webnovel

Pesimis

Seoul

-Jay POV-

Apa boleh buat. Kesabaranku memang mesti dilipatgandakan. Menghadapi istri dalam kondisi begini benar-benar perlu pengertian ekstra.

Kalau boleh memilih, aku memang lebih menginginkan membiarkan Yasmine tinggal di rumah sakit beberapa hari lagi. Sampai kondisi kejiawaannya benar-benar pulih. Tetapi keputusan dokter tidak dapat ditawar lagi.

Akhirnya aku terpaksa membawa Yasmine pulang. Dan sepanjang perjalanan pulang, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia tampak diliputi kabut kebingungan dan kecurigaan. Percuma aku mencoba mengajakanya mengobrol dengan santai, karena dia diam saja. Membisu seribu bahasa.

Ketika akhrinya Yasmine mengajukan pertanyaan, suaranya sangat sarat dengan kecurigaan.

"Sudah berapa lama kita menikah?"

"Tiga bulan," sahutku setelah menghela napas panjang. Akhrinya Yasmine mau juga membuka mulutnya. Mudah-mudahan ini pertanda baik.

Aku melirik sekejap. Dan saat melihat parasnya berubah kesal, sekali lagi aku menghela napas panjang. Menghadapi istri yang kehilangan ingatan secara total begini benar-benar memerlukan kesabaran ekstra. Bukan hanya pikirannya yang lenyap, suasana hatinya pun menjadi sulit diterka.

"Sabarlah, Mine," gumamku lunak. Tentu saja aku merasakan betapa dinginnya tangannya. Betapa pucat parasnya. Betapa kaku sikapnya. Tetapi aku pura-pura tidak mengacuhkannya. Aku mencoba bersikap sewajar mungkin. Ya, aku harus bagaimana lagi? "Dalam beberapa hari ini pasti banyak yang akan kamu ingat kembali."

"Terus terang aku pesimis."

"Itu karena amnesiamu."

"Benarkah kamu suamiku?"

Aku menoleh sekilas. Dan tatapanku bertemu dengan tatapannya yang penuh kecurigaan.

"Tentu," dengusku sambil mengembuskan napas yang tertahan sesaat. "Siapa pikirmu yang mau pura-pura menjadi suamimu? Pewaris takhta kerajaan inggris?"

Tetapi Yasmine tidak menyambut kelakarku. Tatapannya masih tetap seserius tadi. Tatapan yang itu-itu juga. Tatapan yang berbalur kecurigaan. Lama-lama aku merasa tidak enak juga ditatap seperti itu.

"Kenapa aku tidak mengenalimu sama sekali?"

"Kamu juga tidak mengenali dirimu sendiri. Namamu saja kamu tidak ingat."

"Begitu beratkah kecelakaan itu?"

"Kepalamu kena benturan keras," sahurku dengan suara berat. Aku tidak ingin menceritakannya kembali. "Untung otakmu tidak ada yang rusak."

"Aku bersama siapa saat kecelakaan itu terjadi?"

"Namanya Rose, dia teman kita, dia juga mengalami luka yang parah sepertimu, aku sampai sulit mengenali kalian berdua pada awalnya saat aku tiba di rumah sakit."

"Apa ada yang pernah memukulku saat itu?"

Parasku berubah murung. Mataku bersorot resah.

"Kenapa kamu bertanya begitu?" tanyaku datar.

"Aku bermimpi seseorang memukulku…"

"Lupakan saja mimpimu. Kamu belum sembuh."

Aku juga ingin melupakannya, menenggelamkan semua mimpi yang merisaukan itu ke dalam laut.

"Maafkan aku, Jay," keluhnya murung. "Aku benci harus menanyakannya. Tapi aku tidak dapat menyingkirkan keingintahuan itu, bisakah kita kembali ke Jepang dan menemui korban yang bersamaku saat kecelakaan pesawat itu terjadi?"

"Baiklah. Aku mengerti, tapi besok bukan sekarang. Mungkin semua ini memang sangat berat bagimu. Mudah-mudahn besok perasanmu lebih tenang dan ingatanmu kembali. Nah, kita sudah sampai di rumah. Istirahatlah supaya kamu lekas sembuh."

***

Aku mengantarkan Yasmine ke kamar tanpa banyak bicara. Sepanjang makan malam tadi, aku diam saja. Bukan karena gagal menyantap makanan favoritku, tapi karena sedang bingung berperang dengan pikiranku sendiri.

Benarkah seorang penderita amnesia bisa berubah menjadi orang lain?

Harus kutanyakan pada Dokter Yudha, gerutuku dalam hati. Apakah dia tidak keliru waktu membedah otak Yasmine pada saat dia mendapat kecelakaan? Mengapa istriku seakan-akan telah berubah menjadi orang lain? Yasmine bukan hanya kehilangan ingatannya. Dia malah sudah menjelma menjadi pribadi yang sungguh berbeda.

To Be Continued