

Hotel

Pagi harinya sesudah aku tidur nyenyak kecapekan dan merasa lega karena aku berhasil kembali ke kampung halamanku meskipun sebagai Flora.

Aku terbangun jam enam. Tubuhku terasa segar. Dan hatiku terasa damai.

Udara pagi yang sejuk langsung menyirami kesegaran udara yang berasal dari taman, begitu jendela kamarku dibuka lebar-lebar. Wangi bunga Tabebuya, rumput basah tersiram embun itu sungguh mengingatkanku kepada kekhasan kota Surabaya. Suasana kehidupan terasa damai. Rasa rindu di hatiku bagai terusap oleh suasana pagi pertama ketika aku bangun.

Dengan perasaan senang aku mengirup udara. Alangkah berbedanya dengan suasana di rumah Flora atau Juna. Bagiku, kedua macam suasana itu sama bagusnya. Tetapi menurutku, tidak sama efeknya.

Sedang apakah orangtuaku sekarang? pikirku sambil meraih sisir dan menyisiri rambut yang berantakan. Tanpa mandi dulu, kecuali menyikat gigi karena ingin segera lari pagi, aku mengganti gaun tidurku dengan baju jogging dan langsung keluar kamar. 

Langkah kakiku yang semua menuju ke taman berbalik arah. Aku menuju ke lobi samping untuk melihat gazebo yang katanya ada di samping hotel yang luas ini.

Tetapi yang merebut pehatianku sesudah langkah kakiku mencapai gazebo bukan karena pemandangannya, melainkan sosok tubuh seorang lelaki yanng berdiri membelakangiku, sedang memberi makan burung-burung di sekitar gazebo itu.

Lelaki itu bertubuh gagah dan atletis. Ia mengenakan celana jins yang sudah pudar warnanya tetapi kaus oblong berwarna biru yang dikenakannya tampaknya masih termasuk baru. Entah siapa lelaki itu, aku tak tahu.

Mungkin karena aku berada di belakangnya dan lelaki itu merasakannya, ia berbalik dengan gerakan mendadak. Dan dengan tiba-tiba, baik aku maupun lelaki itu sama-sama terkejut dan kemudian dia menyebutkan nama yang terdengar asing ditelingaku.

"Dania!"

Dania? ah, itu nama tengah Flora, jadi selama ini suamiku punya panggilan khusus untuk Flora, dan aku tidak tahu.

"J-Julian..."

Bergegas Mas Julian menyelesaikan kegiatannya.

"Apa kabar, Dania?" sapanya sambil mengulurkan tangan dengan air muka berseri-seri. "Aku tak menyangka kamu akan datang kemari. Begitu tiba-tiba!"

"Ya, memang tanpa rencana lebih dulu," sahutku gembira. "Keinginankku datang kemari ini mendadak muncul. Dan aku juga tak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Kamu tampak... jauh berbeda dari terakhir kali kita bertemu..."

Mas Julian tertawa melihatku tak mampu merumuskan apa yang ingin aku katakan.

"Gemuk, ya?" katanya kemudian. "Padahal waktu kita bertemu di bandara, kamu tidak menyinggung apapun dan sekarang kamu memanggilku Julian, setelah lebih dari sepuluh tahun kamu terus memanggilku Fajar."

Jadi sebelum ini, dia pernah bertemu Flora, dan mereka masing-masing punya nama panggilan khusus? Sebenarnya sejauh apa hubungan kalian Mas?

"Bukan itu!" bantahku ikut tertawa hambar. "Tetapi berisi. Kamu tampak gagah sekarang. Dulu kamu kan kurus."

"Dulu aku masih pemuda ingusan dan masa depanku belum pasti. Terutama, orang kalau menuju kepala tiga, tubuhnya semakin berisi dan kalau tidak bisa menjaga diri, kelak di atas empat akan menjadi gemuk dengan perut yang gendut!" tawanya lagi.

"Yang pasti sekarang hidupmu pasti sudah mapan."

