webnovel

Mature Female Knight

Buku dongeng? Itu adalah sebuah buku yang selalu dibaca Sophia, ia tergila-gila akan dongeng. Ksatria Wanita Menyedihkan, adalah dongeng yang paling disukai oleh Sophia walaupun memiliki akhir yang menyedihkan. Sophia selalu berkhayal untuk menjadi tokoh utamanya dan hal itupun menjadi kenyataan.

CeJLnoy · Fantasy
Not enough ratings
18 Chs

Malam yang Indah

Secara diam-diam Hera terus menerus memperhatikan Kharysor pada saat ia mengajaknya kembali ke camp.

"Ada apa?" Kharysor bertanya pada saat menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan.

"Ti-tidak ada," Hera salah tingkah.

Kharysor tertawa dalam diam. Jarak mereka menuju camp sudah dekat, Hera di sambut dengan cibiran Leucos.

"Bagaimana? Sudah puas menangis? Atau sudah lelah menangis?" Hera hanya diam.

Kharysor mengedipkan mata kirinya dan tersenyum. Hera membalas senyumnya hingga menampilkan gigi-gigi putihnya. Leucos menatap mereka berdua dengan bingung.

"Kalian pacaran?" tanya Leucos dengan ekspresi aneh.

"Tidak!" Hera dan Kharysor menjawab secara bersamaan.

Mereka berdua sama-sama tersentak.

"Sudahlah lupakan saja," Kharysor menarik Hera pergi sebelum Hera meminta maaf kepada Leucos.

Sebenarnya Kharysor sedikit kesal dengan tingkah laku Leucos kepada Hera, Leucos memang selalu membuat dirinya seakan lebih hebat dari pada Hera di hadapan semua orang bahkan Komandan Haides sekalipun.

"Aduh. Bagaimana jika Leucos berpikir macam-macam," kata Hera bingung.

"Biarkan saja," balas Kharysor santai.

"Yang benar saja," guman Hera.

"Hanya kita berdua yang tahu sebenarnya bukan?"

"Iya sih," Hera mengangguk pelan.

Mereka sudah sampai di perkemahan.

"Kau duluan saja, lebih baik kau istirahat agar lukamu cepat pulih."

"Ini hanya luka kecil Hera," sahut Kharysor.

"Kau sampai pingsan tadi kan?"

"Itu karena aku hampir tenggelam."

"Jika kau tidak terluka aku rasa kau bisa berenang," lanjut Hera.

Kharysor cemberut.

"Sudah sana istirahat!" Hera mendorong Kharysor ke arah campnya dan meninggalkannya.

Kharysor mengeluarkan senyumnya pada saat melihat punggung Hera yang perlahan-lahan menghilang.

Hera menuju ke tenda Komandan Haides.

"Permisi komandan," panggil Hera.

"Kau baik-baik saja Hera?"

Komandan Haides langsung berdiri dari tempat duduknya karena terkejut melihat kehadiran Hera.

"Ya."

"Baiklah mungkin aku bisa-"

"Tolong lupakan hal itu! Aku akan mengikuti arahan mu mulai sekarang, aku berjanji tidak akan mengatakan apapun tentang dunia nyata. Ya walaupun itu sulit," Hera terkekeh

Komandan Haides tersenyum bangga.

"Aku senang kau bisa berubah," Komandan Haides menepuk pundak Hera.

"Terima kasih."

"Tapi jujur saja aku melihat sosok Hera yang berbeda," Komandan Haides memberikan tatapan interogasi kepada Hera.

"Benarkah?" mata Hera terbelalak.

"Kau lebih berani."

"Apa? Aku bahkan tidak tahu bisa menggunakan pedang atau tidak."

"Kau yakin?"

Komandan mengambil sebuah pedang dan menyerang Hera tiba-tiba. Hera yang terkejut pun meloncat ke samping untuk menghindari serangan komandannya itu.

"Serangan balik Hera!"

"A-aku tidak bisa."

"Bohong," bentak Komandan Haides.

Hera tersentak mundur, Komandan Haides menyerangnya semakin buas. Komandan Haides menodongkan pedangnya sehingga membuat Hera panik, Ia jatuh terduduk karena menabrak tempat pedang. Beberapa pedang tergeletak di sekitarnya dan Hera langsung mengambilnya.

Tangg!

Pedang mereka berdua bersilangan, Hera menghela nafas berat. Komandan Haides semakin menekan pedangnya membuat Hera kewalaham. Hera tidak berhenti sampai di sana ia mengerahkan semua tenaganya dan mendorong pedangnya juga. Komandan Haides terlempar mundur.

"Bagus!" Komandan Haides menyarungkan pedangnya kembali.

Hera masih mengatur nafasnya.

"Lihat kau berubah. Kau berani melawan ayahmu sendiri," Komandan Haides membantu Hera berdiri.

"Ayah?"

"Kau bahkan melupakanku."

"Sejak kapan terdapat tokoh ayah Hera di buku dongeng," kata Hera membatin.

"Maaf jika seranganku terlalu berlebihan."

Hera mengangguk menandakan tidak apa-apa dan tersenyum.

"Istirahatlah sebentar!"

Hera mengangguk dan pergi.

