webnovel

Masa Mudaku Kisah Cintaku

Aku jatuh cinta. Cinta terlarang dengan teman sekelas. Seseorang dengan semua perbedaan yang banyak dan sulit. Bisakah aku mempertahankan cinta ini? Tidak banyak angsa pelangi di kelas buaya karena ada satu dua rubah betina dari planet lain yang suka merundung junior mereka. Bukankah itu hal biasa dalam sekolah? Atau masalah utamanya ada pada Anggi sendiri? Bagaimana rasanya setiap tahun berpindah sekolah? Itu adalah yang selalu dirasakan Anggi, ngenes kata orang. Lalu, ketika kamu sudah merasa telah menemukan kehidupan baru dan memiliki beberapa teman yang mengerti dan nyaman akan hal itu. Tiba-tiba kamu harus pindah sekolah lagi? - cover is mine

Ningsih_Nh · Urban
Not enough ratings
314 Chs

MKC 22 Memori Episodik

Melihat kelas yang sudah ramai gue hanya bisa mendesah kesal. Hari-hari sekolah gue yang seharusnya dinikmati seperti mereka yang tertawa riang gembira, bercanda tanpa beban atau sibuk menyalin PR milik teman itu bagi gue seperti sebuah fatamorgana di padang pasir pasir yang terik. Karena gue hanya sebutir debu di lautan pasir, tidak berarti apa-apa, membuat gue merasa rendah diri.

Apa salah gue?

Siapa yang tanpa gue sadari sudah gue sakiti?

Ini bukan karma karena gue mengabaikan Andi kan?

"Nggi... dipanggil Amad tuh. Suruh latihan katanya." teriak Ana dari arah pintu.

"Iya." balas gue bergegas mengambil kaos olahraga, berlari ke lapangan badminton. Gue nggak akan dapat apa-apa kalau hanya memikirkan hal tersebut, lebih baik lakukan apa yang bisa gue lakukan dan berguna bagi orang lain. Bukankah itu namanya manusia sebagai makhluk sosial?

"Anggi, lo hari ini kok nggak semangat." tanya Amad sesaat setelah kami selesai latihan. Satu minggu lagi lomba di Semarang tapi gue merasa nggak punya semangat.

"Iya maaf banget ya Amad. Gue lagi enggak karuan nih...perasaan gue nggak pernah ganggu siapa-siapa, kenapa gini banget rasanya.." oceh gue merancu tidak ada ujung pangkal. Dari awal latihan tadi gue memukul kok asal-asalan, pasti membuat Amad kewalahan menyeimbangkan posisi di belakang.

"Banyakin berdoa dan pinta petunjuk supaya diberikan jalan terbaik." saran Amad lalu pergi begitu saja.

Amad itu kalau bicara ya...pasti langsung dalem banget. Seperti ujung panah yang dilesatkan dan mengenai tepat disasaran, tapi bukan panah Arjuna melainkan panah penuh petuah nasihat.

Hari-hari berikutnya gue lalui masih dengan rasa yang sama. Masih diantar ayah berangkat sekolah, dan pulang jalan kaki dari pada merepotkan Ana yang juga sibuk persiapan lomba basket. Dan Budi yang terus menanyakan kapan mau menitipkan sepeda di rumahnya yang selalu gue jawab kalau ban sepedanya belum beli yang baru, masih dengan pelek karatan.

Gue juga sudah berdoa dan meminta petunjuk siang malam. Dan hasilnya adalah kami kalah di babak semi final. Membuat gue semakin down. Terpuruk. Rendah hati serendah-rendahnya. Dulu passion gue adalah badminton, sekarang karena kesalahan gue membuat partner bermain badminton ikut terkena imbasnya.

"Amad, maaf ya, gue yang salah." ucap gue tidak bisa menahan kecewa. Kami datang jauh-jauh dari Kebumen tetapi tidak mendapatkan piala itu rasanya... tidak bisa gue gambarkan. Dalam hati gue sudah menangis meraung-raung penuh penyesalan.

"Nggak apa-apa Nggi... kita sampai disini sudah bangus banger malah. Belum pernah ada generasi sebelum kita sampai propinsi." hibur Amad sambil menepuh pelan bahu kanan gue satu kali.

"Iya sih...tapi...tetap saja..." gue hampir terisak didepan Amad dan pak Pujo namun harga diri gue yang kelewat tinggi menahan air mata itu.

"Sudah ya Anggi, Amad kita istirahat 30 menit. Lalu pulang." tutup pak Pujo menuntun gue ke ruang ganti. Disitulah gue menangis, membiarkan kekecewaan akan diri gue  yang tidak layak ini mempresentasikan rasa.

