webnovel

Seberkas Cahaya

Selama Elena ada di samping Rizki, ribuan tanda tanya tumbuh berkembang di kepalanya. Tapi tak ada sedikit pun nyali untuk Elena bertanya.

Sesekali Elena menengok ke belakang, hanya punggung Rizki yang nampak bagai malaikat. Ingin rasanya ia mengelus punggung itu, tak seperti malam biasanya yang selalu punggungnyalah jadi santapan para lelaki nakal.

Rasanya Elena merasa tidak pantas di tempat itu.

'Tuhan, apa ini malaikatku?' Pikir Elena menatap nanar punggung Rizki.

"Santai saja! Tidak perlu di jawab hari ini juga, kamu boleh memikirkannya terlebih dahulu. Kalau nanti kamu sudah mendapatkan jawabannya, hubungi aku di sini!"

Lengan Rizki menggeser sebuah kartu berwarna biru muda berisikan identitasnya di atas meja rias hotel itu.

Setelah beberapa menit saling diam, Rizki membuka kancing lengan kemejanya, juga semua kancing yang berbaris di deretan depan dadanya yang hanya membuahkan telanjang dada saja.

Elena sungguh terpesona. Hatinya melayang hingga tak tau arah, penglihatannya masuk ke rongga dada Rizki dan memanjakan matanya detik itu juga.

Hampir dua tahun ia tidur dengan berbagai jenis pria, tapi hanya lelaki di sampingnya ini yang membuatnya lumayan bergairah.

Di kira Elena, dirinya akan menerima setitik sentuhan dari Rizki, dan sudah membuatnya percaya diri.

Rizki malah menarik handuk bertuliskan nama hotel itu, lalu melirik Elena sebentar dan meninggalkannya untuk segera membersihkan diri di bathup hotel.

"Huft! Ada apa dengan aku?" bisik Elena menggampar-gampar pipinya. Di kira dia sedang mimpi, eh pipinya memerah dan sakit tanda semua yang sedang ia jalani adalah kenyataan.

Selang Rizki menikmati air hangat yang tersaji, Elena masih bisa santai berleha-leha tanpa harus melihat wajah mami di sana. Sambil mengelus perutnya, Elena tersenyum merona.

"Nak, menurutmu bagaimana? Walau dia bukan ayah kandungmu, tapi ibu rasa dia akan bertanggung jawab Nak?!"

"Akhem!" Dehaman Rizki menyambar.

Elena langsung terperanjat bangkit dari leha-lehanya setelah beberapa detik bisa menambah energinya bersantai ria.

Kembali detak jantungnya bergetar. Melihat Rizki hanya berbalut handuk di bawah perutnya sungguh menggemaskan.

"Ada apa?" tanya Rizki melirik heran.

"Tidak ...," Elena menggelengkan kepala berulang kali.

"Apa gak pernah lihat lelaki telanjang?" Sindir Rizki.

Elena yang tadi mulai ceria seketika menunduk sedih mendengar sindiran itu.

Sengaja kata-kata itu di lontarkan oleh Rizki hanya untuk memberi peringatan pada Elena, bahwa siapa dirinya sebenarnya, dan sedang berhadapan dengan siapa dia sekarang.

Rizki hanya tak ingin membuat Elena larut dan besar kepala, akhirnya jarak itu sengaja ia buat berupa sindiran saja.

'Aku tahu, aku hanya pelacur.' Jerit Elena dalam hati merasa terdampar.

Usai berpakaian rapi, Rizki melirik jam tangannya, jarum jammenunjuk angka 23.00.

Ini saatnya ia mengakhiri pertemuan yang bentuknya masih tanda tanya itu.

Sebelum ia pergi, Rizki berdiri di hadapan wanita berambut curly itu.

"Ini untuk kamu!" Secepuk uang dibuntal oleh amplop berwarna coklat, "Dan berikan ini untuk majikanmu!" Lanjutnya memberikan buntalan uang lain untuk di berikan pada Mami.

"Ingat, uang itu harus sampai ke tangan Mami! Aku akan merencanakan pertemuan selanjutnya, dan setelah ini kamu bertingkahlah seperti biasa!" Pinta Rizki membetulkan baju kantorannya. Sedang Elena tidak punya kata-kata lain selain mengangguk dan menyebut kata "Iya!"

Setelah hampir setengah jam berlalu, ketika Elena di tinggalkan Rizki sendiri di kamar itu. Kini gilirannya untuk keluar dari kamar.

