webnovel

Kobaran api cemburu

Sampai di ranjang ternyamannya. Elena sangat bersyukur tidak lagi tidur di kamar yang apek.

Tak akan ada lagi nyamuk yang akan menjadi vampir penghisap darah segar malam ini. Televisi LCD, dan handphone menjadi fasilitas pribadi yang di berikan Mami sebagai sebuah reward.

Masih belum percaya pada kejadian malam itu, dia menghabiskan pikirannya dengan lamunan. Hari yang sudah mulai pagi, Elena masih memakai atributnya bekas semalam. Duduk depan meja riasnya, Elena menatap uang yang menumpuk pemberian Rizki. Pelan ia melebarkan kertas itu menyerupai kipas.

'Apa ini asli uang?' Pikirannya melayang. Ia mengubur kembali uang itu kedalam amplop, dan meyempilkannya masuk kedalam tas tentengnya.

Terlintas ia ingin segera mengembalikan kembali uang pemberian dari Rizki itu. Sudah mendapatkan berita baik dari Rizki untuk di persuntingnya saja itu sudah cukup. Terlebih, Elena tidak bisa menerima uang tanpa ia bekerja terlebih dahulu. Walau pekerjaannya haram, tapi seenggaknya, dia mengeluarkan keringat untuk lembaran kertas berwarna merah itu.

Kali ini, Elena bertingkah bodo amat. Dia ingin sekali menutup telinganya, bertingkah survive mengontrol perasaannya agar tidak selalu lemah.

Lalu, ia melemparkan tubuhnya di atas kasur empuk sembari menarik nafas lega, dan tanganya menggantung ke atas sambil melihat isi handphone yang sudah beberapa hari di sita Mami.

"Huft, handphoneku! Kangen banget." Sambil memainkannya. Membuka banyak pesan yang sudah hampir tiga hari tertimbun setelah kejadian rencana malam itu yang gagal total.

Tak terasa olehnya, sekarang perasaannya lebih plong dari sebelumnya, bisa jadi semua itu gara-gara lamaran dari Rizki semalam. Ia merasa tak perlu mendapatkan lagi perintah dari mami untuk menjajakan dirinya sebagai barang dagangan.

Saat santai-santainya, Pintu kamar terbuka perlaha hingga tak terdengar bunyi suara membuka di pintu itu.

Sepasang mata menatap Elena yang sedang asyik dengan handphonenya, terkekeh, dan tergelak tawa membaca celotehan banyak temannya di balik inbox handphonenya yang sempat mengejeknya atas percobaan kabur beberapa hari yang lalu.

"Sepertinya kamu sedang senang?" Tanya lelaki di balik pintu itu mengejutkan Elena di ranjangnya hingga terperanjat bangun dan mundur menyudut.

"Tuan Verrel? Ada apa ke sini?" Elena yang polos terlihat gugup.

"Hmmh, Kamu cantik kalau sedang gugup seperti itu," Sanggah Verrel mulai mendekat ke arah ranjang.

"Maaf! Aku mohon jangan mendekat, Tuan! Apa kata Mami jika dia tahu?" Pinta Elena kalang kabut.

"Gak usah takut! Mami sedang pergi keluar."

"Anak buah Mami?"

"Mereka ikut. Kecuali Pak Tono, ach tua bangka itu pasti bisa tutup mulut," Sergah Verrel menganggap sepele pada Pak Tono.

Mendengar semua penjelasan Verrel, Elena semakin ketakutan. Jelas dia sangat takut dengan tatapan nakal Verrel.

Ia mengingat masa-masa sebelumnya, ketika malam hampir lenyap, dan pagi mulai akan datang, saat semua penghuni rumah bertingkat itu sudah sepi. Pacar Mami yang paling di sanjung itu membisikan sesuatu di telinga Elena.

"Ingat! Janin di perutmu adalah anakku." Bisikan Verrel sebelum tragedi kabur saat malam itu di lakukan oleh Elena.

Entah mengapa, Elena sama sekali tidak yakin akan hal itu karena banyak lelaki yang menidurinya selama ini. Tapi percaya diri Verrel sangat menonjol, setiap malam hanya lelaki itu yang menghantui Elena sampai ingin segera keluar saja dari tempat itu.

"Aku mohon Tuan, jangan melakukannya lagi! Aku lelah!" Tolak Elena berpura-pura saja.

"Tenang saja! Aku hanya ingin menengok anakku saja!" balasnya sangat aneh.

