webnovel

Everything Has Changed

Bandung

-Yasmine POV-

Matahari bersinar indah pada kamis siang itu aku duduk di dapur, berbicara pada wanita paruh baya yang harus aku sebut Mama sekarang. Mama sedang mengeluarkan seloyang kue kering dari dalam oven. Sampai sekarang, aku masih dapat mengingat bau harus cokelat yang memenuhi udara. Tiba-tiba, sensasi menggelitik seperti kesemutan itu muncul. Kupikir ada seekor semut berjalan di lengan kiriku, maka kuusap dengan tanpa kananku. Namun tidak ada semut di sana. Lalu kulit mukaku mulai tergelitik. Kuusap keningku. Tidak ada apa-apa juga di sana. Dan secara tiba-tiba saja… semuanya hilang.

Kursi yang kududuki menghilang. Meja dapur tempat aku meletakkan kotak makan dan botol minum juga menguap begitu saja. Segelas air dingin yang tadi kupegang juga hilang. Mama dan seloyang kue kering dan bau harumnya hilang. Tembok dapur hilang beserta semua rak dan juga kompornya. Seluruh rumah hilang. Bahkan tidak ada apa-apa yang kurasakan di bawah kakiku seolah seluruh bumi memang hilang begitu saja. Aku bahkan tidak dapat merasakan apakah rangkap dalam sebuah ketidakberadaan. Aku tidak tahu berapa lama itu terjadi. Mungkin hanya beberapa detik, atau mungkin beberapa menit, tapi aku tidak yakin. Tidak ada kegelapan, tapi juga tidak ada yang dapat kulihat seolah aku hanya satu-satunya makhluk yang ada di jagat yang luas ini. Aku berteriak. Tapi aku sendiri tidak dapat mendengar suara teriakanku.

Aku menengok ke arah kanan. Entah apa yang membuatku melakukan hal itu, seolah ada magnet yang menarik pandanganku ke arah itu. Dan di sana, duduk seorang anak lelaki. Kira-kira usianya sepuluh tahun. Rambutnya berantakan membingkai wajahnya yang bulat. Pipinya besar dan ia terlihat lucu dengan senyumannya. Senyumnya lebar dan terlihat seolah ia memang sudah terbiasa tersenyum seperti itu padaku seumur hidupnya.

"Rose, Sayang, tolong tuangkan segelas air juga untuk adikmu," kata Mama.

Aku memandang Mama. Lalu aku memandang anak lelaki yang katanya adalah adikku itu. Aku tidak dapat meraih teko air di depanku walaupun teko itu terletak hanya beberapa senti dari tanganku. Aku berkedip. Apakah ini mimpi? Alih-alih meraih teko air, aku mengangkat tanganku untuk menyentuh rambut berantakan di atas kepala anak lelaki itu. Sesaat aku berpikir mungkin tanganku akan memegang udara seolah anak ini hanyalah sebuah bayangan. Namun tanganku menyentuh helaian rambutnya. Helaian itu terasa kasar di antara jemariku. Anak ini benar-benar ada. Bagaimana mungkin aku punya seorang adik laki-laki? Bukankah aku adalah anak tunggal?

"Dia.. dia siapa?" tanyaku pada mama.

Mama memandangku dengan heran

"Maksudmu?" tanya mama.

"Dia adikku?" tanyaku lagi.

Mama hanya diam sambil bergantian memandang kami berdua seolah sedang berpikir apakah kedua anaknya sedang bersandiwara untuk menggodannya.

"Minta air, kak," kata anak lelaki itu, yang belakang baru kutahu bernama Addi. Aku meraih teko air di depanku dan menuangkan air ke dalam gelas yang dipegangnya. Mama masih juga diam. Dan ia tidak lagi mengaduk supnya. Setelah selesai menuang, aku sendiri juga diam. Hanya ada suara Addi yang minum dengan ribut dari gelasnya.

Mereka tentu saja heran dan khawatir karena aku tiba-tiba lupa bahwa aku punya adik lelaki. Namun bagaimana aku menjelaskan situasi yang tidak pernah aku alami ini? 

Mama mengajakku ke kamar adikku. Itulah kali pertama aku melihat ruangan dengan kertas dinding merah, ranjang merah dan seprai merah.

Kata mama, aku sayang sekali pada adiiku dan adikku juga sayang padaku. Kami akur, seperti dua anak anjing bersama-sama. Jadi mama percaya bahwa aku tidak sedang berpura-pura hilang ingatan. Aku bukan tipe kakak perempuan yang ingin menghilangkan adiknya dari muka bumi, karena merasa adiknya adalah pengganggu atau seseorang yang memonopoli perhatian orangtua.

Tetapi intinya, adikku nyata. Maka tak ada lagi yang bisa kulakukan selain melanjutkan hidupku. Aku hanya bisa menerima kehidupan baruku.

To Be Continued