Di sambut para bodyguard, kini Elena di perlakukan dengan special lagi.

Berbeda dengan sebelumnya, kini Elena hanya pulang di temani dua bodyguard saja. Tak ada Mami, dan tidak juga Verrel pacar Mami.

Tangannya tak henti memainkan kain roknya dengan tangan bergetar cukup gugup.

"Gimana? Enakkan kalau nurutin kita?" canda salah satu pria bertubuh kekar itu.

"Masa gak enak? Udah di elus orang kaya, kasurnya juga bau duit," celoteh keduanya terkekeh menertawakan Elena.

Sampai di rumah bordir, Mami sudah menyambut Elena di bibir pintu dengan tepukan tangan yang berayun pelan.

"Udah hebat ya? Sekalinya turun, dapat kelas kakap?" Sambar Mami.

Melihat Mami, tubuh Elena mengerut ketakutan. Masih tersimpan rasa terauma dari tingkah-tingkah Mami sebelumnya yang kaya binatang. Elena menggejat dambil memeluk perutnya bentuk perlindungan.

"Jangan takut! Mana duitnya?" Mami, menengadahkan tangannya langsung pada pokok pembicaraan.

Sebelum Mami bertingkah kasar dan menggeledahnya, Elena segera mengeluarkan amplop titipan Rizki, dan menyembunyikan amplop lain di sela tas kecilnya.

Mami menyambar sambil tertawa lebar. Masih hangat uang muka dari Rizki sore tadi, dan di tambah setumpuk uang penutup dari pekerjaan Elena, kini Verrel melihat Mami hujan duit di atas mejanya.

"Bawa dia ke kamar VIP!" Titah Mami selanjutnya cukup menentukan malam hari yang nyaman tak seperti sebelumnya.

***

Mobil Rizki kini sudah terparkir di depan rumahnya. Sebuah lahan puluhan hektar, lengkap dengan taman bermain, dan tempat bercocok tanam yang sangat luas.

Udara sejuk masuk kedalam hidungnya, dari pada di hotel yang kesejukannya di buat-buat oleh parfum olahan untuk ruangan.

Tempat ternyamannya, setelah kantor itu adalah rumah. Tempat shotting hanya tempat dimana dirinya harus beradu dengan polusi luar saja.

Setelah mobilnya terparkir aman dia memainkan kunci rumahnya yang bergandengan dengan kunci mobil dalam satu gantungan. Seperti tidak terjadi apa-apa, dia hampir masuk ke istana berbalut cat serba putih itu.

Krek!

"Mas Rizki? Sudah pulang?"

Sontak Rizki menenggak kaget. Tas kantoran masih di tenteng olehnya, lalu melempar senyum yang sangat lebar di bibir berkumis tipis itu.

"Aku pulang, Sayang! Di kantor kerjaannya numpuk banget, Aku capek, Yang!"

Rizki mencium kening istrinya tanpa memikirkan apapun, melewati istrinya dan berjalan lebih dulu.

Mahira diam terpaku mencium sebuah aroma yang tak biasa di tubuh suaminya yang pulang kerja tepat tengah malam.

"Kerja apa sampai selarut ini, Mas?" Tanya Mahira masih berdiri di bibir pintu.

"Hah?" Rizki celingukan seperti orang bodoh.

Kedua matanya pun saling beradu, 'Mana mungkin dia pulang kerja dengan wajah sesegar itu? Biasanya wajah lusuh nampak sekali di wajahnya. Jangan-jangan?' Pikir Mahira melayang.

"Sayang, iini sudah malam. Ayo masuk! Tutup pintunya rapat.

Sambil menutup pintu, matanya terus tidak bergeming. Pikiran-pikiran aneh terus melayang menghantuinya. Mahira menyangka suaminya sudah berbuat macam-macam, semua terbukti dari aroma tubuhnya yang tak biasa.

Sekarang kepercayaannya terhadap suami yang ia puja-puja ternoda.

Sampai di kamar, sebelum keduanya melepas penat setelah bekerja seharian, Mahira tetap ragu mendekati suaminya sendiri. Tapi berlainan dengan Rizki yang menampakan kasih sayangnya yang sangat dalam. Ia memeluk istrinya erat di atas ranjang. Sebelum ia memejamkan matanya, bahkan Rizki sempat mengelus kening Mahira, dan memberi kecupan mesra.