Jujur gue malu meneggakkan kepala. Malu jika nanti menghadap ayah dan ibu. Malu jika nanti saat masuk sekolah bertemu dengan anak kelas. Bahkan malu dengan bayangan gue sendiri di cermin. Gue malu semalu-malunya. Perasaan kalah dalam pertandingan begitu hebat efeknya, ternyata.

Untuk sedikit mengobati perasaan gue akibat kekalahan gue akhirnya mengikuti saran Amad, pengajian pekanan di masjid dekat sekolah. Disitu untuk pertama kali gue bertemu dengan Umi Sarah, ketua pengajian yang gue hadiri.

"Assalamu'alaikum Umi, kenalkan saya Anggi dari sekolah sebelah." sapa gue grogi. Umi Sarah itu tipe ibu-ibu yang kalem, penuh aura keibuan dan murah senyum. Bukan hanya tangan gue yang dijabat bahkan gue dipeluk beliau. Pelukan khas ibu penuh rindu.

"Wa'alaikum salam mba Anggi." jawab Umi Sarah.

"Umi, bisa minta waktunya sebentar?" tanya gue ragu.

"Boleh. Mau curhat ya..." tebak Umi Sarah. Gue hanya diam tersipu, malu sebab ketahuan niatnya.

"Iya Umi." gue mengatur napas sebelum melanjutkan. "Begini Umi, bagaimana cara manajemen hati kita terutama saat dilanda rasa yang tidak karuan?"

"Galau maksudnya?"

"Mirip-mirip begitu deh Umi."

"Kuncinya cuma satu, jangan putus berprasangka baik kepada Allah. Ujian datang bukan karena Allah tidak sayang tapi karena Allah amat sangat sayang kepada hamba-Nya. Dan untuk remaja seusia Anggi tentu karena Allah ingin menguji hati supaya hati Anggi semakin kuat."

"Maksudnya gimana Umi?" jujur gue nggak paham.

"Bisa jadi rasa galau yang Anggi alami itu adalah buah doa dari orang tua Anggi yang senantiasa mendoakan kebaikan untuk anaknya. Orang tua ingin anaknya bisa bersikap dewasa, tidak salah langkah dan dijauhkan dari pergaulan yang tidak baik. Maka dari itu Allah menguji hati Anggi, sejauh mana Anggi bisa menjaga diri, menjaga kepercayaan yang orang tua beri..."

"Tapi kalau rasa itu tidak hilang juga padahal sudah banyak berdoa?"

"Bersabar dan terus berdoa. Bisa jadi belum terkabul karen Allah senang mendengar keluh kesah dan doa kita. Allah ingin terus mendengarnya disepertiga malam terakhir, disetiap dzikir kita atau di setiap puasa sunah yang kita lakukan sebagai jalan ikhtiar." terang Umi dengan suara yang menyejukan hati.

Mendengar apa yang baru saja Umi Sarah katakan kalau yang selama ini gue lakukan salah. Disaat dilanda masalah gue rajin berdoa, namun setelah masalah gue diangkat maka gue akan kembali lagi jarang berdoa. Disitu gue malu sekali.

"Umi, walau Anggi belum berhijab boleh kan mengikuti kajian rutin?"

"Boleh banget. Setiap muslim di wajibkan untuk terus belajar. Dengan begitu akan ada kesadaraan kearah itu dengan sendirinya. Pada akhirnya Anggi akan berhijab dengan sendirinya atas ijin Allah dengan cara yang indah." jawab Umi Sarah.

"Anggi belum siap untuk berhijab dengan baik Umi." adu gue.

"Jangan pernah bilang seperti itu. Berhijab itu wajib bukan soal siap atau tidak siap. Yang perlu Anggi lakukan sekarang adalah belajar, cari ilmu yang banyak selagi muda. Setelah banyak ilmu Anggi pasti akan berhijab dengan sendirinya tanpa perlu meragu tentang kesiapan. Anggi paham?" ujar Umi Sarah tanpa ada nada menggurui.

Nada bicara Umi Sarah yang lembut dan adem sampai ke hati tidak sekali pun membuat gue sakit hati atau pun melukai ego gue yang masih tinggi.

"Paham Umi." sahut gue mantap.

Sekarang gue sadar, ternyata curhat kepada orang yang tepat itu mampu mengangkat sedikit banyak kegalauan dalam hati gue. Ketimbang berkoar-koar tidak jelas kepada sembarang orang hanya semakin memperkeruh kejiwaan gue.

Kata 'berkorban' sudah mendarah daging dalam kamus hidup gue. Karena itu gue ikhlas menggunakan uang tabungan untuk membeli ban sepeda baru ketimbang menunggu ibu gajian yang masih lama.

-TBC-

cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705

Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?

Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.

Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/