3 Ingin Cilok

Suasana sebuah ruangan hening namun penuh akan manusia yang tengah menjalankan ulangan harian. Mungkin karena ini adalah mata pelajaran yang banyak dibenci oleh semua murid, maka banyak pula yang mengerjakan dengan curang.

Tempelan-tempelan sticky note dibelakang kursi, bahkan sampai ada yang nekat menulis rumus-rumus disalah satu sisi penggaris putih. Nekat sekali memang. Namun, juga tak bisa menampik kenyataan, pasalnya guru matematika ini terkadang memberikan soal ulangan tidak sesuai dengan materi yang diberikan.

"Ssstt.. ini bagaimana?" bisik salah satu teman Chika yang duduk tepat di belakang gadis itu.

Merasa terpanggil, Chika menoleh kearah datangnya suara. Baru beberapa detik maniknya bertemu pandang dengan temannya, suara berat lebih dulu mengudara.

"Abraham,"

Tak ada respon dari Chika yang masih menghadap belakang. Hingga panggilan kedua membuat dirinya sedikit terlonjak, lantaran Pak Surya memanggilnya dengan panggilan yang berbeda. "Putri Tuan Abraham,"

Sebenarnya Chika tidak suka dipanggil 'Abraham' dengan guru itu, karena nama itu adalah nama ayahnya. Mentang-mentang Pak Surya adalah teman satu kampus ayahnya dulu, Chika jadi yang dapat panggilan berbeda dari teman-teman lainnya.

"Maaf, Pak," ucapnya sembari membenarkan posisi awal.

Padahal ini jam terakhir sebelum bel pulang, tapi ada saja yang membuat moodnya turun. Maka sesegera mungkin Chika menyelesaikan, membuat dirinya lebih cepat untuk pulang.

Ditempat kendaraan Dirga terparkir, Chika seorang diri disitu. Beberapa ada anak laki-laki yang bergerombol diatas motor mereka. Sepertinya itu anak kelas tiga, hanya beda jurusan dengan Dirga.

Hingga yang ditunggu akhirnya datang, yaitu bel pulang. Rombongan siswa dan siswi yang menghampiri kendaraan mereka yang terparkir. Sepertinya jika seperti ini, lebih baik tadi Chika menyelesaikan ulangannya terakhir saja. Lantaran motor Dirga terparkir urutan depan, jadi harus menunggu urutan belakang untuk pergi lebih dulu.

Sekitar lima belas menit total Chika harus menunggu untuk dapat menaruh bantalan duduknya pada jok motor. Lega sekali rasanya.

"Mau makan apa?" tanya Dirga tiba-tiba. Sebenarnya pertanyaan ini juga bukan dadakan bagi Chika. Hampir setiap hari keduanya selalu membeli camilan ataupun makanan berat.

"Cilok," pinta Chika.

Laki-laki itu terkekeh, menatap lekat sang kekasih dengan manik seindah rusa. Mengacak rambut Chika penuh afeksi. "Ayo kita cari penjualnya,"

***

Ini sudah ketiga kalinya Chika dan Dirga mengelilingi salah satu komplek perumahan. Biasanya penjual cilok itu akan melewati tugu pancuran tepat setelah gerbang pintu masuk.

"Penjualnya sedang mengerjai kita, ya?" celetuk Dirga.

Keduanya berhenti disalah lapangan yang biasa digunakan ibu-ibu untuk senam pagi. Duduk pada salah satu bangku disana, memperhatikan satu dua orang berlalu lalang.

Tiba-tiba Dirga mendengar sesegukan dari arah sampingnya. Rupanya Chika tengah merengek kecil. Dan itu sukses membuat Dirga gemas melihat kekasihnya.

Lantas tangan Dirga terulur untuk mengelus salah satu pundak kekasihnya. "Memangnya ada apa? Kok tumben sekali ingin cilok, hm?"

"Sore ini mood Chika tidak baik. Tadi, Chika ditegur Pak Surya karena menengok ke arah belakang saat ujian," jelasnya.

"Kau menyontek?"

Kalimat Dirga barusan, malah semakin membuat Chika merengek."Tidak, tadi teman Chika ingin meminta jawaban. Saat Chika menengok ke belakang, Pak Surya menegur Chika,".

Dirga sesaat tertawa. Ia baru tahu saat kekasihnya ini merajuk akan semenggemaskan ini. Diusapnya keringat yang turun dari dahi putih sang gadis, serta merapikan poninya.