"Kamu boleh menganggapnya begitu, masih dengan hobiku travelling keliling dunia. Nah, ayo ceritakan padaku, waktu terakhir kita bertemu aku belum sempat menanyakan padamu. Bagaimana kehidupanmu sekarang, Dania!" Mas Julian mengalihkan pembicaraan. "Kamu sudah menikah?"

Aku terdiam beberapa saat. Dia lupa atau pura-pura lupa tentang kecelakaan pesawat itu, kenapa sejauh ini dia belum membahas tentang itu.

Tampaknya Mas Julian sedang tidak ingin membahas masalah kecelakaan itu atau mungkin lelaki ini tak pernah peduli tentang kehidupan Flora setelah kecelakaan itu.

"A.... aku.... belum menikah, Fajar" sahutku agak aneh memanggilnya dengan nama itu.

"Oh maaf, aku tak tahu!" sahutnya dengan suara lembut yang menyiratkan ketulusan permintaan maafnya.

"Hmm... kamu datang sendiri atau dengan keluargamu?"

"Sendirian."

"Tidak dengan teman atau kekasih?"

Aku mencoba tersenyum meskipun rasanya begitu tersiksa.

"Keluarga dan temanku ada di Bandung. Kamu sendiri, bagaimana keadaanmu, Fajar? Sudah berapa anakmu dengan Bunga?" tanyaku basa-basi walau aku tahu persis jawabannya.

"Aku?" Julian tertawa. "Ah, ternyata selama ini kita kurang berkomunikasi. Bahkan dapat dikatakan sudah putus hubungan, hingga kita tak pernah mengetahui keadaan yang lain. Dania, bagaimana mungkin aku akan bisa mempunyai anak kalau istriku saja masih dalam masa penyembuhan. Saat ini aku sedang memulai kembali hubunganku dengannya, karena Bunga hilang ingatan. Jadi, masih jauh untuk memikirkan anak, meskipun umurku sudah tidak terlalu muda lagi!"

"Mudah-mudahan segalanya berjalan lancar ya, Fajar"

"Mudah-mudahan, kamu juga semoga kecelakaan itu tidak menimbulkan trauma berat untukmu."

Akhirnya dia menyebutkan tentang kecelakaan itu juga. Aku pikir dia lupa bahwa korban dari kecelakaan itu bukan hanya Flora tapi aku juga, istrinya.

"Fajar, omong-omong, kenapa kamu ke kota ini dan apa saja kesibukanmu sekarang?" tanyaku kemudian, mengalihkan pembicaraan. "Tentunya sudah tidak bekerja di tempat yang dulu, kan?"

"Wah, pertanyaan yang bertubi-tubi!" katanya tertawa lagi. "Aku kembali ke kota ini untuk mencoba membawa kenangan lamaku dengan Bunga. Saat aku rasa dia sudah siap, aku akan membawanya kesini juga. Dan tentang pekerjaanku, darimana kamu tau aku sudah tidak bekerja di tempat yang dulu?"

Aduh... aku salah memberi pertanyaan, tapi satu hal yang aku syukuri dia masih setia dan tetap mencintaiku, walaupun dengan membawa Flora kemari tidak akan membantunya sama sekali.

"Ya.. tentu saja aku tahu, dulu kamu bilang kalau kamu tidak bisa bertahan lama dalam satu tempat, kamu menyukai tantangan dan berpindah-pindah adalah keahlianku, aku hanya menebak."

"Aku akui jiwa cenayangmu selalu benar."

Kami tertawa. Tapi Mas Julian langsung melihat arlojinya.

"Aku harus mengurus pekerjaan baruku dulu, Dania. Nanti sore aku ke sini lagi dan kita bisa mengobrol!" katanya kemudian. "Dan tertawa-tawa lagi!"

"Baiklah. Wah, aku sungguh-sungguh mendapatkan kejutan bahwa ternyata aku bisa kembali bertemu denganmu!"

"Aku juga mendapatkan kejutan bahwa ternyata kamu masih ingat untuk datang berkunjung kemari lagi. Seingatku dulu, kamu tinggal di Surabaya hanya 6 bulan setelah kamu pergi ke luar negeri dan menghilang tanpa kabar lebih dari sepuluh tahun."

