9 The Hidden Truth

"Lyra..."

Aku mengerutkan alis. "Siapa?" Tanyaku pada suara itu. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Tidak ada siapa-siapa di dekatku. Tapi suara yang memanggil namaku itu tampak begitu dekat meski aku tak dapat melihatnya. Di hutan ini, aku berjalan sendirian, sibuk mencari-cari suara itu.

"Lyra," panggilnya lagi.

"Kau di mana??!" Seruku lantang.

"Di sini," jawabnya.

Aku kini mulai berlari dengan sangat panik mencari suara yang memanggilku. Tak terasa air mata mulai mengalir di pipi. "Jangan pergi!" Seruku.

"Buka matamu, Lyra!" Seruran itu membuatku sontak terduduk di ranjang dengan napas yang tersengal dan keringat dingin yang mengucur deras dari pelipis hingga leher.

Ah, selalu begini kala aku terbangun dari mimpi-mimpi itu. Aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya dengan perlahan. Jantungku masih berdetak dengan cepat. Tanganku juga masih bergetar. Oke, baiklah, aku akan melakukan terapis dasar yang telah diajarkan oleh Berta. Biasanya terapis ini dikenal dengan nama 'Butterfly Hug'.

Aku menyilangkan ke dua tanganku di dada lalu menepuk-nepuk pelan bahuku, persis seperti mengepakkan sayap kupu-kupu sambil menarik napas perlahan dan menghembuskannya juga dengan pelan-pelan. Gerakan tersebut kuulang-ulang hingga aku merasa lebih tenang dan rileks. Jika saja ada Felix di sini, pasti ia akan menggunakan sihirnya untuk menenangkanku.

"Lyra," panggilan itu kembali terdengar, memuatku terkesiap.

Tiba-tiba seorang perempuan menembus dari lemari pakaianku dan menghampiriku. Aku membulatkan mata.

"Tidak, tenang Lyra, ini pasti hanya mimpi. Ini tidak nyata, kau masih bermimpi," Aku meyakinkan diriku berkali-kali seraya menutup mata dengan kedua tanganku. "Kau akan segera bangun, ini hanya mimpi konyol itu lagi," ujarku menenangkan diri.

"Buka matamu Lyra, ini nyata," suara itu menggema di telingaku. Aku menggeleng lebih keras.

"Tidak mungkin! Pergilah!!" Seruku.

Namun entah mengapa aku sedikit penasaran dan mengintip lewat celah jari-jariku. Wanita itu menatapku dengan senyuman dinginnya. Entahlah, senyuman itu tak seperti senyuman hangat ataupun lembut. Lebih kepada senyum dari orang yang berhati dingin tak berperasaan.

"Aku tau kau mengintip, buka saja matamu," ujarnya.

Aku perlahan membuka mataku dan menatapnya dari ujung kepala hingga bawah. Tak kusangka, wanita di hadapanku ini sangatlah cantik, ia mengenakan dress putih panjang hingga menutupi kakinya. Yeah, meski aku tak yakin ia memiliki kaki dan menyentuh tanah. Aku bahkan melihatnya menembus lemari tadi!

Rambutnya curly sepanjang pinggang dengan warna coklat terang dan sedikit kemerahan. Dan matanya tajam namun aku bisa melihat kabut tipis keabu-abuan di dalamnya. Mungkinkah dia...

"Kau--

"Iya, aku Virginia," ujarnya sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku.

Aku terbelalak tak percaya. Kutampar wajahku, kucubit pipiku. Rasanya sakit. Ternyata benar, ini nyata. Tapi, bagaimana bisa?

"Kau hantu?" Tanyaku yang masih tidak mengerti.

Ia tampak berpikir sejenak, seakan sedang menimang-nimang.

"Mungkin. Terserah kau ingin menganggapku apa. Tapi lebih tepatnya, aku adalah kenangan Virginia," jawabnya.

