webnovel

10. Rose dan Yasmine

Jakarta, 2027

Rose

Kalau ada yang bisa membaca pikiranku dan bertanya mengapa aku sangat terobsesi dengan Jay, Sejujurnya satu-satunya alasan yang bisa keluar dari mulutku adalah bahwa Jay-lah lelaki yang paling sempurna di mataku. Dia hampir selalu menjadi pusat perhatian, dia dari keluarga yang cukup berada, tapi yang lebih penting dari itu semua, Jay adalah salah satu lelaki paling tampan yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Kulitnya putih bersih, rambutnya lurus agak kemerah-merahan, tubuhnya tinggi tegap dan kalau dia tersenyum, sepertinya seluruh dunia ini akan ikut tersenyum dengannya. Senyumnyalah yang pertama kali membuatku mulai memperhatikannya.

Jay adalah satu-satunya lelaki yang berani mendekatiku saat itu, meskipun dia tahu reputasiku sebagai perempuan paling mengerikan satu kampus. Dia selalu mencari alasan untuk mencoba berbicara denganku tanpa ada topik pembicaraan yang jelas dan beberapa kali aku mendapatinya memandangiku dengan tatapan ingin tahu. Setelah itu, aku mulai menyadari bahwa Jay benar-benar mencoba mendekatiku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa takut. Aku takut aku bisa menyukai Jay dan ternyata dia tidak menyukaiku. Aku bahkan sempat berpikir mungkin Jay taruhan dengan teman-temannya untuk menggangguku, bukan hal yang aneh di kalangan anak-anak gaul masa itu. Dengan kepala penuh rasa ketakutan yang kubuat sendiri, aku mengambil langkah seribu lari ke Aussie.

Tetapi kini aku kembali dan aku tahu bahwa aku harus bertemu dengan Jay cepat atau lambat. Aku harus menyelesaikan masalahku dengannya agar aku bisa melanjutkan hidupku. Aku harus tahu apakah ada sesuatu di antara kami pada saat kuliah dulu, dan apakah rasa itu masih berbekas di dirinya seperti pada diriku. Aku meragukan hal itu, karena kalau memang ia menginginkanku, Jay pasti sudah mencoba menghubungiku ketika aku di Aussie. Aku sempat menunggu kabarnya selama beberapa bulan, tetapi tidak pernah mendengar apa-apa darinya. Tapi aku tidak bisa menyalahkan Jay sepenuhnya, karena sejujurnya pria itu mungkin juga bingung dengan tingkah lakuku terhadapnya dan kepergianku ke Aussie mungkin dianggapnya sebagai konfrimasi bahwa aku tidak menginginkannya.

***

Aku sedang menunggu ayahku yang akan tiba dari Bandung di bandara. Aku duduk di salah satu bangku panjang yang ada di depan pintu keluar. Aku sedang mencari tisu basah dari tasku ketika tiba-tiba ada dua tangan kecil yang memelukku dari belakang.

"Aunty, Papa has been looking for you."

Aku sempat bergeming selama beberapa detik sebelum kemudian memutar tubuh dan melihat ada seorang anak kecil yang mungkin berumur sekitar lima atau enam tahun dengan kaus Gucci. Anak itu pun terlihat kaget ketika sadar bahwa aku bukan orang di belakangnya. Dia celingukan seperti mencari orang lain yang seharusnya ada di belakangnya. Ketika sadar bahwa dia sendirian, bibirnya kemudian mulai bergetar, siap untuk menangis.

Holy crap. Aku bisa mendengar suara teriakan di dalam kepalaku.

Aku memang kurang berpengalaman dengan anak kecil, apalagi anak kecil yang akan, sedang atau sudah menangis. Aku lalu berlutut di hadapannya, mencoba menarik napas panjang.

Santai saja, ini hanya anak kecil. Aku mencoba menenangkan diriku.

