webnovel

Pernikahan Kontrak

"Apa-apaan ini Dya?!" Begitu mendapat kesempatan, Yudistira langsung menyeret putri dari keluarga Aksara itu ke sudut ruangan yang sepi.

"Apanya yang apa-apaan?"

Rahang laki-laki itu mengeras, "Aku ayah dari anak yang ada di kandungan kamu itu, bukan Arjuna!"

"Bukan kamu yang menentukan Yudis." Dya mengelus perutnya sembari menatap Yudistira dengan dingin.

"Anak ini enggak mau laki-laki seperti kamu menjadi ayahnya."

Yudistira benar-benar berusaha keras untuk menahan diri, ia tidak boleh melukai Dya yang jelas-jelas sedang mengandung anaknya.

"Aku akan bilang ke papa kalau kamu berbohong."

"Kamu kira om Nata enggak tau?" tantang Dya.

"Yudis.. Yudis.. kamu masih belum juga mengerti ternyata." Dya mendekat, dengan berani membelai pipi laki-laki yang sangat di bencinya sembari berbisik.

"Om Nata tau Yudis.. dia tau dan tetap akan menutup mata. Karena yang paling penting untuk om Nata adalah menyelamatkan posisi Arjuna sebagai pemimpin keluarga Wardana selanjutnya." Dya melangkah mundur satu langkah, "Kamu enggak akan pernah jadi apa-apa Yudis, selamanya kamu akan menjadi sampah yang enggak akan pernah di liat oleh siapapun." Perempuan itu kemudian berbalik, meninggalkan Yudistira dengan tangan terkepal.

***

"Medda.." Arjuna memperhatikan Medda yang menunduk lesu, laki-laki itu sudah menunggu cukup lama di depan kamar Medda agar bisa berbicara empat mata.

"Kita ngobrol di dalem ya.." Bujuk Arjuna. Arjuna melangkan mendekat, hatinya nyeri melihat wajah basah Medda yang berusaha menghindari tatapannya.

"Medda.." bisik Arjuna lirih,.

"Kamu tau kalau aku bukan ayah dari bayi yang di kandung Dya kan?" wajah Medda sudah kembali memerah, matanya berkaca-kaca dan siap menangis saat itu juga.

"Medda.. kamu jelas tau kalau enggak akan ada kesempatan untuk saya melakukannya dengan Dya, apa lagi waktu di villa saya selalu ada sama kamu kan?" Arjuna nyaris putus asa.

"Enggak akan ada bedanya.." Medda menatap Arjuna dengan sendu.

"Tuan Juna akan tetap menikah dengan non Dya."

Arjuna menggeleng cepat, "Enggak, enggak akan ada pernikahan Medda. Saya janji."

Tidak lagi sanggup menatap wajah kecewa Medda, Arjuna memutuskan untuk menarik Medda kedalam pelukannya. Laki-laki itu terisak sembari berkali-kali meyakinkan Medda kalau tidak akan pernah ada pernikahan antara ia dan Dya.

'tok..tok..'

Medda yang baru saja selesai membasuh wajah langsung tertegun, Arjuna sudah bergi satu jam yang lalu dan tidak akan kembali dalam waktu dekat. Majikannya itu bilang dia akan menemui keluarga Aksara untuk membicarakan soal tuduhan yang di lemparkan Dya kepadanya.

"Ya sebentar." Ucap Medda ketika ketukan di pintu kamarnya tidak juga berhenti, perempuan itu langsung menundukan kepala begitu melihat Dewanata berdiri di depan pintu kamarnya.

"Saya perlu bicara empat mata sama kamu Medda."

Pelayan perempuan itu mengangguk dan menggeser tubuhnya begitu saja agar Dewanata bisa masuk, laki-laki itu memperhatikan keadaan kamar Medda. Pandangannya langsung tertuju pada alat kehamilan yang di letakan oleh Medda di atas ranjang.

"Tu.. tuan.. itu.." Medda berusaha menyembunyikannya dengan gugup.

"Berikan kepada saya." Medda bergeming.

"Berikan kepada saya Medda!"

Tangan pelayan perempuan itu bergetar ketika menggulurkan tangannya, Medda juga sama sekali tidak berani mengangkat kepalanya begitu melihat Dewanata menghancurkan alat tes kehamilan tersebut.

"Jangan sampai Arjuna tau, paham kamu?"

"I.. iya tuan."

Dewanata memejamkan mata, mencoba memikirkan solusi dengan cepat. Medda tidak boleh lagi ada di kediamannya, kehamilan pelayan pribadi anaknya itu akan menggagalkan rencana pernikahan Dya dan Juna. Tapi membiarkan Medda berkeliaran di jalanan sembari membawa cucu kandungnya juga terasa tidak benar.

"Kamu harus pergi Medda, kamu enggak bisa lagi berkeliaran di dekat Arjuna." Medda meremas jari-jarinya kencang.