Hera keluar camp dan ia merasa tak percaya apa yang baru saja terjadi barusan tetapi sisi positifnya, Hera menjadi lebih tenang daripada sebelumnya. Bahkan ia juga terkejut mendengar Komandan Haides berbicara secara kangsung bahwa ia adalah ayahnya.

"Aku ingin tahu, apakah bibi mencariku di sana?" Hera berguman.

Hera mengingat kembali masa dimana ia masih kecil. Sophia yang selalu diajak oleh bibinya ketika sedang bekerja di luar kota.

"Hera! Aku minta maaf atas sikap Leucos tadi," tiba-tiba Owen menghampirinya dan meminta maaf.

"Ah. Iya tidak apa-apa, tidak sepenuhnya salah dia kok."

"Kau tidak apa-apa kan?"

"Ya, tentu saja."

"Aku malah tidak enak dengan Leucos."

Owen mengangguk pelan.

"Aku hanya ingin menyampaikan itu, karena aku sedikit tidak nyaman jika tidak menyampaikannya."

"Ya, silahkan."

Hera tersenyum dan membuat Owen terkejut.

Malam pun tiba, pasukan Demure bersiap-siap untuk keperluan besok pagi. Mereka berangkat pagi-pagi buta. Sementara itu Hera sedang duduk sendirian di dekat perapian, waktu hampir tengah malam tetapi Hera nampaknya tidak bisa tidur.

"Hangat sekali," Hera mendekatkan tubuhnya ke perapian.

Tep!

Suara telapak kaki mendekat, membuat Hera berdiri dari duduknya. Ia mengendap-ngendap menuju ke arah suara yang ada.

"Kok aku takut ya," kata Hera di dalam hatinya.

Brukk!

Tiba-tiba seseorang menerjang Hera sehingga membuatnya terduduk.

"Siapa kau?"

Orang itu berlari terbirit-birit dan tidak menanggapi Hera. Hera berdiri dan berjalan sambil melihat kebelakang mencari-cari keberadaan orang itu, ia membersihkan pakaiannya sejenak.

Duk!

"Hei!"

Hera terkejut dan menutup mulutnya sendiri.

"Ssst. Ini aku," ia membuka maskernya.

"Kharysor? Sedang apa kau? Kenapa kau tidak istirahat?"

"Iya aku tahu dan aku tidak mau."

Hera memiringkan kepalanya bingung.

"Aku bosan, aku sudah tidur dari tadi siang kemudian makan dan sekarang tidur kembali. Yang benar saja," Kharysor mengomel-ngomel sendiri.

"Tenang dulu."

Kharysor mengusap-ngusap rambutnya kesal.

"Kemari!"

Hera mengajaknya duduk di dekt perapian.

"Kau sendiri sedang apa?"

"Aku tidak dapat tidur," jawab Hera.

"Kemana perbanmu?"

"Lukanya sudah menutup, jadi aku memutuskan untuk melepas perbannya.

"Kemana perbannya sekarang?"

"Sudah kubuang," jawab Kharysor singkat.

Hera berdiri lalu menuju ke dalam campnya dan ia keluar membawa sebuah kotak.

"Apa itu?"

Hera mengangkat kotak itu yang berlambang tanda tambah.

"Tidak usah lukaku tidak separah itu."

"Kau yakin?" Hera menyentuh pelan kening Kharysor.

"Akhh."

"Kan sudah aku bilang," Hera tersenyum nakal.

Kharysor malu sendiri.

"Da-rimana kau tahu?"

"Aku juga pernah."

"Benarkah?"

"Itu hanya kecelakaan."

"Kau kenapa?"

Awalnya Hera tidak ingin menceritakannya kepada Kharysor tetapi akhirnya ia menceritakannya.

"Pada saat itu aku terjatuh dari ayunan."

"Bagaimana bisa?"

"Salah satu temanku mendorongku."

Kharysor memandang Hera dengan ekspresi terkejut.

"Lalu kau bagaimana?"

"Ya, kepalaku terhantuk ke tanah dan lututku berdarah."

"Kenapa temanmu mendorongmu?"

"Entahlah."

"Kau diganggu oleh teman-temanmu di sana?"

"...Sepertinya bisa dibilang seperti itu."

"Kau tidak cerita kepada orang tuamu?"

"Aku anak yatim."

Kharysor terdiam mendengar pengakuan Hera.

"Sini!" Hera menarik kepala Kharysor mendekat.

Hera memasangkan obat kemudian membalutkan perban di kening Kharysor.

"Sakit?"

"Sedikit."

"Cepat sembuh ya!" semangat Hera.

Ia beranjak berdiri menuju camp tetapi ditahan oleh Kharysor. Kharysor menariknya agar tetap duduk di sebelahnya sehingga membuat Hera terkejut.

"Jangan pergi!"

Kharysor tiba-tiba memeluk Hera dengan sangat erat. Melihat hal itu terjadi, Hera menjadi ingin selalu ada di sisi Kharysor. Ia tidak ingin meninggalkannya hanya untuk kembali ke dunia luar. Hera membalas pelukan Kharysor.

"Istirahatlah!

"Kau juga."

"Selamat malam," ucap Hera melambaikan tangan.

"Malam," balas Kharysor melambaikan tangannya juga.