webnovel

14. Pesimis

Bandung, 2027

Rose

Tiga hari setelah kepulanganku dari Bali, aku mencoba melupakan pertemuanku dengan Jay, tapi entah kenapa kepalaku menolak ide itu. Alhasil aku mengalami kesengsaraan hati yang tidak terobati. Selama ini aku sudah cukup mengenal diriku sendiri bahwa kalau mulai merasa mellow, aku biasanya langsung menumpahkan perhatianku pada hal-hal lain yang bisa membuatku lupa dengan persoalan sebenarnya. Pada saat ini, karena satu-satunya hal yang bisa dijadikan pelarian adalah pekerjaanku, aku akhirnya bekerja seperti orang kesetanan. Aku menjadi orang pertama yang tiba di kantor baruku dan orang terakhir yang meninggalkan kantor. Bosku yang melihatku super rajin dan tidak bisa diam, yakin kalau aku mungkin lupa minum obat yang biasanya diminum oleh orang-orang yang memiliki ADHD. Ternyata kolega-kolegaku juga merasa bahwa aku hidup di kantor dan tidak pernah pulang.

Malam itu, aku menimbang-nimbang apakah aku harus menelpon Jay dan menyelesaikan permasalahan yang surah berlarut-larut ini. Aku memegang kartu namanya, Jayden Hans Willy. Nama yang selama ini ada di kepalaku, selalu ada di kepalaku dan tidak mau pergi. Aku tertawa sendiri, menertawakan nasibku yang menyedihkan ini.

Aku berpikir bahwa tiga hari setelah pertemuan kami adalah waktu yang cukup untuk menghubungi Jay sekedar untuk basa-basi. Tentunya jika Lisa tahu aku melakukan ini, nasibku tidak akan jauh tentang Kembali ke Aussie. Aku memegang kartu nama itu di tangan kiriku dan ponsel di tangan kananku. Setelah mengumpulkan cukup keberanian aku pun menekan nomor ponsel Jay. Hatiku bagaikan sedang berlari di atas treadmill dengan kecepatan 100 km/jam, menunggu hingga terdengar nada sambung dari ujung saluran telepon. Aku hampir saja melepaskan ponsel dari tanganku yang terasa agak basah ketika terdengar nada sambung. Setelah sekitar enam deringan dan tidak ada yang menjawab, aku sudah siap untuk menutup teleponku, tetapi tiba-tiba dari ujung telepon itu terdengar suaranya berkata "Halo."

Ketika mendengar suara itu aku yakin jantungku berhenti selama satu menit, meskipun mungkin tidak selama itu. Otakku bagaikan sedang dimasukkan ke mesin cuci, berputar dan berputar, mencoba untuk memutuskan apakah aku cukup berani untuk mengatakan bahwa itu aku. Kemudian kudengar Jay berkata lagi, kini dengan nada lebih serius.

"Halo."

Secercah keberanian terasa di hati kecilku dan aku melakukan hal yang aku tidak pernah lakukan sebelumnya, aku menekan tombol END di ponselku dan hilanglah sambungan telepon itu. Kubiarkan ponsel meluncur dari tanganku ke atas bantal dan menggeram keras. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Hatiku bagaikan beku, aku benar-benar bodoh menelpon Jay. Tentu saja dia bisa melihat nomor yang menelpon dan menelpon balik. Sesaat perasaan panik menghujaniku.

Aku duduk tegak di tempat tidurku. Memandangi ponselku yang masih berdering seolah bend aitu mengandung radioaktif. Beberapa saat kemudian ponselku berhenti berbunyi dan aku Kembali menenggelamkan tubuhku di antara bedcover dan bantal-bantal yang menutupi tempat tidurku. Setelah merasa cukup tenang aku mengangkat ponselku untuk melihat nomor telepon yang missed call. Aku langsung tahu itu nomor Jay. Aku juga melihat bahwa ada voice mail di mailbox-ku.

"Halo ini Jayden, baru saja ada yang menghubungi saya dari nomor ini tapi koneksinya sepertinya kurang bagus dan putus. Kalau ini memang emergency, silahkan hubungi saya lagi di nomor ini atau hubungi saya di rumah, nomornya.." kemudian suara Jay mengulangi pesan itu dalam bahasa inggris.

Aku berpikir, berarti dia tidak tahu itu aku? Lalu aku teringat bahwa nomor ponselku memang tidak tertera di kartu namaku, hanya alamat, e-mail dan nomor fax kantor. Ketika sadar bahwa aku sudah ketakutan tanpa sebab, aku pun tertawa terbahak-bahak sendirian di kamarku. Ibuku yang mendengar tawaku yang menggelegar sempat melongokkan kepalanya di pintu untuk menanyakan apa yang lucu. Aku hanya mengatakan padanya bahwa ada sesuatu yang lucu di buku yang sedang kubaca. Aku memandangi kartu nama Jay lebih lama lagi, menimbang-nimbang apakah aku akan menyimpannya. Aku takut kalau aku memutuskan untuk menyimpan kartu nama itu suatu saat aku bisa jadi gila dan iseng-iseng menelponnya lagi. Akhirnya aku menyimpan kartu nama itu di sebuah kotak dan meletakkannya di dalam laci mejaku yang paling bawah.

To Be Continued