Tampaknya kami seumuran, hanya saja dia lebih tinggi satu jengkal denganku dan wajahnya terlihat lebih dewasa.

"Apa yang kau mau?" Tanyaku pasrah.

Tidak mungkin ia menemuiku tanpa maksud dan tujuan. Lagipula aku butuh alasan untuk semua kejadian ataupun mimpi-mimpi aneh itu.

"Mauku, kau segera kembali ke sana dan menjemput takdirmu," ujarnya. Aku terdiam sebentar, mencerna kalimatnya.

"Maksudmu kembali ke dunia sihir? Bukankah semua hanya mimpi?" Tanyaku. Ia menggelang.

"Itu nyata Lyra, kau memang benar-benar ada di sana tadi," ujarnya yang membuatku terkekeh pelan.

"Kau pasti bercanda. Jelas-jelas itu mimpi. Buktinya aku terbangun," ujarku.

Ia tetap menggeleng dengan wajah yang sangat serius, membuatku berhenti terkekeh.

"Lalu bagaimana dengan Dreamcatchermu? Kelelawar-kelelawar itu? Rasa sakit di dadamu? Bukankah semua itu nyata?" Pertanyaan itu lebih seperti pernyataan bagiku.

Aku hanya terdiam, mencoba berpikir keras.

"Dengan pukulan yang bertubi-tubi dari Alcie, kau pingsan untuk beberapa saat higga portal itu tertutup dengan sempurna. Aku juga yang menolak 'mantra pelupa' Neron. Sehingga kau masih bisa mengingat mereka,"

Penjelasan darinya membuatku mengangguk kecil, kini semua mulai masuk akal bagiku. Terlebih aku mengingat kata-kata Berta tempo hari.

'Yaah, terkadang sesuatu yang menurut kita tidak masuk akal bukan berarti sesuatu itu benar-benar tidak ada,'

Dan sekarang aku mulai yakin atas takdirku ini. Aku ingin menyelamatkan The Secede, mengembalikan kedamaian dan merebut kembali batu pusaka itu di tangan Penguasa-Kegelapan-Tiada-Tanding. Tapi, bagaimana caranya aku memasuki dunia itu sedangkan dreamcatcherku saja sudah dihancurkan oleh Neron?

"Bagaimana aku bisa masuk kembali?" Tanyaku pada kenangan Virginia.

Ia tersenyum dingin lagi.

"Carilah buku sihir di kamar Ibumu," ujarnya.

"Buku sihir?" Aku membeo.

Bagaimana mungkin Ibu menyimpan buku seperti itu sedangkan ia saja sangat anti dengan cerita tentang dunia sihir. Ia mengangguk kecil.

"Buku yang sampulnya terbuat dari bulu Elang Kaukasia dan lembarannya terbuat dari perkamen tua." Penjelasannya membuatku sama sekali tidak mengerti. Bukanya paham, aku malah bertambah bingung. Aku bahkan tidak tau jenis elang apa itu.

"Bisakah kau menjelaskan ciri-ciri yang kumengerti saja? Aku sama sekali tidak paham apa maksudmu," protesku.

"Sudah sana cepat! Waktuku tidak banyak, lagipula kau akan tau setelah melihatnya," seruannya itu membuatku beranjak cepat menuju kamar Ibuku. Tidak lucu juga jika ia murka dan tiba-tiba menghabisiku.

Hey, jika ada yang tidak setuju denganku coba pikirkan lagi! Itu mungkin saja terjadi mengingat senyuman dinginnya yang lebih mirip seperti seringaian psikopat.

Aku berjalan mengendap-endap ke kamar Ibuku. Semoga saja Ayah dan Ibu sudah tertidur lelap.

"Kita tidak bisa diam saja, penyihir itu kembali!!" Kudengar Ibu menekan kata-katanya, berusaha untuk tidak berseru.

