webnovel

Namaku, Flora

Jakarta

Satu hari sebelum keberangkatan ke Surabaya

Flora POV

Aku menutup pintu kamar mandi. Aku mengamati diriku di cermin, berharap ada petunjuk. Rambut blonde panjang dengan wajah yang seperti bukan diriku. Tubuhku yang lentur terlihat tidak karuan. Rasanya sakit jika menyentuh beberapa bekas luka pasca operasi ini dan nyeri bukan main. Tidak ada yang kelihatan patah atau retak, meskipun tangan kananku mungkin cedera.

Tangan kiriku dengan lemah mencopot jaket dan melipatnya di ujung bak berendam. Lalu kubuka kancing jins dan memerosotkan ke bawah. Aku melepas blus dan bh. Terakhir, aku membuka kaus kaki dan celana dalam hitamku.

Saat melihat tubuh telanjangku di cermin, aku merasa asing pada diriku sendiri? Siapa kau? Tuntutku pada pantulan itu.

Aku berbalik menghadap keran, masuk ke bilik mandi dan membiarkan air menghujaniku, menyenangkan dan panas. Aku merasakan ledakan sesaat pada benjolan di kepalaku, namun rasa sakit segera mereda. Aku menengadah.

Tiba-tiba aku merasa berada di kamar mandi lain.

Kamar mandiku sendiri. Dan itu bukan di Jakarta, tapi di Bandung

Flora, bisik seseorang dalam benakku.

Aku membelalakan mata.

Itu dia namaku!

Flora.

Jantungku berdentum-dentum.

Sementara air mengucuri kulit tubuhku, ingatan-ingatan lainnya berlintassan di dalam benakku.

Lalu muncullah ingat itu. Nama asliku adalah Flora Dania Eidelweis.

Jadi apa yang sedang aku lakukan di Jepang saat itu? Aku menerima undangan pernikahan temanku di Jepang. Aku ingat wajah ayah dan ibuku, seakan mereka tidak pernah meninggalkanku. Ingatan-ingatan lainnya mulai muncul di permukaan, tapi kemudian kabut yang tadi menyibak kini kembali menutupiku dan pikiranku kembali kelam.

Aku mematikan air. Jantungku berdegub kencang. Aku sudah mendapatkan kembali identitasku! Untuk sementara tidak masalah kalau aku tidak tahu penyebab aku kehilangan ingatan. Paling tidak, setidaknya aku sudah mendapatkan kembali Sebagian ingatanku. Aku tahu siapa diriku.

***

Mobil itu berisi tangisan pilu. Aku menumpukan wajahnya di atas setir. Air mata melelehi pipinya, sisanya menetes menjatuhi lantai mobil. Isakan membuat dadanya terasa sesak. Namun tangisan itu tak bisa serta merta berhenti. Aku tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan.

Akku tersentak ketika mendengar kaca mobilnya diketuk dari luar. Tatapannya beralih ke arah jendela, ia melihat seorang pria berdiri di samping pintu mobilnya. Pandangan aku berkeliling, sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Pria di luar itu tentu bukan Julian. Julian sedang berada di Surabaya sekarang. Buru-buru aku menghapus air matanya dan membuka kaca mobil.

"Mbak…" ucapan pria itu terputus karena kaget, "Bunga?"

Ekspresi wajahku tak kalah terkejut. Ia bahkan tidak sanggup berkata-kata saat mengenali pria yang mengetuk kaca mobilnya tadi. Mereka berdua saling menatap selama beberapa saat. Hingga akhirnya, pria itu tersimpul simpul kepadaku.

"Bunga, mobilmu menghalangi mobilku."

"Oh, sorry, Juna," ucapku. Meski sudah berusaha menahan, air mataku tetap berhasil keluar. Buru-buru ia berpaling dari Juna dan bergegas menghidupkan mobilnya.

"Bunga."

Panggilan Juna membuatku mendadak menoleh padaku. Saat itu juga, aku bisa merasakan ada air mata yang mengalir di pipinya. Aku menghapus air mata itu dengan senyum pilu. "Ada apa?" tanyanya dengan suara parau.

"Kamu baru datang atau mau pergi?"

Aku tersenyum singkat sambil menyapu air mata di sekitar wajahnya. "Aku mau pulang."

"Hmm… kamu tidak apa-apa pulang dengan kondisi begitu? Kamu kelihatannya tidak baik-baik saja, Bunga."

Aku menundukkan kepalanya. Diam dalam isakan yang sesekali tak bisa ia tahan.

"Bagaimana kalau kita cari tempat untuk kamu duduk sebentar dan menenangkan diri?"

Dari halaman rumah sakit tersebut, kendaraan mereka berdua beriringan menuju sebuah kedai kopi terdekat. Kini keduanya duduk berhadapan, meskipun lebih banyak dia. Aku masih terisak sesekali. Ia menopang dagunya, menatap keluar jendela kedai kopi sembari menghapus air mata.

