webnovel

Kue

"Ish.. ini kok hasilnya tidak ketemu?" racau gadis itu. Kini tangan dan otaknya sedang difungsikan untuk memecahkan persoalan rentetan angka-angka yang sedikit membosankan−untuknya. Duduk diatas karpet sebelah ranjang ditemani dengan alunan musik dari ponsel pinknya serta boneka unicorn disisi kanannya. Apalagi saat ini keadaan diluar sedang hujan, lumayan udara sejuknya sedikit mengurangi rasa pening dikepala Chika.

Saking seriusnya, gadis itu tak menyadari kehadiran seseorang yang sudah menatapnya diambang pintu. Mungkin sudah terhitung sepuluh menit lamanya pria jakung itu menatap kekasihnya yang sibuk dengan buku-bukunya. Sedikit terkekeh gemas melihat Chika kesulitan. Pacar yang baik memang sudah seharusnya membantu kan?

"Bilangan ini dipindahruaskan dahulu, baru dikalikan" tuturnya pada Chika. Gadis itu tersentak karena Dirga yang tiba-tiba mengambil pulpen dari tangannya.

Ah, gemas sekali gadis ini−batin Dirga. Reflek tangan gagah itu menyentuh surai panjang kekasihnya. Menyalurkan penuh afeksi. "Wajahnya jangan lucu-lucu, bisa tidak?". Chika hanya bisa mengangguk kecil dengan tatapan kosong sebagai jawaban untuk Dirga.

"Aku boleh bertanya?", tanya Dirga.

"B-boleh. Kak Dirga ingin bertanya apa?"

Ditatapnya wajah kekasihnya lekat. Seperti memperhatikan sesuatu disana. Sungguh, Dirga itu tidak tahan ingin menyentuh pipi kenyal itu dengan bibirnya−ralat, dengan tangannya. "Pipimu kenapa bisa setembam ini? Mami mengidam apa sih?" telunjuk dan ibu jari kanannya sudah memainkan kedua pipi Chika hingga birai gadis itu maju layaknya bebek.

"Tiduk tuw"

"Apa? Aku tidak paham"

Dijauhkannya tangan Dirga dari pipi gadis itu. Tangan Chika sempat menyentuh pipinya yang baru dimainkan Dirga−seperti membenarkan posisinya agar tak berpindah tempat.

"Tidak tau", jawabnya ulang. "Chika pernah bertanya, Mami menjawab dulu mengidam kue pocong" imbuhnya masih dengan tangan yang menekan-nekan pelan pipinya.

"Kue pocong seperti apa?"

"Itu lho, seperti minggu lalu yang kita beli disebelah minimarket"

"Kue pancong, cantik"

Chika hanya menampilkan senyum hingga nampak gigi kecil nan putih itu. Entah, harus berapa kali Dirga akan mengungkapkan kata 'gemas' hanya untuk mengekspresikan wajah gadis itu. Tiba-tiba, Dirga merasa oksigen yang bercampur bau hujan itu sedikit berubah. Seperti ada manis-manisnya.

Bau itu semakin menyengat menyeruak indra penciuman keduanya. Sudut bibir Chika sudah mulai tertarik ke atas. Jelas gadis itu tau bau apa yang mengelilingi ruangan itu. Hingga Dirga dibuat geleng-geleng dengan tingkah gadisnya yang berlari keluar kamar sambil berteriak.

"Asyik.. Mami membuat makaron.."

*****

Keduanya kini sedang berada di ruang tengah bersama Ibunda Chika. Ditemani sepiring kue makaron dan juga susu coklat hangat. Ah tidak, susu coklat itu hanya untuk Chika, sedangkan Dirga dan ibunda Chika hanya secangkir teh hangat dihadapan masing-masing. Melihat Chika yang melahap kue makaron tidak sabaran adalah kebahagiaan tersendiri untuk Dirga. Setidaknya ia tak perlu mendengar rengekan perempuan akan berat badannya, atau tidak cukupnya baju yang dipakai hingga menampilkan lekukan lemak ditubuhnya.

Entah bisikan dari mana, gadis itu mendadak menurunkan tubuhnya dikarpet bawah sofa. Tangannya dilipat diatas meja, serta dagu yang ditumpukan pada lipatan tangan itu. Menatap paras tampan itu dengan seksama. Memang bahaya sekali jika dilihat terlalu lama.

"Kak Dirga" panggilnya lembut. Dirga yang sedang terfokus dengan ponselnya mengalihkan pandangannya sejenak ke arah Chika, yang kemudian berdehem singkat atas pertanyaan gadis itu. "Bisa tidak, tampannya jangan banyak-banyak?"

"Hm..", Dirga terlihat menimang, seakan pertanyaan Chika adalah sesuatu yang perlu dipikir matang. Senyumnya kembali merekah sebelum melanjutkan kalimatnya. "Tidak bisa".

"Siapa yang mengajarkan Chika gombal seperti itu?" tanya ibunya tiba-tiba dengan kekehan.

"Kak Dirga"

Merasa namanya disebut, Dirga hanya bisa mematung dengan mulut terbuka sedikit. Kenapa dirinya yang dijadikan tersangka disini? Serpersekon kemudian pria menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan menampilkan senyum malu.

Hanya suara tiupan angin dan rintikan hujan yang memenuhi rungu mereka. Hujan memang sudah mereda, namun langit masih tampak tak mendukung−belum sepenuhnya cerah. Gadis itu beranjak dari posisinya, sedikit melakukan peregangan. Meninggalkan sang ibu dan juga kekasihnya ke kamar mandi.

"Tante", panggil Dirga pada ibunda Chika saat gadis itu sudah hilang dibalik perpotongan tembok. "Maaf kalau Dirga lancang, tante. Dirga hanya ingin bertanya".

"Tidak apa-apa. Tanyakan saja"

Dirga nampak sedikit ragu, Ia menggigit bibir bawahnya−takut jika pertanyaannya lancang. "Chika tadi bilang kalau tante dulu mengidam kue pancong saat tante mengandung Chika," Dirga menjeda kalimatnya, laki-laki itu nampak menarik nafas panjang sebelum dihembuskan lembut. "Tapi, rasanya aneh. Minggu lalu saat beli kue pancong, Chika sama sekali tak menyukai kue itu".

Ibunda Chika tentu saja tertawa. Bahkan hampir tersedak salivanya sendiri karena mendengar kalimat Dirga. "Memangnya apa yang tante makan saat mengandung Chika itu harus jadi makanan kesukaan Chika?"

"Hehe.. tidak tau, tante. Dirga hanya tau jika apa yang seorang ibu makan saat mengandung anaknya, makanan itu akan jadi makanan kesukaan anaknya"

Tawa ibunda Chika kembali hadir seiring dengan wajah bingung Dirga. "Tante tidak membenarkan atau menyalahkan opini kamu. Tapi waktu tante mengandung Angga, tante itu suka sekali makan durian. Nyatanya Angga malah sama sekali tak menyukai durian", jelasnya.

"Hehe.. Maaf ya tante"

"Kalau untuk Chika, memang tante tidak mengidam kue pancong dulu. Tante mengidam makaron. Makanya Chika suka sekali makaron"

Dirga pun mengangguk paham. Ada sedikit rasa tidak enak sih, namun karena Dirga sudah cukup lama mengenal keluarga Chika, ya jadi rasa itu sudah hilang. Apalagi dengan Chika yang kembali dari kamar mandi, tapi dengan kaus kaki bertanduk itu?

bersambung...

Next chapter