"Sabar Sayang, kita akan mencari jalan keluarnya," Ayah berusaha menenangkan.

Aku mengintip ke dalam kamarnya. Tapi tidak ada orang. Dimana mereka? Ternyata mereka tengah berada di Ruang Keluarga, menghangatkan diri di depan perapian.

"Aku tidak bisa! Aku sudah merasakannya sejak awal, penyihir itu akan kembali dan membuat kita menderita," ujar Ibu yang kini berjalan kesana kemari dengan gusar. "Apa kita terkutuk, Edward?" Tanya Ibu dengan nada cemas.

Aku tak menghiraukan lagi pembicaraan mereka dan mulai masuk ke kamar Ibu untuk mencari buku sihir itu. Aku mencarinya ke seluruh penjuru kamar, mulai dari di lemari pakaiannya, dipan, bawah kasur, nakas dan tempat-tempat tersembunyi lain.

5 menit kemudian aku menghela napas. Keringat dingin mulai mengucur di pelipisku. Kegugupan mulai melanda. Buku itu belum kutemukan! Aku berhenti sejenak. Berdiri di tengah-tengah ruangan dengan mengatur napas, mencoba untuk tidak panik. Di mana biasanya Ibu menyimpan barang berharganya? Biasanya di dalam lemari pakaian. Aku mencoba mencari kembali di sana namun tetap tidak ada.

Aku terdiam lagi menatap lemari itu lamat-lamat. Adakah yang belum kuperiksa?

Sejurus kemudian aku tersenyum. Tampaknya aku tau di mana buku itu berada. Aku segera mengambil kursi rias Ibu. Di bagian atas lemari, ternyata masih ada satu laci yang belum aku periksa. Aku segera naik ke atas kursi dan dengan perlahan membuka laci itu. Aku menurunkannya dengan sangat berhati-hati.

Dan benar saja dugaanku, buku itu ada di sana! Bertumpuk dengan surat-surat lama. Aku segera mengambil buku itu dan mengembalikan laci dan kursi ke tempat semula. Tiba-tiba kenangan Virginia atau hantu Virginia muncul begitu saja di hadapanku. Ah, persetan dia itu apa.

"Kau membuatku jantungan!" Seruku tertahan.

Ia hanya diam. Kudengar derap langkah yang semakin mendekat. Gawat! Tak ada waktu untuk sembunyi! Aku pasrah, hanya mematung di tempatku berdiri.

Mereka memasuki kamar, namun anehnya mereka seakan tak melihatku. Ibu terus saja berdebat dengan Ayah. Aku menatap ke arah kenangan Virginia, meminta penjelasan. Pasti ia yang melakukannya.

"Aku membuat mereka tak bisa melihatmu dan mendengarmu," ujarnya.

Ah, begitu. Aku mengangguk dan ingin segera pergi dari sana, namun tertahan karena mendengar Ibu menyebut tentangku.

"Kau selalu saja begitu! Kau bahkan tak mengerti rasanya menjadi pembunuh hanya karena menyetujui kesepakatan penyihir itu. Bahkan Lyra, sudah menjadi pembunuh sejak usianya 9 tahun! Aku tak bisa melupakannya karena Lyra membunuh Miss. Ptunia di depan mataku sendiri!! Untunglah ia tidak tau apa-apa karena kala itu ia tengah mengigau. Suatu keberuntungan Lyra tidak tau akan hal itu hingga saat ini," setelah berkata demikian Ibu terkulai lemas di pelukan Ayah dan terisak sejadi-jadinya.

"Aku berusaha menjauhkan dirinya dari hal-hal aneh dan memaksanya untuk menjadi remaja normal. Aku berusaha melindunginya. Ta--tapi..." Ibu tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Sedangkan aku? Aku masih mematung. Tubuhku bergetar hebat. A-aku...seorang pembunuh? Aku membunuh pengasuhku sendiri?

avataravatar
Next chapter