webnovel

Setelah Hujan

Surabaya

Flora POV

"Bunga! Come on! why are you so slowly?"

Aku, buru-buru mengenakan topi lebar menutup kepalanya, merapatkan jaketnya. Kemudian aku menyusul dengan lengkah cepat gadis kecil itu yang sudah melesat keluar kemudian jalan melompat-lompat.

"Bianca, wait! Don't do that!" teriaknya mengingatkan gadis cilik yang belum berusia tujuh tahun itu.

"You are so slowly! Run, Bunga, run!" sahut gadis cilik itu, lalu kembali berbalik kemudian sengaja memilih genangan-genangan air untuk aku pijaki.

Aku menghela napas, mempercepat langkah, hingga akhirnya aku bisa menangkap lengan gadis cilik bernama Bianca itu, menariknya menghindar dari genangan air.

"Berjalanlah di jalanan yang tanpa air."

"Aku suka mencuci sepatu botku di air, Bunga!"

"Botmu sudah bersih, tak perlu dicuci di situ."

"Belum, apa kamu tidak lihat ada bercak-bercak di botku?"

Aku memperketat peganganku, berusaha agar Bianca tidak bisa melompat lagi ke genangan air sisa hujan. Mengawasi gadis cilik yang tak bisa diam seperti Bianca bukan perkara mudah. Aku melakukannya tanpa dibayar. Kebetulan di rumah, kata mama sepupuku datang dari luar negeri bersama anaknya, dan aku berinisiatif menjadi pengasuh anaknya selama mereka tinggal di Surabaya.

Kali ini, hanya karena ada orang yang berjalan-jalan terburu-buru, menubruk tanganku yang menggandeng Bianca, hingga pegangan tangankku terlepas. Hanya sepersekian detik, tapi waktu singkat itu dimanfaatkan Bianca untuk berlari menuju genangan di tepian jalan raya, lalu dengan wajah gembira menjejakkan kakinya di sana. Gadis sekecil itu tak peduli dengan mobil-mobil yang berseliweran di dekatnya. Aku terpekis saat Bianca berbalik hingga tubuh kecil itu semakin jauh ke jalan raya.

"Bianca! Come back!" teriakku sambil berlari menuju bocah itu. Sebuah mobil boks melaju cepat, aku menjerit panik dan menutup mata. Hingga satu menit kemudian aku belum berani membuka mata. Tubuhku malah bergetar dan airmata keluar dari mataku yang tertutup.

"Bunga, ini anakmu?"

Teguran itu menyadarkanku, perlahan aku membuka mata satu per satu. Mendapati sosok menjulang dengan seraut wajah tampan menatapku sambil merangkul Bianca yang tertawa lebar tampak bahagia. Aku terbelalak.

"Juna.... eh, bukan... dia bukan anakku. Dia keponakanku," jawabku sambil menarik tangan Bianca yang masih saja tersenyum lebar.

Pemuda di hadapanku itu melepaskan Bianca, memandangiku dan Bianca bergantian.

"Seriously? Keponakan?"

"Iya, ini anak sepupuku. Aku hanya ingin mengajaknya bermain di taman."

"Ohh, i see."

"Kakak sepupuku baru datang dari luar negeri, namanya Suci. Dia kesulitan beradaptasi dengan Surabaya, jadi aku berinisiatif membantunya dengan merawat anaknya." Seusai berkata begitu, aku menyesal. Seharusnya aku tidak perlu menjelaskan hal sepele semacam itu.

"Bunga, i wanna play right now!"

Bianca menyelamatkanku dari keadaan kikuk yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama Juna tak bicara lagi.

"Excuce me. Aku harus mengantar gadis kecil ini dulu. Terima kasih atas bantuanmu tadi."

"No worries. Kebetulan aku melihatnya tak seharusnya berada di jalan raya. Tolong lebih hati-hati mengawasinya."

"Ya, tentu." Aku mengangguk lalu mengajak Bianca melanjutkan langkah. Gadis cilik itu masih melambaikan tangan pada Juna.

"My name is Bianca and this is Bunga!" teriak Bianca tiba-tiba. Aku terkejut. Juna tersenyum dan mengangguk sambil membalas lambaian tanganku.

"And you, Sir? What is your name?" Pertanyaan Bianca itu bukan hanya mengejutkanku, tapi juga Juna. Alisnya terangkat, lalu dia mendekat dan tersenyum, berjongkok agar pandangannya sejajar dengan mata Bianca. Aku terenyak, tak menyangka Juna mau bersikap sesantun itu.

