webnovel

Bahaya

Surabaya

Bunga POV

Julian memarkir mobilnya jauh dari teras supaya suaranya tidak mengganggu penghuni vila. Setelah kenderaan itu diparkir di bawah pohon mangga dekat pagar, baru ia mencabut kunci kontaknya.

"Jangan turun dulu," katanya sambil meloncat ke luar. "Nanti kubantu. Kau belum biasa naik-turun mobil ini. Sudah begitu di sini gelap. Besok akan kupasangi lampu kalau Naila setuju. Lampu teras tak sampai kemari cahayanya."

"Ya."

Sambil mengiyakan kata-kata Julian itu, aku melangkah kaki dari mobil. Lupa kalau Julian akan membantu. Maka tepat seperti apa yang dikhawatirkan oleh lelaki itu, aku kehilangan keseimbangan ketika meletakkan kaki ke tanah dengan sepatu tinggiku. Dan akibatnya aku jatuh terduduk sesudah kedua lututku mencium tanah. Tanpa sadar aku mengaduh.

"Kan tadi sudah kubilang!" gerutu Julian sambil meloncat mendekati tempatku jatuh. "Kamu ini memang tak pernah mendengar kataku."

Kalau yang berkata seperti itu bukan Julian, pastilah aku akan merasa tersinggung. Sudah sakit digerutui pula. Tetapi karena aku sudah amat mengenal caranya berbicara dan bersikap maupun mengerutuiku, yang diwarnai oleh perasaannya yang selalu ingin melindungiku, aku bukan saja tak tersinggung oleh teguran seperti itu, tetapi juga lupa bahwa kondisi dan situasi kini sudah sangat berbeda.

"Aku sungguh lupa kalau kamu sudah memperingatkan tadi," sahutku dengan suara manja seperti yang dulu sering aku lakukan. "Sekarang aku menyesal. Kakiku jadi sakit sekali."

Masih setengah menggumamkan gerutunya atas ketidak hati-hatianku, Julian berjongkok di dekatku yang masih terduduk di tanah itu.

"Coba kulihat, apanya yang sakit?" katanya kemudian sambil mulai memeriksa kakiku. "Sayang sekali aku tidak membawa lampu senter tadi. Padahal biasanya di dalam mobil selalu kusediakan lampu senter, menjaga kalau-kalau ada yang kurang beres pada mesin mobil.

"Lututku yang sakit! Aku tak menyangka tanah di sini keras sekali." sahutku jengkel. "Jangan-jangan kulitku jadi cacat."

"Ah, masa hanya tergores tanah keras saja bisa cacat." kata Julian lagi. "Coba kulihat."

Dalam kegelapan malam, apa yang dimaksudkan dengan melihat adalah meraba. Jadi, tentu saja tanpa berpikir yang lain tangan Julian pun terulur dan meraba lututku. Seperti sudah berjanjian kami menegang pada saat bersamaan. Tangan Julian terhenti di lututku, tidak jadi memeriksa apa pun, sedangkan aku yang semula cerewet, mendadak menjadi kelu.

"Maaf..." Telapak tangannya yang semula menyentuh lututuku dengan akrab, ditariknya kembali. "Seharusnya aku tak boleh menyentuhmu."

Aku yang akhirnya mampu menguasai diri sesudah mendengar suara Julian yang agak bergetar itu, mulai lagi merasakan sakit pada lutut.

"Kenapa harus minta maaf dan kenapa merasa tak boleh menyentuh lukaku?" tanyaku setengah menggerutu. "Kakiku sakit, mengerti?"

 "..."

"Hey, kenapa diam saja?!" Aku menggerutu lagi. "Aku kan tadi bilang, kakiku ini sakit. Kamu tidak kasihan padaku?"

Aku sengaja mengembalikan suasana masa lalu dengan bersikap manja dan menuntur perhatiannya. 

"Flora..." Julian pasti menyadari peringatan akan adanya tanda bahaya. "Apa, apa itu pantas?"

"Apanya yang tidak pantas?" tanyaku masih dengan gaya yang manja dan merajuk.

"Meraba lututmu... ingat Flora, kita ini sudah bukan remaja lagi, tetapi orang dewasa..." Julian berkata agak terbata-bata.

"Kenapa? Takut dilihat orang?" tantangku. "Lihat, di sini gelap. Tidak ada orang yang melihat kita. Kamu yang pengecut"

"Sudah kukatakan meraba lututmu itu tidak pantas, ya tidak pantas. Jangan didebat terus."

"Pantas atau tidak itu kan kalau terlihat orang lain, sedangkan di sini tidak ada orang lain. Padahal kakiku sakit sekali dan kamu tidak mau menolongku" gerutuku lagi. "Itu yang jadi masalah. Luka kakiku itu!"

"Aku bukannya tak mau menolongmu," gumamnya. "Tetapi aku merasa tak enak."

"Tak enak? Kenapa?" sungutku.

"Kamu ini memang sengaja tak mau menggubris suasana aneh tadi atau tak mau memikirkan adanya... adanya...."

"Adanya apa?" tanyaku ketika menelan kembali kata-katanya.

