webnovel

Arrive

Aku mengerang kesal. Segera pergi ke kamarku dan menghempaskan diri ke ranjang. Aku membenamkan wajah di bantal dan berteriak sekencang-kencangnya di sana. Berharap dengan begitu perasaan sesak ini akan luruh bersamaan dengan air mata dan teriakan itu.

Aku terisak. Entah mengapa rasa sesak di dada ini semakin menjadi-jadi. Mengapa? Mengapa semua ini terjadi padaku? Mengapa harus aku? Kata-kata Ibu kembali terngiang di kepalaku.

Aku ... telah membunuh pengasuhku sendiri. Di usia 9 tahun!

Aku menggeleng tak percaya. Apakah ini mimpi? Oh, kuharap begitu. Karena dari sekian mimpi aneh itu, ini adalah yang terburuk. Aku mengepalkan tanganku kuat, berusaha untuk menahan rasa ingin menghancurkan semua barang di dekatku.

"Berteriak saja sesukamu, menangislah semampumu dan hancurkan saja semua barang semaumu," ujar kenangan Virginia. Aku menatapnya berang.

"Kau!" seruku sambil menunjuknya penuh dengan amarah.

"Ini semua gara-gara Kau! Aku menderita karena kau! Ibuku juga menderita karena kau!! Penyihir yang dimaksud itu Kau, kan?! Jawaab!!!" teriakku sangat kencang.

Ia hanya diam.

Aku bangkit untuk mengambil semua porselen-porselen hiasan kamarku dan melemparkan satu per satu ke arahnya.

Tentu saja ia tidak kesakitan. Dia kan hantu. Porselen itu bahkan menembus tubuhnya dan pecah berserakan di lantai. Aku tak peduli lagi jika Ibu menghampiriku. Aku sangat kesal. Marah. Murka kepadanya.

Setelah porselen itu habis, aku kembali berteriak dan melemparnya dengan bantal dan juga boneka. Setelahnya aku terduduk lemas, masih dengan sisa-sisa air mata di pipi.

Rasa sesak itu perlahan menghilang. Aku yang awalnya lemas, rapuh tak berdaya, kini seakan mendapatkan energi kembali. Energi yang baru.

"Jangan lakukan itu!" seruku kepadanya.

Aku tau apa yang ia lakukan. Ia menggunakan teknik penyembuhan seperti milik Felix agar emosiku terkontrol. Tapi, aku tidak menyukainya. Aku ingin menikmati setiap rasa sakit itu. Namun hantu itu telah mengacaukannya.

"Kau boleh bersedih, tapi ingat! Kau harus segera merebut pusaka itu," ujarnya.

Aku terdiam. Keraguan kini menyelimutiku. Pertanyaan muncul kembali di benakku.

"Berikan satu alasan. Mengapa harus aku?" tanyaku penuh penekanan. Aku menatapnya tajam. Ia hanya terdiam tanpa ekspresi.

"Belum saatnya kau mengetahuinya." Jawaban darinya membuatku mengerang, amarahku mulai naik, namun lagi lagi ia menggunakan sihirnya untuk menenangkanku--lebih tepatnya mengontrolku.

"Bagaimana cara agar aku percaya bahwa kau tidak memanfaatkanku?" tanyaku menantang.

"Aku tak perlu memanfaatkanmu. Karena kita memiliki garis takdir yang sama, kau adalah 'Locvita'ku," ujarnya tenang.

"Tentang pembunuhan itu, kau akan tau sebabnya di sana," lanjutnya yang berhasil membuatku menoleh.

Aku menatapnya sekali lagi kemudian menyerah. Entah mengapa, aku begitu lemah ketika berhadapan dengannya. Yaah, kalian tau rasa penasaranku lebih tinggi daripada keteguhanku sendiri dan aku sangat menyesali sifatku yang satu ini.

"Apa yang harus kulakukan?"

Kenangan Virginia itu tersenyum dingin lagi. Senyum kemenangan.

