webnovel

Dia Harus Kembali

Tokyo

Rose's Room

-Yasmine POV-

ICU seperti itu. Kau tidak bisa tahu jam berapa sekarang atau telah berapa lama waktu berlalu. Tidak ada cahaya alamiah di sana. Dan terus-menerus terdengar suara latar, di sini terdengar dengungan dan

desisan alat-alat kedokteran, panggilan-panggilan teredam yang tanpa henti di pengeras suara, dan perbincangan para perawat.

Aku tidak yakin sudah berapa lama ada di sini. Beberapa waktu lalu, perawat kesukaanku, yang bicaranya beraksen, berkata akan pulang. "Aku akan kembali besok, tapi aku ingin melihatmu di sini, Sayang," katanya. Mulanya aku menganggap itu aneh. Tidakkah seharusnya dia menginginkanku pulang ke rumah, atau dipindahkan ke bagian lain rumah sakit? Tapi kemudian aku sadar maksudnya adalah dia ingin melihatku di bangsal ini, alih-alih meninggal.

Dokter-dokter terus berdatangan dan membuka kelopak mataku serta menggerak-gerakkan senter. Mereka kasar dan tergesa-gesa, seakan tidak menganggap kelopak mata pasien layak diperlakukan dengan lembut. Membuatmu menyadari betapa kecil kesempatan kita saling 

menyentuh mata dalam kehidupan. Mungkin orangtua kita memegangi kelopak mata kita untuk mengeluarkan debu, atau mungkin pacarmu mencium kelopak matamu, seringan kupu-kupu, persis sebelum kau tertidur lelap. Tapi kelopak mata tidak seperti siku atau lutut atau bahu, bagian tubuh yang biasa disentuh.

Si Lelaki yang baru aku tahu namanya itu, June sekarang berada di sebelah tempat tidurku. Dia melihat rekam medisku dan bicara pada salah satu perawat yang biasanya duduk di meja besar di tengah ruangan. Luar biasa sekali melihat bagaimana mereka mengawasimu di sini. Jika tidak mengarahkan senter pena ke matamu atau membaca printout yang dimuntahkan mesin cetak di sebelah tempat tidur, mereka mengawasi tanda-tanda vitalmu melalui layar komputer sentral. Kalau ada sedikit saja yang tampak salah, salah satu monitor akan mengeluarkan suara bip panjang. Selalu ada alarm yang berbunyi di mana-mana. Mulanya itu membuatku takut, tapi sekarang aku tahu bahwa setengah kejadian menandakan kerusakan mesin, bukan manusianya.

June tampak letih, seolah sudah ingin meringkuk di salah satu tempat tidur yang kosong. Setelah membaca berkasku dan bicara pada para perawat, dia kembali ke keluarga Rose, yang sudah berhenti bicara dengan nada rendah dan sekarang melakukan kegiatan sendiri-sendiri. Ibunya merajut, Ayahnya pura-pura tidur. Bibi bermain sudoku. Sepupu-sepupunya bergantian main Game, suaranya dimatikan.

Ketika June melangkah memasuki ruangan, semua orang berdiri, seperti menyambut ratu. Dia tersenyum tipis, yang kulihat dilakukannya beberapa kali hari ini. Kurasa itu sinyalnya untuk mengatakan segalanya baik-baik saja, atau tidak ada perubahan, dan dia ke sini hanya akan menyampaikan perkembangan, bukan menjatuhkan bom.

"Rose masih tidak sadarkan diri, tapi tanda-tanda vitalnya membaik," dia memberitahu kerabat yang berkumpul, yang segera meninggalkan aktivitas mereka dengan sembarangan di kursi-kursi. "Dia bersama para terapis pernapasan sekarang. Mereka melakukan beberapa tes untuk melihat bagaimana fungsi paru-parunya dan apakah ventilatornya bisa dicabut."

"Kalau begitu, ini kabar baik, kan?" tanya Bibi. "Maksudku, jika dia bisa bernapas sendiri, sebentar lagi dia akan sadar?"

