webnovel

Just a Dream?

"Lyra, kaulah satu-satunya harapan kami,"

Aku menelan ludah. Aku tau Felix berkata dengan sungguh-sungguh. Ia tidak main-main. Tapi ... bagaimana? Bagaimana caraku mengalahkan mereka? Sedangkan aku tak memiliki kekuatan apapun.

Aku menghela napas. Tiba-tiba terbesit sesuatu di benakku. Sesuatu yang gila. Entah itu masuk akal atau tidak, tapi aku berusaha meyakinkan diri. Toh, kehadiran Felix dan semua yang kualami di dunia ini sama tidak masuk akalnya, bukan?

Dengan perlahan, kedua tanganku yang digenggam Felix kulepas. Aku yang kini menggenggam kedua tangannya.

"Aku akan berusaha semampuku, Felix. Dengan kekuatan ataupun tidak," ujarku mantap. Felix tampak terbelalak tak percaya.

"Aku belum menyelesaikan kalimatku," ujarnya. Aku mengerut bingung. Eh?

"Entahlah Lyra, aku sebenarnya mulai ragu atas semua ini. Bagaimana jika kau ... bukan gadis yang diramalkan? Bagaimana jika ramalan itu salah," ujarnya.

Aku mengeratkan genggaman tanganku padanya. Felix menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kau memang satu-satunya harapan kami, namun aku tidak mungkin menjerumuskanmu ke dalam urusan ini. Kami yang memiliki kekuatan saja tak mampu menghadapi Meliora dan pasukannya, apalagi kau yang hanya gadis remaja biasa," ujarnya.

Aku menggeleng tidak setuju.

"Lalu bagaimana dengan yang lainnya? Mereka telah mengharapkanku begitu besar. Kau yang dari awal bersikeras untuk meyakinkan mereka, tapi mengapa kini kau yang tidak yakin? Lagipula apa arti dari mimpi-mimpiku selama ini? Tentang Virginia, tentang Locvita," aku berusaha mengingatkannya kembali akan hal itu.

Felix hanya terus menggeleng lemah. Ia menundukkan kepalanya. Aku menyentuh bahunya dan mengelusnya perlahan, untuk menenangkannya yang tengah terisak.

"Felix, mungkin aku tak bisa menenangkanmu dengan sihir, tapi kau bisa memegang kata-kataku. Aku Lyra, akan menjemput takdirku untuk mengambil batu pusaka itu," ujarku meyakinkannya.

Perlahan ia mendongak, menatapku. Kulihat setitik air mata di sudut matanya. Aku ingin menghapusnya, namun Felix lebih dulu bangkit. Ia menarikku untuk ikut dengannya.

"Ayo, sepertinya mereka telah menunggu lama," ujarnya.

Mendengar itu aku tersenyum mengiyakan. Kami kembali masuk ke dalam markas.

"Alcie, ayo kita berlatih lagi! Neron, aku ingin mencoba sekali lagi menggunakan tongkat sihir itu!" Aku langsung berseru kala sudah benar-benar masuk ke dalam markas. Semangat itu kian membara. Mungkin, inilah takdirku. Mungkin, inilah alasan mengapa mimpi-mimpi itu tak pernah berhenti untuk menggangguku.

Namun mereka semua hanya bergeming di tempat masing-masing, tampak putus asa. Bahkan Alcie yang tadinya bersikeras menyuruhku untuk terus berlatih pun, kini hanya menatap kosong ke arahku.

"Ada apa dengan kalian?" tanyaku heran.

"Arthur, ada apa?" tanyaku lagi. Arthur yang biasanya selalu menjawab pertanyaanku kini juga hanya bungkam. Bahkan ia tak menatapku sama sekali.

Dengan perlahan, aku berjalan ke tengah ruangan, berhadapan dengan perapian. Mereka semua menghampiriku. Erol berlutut di hadapanku seraya menepuk bahuku pelan.

"Kau anak yang baik," ujarnya begitu lirih. Aku semakin mengerutkan alis, tak mengerti. Apa maksudnya semua ini?

"Lyra," panggil Neron. Aku menoleh ke belakang, tempatnya berdiri. Ia mengeluarkan tongkat sihirnya dan mengacungkannya padaku.