"Saya akan pikirkan caranya, jangan buat ulah sampai saat itu tiba. Paham kamu?" Medda mengangguk dan begitu Dewanata meninggalkan kamarnya perempuan itu kembali menangis sesegukan.

***

Kening Dewanata terus berkerut, Jo yang juga berada satu ruangan dengannya ikut mengehela napas. Kepala pelayan yang sudah mengabdi lama pada keluarga Wardana itu menyangkan semua masalah yang datang secara tiba-tiba.

"Kalau Medda menikah, tuan Arjuna pasti enggak akan lagi ngejar-ngejar perempuan itu" Dewanata menatap kepala pelayannya lama.

"Tapi perempuan itu sedang mengandung anak Arjuna, cucuk saya. Medda sedang mengandung seorang Wardana." Desis Dewanata melampiaskan rasa frustasinya.

Jo mengangguk paham, "Kita buat Medda menikah kotrak."

Dewanata kembali menatap Jo, kali ini laki-laki paruh baya itu jelas merasa terlarik dengan ide yang di lontarkan oleh kepala pelayan tersebut.

"Kita bisa manfaatkan Didi, laki-laki itu masih belum bekerja semenjak di pecat dari posisinya sebagai tukang kebun di rumah ini."

"Didi?" Dewanata mencoba mengingat-ingat.

"Kenapa dia di pecat?"

"Didi berusaha melakukan pendekatan dengan Medda, tuan Arjuna tau dan akhirnya memecat laki-laki muda itu."

Dewanta mengangguk paham, kalau sedari awal laki-laki itu memang sudah tertarik dengan Medda seharusnya Didi tidak keberatan ketika di minta untuk menikahi perempuan itu. Dewanata hanya perlu memberikan Didi beberapa uang agar laki-laki itu juga mau merawat cucunya yang sedang tumbuh di rahim Medda.

"Suruh laki-laki itu datang kemari setelah kontrak kesepakatannya siap."

"Baik tuan."

Ternyata tidak perlu menunggu lama, kontrak penawaran sudah siap hanya dalam kurun waktu satu kali dua puluh empat jam. Besoknya, Dewanata langsung memerintahkan Jo untuk menjemput Didi setelah menyuruh Medda menemuinya di ruang kerja.

"Kita tunggu Jo sebentar." Jelas Dewanata yang kebingungan.

"Saya mau kamu menuruti perintah saya Medda, apapun itu." Medda hanya bisa mengangguk, Dewanata sama sekali tidak berbicara sampai akhirnya Jo datang sembari membawa Didi.

"Tuan, ini Didi. Mantan tukang kebun yang di dulu di pecat oleh tuan Arjuna.'' Dewanata mengangguk.

"Duduk."

Didi mencoba menerka-nerka alasan ia tiba-tiba saja kembali di panggil untuk memasuki kediaman Wardana, laki-laki itu melirik Medda yang wajahnya nampak pucat.

"Kamu tau kenapa kamu di panggil ke sini?" Wardana tiba-tiba saja membuka mulut, Didi yang terkejut jelas menggeleng.

"Saya enggak tau tuan, tiba-tiba aja Jo menghubingi dan meminta saya untuk datang."

"Baca." Perintah Wardana sembari mengulurkan map hitam.

Mata laki-laki berkulit gelap itu membulat begitu selesai membaca isi map yang ternyata sebuah kontrak untuk menikah dengan Medda.

"Kalau kamu mau, saya akan membiarkan kamu untuk kembali bekerja di rumah ini." Didi melirik Medda yang diam-diam mengahapus air mata di pipinya.

"Ta..tapi, kenapa tuan? Maksudnya Medda.. apa dia bersedia?"

"Perempuan itu harus bersedia." Dewanata sama sekali tidak bertanya pun melirik Medda ketika mengatakan kalimat tersebut.

"Saya cuma minta satu Didi, jangan kamu sentuh anak yang sekarang ada di kandungan Medda. Kamu harus perlakukan dia dengan sangat baik." Mata Didi mengerjap, laki-laki itu melirik Medda dan juga surat kontrak di hadapannya. Laki-laki itu tiba-tiba saja mengerti masalah yang sedang terjadi di kediaman Wardana.

"Setiap bulan kamu enggak cuma akan mendapatkan gaji, tapi juga tunjangan hidup. Anak yang sekarang ada di kandungan Medda enggak boleh hidup susah, kebutuhannya harus selalu terpenuhi. Setelah kalian menikah nanti, kamu akan bekerja di sini. Medda yang harus behenti dan tinggal di rumah yang sudah Jo siapkan."

Tidak ada hal lain di dalam kepala Didi selain uang dan kenyamanan, karena itu meski nuraninya sedikit memberontak Didi tetap mengangguk dengan mantap.

"Saya mau tuan, saya bersedia."