webnovel

Marrying Mr CEO

Jeanna benci menjadi orang lemah. Ia benci menjadi orang yang tak berdaya. Namun, pada akhirnya, ia menjadi orang lemah setelah kehilangan segalanya. Ia kehilangan orang tuanya, adiknya, dan … jati dirinya. Rain benci melihat gadis lemah yang hanya bisa menangis. Rain benci melihat gadis yang menyerah pada keadaan. Rain benci … gadis seperti Jeanna. Namun, pada akhirnya ia memilih menikahi Jeanna daripada harus menikah dengan wanita yang tak dikenalnya. Namun, perlakuan kasar dan sikap dingin Rain padanya perlahan membuat Jeanna berubah. Jeanna mulai melawan, hingga akhirnya, Jeanna menemukan jati dirinya kembali. Jeanna … pada akhirnya jatuh cinta pada pangeran kejam berhati es itu.

Ally_Jane · Urban
Not enough ratings
416 Chs

25 – Terima Kasih Tak Berdasar

Setelah seharian berkutat dengan kakinya yang terkilir dan meratapi sepatunya yang ternyata heels-nya sudah nyaris copot, akhirnya tiba juga waktunya pulang. Tadi pagi, Rain memerintahkan Jeanna membatalkan semua jadwalnya karena dia akan pergi seharian ini. Itu pun, dia melarang Jeanna ikut. Tentu saja, dia pasti malu jika harus membawa sekretaris yang pincang.

Jeanna menghela napas dan akhirnya melepas heels sepatunya yang sudah tak berdaya itu. Karena ini tadi Jeanna terkilir saat turun dari etalase. Memalukan sekali. Jeanna akan membeli sepatu baru sepulang kerja nanti.

Namun, sore itu, ketika Rain kembali tepat saat jam pulang, pria itu memerintahkan Jeanna masuk ke ruangannya. Sialan sekali pria itu. Apa lagi yang dia inginkan dari Jeanna yang pincang seperti ini? Apa dia ingin melihat Jeanna berlutut lagi di depannya dengan memalukan seperti tadi? Ah, Jeanna sudah tak ada harga dirinya di depan Rain.

Meski begitu, Jeanna kembali memakai sepatu yang satunya sudah tanpa heels itu dan masuk ke ruangan Rain dengan lebih terpincang lagi. Pria itu duduk di kursi kerjanya dan mengedik ke depan, meminta Jeanna berdiri di depan mejanya.

Kenapa harus di sana? Kenapa harus di tempat nun jauh di sana? Pria itu bisa saja duduk di sofa, atau berdiri di tengah ruangan, dan mengomeli Jeanna sesukanya jika memang itu tujuannya meminta Jeanna kemari.

Namun, tidak. Pria itu sepertinya merasa harus menyusahkan Jeanna bahkan ketika dia akan mengomeli Jeanna. Kali ini pasti karena kaki Jeanna yang tidak berguna dan sebagainya. Lebih tepatnya, Jeanna yang tidak berguna.

Maka, Jeanna yang tidak berguna ini terpaksa menuruti Rain dan berjalan terpincang dengan menyedihkan ke depan meja pria itu. Namun, detik berikutnya, Jeanna tersentak karena Rain melempar sesuatu ke tempatnya. Sesuatu itu mendarat di depan kaki Jeanna. Sebuah kotak sepatu yang isinya sudah berceceran di lantai karena dilempar Rain tadi.

"Mulai sekarang, kau hanya boleh memakai sepatu yang kubelikan. Jangan pernah memakai sepatu murahan seperti itu!" bentak pria itu.

Jeanna mengangguk. Lebih dari siapa pun, ia tahu, ini adalah sepatu murahan yang sudah tua. Namun, tak pernah ada yang menyinggung itu. Sampai Rain muncul. Tidak hanya sepatu, pakaian, bahkan diri Jeanna pun dianggap murah oleh pria itu. Dan Jeanna tak bisa mendebat itu.

"Jika kau sudah mengerti, cepat pergi!" usir Rain kasar.

Jeanna mengangguk dan membungkuk pada pria itu. "Terima kasih, Pak."

Jeanna lagi-lagi berlutut di depan Rain untuk mengambil sepatu di bawahnya itu. Lihat? Lagi-lagi Jeanna berlutut di depan pria itu. Namun, ketika Jeanna sudah berdiri dan akan keluar dari ruangan itu, Rain memanggilnya.

Jeanna kembali menatap pria itu. Apa lagi sekarang? Dia mau Jeanna keluar sambil merangkak?

"Kau tidak berganti pakaian?" tanya pria itu.

Jeanna mengerutkan kening.

Rain mengedik ke ruang ganti. "Cepat ganti pakaianmu dan pergi dari sini. Kau bilang, jika kau membawa pakaian itu pulang, pakaian itu akan hilang."

Jeanna tersadar, lalu mengangguk dan bergegas pergi ke ruang ganti Rain, dengan kaki terpincang menyedihkan, tentunya. Namun, ketika Jeanna akan masuk ke ruang ganti Rain, Jeanna teringat sesuatu. Ia berhenti di pintu dan berbalik menatap Rain.

"Pak …" panggil Jeanna.

Rain menoleh pada Jeanna dengan tatapan terganggu. "Apa?" sengitnya.

"Apa di kantor ini … tidak ada ruang loker karyawan?" tanya Jeanna.

Rain tak menjawab selama beberapa saat dan hanya menatap Jeanna.

"Jika ada ruang loker karyawan, saya akan memindahkan pakaian saya …"

"Apa kau bodoh?" sengit Rain. "Jika kau membawa pakaian-pakaian mahal itu ke loker karyawan, lalu pakaian itu dicuri di sana, apa kau sanggup membeli pakaian yang sama sebagai gantinya?"

Jeanna tersadar. Benar juga. "Ah, maaf, Pak. Saya seharusnya memikirkan itu."

Rain mendengus dan melengos kasar.

"Dan … terima kasih, Pak," ucap Jeanna kemudian.

Rain melirik Jeanna. "Untuk apa?"

Jeanna tersenyum. "Untuk semuanya," jawab Jeanna.

Rain mendengus meledek. "Tentu saja kau harus berterima kasih. Kau pasti tidak akan sanggup mengganti pakaian mahal itu jika pakaian itu hilang. Karena itulah aku membiarkanmu menyimpan pakaian itu di sini."

Jeanna tersenyum. Tidak. Bukan hanya karena itu. Namun, untuk kejadian malam itu. Kejadian di gang, di mana Jeanna nyaris saja celaka. Jika bukan karena Rain, Jeanna tak tahu apa yang terjadi padanya malam itu.

Namun, Jeanna tak berani menyebutkan itu pada Rain. Setidaknya, tidak sekarang.

***