webnovel

Rencana untuk Pergi

Keesokan harinya, Mahira merasa tercengang saat ia membuka matanya dan memegang area kasur lainnya, sudah tidak mendapati Rizki di sampingnya.

'Kemana dia?' pikir Mahira seperti kehilangan sesuatu hal yang berharga.

Ia sontak menoleh seluruh ruang kamarnya dan sama sekali tidak melihat sosok pria yang ia idamkan semalaman.

Mahira mengibas kencang selimut yang melilit di dadanya lalu bangkit dari ranjang itu.

Ia berniat untuk turun ke ruangan bawah namun setelah di dengar-dengar, ternyata di balik pintu kamar mandi terdengar suara keran yang sedang mengeluarkan airnya.

Guyuran seseorang yang sedang mandi dan suara-suara lain yang di hasilkan oleh seorang pria yang sedang di dalam jamban.

'Pasti Rizki sedang mandi.' hati Mahira sedikit tenang mendengar semua pergerakan itu.

Mahira pun mengemas tempat tidur agar segera tapi sebelum Rizki keluar dari kamar mandinya.

Tapi, ia baru tersadar ketika seluruh wilayah ranjang sudah rapi kalau waktu itu menunjukan jam 06.00 pagi.

Mahira melihat jam persegi yang bersandar di atas dinding kamarnya.

'Sepagi ini dia sudah mandi? Tumben sekali?'

Menit kemudian Rizki keluar dari kamar mandinya dengan keadaan yang sudah segar. Masih ada beberapa cembulan air di depan dada bidang Rizki yang belum terhapus oleh handuk.

"Mas? Tumben pagi sekali sudah mandi?" tanya Mahira bergegas menyiapkan baju kantoran untuk Rizki.

"Sepertinya, aku akan pergi lama, Sayang."

"Pergi? Lama? Maksud Mas?"

Mahira merasa hatinya sedang di dobrak kencang karena kabar dadakan itu.

Rizki yang tidak mau ambil pusing dengan respon istrinya langsung menenggelamkan tubuhnya kedalam kemeja yang sudah tersedia di atas ranjangnya.

"Ada urusan kantor yang mendadak di luar negri. Aku harus pergi untuk mengerjakan tugas kantor itu selama berhari-hari."

"Tapi Mas?"

"Sayang. Tenanglah aku pasti pulang kok. Kamu tunggu saja di sini ya!"

"Kenapa kabarnya mendadak seperti ini sih Mas?"

Waja Mahira benar-benar sudah semrawut mendengar kabar itu.

Rizki berhasil membuat hati Mahira kembali kosong.

"Iya sayang. Maafkan Mas lupa ngabarin."

Kening Mahira sudah mengeriting, dan hatinya terasa sangat tercekik.

Sekilas terlintas di pikiran Mahira, bagaimana dia bisa punya momongan kalau Rizki yang belum menyentuh tubuhnya itu malah meninggalkannya dalam jangka waktu yang cukup lama.

"Tapi Mas?" Kecemasan yang di rasakan oleh Mahira benar-benar tidak terarah.

Seharusnya dia tidak merasa gelisah kalau tujuan Rizki benar-benar untuk pergi bekerja. Tapi rasa kosong seperti menjalari hati Mahira saat itu.

Rizki yang melihat raut wajah Mahira seperti itu langsung memegang kedua pundak istrinya.

Ia memfokuskan pandangannya pada bila mata Mahira.

"Sayang. Mas pergi paling satu minggu saja kok. Nanti Mas langsung pulang lagi, Ya!" Bujuk Rizki pada Mahira dengan anggukkan yang sulit untuk di tolak.

Dengan gerakan yang berat, Mahira pun menganggukkan kepalanya.

Senyum tipis terlihat melukis bibir Rizki. Lalu ia mengecup puncak kening Mahira dalam sekali.

Tak mau menampakan kesedihannya lagi, Mahira pun membantu Rizki untuk memakaikan dasi di lingkar lehernya.

Rizki berdiri tegak membusungkan dadanya, setelah semua selesai, Mahira membantukan suaminya untuk memakai jas hitam kebanggaannya.

Rizki benar-benar merasa tidak tega melihat wajah muram itu. Tapi apa boleh buat itu adalah satu-satunya jalan untuk mengupas masalah yang sedang menerpanya.