"Aku sibuk, Fajar. Apalagi waktu aku datang kemari, kamu tidak ada. Tidak ada yang mengajakku mengobrol seperti dulu. Jadi, buat apa aku datang ke kota ini? Ya, kan?" jawabku sekenanya.

"Wah, lama tinggal di Bandung jadi pandai merayu, ya?" untuk kesekian kalinya Mas Julian tertawa lagi. "Padahal dulu, kamu baru ingat kepadaku kalau membutuhkan penolong."

"Yah, kuakui itu!" tiba-tiba tatapan mataku yang semula berseri-seri karena pertemuan yang tak disangka-sangka itu menjadi agak redup. "Aku tak pernah bisa melupakan betapa banyaknya jasa yang pernah kauberikan kepadaku dulu."

"Ah, itu kan karena aku merasa senang membantu-bantu orang yang membutuhkan tenaga atau pikiranku. Khususnya kamu, Dania. Kita telah puluhan tahun berteman dan hubungan kita semakin akrab semenjak kamu berteman dengan Bunga."

"Jadi, dulu kita dekat karena Bunga?" Alis mataku naik ke atas. "Tidakkah itu membuatmu merasa... risih? Bukankah saat ini kondisi kita tidak memungkinkan untuk kita sedekat dulu?"

"Risih? Wah, itu kata-kata yang keliru, Dania. Aku tak pernah berpikir atau merasa seperti itu. Dulu maupun sekarang, betapapun situasi dan kondisinya berubah. Aku ini tetap teman baik bagimu kan?"

Aku menganggukkan kepala dengan haru. Dan Mas Julian melirik arlojinya lagi.

"Wah, aku harus pegi, Dania" katanya.

"Nanti sore kemari, kan?"

"Kan aku sudah janji?" senyumnya sambil berjalan meninggalkan gazebo.

Tubuhnya yang gagah selalu menarik di mataku. Seblum ia menghilang dari balik tembok, ia berhenti dan berbalik ke arahku yang masih berdiri di tempat semula. "Dania, kenapa datang kemari tanpa teman? Kalau boleh aku memberi saran seperti yang dulu sering kulakukan bagimu, sebaiknya kalau bepergian ke luar kota itu bersama-sama teman, jangan jadi penyendiri seperti dulu. Kecuali kalau tugas kantor, tentu saja."

Aku terdiam, tak berani menjawab. Hal itu membuat mata Mas Julian mengecil sesaat lamanya.

Aku sekarang tidak sama seperti yang dulu. Kalau saran atau nasihatnya mengena, aku akan menganggukkan kepala. Kalau tidak, aku akan marah-marah dan memberi alasan tentang ketidaksetujuannya. Tetapi tak pernah berdiam diri seperti itu, apa bukan wajahku saja yang tertukar dengan Flora? apa jiwaku juga?

"Maaf kalau aku terlalu lancang mencampuri persoalan pribadimu, Dania" kata Mas Julian lagi sesudah menghela napas panjang.

"Kamu tidak lancang, Fajar," sahutku merasa tak enak. "Maafkan aku kalau kata-katamu tadi tak menimbulkan reaksi padaku. Itu ada alasannya?"

"Boleh aku tahu?" suaranya yang langsung mengandung keakraban mengingatkanku betapa erat hubungan kami berdua. Mas Julian yang selalu berkata begitu setiap melihatku sedang murung. Dan tanpa ragu sedikit pun aku pasti akan mencurahkan isi hatiku kepadanya. Sekarang mendengar lagi kata-kata seperti itu membuatku dirasuki perasaan haru kembali.

"Boleh. Tetapi tidak sekarang. Aku akan lama tinggal di sini. Masih banyak waktu yang akan bisa kita isi dengan berbagi macam hal bersama-sama" sahutku. "Oke?!"

"Oke. Sampai nanti sore, sahabat kecilku."

To Be Continued