"Adanya bahaya. Ini tempat gelap, tanpa kehadiran orang lain, lagi. Kan ya tidak baik kalau tubuh kita bersentuhan secara akrab begini?"

"Tak baik, tak pantas, tak semestinya.... huh, alasan saja," aku menyela lagi bicaranya yang belum tuntas. "Kamu memang sudah berubah. Tak mau lagi berteman denganku."

"Kamu salah mengerti," Julian semakin kewalahan. "Kamu tak mau menyadari bahwa situasi dan kondisinya sudah berbeda sekarang ini..."

"Karena kamu sudah kaya, sudah jadi bos, dan merasa rendah kalau menuruti kemauanku!" tuduhku.

"Nah, kamu semakin ngawur" Julian menjadi jengkel. Persis dulu kalau ia meresa jengkel menghadapiku. "Sudahlah, kemarikan kakimu yang sakit itu!"

Aku menurut dengan patuh, dan tangannya yang semula hanya tergantung di udara tanpa berani bergerak lebih jauh, terulur menyentuh lututku kembali.

"Masih sakit...?" tanyanya dengan suara bergelombang.

Aku yang merasa lututku dielus-elus oleh Julian mulai sadar bahwa perasaan itu masih ada dan sungguh-sungguh terjadi. Dadaku berdebar-debar dan napasku tersangkut-sangkut. Aku mulai membenarkan apa yang dikatakan Julian tadi. Situasi dan kondisi saat ini sudah jauh berbeda dengan yang dulu.

"Bagaimana, masih sakit...?" Terdengar lagi suara Julian yang bergelombang tadi.

Aku agak tersentak dan mengembuskan napasku yang masih terasa menyangkut di leher.

"Masih..." aku menjawab sekenanya. Padahal rasa sakit tadi entah sudah menghilang ke mana, ia tak tahu.

"Kalau dielus-elus begini, apakah ada bedanya?" tanya Julian lagi.

"Ya, ada bedanya..." suaraku terdengar bergetar.

"Enak, kan? Tidak terasa terlalu nyeri lagi...?"

"Ti... tidak..."

Julian terdiam. Ia pasti sudah menangkap getaran suaraku dan sikapku yang mendadak berubah.

"Sudah ya?" katanya dengan suara serak. "Tanganku, te... terasa capek. Sebaiknya lukamu diberi obat saja."

Aku tidak membantah. Dan sambil bergerak untuk berdiri, tangannya meraih lenganku untuk mengangkatku agar berdiri juga. Tetapi debar-debar jantungku masih menggila, kedua belah kakiku menjadi lemah tak mampu menopang berat tubuhku. Hingga tanpa dapat ditahannya tubuhku oleng dan langsung tersandar ke dadanya.

Otomatis lengannya terulur dan mendekap tubuhku hingga kini berada di dalam pelukannya. Aku yang sudah lama tak pernah merasakan betapa nyamannya berada di dalam pelukannya tanpa sadar aku sandarkan kepalaku ke dadanya yang bidang dan kekar itu.

Keadaan seperti itu sungguh bukan saja tak di sangka-sangka akan terjadi di antara kami, tetapi juga tak disadari betapa bahayanya. Kepala Julian mendekati wajahku, lalu bibirku diraihnya dengan bibirnya sendiri dengan sepenuuh hasratnya.

Ciumannya yang begitu penuh gairah seperti menyulut diriku. Dengan sedikit melenguh ciuman lelaki itu aku balas dengan sama bergairahnya. Bahkan akhrinya dengan seluruh hasrat aku mengulurkan lengan ke atas dan memeluk lehernya sementara tubuhnya menekan tubuhku.

Kesadarannya segera saja pulih tatkala ia sadar bahwa perbuatannya denganku itu keliru. Dengan malu-malu ia melepaskan pelukanku, lalu mendorong bahuku dengan gerakan lembut dan hati-hati.

"Flora... ini yang kutakan bahaya tadi," bisiknya. Suaranya terdengar serak dan bergelombang, "aku, aku sudah memperingatkanmu tadi. Kita berdua sudah bukan remaja lagi. Kedekatan fisik seperti ini akan menyebabkan otak waras kita terganggu oleh... oleh kebutuhan manusia dewasa, apalagi aku ini seorang suami. Ini ... ini akan menurunkan kadar hubungan kita. Bahkan kalau perbuatan ini tadi tak segera kuhentikan, nilainya bisa jatuh ke titik nol..."

Mendengar kata-kata yang diucapkannya dengan gelombang perasaan yang terbias lewat suaranya itu, aku seperti ditampar rasanya. Bukankah itu sama artinya dengan mengatakan bahwa aku sedang merasa haus lelaki, sehingga berada bersama siapapun aku akan terlena? Ah, Julian telah melakukan kesalahan besar.

"Kamu... kamu yang membuat kedekatakan kita seperti sampah busuk!" desisku. Lalu sudah berusaha mati-matian untuk menahan agar air mataku jangan sampai tergulir lepas dari bendungan, aku berkata lagi, "Seperti barang murahan di tepi jalan"

To Be Continued