webnovel

Masa Mudaku Kisah Cintaku

Aku jatuh cinta. Cinta terlarang dengan teman sekelas. Seseorang dengan semua perbedaan yang banyak dan sulit. Bisakah aku mempertahankan cinta ini? Tidak banyak angsa pelangi di kelas buaya karena ada satu dua rubah betina dari planet lain yang suka merundung junior mereka. Bukankah itu hal biasa dalam sekolah? Atau masalah utamanya ada pada Anggi sendiri? Bagaimana rasanya setiap tahun berpindah sekolah? Itu adalah yang selalu dirasakan Anggi, ngenes kata orang. Lalu, ketika kamu sudah merasa telah menemukan kehidupan baru dan memiliki beberapa teman yang mengerti dan nyaman akan hal itu. Tiba-tiba kamu harus pindah sekolah lagi? - cover is mine

Ningsih_Nh · Urban
Not enough ratings
314 Chs

MKC 21 Tembok Rata

Jujur gue sangat menyukai sepeda itu. Bahkan setiap pekan gue cuci walaupun tidak kotor yang berarti. Dengan merawat sepeda itu sebaik mungkin adalah perwujudan dari menghargai. Sampai akhirnya ada orang jahil yang merusaknya.

Rasa kesal akan hal itu begitu merajam. Membuat gue tidak bisa tidur.

Anggi : Edi, terima kasih untuk traktiran makan siangnya. Ban sepeda gue nggak usah diganti. Udah ketahuan ayah gue.

Gue mengetik pesan singkat itu dengan mata sembab. Masih tidak terima akan perlakuan orang jahil yang tidak tahu siapa itu.

Mulai hari ini sudah diputuskan kalau berangkat sekolah gue diantar oleh ayah. Dan untuk pulangnya terserah gue. Mau jalan kaki silahkan, menumpang teman yang satu arah boleh atau SMS ayag minta dijemput juga boleh banget. Gue merasa banget diperhatikan oleh orang tua sendiri sebaik ini, tetapi dengan sebab yang tidak menyenangankan begitu gue nggak mau.

"Belajar yang rajin. Jangan kebanyakan main." ucap Ayah sebelum meninggalkan gue di depan gerbang sekolah yang masih sepi.

Biasanya gue berangkat jam setengah tujuh lebih lima menit dari rumah, tapi karena gue sekarang berangkatnya diantar dan waktunya menyesuaikan yang mengantar yaitu jam enam lebih lima menit. Dari rumah ke sekolah naik motor memerlukan waktu tidak lebih dari lima menitan saja, otomatis gue kepagian sampai sekolah.

Belum banyak anak yang datang, hari ini gue juga tidak sedang tugas piket pagi jadi gue memilih untuk duduk di taman depan sambil membaca buku materi. Gue tidak begitu suka membaca novel kecuali tentang badminton.

"Eh ada lo Nggi...tumben banget pagian?" suara barito Budi dari arah belakang.

"Lo juga. Bukannya rumah lo ada di seberang jalan? Kenapa mau-maunya berangkat pagi..." acuh gue sebal ada pengganggu datang.

"Demi menghindari perang saudara gue memilih untuk pergi dan mengalah." jawab Budi sok puitis. Gue hanya mengangguk karena sedikit paham.

Budiman itu anak keempat dari lima bersaudara. Dari cerita dia gue bisa membayangkan bagaimana suasana rumah dengan banyak penghuni yang mana jarak usianya hanya terpaut tidak kurang dari satu tahun. Pasti ada saja bahan untuk ajang adu mulut setiap hari. Atau mungkin setiap saat mereka berkumpul.

"Bukannya enak punya banyak saudara?" tanya gue iseng sebenarnya. Cuma ingin tahu apa jawaban Budi yang sering kali nyeleneh.

"Kalo enak gue nggak bakalan mengadu tembok dan ada disini." jawab Budi yang sudah duduk disamping gue.

"Maksud lo?"

"Gue mau curhat."

"Curhat? Ke gue?"

"Ke dinding tembok! Ya elah, iya iyalah Nggi." erang Budi dengan mimik lucu. Rambut super ikal Budi ikut bergerak-gerak tidak beraturan seiring yang punya kepala menggelengkan kepala.

"Oke, oke. Sini gue dengerin. Mumpung lagi nggak ada kerjaan." desah gue dengan nada terpaksa. Mau curhat apaan coba makhluk aneh satu ini?

"Jadi begini, gue ada job dari Jonathan teman kelas kita untuk mencari belut tiga kilo dalam minggu ini. Nah, yang membuat gue galau adalah berapa harga belut per kilo yang harus gue tawarkan kepada Jonathan mengingat sekarang ini bukan musimnya belut." cerita Budi sok dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Nyaris gue tertawa namun gue tahan saat melihat tampang Budiman yang terlihat serius bukan main.