"Well, kita harus berkenalan secaya layak. I'm Juna Damanik. Nice to meet you, Bianca dan Miss Bunga," jawab laki-laki itu, setelah tersenyum pada Bianca, dia mengangguk sekali padaku.

"But just call me Juna," lanjut laki-laki itu sambil berdiri, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada Bianca, masih disertai seulas senyum yang membuat wajahnya semakin terlihat menyenangkan.

"Oke, Juna. Bye for you. See you again tomorrow," kata Bianca, lalu melambaikan tangan, dan menarik tanganku mengajak kembali berjalan.

Aku masih sempat mengangguk dan tersenyum kepadanya sebelum menuruti Bianca, mulai melangkah menuju taman. Aku sampai lupa menanyakan, sedang apa Juna di Surabaya?

***

Setelah seharian bermain dengan Bianca di taman, aku menyandarkan kepala di ruang tamu, lalu memejamkan mata. Untuk kali ini aku masih ingin menjalani hidupku seperti biasa, selama aku masih bisa. Sebelum hidupku bertambah kacau. Sebelum petaka lain datang mengempaskanku sekali lagi.

Aku segera bangkit dari sofa untuk pergi ke kamarku. Tapi langkahku terhenti ketika mataku menangkap sebuah potret yang terletak di ruang tamu.

Bukan untuk pertama kalinya aku memandang foto sepasang pengantin yang menempel di dinding ruang tamu ini. Foto yang tercetak di atas kain kanvas berukuran sekitar setengah jendela kamarku, berbingkai kayu berukir dengan warna keemasan, kontras dengan warna hijau daun yang menyelimuti ruang tamu yang tak begitu luas.

Raut wajah dan senyum tersungging di bibir kedua mempelai seolah mengeluarkan aroma kebahagiaan yang menyelimuti seluruh ruangan. Sungguh pintar pengarah gaya yang membuat ekspresi maupun bahasa tubuh mereka tampak wajar. Tidak seperti foto-foto pengantin yang sering aku lihat, yang kebanyakan bergaya kaku, alih-alih memberikan kesan romantis atau bahagia, malah membuat yang melihatnya memilih segera mengalihkan pandangan sambil menahan tawa.

Dalam foto itu, mempelai perempuan tampak anggun dalam balutan kebaya brokat berwarna putih lembut dengan warna kulitnya yang putih. Sapuan makeup menyapu lembut, memancarkan aura kehalusan pribadi lewat raut wajah yang tengah tersenyum ayu. Sedikit tersipu.

Rasanya tak pernah bosan aku memandangnya dengan kekaguman yang tak berkurang dari waktu ke waktu. Mengagumi perempuan anggun dan ayu berdiri berdampingan dengan laki-laki yang mengenakan tuxedo sehingga menegaskan kesan gagah serta memberi gambaran sebagai suami bertanggung jawab dan siap melindungi.

Namun, untuk pertama kalinya aku dikejutkan rasa yang menyelinap begitu saja di benakku. Menyentak tanpa bisa aku kendalikan. Sama seperti di Jakarta. Ketika baru pulang dan membuka pintu, seperti biasa pandanganku langsung terpaut pada bingkai foto yang terletak lurus dengan posisi pintu. Saat itulah seolah ada sulur-sulur bergerak cepat membelit rongga dadaku. Menyesakkan napasku. Ada semacam kemarahan dan keinginan kuat untuk menurunkan foto itu. Menyingkirkannya.

Aku mengerjapkan mata yang mulai terasa panas. Biarpun tahu aku tak bisa menahan jatuhnya butiran bening di pipiku, tetap saja aku tak sanggup mengalihkan pandangan. Mengapa jadi melankolis begini? Bukankah biasanya foto itu tak pernah memberi efek apa-apa sesering apapun aku melihatnya?

Apakah ini karena sesuatu yang aku rasakan pada laki-laki dalam foto itu? Laki-laki yang sudah berbagi ruang dan cerita selama tiga bulan terakhir ini. Entahlah. Aku tak yakin. Juga tak tahu. Atau sengaja tak ingin mencari tahu. Ketika akhirnya mampu mengalihkan pandangan, sebuah rasa nelangsa mulai mencengkeram kuat hatiku. Merana. Dan ada satu keluhan yang bergaun kuat di ruang batinku dan menggema memenuhi kepalaku.

"Ah, seandainya wajahku yang terpasang dalam foto berbingkai emas itu..."

To Be Continued