***

Lingkaran besar di dinding kamarku kini menampakkan cahaya biru, sejurus kemudian terganti dengan warna hitam pekat. Portal buatan itu sudah terbuka dengan sempurna. Meski tidak sebagus portal sebelumnya, kurasa hasilnya cukup memuaskan. Yeah, aku tak benar-benar membuat portal, aku hanya berusaha untuk membukanya kembali, karena sejak lama portal ini sudah ada. Entah siapa yang membuatnya.

Bagaimana tidak? Membuka portal buatan ini tidak semudah kelihatannya. Tidak hanya sekedar merapal mantra dengan ritual-ritual. Tapi lebih kepada energi dan pikiran kita sendiri. Fokus menjadi satu-satunya kunci. Dan itu adalah salah satu kelemahanku. Berkali-kali aku gagal membuka portal itu karena pikiranku bercabang ke mana-mana.

"Kau akan menemukan jawaban atas pertanyaan dan keraguanmu jika sudah sampai di sana." Itu yang dikatakan kenangan Virginia kepadaku.

Oh! Satu lagi. Kepercayaan dan tekad yang besar juga berperan penting. Kenangan Virginia juga berkali-kali berseru kesal kepadaku sebab keraguan yang masih bertengger di pikiranku.

Dan pada akhirnya aku berhasil membuka portal buatan itu setelah percobaan ke 109 kali. Bahkan kini jam telah menunjukkan pukul 3 dini hari. Butuh wantu 2 jam untuk menyelesaikannya.

Aku menatap ke arah kenangan Virginia. "Lalu?" tanyaku.

Jika kalian bertanya-tanya tentang keadaan kamarku saat ini, akan kujawab sangat bersih dan rapi. Tidak ada lagi pecahan-pecahan porselen di lantai. Bantal dan bonekaku juga tertata rapi di atas kasur. Ternyata selain membuatku tak terlihat dan suaraku tak terdengar, kenangan Virginia ini bisa memanipulasi ruang dan waktu. Ia memanfaatkannya untuk mengembalikan keadaan kamarku seperti semula, seakan-akan aku tak pernah memecahkan porselen dan melemparinya bantal.

"Masuklah, apa lagi?" Ah, lihatlah perangainya yang begitu menyebalkan! Sangat berbanding terbalik dengan yang diceritakan oleh Felix.

"Ya! Aku tau, maksudku, setelah aku sampai di sana, apa yang harus kulakukan? Kau sendiri tau aku tak memiliki kekuatan apapun untuk melawan Penguasa-Kegelapan-Tiada-Tanding." Aku menjelaskannya dengan geram. Ia terdiam lagi.

Tiba-tiba aku merasa diriku tertarik ke dalam portal buatan itu. Seakan-akan portal itu berusaha menyedotku ke sana. Aku menatap kenangan Virginia dan seketika itu tau apa yang terjadi. Ia menggunakan kekuatannya untuk mendorongku masuk ke dalam portal. Hal terakhir yang kulihat adalah senyuman dinginnya sebelum kegelapan.

Aku jatuh terjerembab dengan mulut yang berciuman dengan tanah. Ah, sial! Mengapa aku tak pernah mendarat dengan anggun seperti di film-film Harry Potter? Saat itu aku jatuh terlentang dengan belakang kepalaku membentur lantai, sekarang aku terjerembab mencium tanah. Yang benar saja, itu sama sekali tidak keren.

Aku bangkit berdiri, menepuk-nepuk pelan bajuku yang kotor. Tunggu, mengapa aku jatuh di tanah? Bukankah seharusnya di lantai kayu?

Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Argghh!! Ini sangat tidak sesuai dengan harapanku. Lihatlah! Bukannya berada di Markas The Secede, aku malah berada di tengah hutan belantara dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Kusumpah serapahi kenangan Virginia. Ia sama sekali tak membantu banyak.

