Jeanna mempercepat langkah untuk mengejar langkah lebar dan cepat Rain di depannya. Mereka memasuki butik pakaian mahal yang Jeanna melirik saja tak berani. Sekilas ia sempat melihat tag harganya dan Jeanna nyaris menjerit. Satu rok mini saja harganya berjuta-juta.
Pandangan Jeanna kemudian tersita pada stelan kantor wanita yang tampak elegan di manekin yang dilewatinya. Rok dan blazer-nya berwarna krem, sementara kemejanya berwarna marun. Jeanna bahkan tak berani memikirkan harganya. Dia hanya punya satu nyawa untuk dijual. Itu pun uangnya akan ia gunakan untuk …
"Aw!" pekik Jeanna ketika ia menubruk patung … uh, orang di depannya. Jeanna mendongak untuk melihat siapa yang ditabraknya dan ia langsung memekik kaget sembari melompat mundur melihat Rainlah orangnya.
"Ma-maaf, Pak!" seru Jeanna panik sembari menunduk dalam.
"Apa kau memasang matamu di kaki?!" bentak Rain.
Sebenarnya, memang ada yang namanya mata kaki, tapi tidak digunakan untuk melihat. Oh, apa yang dipikirkan Jeanna sekarang?
"Maaf, Pak." Hanya itu yang bisa diucapkan Jeanna. Bahkan di klub malam pun, Jeanna tidak mengucapkan maaf sebanyak ini untuk pengunjung klub. Terkadang dia bahkan mengancam dengan tuduhan pelecehan seksual. Biasanya, mereka yang menggodanya atau sembarangan menyentuh tubuhnya sudah mundur mendengar itu. Namun, beberapa yang mengamuk biasanya ditangani Silla dan karyawan lain.
Mungkin karena tidak ada Silla dan yang lain di sini, jadi Jeanna hanya bisa meminta maaf. Memangnya, apa yang akan dia lakukan jika tidak meminta maaf? Menuntut Rain? Bisa-bisa Jeanna yang dijebloskan ke penjara seumur hidup.
"Apa kau mendengarku?" Suara itu terdengar tajam dan berbahaya.
"A-apa, Pak?" Jeanna gelagapan. "Pak Rain barusan bilang apa?"
Rain mengembuskan napas kesal.
"Maaf, Pak!" seru Jeanna saking paniknya.
Rain tak membalas itu dan pergi ke sisi butik, tempat sebuah sofa yang nyaman berada. Oh, Jeanna ingin melompat dan berbaring di sana, tapi ia hanya bisa mengikuti Rain dan berdiri di sebelah pria itu begitu pria itu duduk di sofa nyaman itu.
"Kenapa kau ikut kemari?" Rain menggeram kesal.
Jeanna menoleh pada Rain, bingung. "Lalu, saya harus ke mana, Pak?"
"Pergi!" usir Rain.
Jeanna seketika panik. "Sa-saya dipecat, Pak?"
Rain memejamkan mata sembari memijat pelipisnya. "Cari pelayan toko dan tanyakan pada mereka apa yang tadi kukatakan padamu dan lakukan itu!" Suara itu terdengar seperti geraman, bukan bentakan, tapi lebih mengerikan dari bentakan. Jika Jeanna membuat Rain kesal lebih dari ini, Rain benar-benar akan memecat Jeanna.
Maka, Jeanna bergegas pergi mencari pelayan toko itu dan mereka menjelaskan jika Rain ingin Jeanna mencoba beberapa pakaian di toko itu. Meski bingung untuk apa Jeanna mencoba pakaian di sana, tapi Jeanna hanya menurut. Daripada dia membuat Rain kembali mengamuk. Bisa-bisa dia menghancurkan seisi toko.
***
Seumur hidupnya, belum pernah Rain bertemu dengan orang yang bisa membuatnya semarah ini. Rain harus check up setelah ini. Sepertinya tekanan darahnya naik.
Bisa-bisa, gadis itu membunuh Rain dengan meledakkan pembuluh darah di kepala Rain saking kesalnya Rain dibuatnya. Rain masih bingung dengan konsep gadis itu. Apakah semua kebodohan yang dia tunjukkan pada Rain ini adalah kepura-puraan? Atau, gadis itu memang benar-benar bodoh?
Namun, ketika Rain melihat Jeanna keluar dari ruang pas memakai stelan kantor pilihannya, blazer dan rok berwarna krem dan kemeja marun, Rain menyipitkan mata. Gadis itu tampak berjalan kaku menghampiri Rain. Padahal, semalam ketika Rain melihatnya di klub malam, gadis itu juga mengenakan high heels dan dengan luwes berjalan ke sana-kemari mengantarkan pesanan.
Lalu, tatapan Rain naik ke wajah gadis itu. Cemas, khawatir, takut, gugup. Semua tampak jelas di sana. Ah, jadi karena itu?
Gadis ini tidak berpura-pura bodoh di depan Rain. Ia hanya … ketakutan. Seolah, hidupnya bergantung pada pekerjaan ini.
Gadis ini cukup pintar untuk menunjukkan dengan jelas pilihannya, di mana dia memilih menjual nyawa daripada menjual tubuhnya. Namun, gadis itu merasa tak aman. Karena banyak hal.
***