"Setelah kau kembali, kau tidak akan mengingat kami lagi," ujarnya. Ia merapal sebuah mantra dan cahaya biru muncul dari ujung tongkatnya, mengenai kepalaku.

Arthur, Moeba, Erol dan Felix menyatukan tongkat sihir mereka. Dan cahaya putih keemasan keluar dari sana, memantul ke perapian.

"Maafkan aku, Lyra," ujar Alcie sembari melepas sarung tangan kirinya.

Sebelum aku sempat mengatakan apa-apa, Alcie lebih dulu merentangkan tangan kirinya dan menghujamiku beberapa serangan yang menyakitkan sebelum akhirnya aku masuk lagi ke dalam lingkaran cahaya di perapian.

***

Aku terbangun dengan napas yang terengah-engah. Kupandangi sekitarku dan baru kusadari ternyata aku tertidur di lantai kamar. Tepat di hadapan gambar lingkaran besar itu. Aku menatap lingkaran itu lamat-lamat. Ornamen yang ada ditengah-tengahnya tampak menyala samar.

Aku menghela napas. Jadi, semua itu hanyalah mimpi? Namun, mengapa terasa begitu nyata? Bahkan aku masih bisa merasakan sakitnya dadaku kala Alcie menyerangku.

"Lyra!!" Seruan itu lantas membuatku menoleh. Kudapati Ibu, Ayah dan Kakak tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamarku. Mereka menghampiriku.

"Kau tidak apa-apa Nak?" Tanya Ibu yang tampak sangat khawatir. Aku mengangguk meyakinkan mereka.

"Kami mendengarmu berteriak sangat kencang tadi," ujar Kakak. Aku hanya diam. Apa itu benar-benar hanya sekedar mimpi?

Ibu menoleh dan seketika berteriak kencang kala melihat lingkaran itu. Ayah juga ikut melihat apa yang baru saja dilihat Ibu dan serta merta membawa Ibu ke dekapannya. Ibu semakin menjadi dan mulai meracau tidak jelas. Ia terlihat sangat shock. Dan Ayah, berkali-kali mencoba menenangkannya.

"Dia...dia kembali! Dia kembali dan mengutuk kita!! Dia akan membuatku menderita!! Penyihir itu!!"

Racau Ibu seraya menunjuk-nunjuk lingkaran itu. Ayah dengan sigap kembali merengkuh Ibu yang ingin mendekati lingkaran. Ia membawa Ibu keluar dari kamarku. Aku hanya menatap bingung keduanya. Sungguh terkejut aku melihat reaksi Ibu yang seperti itu hingga tak bisa berkata-kata lagi.

Aku beralih menatap Kakak, ingin meminta penjelasan. Namun Kakak tampak tak fokus. Tubuhnya bergetar, matanya sibuk menyusuri ruangan kamarku dan raut wajahnya tak beda jauh dengan raut wajah Ibu barusan.

"Kak," panggilku.

Ia segera tersadar dan menghindari tanganku yang ingin menyentuhnya. Raut wajahnya terlihat sangat...ketakutan.

"Kau ini kenapa?" Tegurku.

Ia menggeleng cepat.

"Se-sebaiknya kau pergi tidur," ujarnya sebelum meninggalkanku.

Sekali lagi aku dibuat bingung dengan mereka. Ada apa sebenarnya? Tampaknya ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku.

Aku bangkit berdiri.

"Au," rintihku kala merasakan sakit di bagian dada. Perlahan aku menuju ranjangku dan berbaring di sana. Kutatap lamat-lamat jendela kamarku yang kini tak tergantung lagi Dreamcatcher pemberian Berta.

Aku menghela napas pasrah. Entah malam ini aku bisa merasakan tidur nyenyak atau tidak.

Ada apa dengan ibu dan kakaknya Lyra?

aiihh?? Ini sebenarnya mimpi atau bukan, Thor?

Aku yakin kalian bertanya-tanya seperti itu. tunggu chapter selanjutnya, oke?

Atau barangkali kalian ingin menerka-nerkanya sendiri? Boleh, tinggalkan di kolom komentar. Siapa yang paling menarik mungkin bisa aku pertimbangkan untuk chapter selanjutnya.

LailArahmacreators' thoughts
Next chapter