Juna membiarkanku larut dalam keheningannya. Sebentar-sebentar ia mencuri pandang pada perempuan itu sambil menyesap kopinya. Cokelat panas yang dipesan olehku bahkan belum disentuh sama sekali. Pertemuan di halaman rumah sakit dan aku yang menangis itu menimbulkan banyak tanda tanya dalam dirinya. Namun ia tahu alangkah tak sopannya jika dia bertanya ada apa. Juna berharap aku mau bercerita, meskipun nanti.

"Sorry," ujarku sembari menyeka air matanya sedikit-sedikit merembes dari celah kelopaknya.

"Tidak apa-apa. Daripada kamu harus menyetir dalam kondisi begini, lebih baik kalau kamu duduk dulu dan menenangkan diri," ucap Juna sambil meletakkab gelasnya di atas meja.

"Ya, tapi tidak perlu juga aku menangis di depanmu seperti ini."

"Lebih aneh kalau kamu nangis sendirian, kan? Kalau sama aku, setidaknya kamu dapat simpati orang-orang dan aku yang dapat bagian tatapan mencela orang-orang karena dianggap membuatmu menangis."

Perkataan Juna membuatku tersenyum.

Aku tersipu mendengar perkataan Juna. Kesedihan memang masih bertengger di hatinya. Kemunculan Juna cukup membuatku terhibur. Setidaknya ia tidak perlu merasakan beratnya beban di hatinya ini sendirian. Semua kesakitan ini nyaris membuatnya tidak berdaya.

***

Walaupun mulanya Jay keberatan, Rose memaksakan diri berangkat ke Surabaya. Seorang diri. Karena Jay tidak bisa pergi dengan mendadak begitu saja meninggalkan pekerjaannya.

"Bagaimana kamu bisa pergi sendirian kesana, Mine, kamu itu Aerophobia, terlepas kamu amnesia apakah kamu tidak merasa takut jika pergi ke Surabaya naik pesawat?!" keluh Jay bingung. "Tungguhlah dua-tiga hari lagi. Aku akan mengantarkan kamu ke sana."

Tetapi Rose tidak dapat dicegah lagi. Dalam kesedihannya, Rose justru tampil lebih keras dan tegar. Jay benar-benar tidak mengenali istrinya lagi. Sifatnya benar-benar berubah.

Rose menyalurkan kesedihannya dengan menyalahkan Jay karena dia tidak mau pergi menemaninya. Jadi semakin keras Jay mencegahnya, semakin Rose nekat pergi seorang diri.

"Jay, kamu benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaanmu? Sampai kapan pun?!"

"Kamu tidak mengerti…"

"Justru aku mengerti sekali! Bukan hanya perkerjaan persoalan utamanya, kan? Tapi karena kamu memang tidak pernah mencintaiku."

"Mine, kamu harus mengerti…"

"Aku mengerti. Karena itu aku pergi sendiri. Supaya tidak merepotkanmu."

Rose

Dalam pesawat yang menerbangkanku ke Surabaya.

Terus terang aku sendiri tidak tahu kenapa aku bersihkeras berangkat ke Surabaya. Apa yang hendak aku cari di sana?

Tetapi entah mengapa, ada sesuatu yang namanya naluri. Dan naluri itu yang menarikku ke sana. Menyeretku dengan sangat kuat.

Ketika pesawat tiba-tiba berguncang hebat di landa turbulensi, penglihatan itu kembali melintas di depan mata. Sambaran kilat berwarna putih yang menyilaukan mata. Dentuman keras yang memekakkan telinga. Lalu sambaran hawa panas yang bergulung membakar kulit.

Sekejap aku seperti mendadak kehilangan kesadaran. Aku memejamkan mata rapat-rapat. Merasakan tubuhku ditelan kegelapan yang pekat.

Jadi itulah penyebabnya, pikirku dengan dada berdebar-debar, menyambut ingatan pertama yang kembali ke kotak memori. Itulah penyebab kecelakaanku! Saat itulah pesawat yang aku dan Yasmine tumpangi meledak.

Guncangan yang melanda pesawat itu telah mereda. Pesawat dapat terbang dengan tenang membelah udara malam, meskipun tanda mengenakan sabuk pengaman masih belum dipadamkan.

Jakarta,2027

Jay

Aku membanting file yang sedang kupegang dengan kesal. File itu jatuh terlempa ke bawah meja tulis. Isinya berserakan di lantai.

Pikiranku tidak ada di sini. Pikiranku terus-menerus melayang mengejar bayangan Yasmine, aku benar-benar khawatir.

Aku menyesal tidak ikut menemaninya. Semakin lama penyesalan itu semakin kuat menekan hatiku.

Seharusnya aku tidak membiarkannya pergi seorang diri! Apalagi dalam keadaan seperti ini 

To Be Continued