webnovel

Dua Wanita

Surabaya

Flora POV

Malam ini Julian sedang menghadap layar laptop ruang kerjanya ketika kepalaku menyembul dari celah pintu yang terbuka. Aku menyembunyikan tubuhku di balik dinding.

"Apa kamu mau melakukannya sekarang?" tanyaku. 

Julian mengangkat alis, tidak mengerti maksud pertanyaanku. "Melakukan apa?"

Aku melangkah masuk, memperlihatkan apa yang sebelumnya tertutup tembok. Dengan wajah merona, aku membiarkan tatapan Julian menilaiku. Aku mengenakan lingerie hitam ketat yang hanya menutupi sedikit kulitku dan menonjolkan lekuk tubuhku dengan sempurna. "Kewajibanku sebagai istri?"

"Yaitu...?" tanya Julian lambat dengan senyum malas. Pria itu menyandarkan punggung ke kursi, wajahnya terlihat tertarik dengan tawaranku.

"Eh..." aku terlalu malu untuk menjawab. Kini Julian sedang mengamatiku dari ujung rambut hingga ujung kaki, seluruh kulitku terasa membara di bawah tatapannya. Dia bangkit dari kursi dan berjalan mengitari meja, lalu berdiri bersandar meja, masih menatapku lekat-lekat. Aku menunggu reaksinya dengan jantung berdebar.

Senyum Julian lalu lenyap seketika. Dia memandangku tepat di mata ketika menjawab "Tidak" dengan nada dingin.

Senyum malu-maluku memudar. Wajahku yang sebelumnya tersipu kini berwarna merah tua, bukan lagi karena malu, tapi karena penolakan verbal yang barusan aku terima. Aku sudah merencanakan ini sejak dalam perjalanan ke tempat ini.

Julian melangkah mendekatiku, memperpendek jarak di antara kami. Aku menatapnya dengan antisipasi, daguku terangkat penuh tekad. Siapa tahu Julian sedang memikirkan tawaranku lagi. Siapa tahu jika aku tidak terlihat seperti binatang ketakutan yang terkena jerat, Julian akan mau menghabiskan malam ini bersamaku.

Namun, tatapan Julian yang seakan mengulitiku membuatku gentar dan melangkah mundur hingga punggungku menempel ke dinding. Percuma berpura-pura tidak terpengaruh tatapan Julian. Seumur hidup, baru kali ini aku ditatap seintens itu oleh seorang pria.

Julian merentang kedua tangan di samping tubuhku, mengunci posisiku di dinding. Aku mendongak memandang wajahnya. Julian menunduk, mendekatkan bibirnya ke telingaku.

"Kamu boleh menyimpan lingerie-mu. Percayalah, itu tidak akan banyak digunakan di rumah ini," bisik Julian dengan suara rendah. "Pakai saja piamamu."

***

Julian POV

Bukan untuk pertama kalinya aku memandang foto pengantin yang terpasang di dinding ruang tamu, yang posisinya lurus dengan pintu masuk. Foto itu sudah terpasang sejak diriku menikah dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ruangan ini. Seolah, jika tak ada foto berbingkai emas itu, ruang tamu yang tidak begitu luas ini akan kehilangan aura ketenangannya.

Aku masih ingat aku memasang foto itu sepulang bulan madu selama tiga hari dua malam penuh kenangan mendebarkan di Santorini. Bahkan aku masih bisa mendengar tawa lembut Bunga dan semburat rona yang menghiasi pipinya yang kuning langsat ketika aku memuji sosok perempuan dalam foto itu. Sosok yang tampak anggun dan ayu dalam balutan gaun warna putih.

Bagiku, sebingkai foto pernikahan itu adalah saksi semua kebahagiaan sekaligus kepedihan dalam hidupku. Di masa-masa awal pernikahan, hatiku selalu terasa sesak dipenuhi sukacita tiap kali memandang foto itu. Kadang, dengan konyol aku berulangkali memuji diriku sendiri, sering aku ucapkan atau hanya dalam hati, bahwa laki-laki yang berdiri gagah di samping mempelai perempuan dalam foto itu memang jelmaan seorang pangeran tampan yang sengaja diciptakan Tuhan untuk menjadi pasangan jiwa sang putri yang lembut dan ayu.

Rasanya aku tak pernah bosan beratus kali memandangi foto pengantinku sendiri. Awalnya secara sengaja, namun sekarang menjadi semacam ritual di mana aku setiap pagi meluangkan waktu sekitar lima menit berdiri di dpeannya, hanya untuk memfokuskan pandangan pada seraut wajah ayu dengan senyum dan sentuhan lembutnya.

Namun, untuk pertama kalinya aku dikejutkan oleh satu rasa serupa sengatan listrik 1000 watt. Kakiku yang sudah mau melangkah terhenti di depan pintu. Terpaku. Sepasang mataku melebar saking terkejutnya.

Kenapa wajah perempuan di foto itu sekarang berbeda?

Sosok dan gaun yang dikenakannya masih sama. Hanya wajahnya saja yang berubah. Bukan lagi wajah Bunga, tapi wajah seseorang dengan bentuk bulat telur dan senyum lebar di bibirnya. Seraut wajah ceria yang akhir-akhir ini sering aku lihat. Untuk meyakinkan diri, aku mengerjapkan mataku berulang kali. Dan yang semakin membingungkan, setiap kerjapan mataku menghadirkan dua wajah perempuan yang berbeda secara bergantian.

Mengapa jadi begini? Apakah kemunculan wajah itu karena seringnya kami berbagi cerita dan tawa?

Sengatan rasa itu kini berubah wujud menjadi dua tangan raksasa yang mencengkeram kuat hatiku. Menyesakkan. Tak lama kemudian sebuah rasa bersalah menyelinap begitu saja, menguasai seluruh ruang batinku. Bunga adalah satu-satunya cinta dalam hidupku. Rasa cinta yang dulu begitu kuat menggelora, sekarang serupa fatamorgana di ujung senja.

Sebuah tarikan napas berat dan hembusan keras dari bibirku aku keluarkan sebagai usaha membebaskan dadaku dari rasa sesak terhimpit perasaan bersalah yang semakin kuat. Dalam kebingungan, sebuah pikiran melintas cepat di benakku, bergema memantul-mantul di setiap dinding.

"Apakah hatiku benar-benar telah terbelah untuk dua perempuan yang berbeda?"