June memberikan anggukan simpatik yang sudah terlatih. "Jika dia bisa bernapas sendiri, berarti itu kemajuan. Tandanya paru-parunya menyembuh dan luka-luka dalamnya stabil. Yang masih jadi pertanyaan adalah memar di otaknya."

"Kenapa?" tanya Lisa, sepupunya.

"Kami tidak tahu kapan dia akan sadar sendiri, atau seberapa jauh kerusakan otaknya. Dua puluh empat jam pertama saat yang paling kritis dan Rose mendapatkan perawatan yang paling baik."

"Bisakah kami menjenguknya?" tanya Ayahnya.

June mengangguk. "Itulah alasan aku ke sini. Kurasa akan baik bagi Rose jika ada yang menjenguk sebentar. Hanya satu atau dua orang."

"Kami," kata Ibunya, melangkah maju.

"Ya, begitulah menurutku," ujar June. "Kami tidak akan lama," dia berkata pada anggota keluarga yang lain

Ketiganya melangkah tanpa bicara, menelusuri lorong. Di elevator, June berusaha mempersiapkan Orangtua itu untuk menghadapiku, menjabarkan luka-luka luarku, yang kelihatan parah tapi masih bisa ditangani. Luka-luka dalamlah yang perlu dicemaskan, katanya.

Tapi tetap saja, ketika memasuki pintu dobel otomatis ke ruang ICU, keduanya berhenti mendadak, seakan dihalangi sesuatu yang tidak kasatmata. Ibu menggenggam tangan Ayah, Mereka mencari-cariku di antara beberapa tempat tidur, tapi persis ketika June mulai menunjukkan di mana aku berada, Ibu melihatku dan menyeberangi ruangan menuju tempat tidurku.

"Halo, Sayangku," sapanya.

Ibu melangkah pelan-pelan ke tempatku berada, menarik napas 

pendek-pendek sambil bergerak maju.

June mengambilkan dua kursi, meletakkannya di kaki tempat tidur. "Rose-ah, orangtuamu ada di sini." Dia mengisyaratkan agar mereka duduk. "Aku akan meninggalkan kalian sekarang."

"Bisakah dia mendengar kami?" tanya Ibu. "Jika kami bicara padanya, dia akan mengerti?"

"Sejujurnya, aku tidak tahu," jawab June. "Tapi kehadiran kalian bisa menenangkan selama kalian mengucapkan hal-hal yang menenangkan." Kemudian dia menatap mereka dengan galak, seakan ingin memperingatkan agar mereka tidak mengucapkan hal-hal buruk sehingga membuatku gundah.

Setelah June pergi, kedua orangtua itu duduk tanpa bicara selama semenit. Kemudian Ibu mulai mengoceh tentang anggrek yang ditanamnya di rumah kaca. Ayah duduk diam sekali, dan kedua 

tangannya gemetar. Dia seperti bukan orang yang banyak bicara, maka pasti sulit baginya disuruh mengobrol denganku sekarang.

Perawat datang lagi. Rambutnya gelap dan matanya yang juga gelap dipulas riasan tebal yang gemerlapan. Kukunya dilapis akrilik dan dibubuhi gambar hati. Dia pasti bekerja keras untuk menjaga tangannya tetap cantik. Aku mengagumi itu.

Dia bukan perawatku, tapi tetap menghampiri kedua pasangan paruh baya itu. "Jangan ragu sedetik pun bahwa dia bisa mendengar Anda berdua," dia memberitahu mereka. "Dia menyadari semua yang terjadi." Si perawat berdiri di sana sambil berkacak pinggang. Aku hampir bisa membayangkannya meletupkan balon permen karet. Ibu dan ayah menatapnya, menyerap kata-katanya. "Anda berdua mungkin mengira para dokter atau perawat atau mesin-mesin ini yang menentukan," katanya, menunjuk perlengkapan medis yang berjajar di dinding. "Bukan. Tuhan yang menentukan. Mungkin Dia hanya menunda waktu. Jadi Anda berdua sebaiknya bicara padanya. Katakan Dia boleh menunda selama yang diinginkannya, tapi dia harus kembali. Bahwa Anda menunggunya." 

To Be Continued