webnovel

Friend?

Jakarta, 2027

-Rose POV-

Ibuku ternyata berambut cokelat kemerahan, masih belum 

beruban, tapi kelihatan sekali berat badannya menurun, mungkin, pikirku–ibu sedang menjalani diet. Ia juga terlihat sedikit lebih bungkuk. Tentu saja kemungkinan aku sudah menyadari perubahan itu beberapa hari lalu, tapi sudah di luar ingatanku saat ini. Ibu menyapaku dan Jay dengan hangat, lalu aku mengajaknya ke dalam. Hal pertama yang ingin aku ketahui adalah mengapa dia baru sekarang mengunjungiku. 

Ibu mengamatiku. "Kamu kelihatannya kurang sehat," katanya. "Ada luka-luka gores di wajah dan tanganmu, dan matamu merah sekali. Dan ada memar di kepala bagian belakangmu. Bagaimana bisa begitu?"

"Kecelakaan itu menimbulkan beberapa bekas yang sulit hilang seperti ini meskipun aku sudah dioperasi," kataku kepadanya.

Ibu menatap curiga, tapi tidak berkomentar apa-apa. Ia malah mulai membahas tentang kecelakaanku.

"Untungnya," Ibu menyimpulkan, "ada Jay dan Yura yang menjagamu."

"Yura?" tanyaku.

"Ya, dia sangat mengkhawatirkanmu. Kapan rencananya kamu akan menengoknya? dia baru saja pindah ke Jakarta"

Ah, pikirku. Jadi aku belum menemuinya.

Ibu menata piring-piring dan peralatan makan di meja, disajikannya roti dan irisan daging. Ia pergi ke dapur untuk meneruskan memasak sup sayur, dan aku menemaninya.

"Aneh, bukan?" tanyaku dengan santai, "Bagaimana semua ini bisa terjadi?"

"Buruk sekali kejadiannya," sahut ibuku sambil menggeleng-geleng. "Tragis sekali."

Aku menyimpulkan bahwa ibuku, seperti juga orang lain, tidak melihat alasan untuk meragukan "Aku merasa seluruh hidupku berakhir saat itu," 

kataku, meskipun tidak ingat.

"Tapi paling tidak sekarang kamu sudah mau bicara," kata ibuku. 

"Saat siuman kamu hanya sedikit bicara."

Sedikit? Itu tidak banyak membantu.

"Waktu itu kamu sanggat sedih," lanjutnya. "Oh, waktu itu aku ikut sedih sekali, terutama untukmu."

Ibu berhenti bicara, memandang kosong ke arah wortel-wortel yang sedang dikupasnya dengan pisau. Keheningan yang menggelisahkan mendera. Aku merasakan rasa gugup menusuk di dalam perutku sementara aku mengaduk sup dengan sendok kayu.

"Mama, baik-baik saja?"

Ibu mengusap air mata. "Maaf, Yasmine. Aku barusan lepas kendali. Aku senang sekali bertemu denganmu lagi. Sungguh."

"Aku mengerti, ma. Tapi tadi mama berpikir tentang apa?" desakku.

Ibu terlihat menguatkan diri dan melanjutkan ucapannya dengan suara yang lebih tegar. "Dari dulu aku selalu berdoa untuk kebahagianmu dan keluarga kecilmu, tapi kejadian ini harus menimpa kalian."

"Terima kasih, ma," kataku, sambil menahan rasa yang menyumbat kerongkongan. "Yang mama bilang itu benar."

***

Udara bulan ini terasa hangat di kulitku. Angin bertiup sepoi-sepoi, menampar setiap sisi kulitku yang dapat dijangkaunya. Aku suka datang ke taman ini, mencium bau rerumputan yang semerbak dan ditemani langit cerah. Pohon-pohonnya begitu rindang, membuat orang-orang suka berteduh di bawahnya. Bunga-bunga yang tumbuh berwarna-warni menambah asri taman ini.

Aku membetulkan letak topiku, sambil menatap kegiatan orang-orang di sekitarku. Mereka tampak begitu santai dan bahagia, seakan tidak ada beban hidup. Anak-anak berlarian sambil cekikikan, membuatku ingin tertawa juga. Taman ini membuatku begitu damai.

Aku belum bisa pergi terlalu jauh, jadi taman inilah yang biasanya kudatangi. Kamarku jadi tempat yang sangat membosankan akhir-akhir ini. Dan taman ini merupakan tempat hiburanku satu-satunya. Letaknya di ujung jalan rumah Jay, sehingga aku dapat mencapainya dengan berjalan kaki.

Aku menghampiri kolam ikan yang ada di tengah-tengah taman dan berjongkok di sebelahnya. Kupandangi airnya yang begitu jernih. Aku mendesah. Seandainya saja ingatanku juga bisa sejernih air kola mini. Aku ingin bisa melihat ke dalam ingatanku sejelas aku melihat ikan-ikan yang sedang berenang di kolam ini.

Cukup lama aku menatap ikan-ikan di kolam itu, sampai akhirnya kakiku menjadi pegal karena terlalu lama jongkok. Aku berdiri perlahan-lahan. Mendadak, angin bertiup cukup kencang dan menerbangkan topiku.

Aku berseru kaget dan berusaha melihat ke mana angin membawa topiku, yang ternyata berakhir di tangan seorang laki-laki. Lelaki itu menatapku sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk menyerahkan topiku.

Aku tidak langsung mengambil topiku. Aku memandangi lelaki itu, takjub melihat betapa sempurna fisiknya. Dia tinggi dan tegap, dan rasanya aku bisa melihat dadanya yang bidang di balik kemeja biru yang dikenakannya. Senyumnya juga manis sekali, membuatku tidak bisa berpaling darinya.

"Kamu tidak mau ambil topimu?" tanya laki-laki itu, melemparkanku kembali ke dunia nyata.

Aku sempat gelagapan sebentar, membuat lelaki itu tertawa dan memperlihatkan deretan gigi putihnya. Aku pasti kelihatan bodoh sekali. Jadi cepat-cepat aku menenangkan diri dan kembali bersikap normal. Kuambil topi itu dari tangannya.

"Terima kasih," kataku padanya.

"Sama-sama," dia menyahut. Matanya tidak lepas menatapku.

"Kamu pasti suka melihat kolam ikan."

Aku tersipu. "Kamu melihatnya?"

"Kamu cukup lama di situ," sahut lelaki itu. "Kamu suka ikan-ikan itu atau bagaimana?"

"Tidak juga," kataku. "Aku hanya merasa tenang saat melihatnya."

"Kenapa bisa begitu?" tanyanya penasaran. Dia masih tetap menatapku, membuatku agak salah tingkah.

Aku memutar-mutar topi yang sedang kupegang, berusaha menghindari matanya. Kupakai topiku lagi, berharap itu bisa menghalau tatapannya.

"Entahlah," jawabku. Aku berusaha tidak menatap matanya. Sambil mengucapkan terima kasih sekali lagi, aku pergi dari hadapannya.

Pertemuanku dengannya hanya sebentar, tapi entah kenapa aku selalu memikirkannya. Aku tidak bisa melupakan tatapannya. Anehnya aku merasa pernah bertemu dengannya. 

To Be Continued