webnovel

9. Rumah itu Kamu

Surabaya, 2027

Yasmine

Jay muncul dan membuat kehebohan di sekolah tempat murid-muridku berkumpul. Dia membagikan oleh-oleh pada anak-anak. Beberapa anak yang belum pernah bertemu Jay sebelumnya, ikut mendapatkan oleh-oleh. Walaupun awalnya mereka canggung, melihat ekspresi teman-temannya yang begitu dekat dengan Jay, mereka jadi tidak lagi canggung. Aku tersenyum melihat kehebohan itu. Di dasar hatiku, aku merasa jauh lebih riuh dari teriakan anak-anak saat itu.

Begitu Yura berhasil mengalihkan perhatian anak-anak pada istirahat siang, Jay segera mendatangiku dan memelukku.

"Kamu pucat dan kurusan, Mine?"

Aku tersenyum. "I miss you."

"Kamu bilang 'I miss you', tapi diajak nikah kamu tolak?" Jay mengacak rambutku.

Aku mengajak Jay ke tempat anak-anak makan siang. Kami berbaur dengan keriuhan pagi yang hampir setiap hari aku rasakan.

"Sekarang sekolah ini juga punya pelatihan untuk orangtua mereka. Ada yang mendanainya."

"Wah, hebat. Kamu semakin tidak bisa meninggalkan mereka kan?"

Aku tersenyum. Mencoba mencari tahu, apa makna di balik kalimat Jay. "Kamu lebih senang kalau aku tidak bisa meninggalkan Surabaya, atau lebih senang kalau bisa?"

"Aku lebih senang kalau kamu tidak sepucat ini, sedikit agak berisi dan tersenyum bahagia setiap saat."

"Cie… cie!" Jaka mencoba menirukan suara siulan dengan mulutnya.

"Anak kecil! Kamu tidak boleh menguping!" aku pura-pura melotot padanya.

"Ibu Yasmine selama ini terus memikirkan Abang Jay terus itu, sampai kurus." Jaka malah seperti diberi keberanian untuk bicara.

"Apa sekarang gurumu ini punya pacar lagi, Jaka?" tanya Jay.

Jaka mengarahkan ibu jarinya ke bawah, lalu bersembunyi di antara kerumunan temannya.

"Dia memang anak pintar."

"Bisa dibilang, dia ketua kelas di kelasnya."

"Jadi, apa yang terjadi selama ini?" tanya Jay.

"Banyak. Beberapa murid baru, Yura sudah menikah. Sekolah ini dapat sponsor dari beberapa organisasi lain, pemerintah mulai melirik kami, aku tidak tahu, semoga tujuannya bukan karena pemilu sebentar lagi."

Jay menghentikan kalimatku, "Kamu sendiri, apa yang baru?"

"Ada," aku diam.

Jay menunggu. "Yaitu?"

"Kamu butuh asisten tidak, untuk acara-acara kamu di luar negeri tahun ini?" tanyaku.

Jay memandangku dengan mata berbinar. "Kamu?" tanyanya.

"Iya, aku mau jadi asisten kamu."

Jay mencium tanganku.

"Beberapa tahun sudah berlalu, aku benar-benar mencoba keras untuk netral. To be honest, tahun lalu adalah tahun yang berat untukku. Untuk pertama kalinya, aku berani menyebrangi rasa takutku sendiri, berani keluar dari zona amanku dan waktu itu aku tidak pernah berpikir bahwa itu bisa menjadi gerbang untuk sebuah dunia baru."

Aku berhenti lagi.

"Dan aku berpikir, bahwa duniamu yang selama bertahun-tahun menjadi hantu bagiku, rupanya adalah dunia yang indah."

Jay tersenyum.

"Sejak pulang dari Eropa, aku tidak bisa berhenti memimpikan kota-kota kecil di dalamnya. Rumah-rumah berwarna-warni, salju, bunga tulip, gereja-gerejanya," aku diam sebentar, "… dan kamu."

Jay menunjuk dadanya dengan mimic bertanya.

Aku mengangguk.

"Tawaranku masih berlaku," Jay menggenggam tanganku. "Selama langit masih belum kita sentuh, aku masih mau terus berjalan. Dan, aku lebih suka kalau aku tidak sendirian."

Mataku berkaca-kaca. "Holy crap, kenapa ini?! Ada banyak sekali anak-anak di sini. Aku mau menangis." Aku mencoba mengalihkan wajah ke arah lain.

"Aku tidak memintamu meninggalkan mereka selamanya. Menikahlah denganku. Kamu bisa tinggal di manapun kamu mau. Kamu boleh bersamaku dan menjadi petualang di luar sana, atau kalau kamu merindukan Surabaya, kamu bisa pulang. aku akan menemanimu," ucap Jay.

Aku menatap Jay tidak percaya.

Jay tersenyum. Ditariknya kepalaku ke dadanya. "Semoga kali ini orangtuaku masih mau menerimamu. Aku takut saja, mereka kapok," katanya menggodaku.

Aku tersenyum. "Aku janji, kali ini tidak akan batal lagi. Cincinnya juga masih aku simpan."

Jay tersenyum. "Lupakan cincin yang lama. Aku sudah punya yang baru. Aku sempat membeli cincin buat kita saat aku di Vanice. Tapi, karena saat itu kamu minta waktu, cincinnya aku bawa ke mana-mana. Aku berharap saat seperti ini akan datang."

Aku memeluknya. Aku benamkan kepalaku ke dadanya. Ini adalah siang yang pernah aku impikan bertahun-tahun lalu, yang baru bisa terwujud setelah aku berani melawan rasa takutku, berani menentukan pilihan. Kupu-kupu di dalam perutku beterbangan.

"Kita tidak akan berhenti bertualang, sebelum sampai di bulan. Dan aku akan memastikan, kamu yang ada di pelukanku, waktu aku menginjakkan kaki di sana," bisik Jay.

To Be Continued

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

JaneJenacreators' thoughts