"Hey there. Well, look at you, don't you look handsome in that Gucci t-shirt?" ucapku dengan nada setenang mungkin dan menempelkan senyuman seramah mungkin di wajahku. Andai saja Lisa dapat melihatku, kemungkinan besar dia akan berpikir aku sedang mencoba untuk menakuti anak kecil ini, bukannya menenangkannya. Lisa selalu berpendapat bahwa mulutku terlalu penuh gigi.

Untung saja anak itu tidak jadi menangis. Dia hanya memandangku kemudian memandangi t-shirt yang dikenakannya sebelum kemudian menatapku Kembali. "My name is Jason," ucapnya sambil menunjuk dirinya.

Aku mengembuskan napas lega. "Well, hello, Jason, I'm.." aku berpikir sejenak, "I'm Rose," ucapku akhirnya.

Aku memperhatikan anak kecil itu dan menyadari bahwa wajahnya yang agak western terlihat sangat familiar meskipun aku yakin bahwa aku belum pernah bertemu dengannya. Tidak lama kemudian, aku melihat seorang laki-laki agak tinggi, dengan rambut lurus kecokelatan berlari-lari ke arah kami.

"There you are," ucapnya lega, kemudian berlutut di hadapan Jason berkata dengan suara yang lebih otoritatif. "Jangan jauh-jauh dariku lagi, oke."

Kemudian laki-laki itu berdiri untuk memandangku yang sedang memperhatikannya dengan seksama dan tertegunlah kami berdua. Pada saat itu aku akhirnya bisa memastika kenapa wajah anak kecil itu terllihat familiar.

"Rose?" tanya laki-laki itu.

Aku sempat terkejut karena dia masih mengingatku, apalagi namaku. Aku mengangguk.

"Ka Theo, kakaknya Jay kan?" tanyaku dengan suara ragu, meskipun dalam hati aku sudah sadar dari awal siapa dia.

"Leodarno Theodora," lanjutnya sambil menunjuk dirinya.

"Iya, halo, apa kabar ka?" tanyaku mencoba menahan rasa antusias yang meluap-luap di dalam diriku. Akhirnya aku menemukan orang yang bisa menghubungkanku dengan Jay.

"Baik," jawabnya.

Ka Theo adalah salah satu saudara Jay yang kukenal, dan mereka berdua memang mirip, hampir seperti anak kembar.

"Ini Jason, anakku. Kami baru datang dari London. Sekarang sedang menunggu jemputan."

"Oh ya, I guess Aunty itu kah?"

"Iya."

Aku hanya mengangguk.

"Kamu baru kembali dari Aussie?" tanya Theo lagi.

Dengan cepat aku menjawab "Iya." Meskipun aku bertanya-tanya dari mana dia bisa tahu aku ada di Aussie selama ini?

"Kerja?"

Aku mengangguk. "Kakak sendiri?"

"Aku di manajemen hotel di Bali, kami sekeluarga tinggal di sana sekarang, ini ke Jakarta untuk urusan keluarga."

"Oh.." adalah satu-satunya jawaban yang bisa kukeluarkan.

Theo hanya tersenyum. "Pokoknya kapan-kapan kalau ke Bali, telepon aku." Theo kemudian memberiku kartu namanya.

Aku menerima kartu nama itu, membacanya sekilas dan mulai mengaduk-aduk tasku untuk mengeluarkan satu kotak hitam berisi kartu namaku dan memberikan satu padanya.

"Nanti aku akan bilang ke Jay kalau aku bertemu sama kamu di sini," ucap Theo sambil tertawa.

Betapa cara dia tertawa mengingatkanku pada Jay.

Aku berdebat dengan diriku sendiri. Apakah aku berani untuk bertanya atau tidak. Akhirnya aku memberanikan diri. "Apa kabarnya Jay? Sudah lama aku tidak bertemu dengannya."

"Hah?! Belum bertemu? Selama ini kalian masih belum bertemu?!" tanya Theo dengan nada agak-agak bingung. "Dia baik-baik saja. Kami juga datang ke Jakarta karena hari Minggu nanti dia tunangan, jadi kurasa kamu harus ada untuk persiapan hari H-nya."