Hutan ini begitu luas dengan pohon-pohon raksasa yang sebagian besar batangnya telah ditumbuhi tanaman merambat. Aku tidak begitu paham jenisnya. Mungkinkah benalu? Tanaman paku ataupun hanya lumut? Mengingat hutan ini begitu lembab, hanya ada cahaya matahari yang samar-samat menyusup lewat celah dedaunan.

Tak ada pilihan lain, aku memutuskan untuk berjalan tak tentu arah sambil memanggil anggota The Secede, barangkali aku tak jauh dari markas mereka.

"Felix!!! Neroon!! Alcie!!" teriakku di sepajang perjalanan.

"Kalian semua di mana?!!" teriakku lantang.

Tiba-tiba aku melihat sekelebat bayangan seseorang yang berlari sangat cepat. Aku segera mengejarnya. Mungkin saja itu adalah salah satu anggota The Secede. Namun perkiraanku melesat sangat jauh. Di depanku kini bukan Felix atau yang lainnya. Bahkan bisa dibilang bukan seseorang.

Aku mematung sejenak melihat makhluk besar berbulu lebat tersebut. Ia tampak mirip sekali dengan anjing, hanya saja memiliki 3 kepala. Dan aku tak berani bergerak sedikitpun karena ia tengah membelakangiku, sedang memakan mangsanya. Aku menelan ludah. Melihat caranya memakan rusa tersebut membuatku berpikir betapa buasnya ia.

Aku mundur sedikit, tak sengaja menimbulkan suara dari ranting kayu yang kupijak dan membuat telinganya bergerak, ia berhenti menikmati hidangannya. Aku berusaha menelan salivaku dengan susah payah. Makhluk itu menoleh ke arahku. Ia tampak sangat marah. Sesaat aku berpikir riwayatku sudah tamat.

Namun, untunglah Dewi Fortuna sedang berpihak kepadaku dengan mengirimkan Harimau hitam bercorak biru yang langsung menerkam anjing berkepala tiga itu. Mereka bertarung dengan sangat ganas, saling menggigit dan mencakar satu sama lain. Berkali-kali harimau hitam itu tumbang karena lawannya. Biar bagaimanapun, anjing itu memiliki kepala lebih dari satu sedangkan harimau itu sendiri hanya memiliki satu kepala, meski tubuh mereka sama-sama besar.

Aku seakan lupa, alih-alih kabur menyelamatkan diri malah asik menonton perkelahian mereka. Dalam hati mendukung si Harimau hitam. Ketika harimau itu terpelanting ke sana kemari karena anjing itu, serta merta harimau hitam bangkit dan meraung dengan keras. Corak biru di badannya bersinar terang. Dan hal itu membuat anjing yang awalnya menyalak garang jadi mencicit layaknya tikus yang ketakutan. Nyalinya ciut dan sejurus kemudian pergi meninggalkan kami.

Aku tertawa melihatnya, namun tawaku terhenti seketika saat harimau hitam itu berbalik menghadapku. Aku hanya bisa terdiam mematung. Harimau hitam itu mengerang ke arahku, mendekatiku perlahan.

Namun anehnya, ia tak menerkamku, malah secara magis, ia berubah menjadi menusia biasa sepertiku. Ia seorang pria dengan rambut berwarna coklat gelap dan mengenakan blazer coklat yang sudah lusuh. Langkahnya tertatih menghampiriku.

"Kau tak apa?" Tanyanya.

Aku membelalakkan mataku seketika, sangat terkejut melihatnya. Sejenak aku sangat ragu, namun wajah orang yang kukenal dengan pria ini begitu identik. Tapi bagaimana bisa kami bertemu di dunia antah berantah seperti ini?

"Bukannya kau ...." Aku terdiam sebentar. Butuh waktu untuk mencerna semua kejadian ini.

"Lincoln Steward?"

hayooo ada yang bisa menebak Lincoln itu siapa sebenarnya? Mengapa Lyra merasa begitu mengenalnya?

Hahahaa aku uda berhasil membuat kalian penasaran belum??

Kalau mau tau tunggu chapter selanjutnyaa okee

salam dari author^^

Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!

LailArahmacreators' thoughts
Next chapter