'Tak di sangka, lelaki seganteng Tuan Verrel bisa segila itu.' Pikir Elena.

Verrel melangkahmendekati Elena, sedang geratan dan degup jantung Elena semakin menajam. Ketakutannya sudah sangat ada di puncak, sampai ia hanya bisa memejamkan mata. Ketika jarak itu semakin dekat, ketakutan Elena terhenti karena Verrel hanya mengelus perut buncit berisi janin itu.

Sesekali, Verrel menyimpan telinganya di dasar perut, mendengar aktivitas dalam perut dari bayi yang di kandung Elena.

***

Pagi hari, Mahira sudah bangun lebih dulu di bandingkan suaminya.

Beberapa menu makanan di siapkan di atas meja dengan aroma yang cukup menendang. Walau dia memiliki beberapa pembantu rumah tangga di istananya, tapi Mahira tidak malas untuk menyajikan hal yang special untuk lelaki tercintanya.

"Tolong ambilkan tisunya ya bi!" Suruh Mahira pada salah satu pembantunya. Tangannya sibuk merapikan makanan di meja besar berbahan kayu jadi dan ukiran yang kekinian.

Dia tak mau mengecewakan suaminya, setelah ia mengingat kejanggalan yang terjadi semalam tentang aroma wewangian cewek dan wajah yang segar dengan rtambut yang basah.

Setelah menuruni anak tangga, akhirnya Rizki melihat semua hasil karyanya dari istrinya yang sangat menggugah selera.

"Sudah bangun sayang?" Sambut mahira.

Rizki tersenyum manis melihat istrinya berwajah kuning langsat. Sebelum menyentuh makanan yang di sediakan, Rizki langsung merangkul istrinya, lalu mencium keningnya penuh kehangatan.

"Terimakasih sayang, kamu memang istri impian." Sanjungnya.

Wajah Mahira memang mengiyakan, tapi ada perasaan tersembungi di benaknya atas sebuah ketakutan.

"Tumben manja sekali?"

Para pembantu pun ikut baper melihat kemesraan suami istri itu, sudah kaya, cantik dan ganteng, baik hati juga.

Doa terbaik selalu bertaburan dari para orang terdekat mereka dan juga pembantu mereka yang sudah di anggap seperti keluarga sendiri. Dengan cara mengintip, para pembantu meyakinkan hati mereka bahwa tuannya masih pantas untuk diikuti.

"Mahira!"

"Ya?"

"Apa kamu cinta sama aku?" Tanya Rizki menghentikan tangannya yang sibuk menyajikan nasi di atas piring untuk Rizki.

Mahira menggeser bangkunya dengan punggung kaki.

Krek!

Ia mendekat, lalu membetulkan dasi yang terlihat miring di lingkar leher Rizki.

"Kenapa Mas nanya gitu? Jangan bicara Cinta! Kita bersama sudah hampir 8 tahun. Bukan cinta lagi yag tumbuh di sini, tapi sayang yang sulit untuk aku ungkap lagi." Papar Mahira dengan telapak tangan masih terletak di dasar dada suaminya.

"Terima kasih sayang!"

Entah kecupan keberapa kalinya, Rizki seperti tak ingin kehilangan Mahira.

Ekhem!

Suara di balik dapur membuyarkan kemesraan keduanya, jadi saling beradu senyuman. Rizki dan Mahira tahu kekonyolan dari para pembantunya yang kompak membuat rumah ramai tanpa kehadiran seorang buah hati.

Usai sarapan, Mahira memakaikan jas kantoran milik Rizki di tubuh suaminya.

"Mas pulang lebih awal 'kan malam ini?" Tanya Mahira masih membantu Rizki membawakan tas berisi dokumen penting. "Gak ada jadwal shooting 'kan?"

"Aku janji pulang lebih awal ya sayang!" Ayun tangan Rizki di atas kepala berambut halus itu. Ia berjanji dengan fasih, setelah memikirkan dalam-dalam tak ada rencana lain malam ini.

Tak ada lagi kebahagiaan lain dari mahira selain dia pulang lebih awal dari pada biasanya.

Saat Rizki hendak masuk mobil mengkilatnya, dia terpaku sejenak melihat isi handphonenya setelah mendapatkan getaran yang masuk ke inboxnya.

"Aku Elena. Pak! Bisakah malam ini Elena bertemu dengan Pak rizki?" Isi pesan itu membuat Rizki bingung.

Baru saja ia berjanji pada Mahira tak mau pulang telat, tapi takdir mengatakan lain.

Bersambung ...