Tak lama, sebuah gerobak melintas didepan keduanya. Dirga maupun Chika seketika memanggil bersamaan si penjual menengok.

"Bang, pesen lima ya. Pedas semua,"

Sambil menunggu pesanan, Chika melihat sekeliling gerobak si penjual. Bahkan sampai Chika meminta satu gelinding cilok tanpa campuran apapun—rasa ingin tahunya muncul.

Sepuluh menit pesanan keduanya sudah jadi, Chika dan Dirga melesat pergi ke arah rumah Chika. Raut wajah Chika pun sudah tak murung seperti tadi. Gadis gembulnya ini memang benar-benar menggemaskan. Hanya dengan sebuah makanan, bisa membuat moodnya kembali.

Dirga bersyukur, ia bisa menyukai Chika tanpa melihat fisik. Dirinya tulus menyayangi gadisnya. Tulus pula menjaganya. Karena baginya, berat badan bisa berubah kapan saja, yang terpenting Chika juga tulus menyayangi Dirga.

"Tante," sapa Dirga pada wanita paruh baya yang menjabat sebagai ibu dari kekasihnya.

Sang ibu yang baru saja selesai menyiram tanaman, menghampiri Dirga dan Chika. Maniknya melihat kantung yang dibawa Dirga. Ini pasti permintaan Chika—batin sang ibu.

Kekasih putrinya dipersilakan duduk di ruang tamu selagi menunggu Chika yang tengah berganti pakaian. Mengambil beberapa mangkuk kecil untuk menempatkan bawaan mereka.

"Bagaimana sekolahmu, Ga?"

Mendengar wanita itu bertanya, Dirga berdehem sejemang, tersenyum sopan sebelum menjawab, "Lancar, Tante."

"Syukurlah,"

Tak lama, Chika datang dengan pakaian rumahan serta dengan wajah sedikit basah—baru saja selesai mencuci wajahnya. "Chika mau yang paling pedas. Tadi sudah diberi tanda,"

Iya, tadi gadis itu memang meminta sendiri pada penjual untuk satu porsi miliknya pedasnya dilebihkan. Ia rasa, memperbaiki mood dengan makan pedas akan berpengaruh. Soal sakit perut, tenang.. Chika tidak takut akan hal itu.

Tiba-tiba suara langkah lari terdengar, dan bisa dipastikan jika ini suara Angga—adik Chika. Datang dengan bola basket yang dipegang sebelah pinggang, menghampiri ketiga orang lainnya di meja ruang tamu.

"Wah.. cilok. Mau dong,"

Tangannya sudah terulur untuk mengambil sendok. Belum saja terambil, tangan laki-laki itu sudah lebih dulu mendapat pukulan dari sang kakak. "Mandi dulu, kau kotor,"

Dengan malas-malasan, Angga memilih mengikuti ucapan sang kakak. Daripada tidak diberi cilok. Sekilas melirik Dirga yang ternyata menatapnya. "Bang, ayo nanti kita main PS," ajaknya yang dibalas acungan jempol oleh Dirga.

Sebelum menyentuh makanannya, Chika menuju dapur guna membuat minuman untuk menemani makanan mereka. Sekalian menunggu Angga selesai membersihkan diri. Empat gelas es sirup jeruk sudah siap diatas penampilan hijau.

Bebarengan dengan Angga yang baru saja menjatuhkan bantalan duduknya disebelah Dirga, mereka berempat berkumpul mengitari meja ruang tamu. Televisi juga dinyalakan agar tak terlalu sepi. Sesekali bercanda mendengar celotehan Angga saat bermain basket tadi. Memang seperti cerita fiksi yang biasa di televisi.

Tak lama, terdengar suara mobil yang baru saja selesai terparkir. Menampakkan sosok laki-laki berpakaian sedikit kusut, dengan jasnya yang berada ditangan.

"Sudah pulang, mas," sapa sang istri.

Suaminya hanya mengangguk, menyerahkan jas yang ditenteng tadi. Mengikuti langkah suami menuju kamarnya, meninggalkan anak-anak yang masih asyik berceloteh. Sesaat, sebuah rasa hadir. Ia mencium bau parfum wanita. Iya, dia yakin ini parfum wanita, lantaran baunya sangat manis. Seperti manis Cherry.

Perasaan tidak enak mulai mengganggu, dengan segera ia mengecek seluruh kantung jas suaminya, namun tak ada satu pun benda milik perempuan yang tertinggal.

"Mas, jas kamu kok bau parfum perempuan?" tanyanya saat sang suami baru keluar dari kamar mandi.

avataravatar