Mengingat beberapa jam sebelum ia bangun, Rizki mendapat pesan singkat dari Elena.

'Pak Rizki. Kenapa Bapak tidak menjawab telpon saya semalaman? Ada kabar buruk Pak. Mami akan membawa aku jauh dari kota ini. Kabarnya ada orang yang memesan aku lebih mahal lagi. Aku benar-benar tidak mau pergi Pak. Tolong bantu aku!'

Benar saja apa yang di pikirkan oleh Rizki sepanjang malam.

Pasti Elena sedang mendapatkan masalah yang sangat besar hingga ia berani-beraninya menelpon ponsel pribadi Abi tiada henti.

Hingga rencana kepergian itu tiba-tiba datang menyelimuti pikirannya.

"Mas, sarapan dulu sebelum berangkat ya! Biar aku siapkan dulu makanan untuk Mas Rizki!" ucap Mahira dengan suara sayunya.

Rizki yang sedang fokus dengan penampilannya, sama sekali tidak sadar kalau Mahira sudah turun lebih dulu.

Saat ini di pikirannya hanya ada Elena saja. Itu di sebabkan karena Rizki beranggapan kalau Elena satu-satunya kesempatan dia untuk menimang anak yang di kandung oleh Elena.

Plak.

plak.

plak.

Rizki menuruni anak tangga dengan cepat sekali sambil mengibas tapi kerah kemejanya.

Ia hendak pergi ke area dapur untuk menemui Mahira.

"Aku pergi dulu ya sayang!" kecupan hangat itu kembali menyambar kening Mahira.

"Mas? Sarapannya?"

"Nanti aku maka di jalan saja ya."

Mahira menghembuskan nafasnya lemah. Capek-capek dia memasak, hanya segelas susu yang sedikit melorot setelah di teguk oleh Rizki.

Ia membiarkan suaminya pergi begitu saja, dengan perasaan yang kosong.

'Mahira, kenapa kamu harus khawatir? Bukankan pekerjaan ke luar kota seperti ini sudah terbiasa? Tapi, kenapa kamu tetap khawatir? Tenang saja, nanti juga Mas Rizki bakalan balik lagi kok.' batin Mahira menguatkan dirinya sendiri lalu ia membuntuti Rizki yang sudah lebih dulu menunggangi mobil mewahnya.

"Hati-hati di jalan ya Mas!" teriak Mahira benar-benar melambaikan tangannya saat ini.

Rizki membalas lambaian tangan itu di balik jendela mobilnya.

Lalu ia melenggang pergi begitu saja.

Blugh.

Mahira pun melempar pintu. Lalu ia menghela nafas berat mengisi seluruh hatinya yang sesak dengan oksigen pagi itu.

Sedangkan Rizki yang tidak mau ketinggalan pesawat bergegas menancap pedal gas hingga mobil yang ia kendarai bergerak lincah melibas jalanan.

"Pak? Bapak dimana? Elena sudah hampir berangkat." pesan singkat itu datang lagi dari Elena dan di baca oleh Rizki sembari ia mengemudikan mobilnya.

Rizki yang mengkhawatirkan Elena karena takut kehilangan jejak Mami sialan itu bergegas kembali mengemudi dengan sangat cepat secepat kilat.

Ia mengabaikan banyak orang yang memarahinya di jalanan.

Yang terpenting saat ini adalah, dia harus cepat sampai di bandara untuk menghentikan Nia busuk Mami ketua rumah bordir itu.

Sampai di bandara, Rizki berlari kencang dengan mata liar melihat sekitar ruangan yang sangat luas.

Ribuan orang hilir mudik memadati loby itu, semakin membuat Rizki pusing dan bimbang.

Ia mencari jalan untuk mencari keberadaan Elena dan antek-antek dari Mami serta anak buahnya.

Berulang kali ia ingin mencoba menghubungi Elena namun nihil.

Ponsel yang di hubungi oleh Rizki sudah tidak aktif.

Sesaat ketika Rizki hampir menyerah dalam pencariannya, tiba-tiba suara nyaring itu terdengar menelusup kedalam telinganya.

"Pak Rizki!"

Deg.

Sontak Rizki menoleh ke arah pusat suara. Entah kenapa hatinya berdebar kencang.

Lalu repleks dia berlari menuju wanita berbadan dua itu.

"Elena?"