webnovel

Rose and June

Bandar Udara Internasional Husein Sastranegara 

Rose POV

Aku sudah bersiap-siap check in pada pukul 12.30, hari keberangkatan tim untuk training di Aussie, ketika mendapati June sedang menuju ke arahku. Melihatnya lagi membuatku sedikit gelisah. Aku tidak mungkin bisa berbicara seperti orang normal dengannya, apalagi dengan gayanya hari ini yang bahkan lebih seksi daripada seminggu yang lalu. Hari ini dia mengenakan jins berwarna gelap dan kaus putih yang dilapisi sweatshirt

"Hei," ucapnya ketika sudah berdiri di sampingku. Aku membalas sapaannya.

June hanya membawa sebuah koper hitam yang agak kecil.

"Oh iya, aku Rose." Aku mengulurkan tangan untuk berkenalan dengannya.

June membalas uluran tanganku sambil tersenyum dan berkata, "I know, aku June."

"I know," ucapku. Aku menelan ludah sebelum membalas senyumannya. Aku 

hampir lupa dengan senyum mematikannya itu. Aku sempat kaget bahwa dia masih ingat namaku. Tapi aku buru-buru menenangkan diriku yang mulai merasa sedikit ge-er.

Proses check-in berjalan cukup lancar, sehingga kami masih memiliki banyak 

waktu untuk menunggu waktu boarding di ruang tunggu. Aku sedang sibuk 

membaca Henry James ketika mendengar June bertanya, "Mau permen?" sambil menyodorkan sepotong Doublemint yang masih dibungkus kertas metalnya kepadaku.

Aku hanya tersenyum, mengambil satu potong dan memasukkannya ke tasku.

"Kenapa nggak dimakan?" tanya June ingin tahu.

Aku memandangnya beberapa detik sebelum menjawab, "Aku baru minum 

Antimo, takut bermasalah sama perutku kalau dicampur."

June mengangguk dan aku pun kembali pada bacaanku. Tapi baru aku 

membaca satu paragraf, suara June melayang kembali kepadaku.

"Kamu suka kena motion sickness?"

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mengangguk.

"Khusus untuk pesawat apa kapal laut juga?" tanyanya lagi. Kini matanya 

betul-betul memandangku. Aku yang kaget dengan tatapan matanya merasa sedikit terkesima. Untung aku sedang duduk, kalau berdiri kemungkinan besar aku sudah jatuh tersungkur ke lantai.

"Paling parah kapal laut, terutama ferry. Kalau pesawat sudah agak lumayan. 

Biasanya aku berusaha membayangkan bahwa aku sedang ada di mobil dengan kecepatan tinggi. Kalau mobil biasanya tidak masalah, selama jalannya tidak berkelok-kelok. Tapi aku tidak pernah ada masalah kalau naik kereta api," jelasku panjang-lebar.

June tersenyum simpul. Dan untuk beberapa detik aku tidak bisa bernapas. 

Aku bertaruh pada diriku sendiri bahwa senyuman June tidak akan membawa efek samping kepadaku setelah ini. Untung kemudian June mengalihkan perhatiannya untuk melihat-lihat area ruang tunggu. Aku kembali membuka novelku pada halaman yang kubatasi dengan telunjukku. Tapi aku tahu June akan melayangkan pertanyaan selanjutnya tidak lama lagi, jadi aku berusaha secepat mungkin membaca satu paragraf yang menutup Bab 4.

"Kamu suka baca novel?" tanya June lagi.

Tuh kan...

Aku mengangguk tanpa mengangkat wajah dari buku.

"Klasik?"

Aku selesai membaca paragraf itu dan mendongak untuk menatap wajahnya. 

Aku mengangguk lagi, tapi sebelum sempat menjelaskan alasanku, seorang ground crew mengumumkan bahwa penumpang first dan business class dipersilakan masuk ke kabin. Aku segera membereskan barang-barangku dan berjalan menuju belalai. Sudah bertahun-tahun aku menggunakan pesawat sebagai metode transportasi, tapi tetap saja aku masih merasa sedikit... tidak nyaman.

June meremas bahu kananku dan berkata, "Biar aku duduk di sebelahmu. Aku jaga kamu biar kamu tidak mabok udara."

Aku hanya bisa memandangnya selama beberapa detik dengan mulut terbuka. 

Ketika tangan June menyentuh bahuku, aku dapat merasakan sengatan listrik yang membuat jantungku berhenti berdetak.

Rose, please deh. Jangan ge-er. Dia cuma mau mastiin elo baik-baik saja, aku 

mengomeli diriku sendiri.

June yang sepertinya sadar bahwa dia telah membuatku merasa tidak nyaman menarik tangannya dari bahuku.

Aku tertawa lemah untuk menutupi suaraku yang terdengar tidak stabil. "Pas 

kita sampai di Aussie, kamu pasti akan bertanya-tanya sama dirimu sendiri kenapa kamu mau duduk di sebelah aku," candaku.