"Menurut hitungan matematika yang gue pahami..." gue mengambil napas sejenak, lebih karena menahan tawa menyadari gue sudah terbawa suasana yang Budi ciptakan. "...karena kelangkaan barang maka wajar apabila penjual menaikkan harga mengingat tingkat kesulitan untuk mendapatkan barang yang dimaksud. Persentase antara 150% sampai dengan 300% dari harga normal saat kondisi barang melimpah." jawab gue sekenanya.

"Jadi menurut Anda boleh saja menjual belut 3 kilogram dengan harga 500 ribu?" ucap Budi masih dengan muka serius.

"Selama pembeli mau membeli saya kira itu tidak ada masalah." kekeh gue tidak tahan lagi. Bahkan tanpa gue sadari tangan kiri gue memegang perut saking gelinya dengan apa yang tadi kita omongkan. Sumpah, ini Budi sarapan pagi pakai apa ya?

"Oke, gue SMS Jono kalo gitu." suara Budi sudah kembali normal lalu sibuk dengan HP android miliknya.

"Budi, emang beneran itu?" tanya gue tiba-tiba curiga kalau Budi sedang jahil ke gue di pagi hari.

"Beneran. Udah lama loh, kayaknya sejak Jono makan rica-rica belut masakan lo deh." ujar Budi masih serius dengan HP nya.

"Masa sih?" gue jadi curiga kalau belut-belut itu sebenarnya dijadikan objek penelitian oleh trio kibul alih-alih untuk dikonsumsi.

"Nggi, tumben nggak bawa sepeda. Biasanya kan lo datang jam tujuh kurang lima?" ujar Budi mengembalikan khayalan gue ke bumi.

"Oh itu...ada yang curi ban sepeda gue." aku gue jadi sebal sendiri. Kenapa didunia ini ada sifat yang namanya penasaran?

"Seriusan? Emang lo siapa Nggi? Lo udah ganggu anak mana?" decak Budi dengan nada tinggi yang tiba-tiba.

"Tau ah. Gue juga nggak paham. Gue kan cuma butiran debu di lautan padang pasir."

"Maka dari itu...atau jangan-jangan ulah Andi?"

"Nggak mungkin juga itu anak. Kayak kurang kerjaan." decit gue, emosi karena nama Andi dibawa-bawa.

"Makanya terima ajah cinta dia. Pacaran berapa hari gitu, terus putus baek-baek." ucap Budi sok memberi nasihat.

"Otak lo ya, isinya apa sih? Kasih saran nggak ada benernya."

Budi hanya tertawa mendengar ocehan gue.

"Gue kasihan sama lo, Nggi. Mending ya, besok-besok sepeda lo taruh di rumah gue aja. Cuma seberang sekolah, deket lagi dan lo nggak usah khawatir sepeda lo bakalan kenapa-kenapa." saran Budi, kali ini ada benarnya.

"Boleh tuh. Tapi nggak ada upetinya kan?"

"Astaghfirulloh... Nggi, lo bisa lihat dari sini halaman rumah orang tua gue luas, ada banyak pohon buah yang kalo gue mau sudah gue jadikan duit." oceh Budi pura-pura marah.

"Terus apa hubungannya? Nggak ada..." sanggah gue tidak paham.

"Nah itu tau. Gue tulus ikhlas mau bantu lo, gue lihat lo kasihan banget. Cantik enggak. Tomboy juga enggak. Dinding tembok semua lo punya badan...kok ada anak yang sudi gangguin lo sebegitunya." desah Budi dengan tangan kanan memegang dagu dan tangan kiri ia gunakan sebagai penyangga. Berlagak sedang berpikir keras.

"Iya ya Bud...kenapa ya?" gue juga heran. Mungkin anak itu otaknya geser, kurang kerjaan atau malah salah sasaran?

"Mungkin karena lo temen gue kali ya Nggi... ada demit yang nggak rela jadi ban sepeda lo dimakan." tawa Budi terpingkal-pingkal.

"Dasar buaya darat. Temennya demit." sembur gue lalu pergi meninggalkan Budi yang masih tertawa sendirian di bangku taman.

Kalau pun dipikir lagi, mana ada demit suka ban sepeda. Hanya anak dengan pemikiran seperti Budiman saja yang mau berpikir kearah itu. Tetapi, tawaran dia barusan boleh juga. Nanti deh gue bilang ke ayah.

-TBC-

cerita Masa Mudaku Kisah Cintaku versi lengkap hanya ada di Webnovel dengan link berikut ini: https://www.webnovel.com/book/masa-mudaku-kisah-cintaku_19160430606630705

Terima kasih telah membaca. Bagaimana perasaanmu setelah membaca bab ini?

Ada beberapa cara untuk kamu mendukung cerita ini yaitu: Tambahkan cerita ini ke dalam daftar bacaanmu, Untuk semakin meriah kamu bisa menuliskan paragraf komen atau chapter komen sekali pun itu hanya tulisan NEXT, Berikan PS (Power Stone) sebanyak mungkin supaya aku tahu nama kamu telah mendukung cerita ini, Semoga harimu menyenangkan.

Yuk follow akun IG Anggi di @anggisekararum atau di sini https://www.instagram.com/anggisekararum/