Begitu mendengar kata tunangan aku langsung lemas.

I am an idiot. Aku memarahi diriku sendiri yang tidak pernah memberanikan diri untuk menghubungi Jay selama ini. Kini harapanku untuk mendapatkan Jay sudah benar-benar pupus. Aku mencoba untuk tidak menunjukkan emosiku yang sebenarnya.

"Oh," ucapku sambil tersenyum kaku.

"Kamu sepertinya juga kenal sama calonnya. Yasmine."

Aku memandang Theo bingung. Yasmine? Siapa dia? Memangnya aku kenal dengan Wanita Bernama Yasmine?

Tiba-tiba seorang wanita bergegas menghampiri kerumuman kecil kami. Aku langsung tanggap bahwa wanita ini pasti aunty yang dimaksud oleh Jason. Jika dilihat sekilas Wanita itu memang mirip sekali denganku, bentuk tubuh, tinggi dan potongan rambut kami sama persis. Aku sekarang mengerti kenapa anak Theo bisa mengira aku adalah wanita ini.

"Ka, ayo kalian sudah siap? Ka Jeny menunggu kalian dirumah" tanya wanita itu.

Saat wanita itu sudah cukup dekat, sadarlah aku siapa dia. Yasmine. Ia adalah wanita yang kukenal sewaktu SMA dulu. Aneh, kenapa Yasmine datang menjemput Theo? Memangnya mereka kenal? Baru beberapa detik kemudian aku sadar siapa Yasmine sebenarnya.

"Rose, ya ampun, kamu kemana saja?!" tanyanya sambil bergerak memelukku. Aku mencoba untuk tidak terlihat canggung, sekarang aku sadar bahwa Jay akan bertunangan dengan Yasmine, hatiku bagaikan hancur lebih berkeping-keping lagi. Kusadari bahwa Yasmine adalah salah satu perempuan paling cantik sewaktu SMA sampai kuliah dan Jay selalu suka padanya. Tanpa disangka-sangka ternyata jodoh tidak lari jauh. Lebih parahnya lagi, aku selalu suka padanya. Walaupun tidak pernah akrab, tapi kami cukup mengenal satu sama lain.

Aku mencoba memberikan pelukan yang senormal mungkin. "Baik, ya ampun aku tidak menyangka ternyata calonnya Jay itu kamu."

Yasmine sempat tertegun, mencoba menebak dari mana aku mendapatkan ide itu, tapi kemudian Theo memberikan kode yang menandakan bahwa informasi itu datang darinya dan Yasmine pun tersenyum maklum.

"Iya.. sorry aku tidak sempat mengundangmu, tapi acara tunangannya hanya untuk keluarga dekat saja."

"Aku mengerti. Selamat ya," balasku, mencoba meringakan suasana.

Kemudian beberapa detik berlalu di dalam keheningan yang tidak nyaman. Aku sangat bersyukur ketika Theo mengatakan bahwa mereka harus berpamitan.

"Kita harus pergi sekarang, yang jemput sudah datang, sampai jumpa lagi, Rose" ucap Theo sambil mencoba menggendong Jason yang sekarang sedang berusaha keras untuk mendapatkan perhatianku dengan menarik-narik tas tanganku.

"Bye," jawabku sambil menepuk-nepuk kepala Jason. Kemudian berlalulah mereka. Beberapa saat kemudian aku melihat ayahku.

***

Dua minggu setelah pertemuanku dengan Theo yang sangat tidak disangka-sangka itu aku hanya bisa menyimpan berita duka tersebut dan tidak menceritakannya kepada siapa-siapa. Aku merasa orang-orang di sekitarku cukup sibuk dengan urusan mereka hanya untuk mendengarkanku bercerita tentang 'temanku' yang akan menikah. Sangat tidak masuk akal. Tapi sejujurnya, alasan utama mengapa aku tidak menceritakan hal ini kepada siapa-siapa adalah karena tidak ada satu pun yang tahu tentang obsesiku pada Jay.

To Be Continued

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

JaneJenacreators' thoughts