Untungnya June sepertinya berpikir reaksiku disebabkan rasa "takut terbang" 

bukannya karena rasa "jantungku mau copot karena laki-laki paling ganteng yang pernah kulihat selama setahun belakangan ini menyentuhku", sehingga aku bisa mulai mengatur pernapasanku agar kembali normal.

Aku kebetulan dapat tempat duduk paling depan di sebelah jendela, dan 

seorang ibu yang sudah beranak dua duduk di sebelahku. Tetapi kemudian June membujuknya untuk bertukar tempat duduk dengannya agar dia bisa duduk di sebelahku. Ibu itu tentunya tidak bisa menolak June yang sepertinya sudah bisa merayu wanita semenjak dia masih ada di dalam kandungan. Selama tiga puluh menit belakangan ini aku memang bertanya-tanya pada diriku sendiri, mengapa laki-laki yang seminggu lalu sepertinya jutek padaku ini tiba-tiba bisa berubah jadi super-ramah? Aneh.

Ketika pesawat kami siap lepas landas June bertanya padaku, "Mau pegang 

tanganku?"

Aku menggeleng. Biasanya aku cukup berani untuk melewati seluruh 

penerbangan sendiri, selama tidak ada turbulence. Aku sangat beruntung karena sempat mengkonfirmasi email sebelum berangkat dari rumah, hari itu kami akan terbang dengan cuaca cerah menuju Aussie. Tetapi itu bukan alasan utama mengapa aku tidak mau memegang tangan June.

Membayangkan tangannya menyentuh bagian tubuhku, walaupun hanya tanganku, sudah cukup membuatku bergidik memikirkan sengatan listrik yang akan menyerangku. Terutama karena aku tahu apa maksud sengatan listrik itu. Aku sepertinya mulai naksir berat pada June. Sayangnya hal tersebut hanya dialami olehku, karena sepertinya June tidak 

terpengaruh sama sekali.

Sambil mulai terlena, aku tersenyum pada diriku sendiri. Tingkah laku June 

dan wajahnya ketika sedang tidur mengingatkanku pada sosok cowok yang kukenal sepuluh tahun yang lalu, yang namanya dimulai dengan huruf J... Ya ampun, kayaknya aku sudah mulai gila!!! Sejenak mataku kembali terbuka lebar. Tapi aku segera menenangkan diri, dan memejamkan mata lagi. Malam itu aku tidak bisa tidur nyenyak. Aku bermimpi tentang Fajar.

Di dalam mimpiku aku sedang berada di Bali, menikmati sinar matahari yang menyinari wajahku. Fajar berdiri di sampingku. Wajahnya dihiasi senyumnya yang khas. Lalu aku mencium aroma vanila bercampur suatu aroma musky lainnya. 

Aroma yang cukup maskulin dan menyegarkan. Tiba-tiba aku mendengar ada orang memanggil namaku. Aku mencoba mencari arah suara itu, tapi tidak 

menemukannya. Beberapa saat kemudian aku merasakan guncangan yang cukup dahsyat, sepertinya Bali sedang kena gempa bumi. Lalu aku tersadar.

Ternyata guncangan itu datang dari tangan berukuran besar milik June. Aku buru-buru memfokuskan mataku.

"What, what?" ucapku berusaha untuk fokus. Aku tidak rela melepaskan Fajar dari mimpiku.

"Rose, bangun Rose, kamu mau sarapan apa?" tanya June sambil berusaha untuk membawaku ke alam sadar.

Aku kemudian tersadar bahwa aroma vanila dan musk yang tadi kucium masih ada, dan ternyata datang dari sebuah sweatshirt yang kini berada di pangkuanku. 

Aku berpikir aroma vanila itu mungkin salah satu campuran aroma parfumku, dan karena masih belum fokus juga aku lalu mengenakan sweatshirt itu sebelum berjalan menuju toilet untuk mencuci muka.

Setelah mencuci muka dan bersiap-siap untuk keluar, aku mematuk diri di 

depan cermin dan sadar bahwa sweatshirt yang kukenakan bukan milikku. Lalu aku melihat satu huruf A merah yang tercetak di sebelah kanan dadaku. Sadarlah aku bahwa aku sedang mengenakan sweatshirt June yang dia kenakan ketika berangkat kemarin dari Bandung. Buru-buru kurapikan rambutku yang terurai dan mengikatnya dengan karet di pergelangan tanganku. Kutanggalkan sweatshirt itu dan melipatnya 

dengan rapi sebelum keluar dari toilet.

Aku menemukan June sedang menyantap Fruit-Loops dari sebuah mangkuk.

"Makasih ya sweatshirt-nya." Aku mengulurkan sweatshirt itu kepada June, sambil melangkah ke kursiku.

To Be Continued