webnovel

Love or Lust

Mature Story (21+) Perselingkuhan yang membuat nyaman. “Aku menginginkannya sekarang, boleh nggak?” bisik Liam di telinga Soraya saat kedua tangan kekar itu melingkari perut langsing wanita itu. “Kecuali malam ini kamu nginap di sini. Akan aku layani kamu sampai puas!” balas Sorsya berdesis, membuat Liam semakin memanas. Persis seperti kata orang, jika pria lebih menyukai sebuah tindakan, nafsu yang terbangun dari pengakuan, kontak fisik dan terlihat nyata. Sedangkan wanita lebih menyukai sentuhan, sebuah kata-kata yang terucap, kegombalan hingga rayuan telinga. Maka tidak heran, jika kaum lelaku selalu di katakan sebagai pelaku sedangkan wanita sebagai korban. Namun, apa benar itu nafsu? Bukan cinta? Please follow akun Instagramku @bossytika

BossyTika · Urban
Not enough ratings
326 Chs

Di Balik Sekat

Ceril merasakan perubahan yang sangat signifikan dari kekasihnya, Liam. Apalagi saat dia menghubunginya lewat telepon. Jarang diangkat. Begitu pula dengan chat yang jarang dibalas, hanya dibaca saja.

Terkadang sampai tidak ada kabar dalam 24 jam. Membuat Ceril selalu gelisah melewati kesehariannya. Belum lagi jika Liam tidak mengaktifkan ponselnya, sejuta pemikiran negatif langsung muncul berlalu-lalang dalam otaknya.

Seperti hari ini, sudah sejak pagi Ceril menunggu kabar dari Liam. Pesan singkat 'selamat pagi' sudah dia kirimkan, terkirim, tetapi tidak ada balasan. Dia juga sudah dua kali mencoba menghubungi ponsel Liam, tidak aktif. Lagi-lagi seperti ini.

"Dia di mana, sih? Apa hapenya lowbatt? Tapi nggak mungkin ... dia paling nggak betah kalau sampai hapenya habis baterai." Ceril menggerutu pada dirinya sendiri.

Jemarinya kembali meraih ponsel, mencoba mencari keberadaan kekasihnya melalui media sosial. Ya, Ceril mencoba memantau akun media sosial Liam, siapa tahu lelaki itu sedang merekam kegiatannya dan menerbitkannya di sana.

Dengan gesit jempol itu bergerak menyentuh layar ponselnya sendiri, menggeser satu demi satu tampilan yang ada di sana. Nihil. Akun media sosial Liam tidak aktif, tidak ada kegiatan di sana. Tidak ada satu pun postingan terbaru.

Ceril menghela napas, jengah. Wanita itu merasa putus asa sekarang. Lantas apa yang harus dia lakukan?

Baru beberapa saat yang lalu pandangannya teralihkan akibat melamun, tiba-tiba ponsel Ceril berdering. Dia sontak terkejut dan segera melihat siapa yang menelponnya. Ternyata sebuah panggilan telepon dari Erna.

"Iya, hallo?" sapa Ceril, begitu menerima panggilan telepon itu.

Di seberang sana, Erna dengan keringat dinginnya, merasa ragu-ragu untuk menghubungi Ceril. Pasalnya, Erna melihat Liam yang sedang makan siang bersama dengan seorang wanita cantik. Bahkan lebih seksi dari sahabatnya itu.

"Kamu di mana, Cer?" tanya Erna sedikit gugup.

"Kenapa? Mau ngajakin makan siang? Aku lagi nggak mood!" cerocos Ceril.

"Bu-bukan! Em ... itu loh, itu anu, aku mau anu ...." Erna kembali gugup, sebab kedua matanya saat ini sedang asyik memerhatikan Liam yang sedang tertawa lebar berbincang dengan wanita seksi itu.

Seketika Ceril emosi, mendengar sahutan Erna yang tidak jelas itu. "Kamu kenapa, sih? Anu anu! Apanya?"

Lidah Erna benar-benar terasa kaku sekarang, mungkin karena hatinya yang tidak tega untuk memberitahukan kenyataan yang ada di depan mata saat ini. Bahwa Liam sedang duduk dengan wanita lain. Dan terlihat begitu senang.

"Nanti aku telepon lagi, deh! Bye!" Erna langsung memutuskan panggilan telepon itu dengan tegas. Sepihak, tanpa mendengarkan jawaban dari Ceril terlebih dulu.

Erna kembali melanjutkan kegiatannya, memerhatikan dari kejauhan di balik sekat tinggi, pembatas antar kursi. Liam masih tertawa ringan sambil berbincang dengan wanita seksi yang menopang menyilangkan kedua kakinya.

Berkali-kali perutnya berbunyi akibat rasa lapar, tetapi berkali-kali pula dia mengacuhkann urusan itu. Menganggap mengintai Liam lebih penting dibandingkan mengisi perutnya. Erna berpindah posisi duduknya, semakin mendekati meja Liam. Lebih tepatnya, bersebelahan.

"Trus kamu sampai kapan di Jakarta?" tanya Liam pada wanita di depannya.

"Hanya sampai besok lusa. Soalnya tadi pagi urusanku sudah kelar semuanya," jawab wanita itu.

Perbincangan antara Liam dan juga wanita itu terdengar sangat jelas di telinga Erna, hingga dia bisa mengetahui jika wanita di hadapan Liam itu bernama Sofia. Sepertinya bukan orang Jakarta. Sebab dari caranya bertutur kata terdengar sangat lembut.

"Temani aku jalan-jalan keliling di sini, ya, Liam? Kamu nggak sibuk, 'kan?" tanya Sofia gembira.

"Enggak kok, aku free beberapa hari ke depan. Tapi di atas jam sebelas siang, baru aku bisa temenin kamu keliling."

Perbincangan itu terus mengalir, membuat Erna semakin menajamkan telinga, sambil perlahan menyantap makan siangnya. Tidak ada obrolan yang terlalu serius, biasa saja. Erna merasa sia-sia mendengarkannya.

"Apa nggak ada obrolan yang lebih penting?" gerutu Erna, sembari menyesap ice lemon tea-nya. Menegakkan tubuh, kembali duduk seperti biasanya.

"Trus gimana kabar Soraya? Dari tadi kamu nanyain kehidupan aku aja, sekarang waktunya kita bahas hidup kamu!" damprat Sofia pada Liam.

Karena ucapan itu, Erna yang mendengar jelas di balik sekat kursi menjadi tersedak minumannya. Terbatuk-batuk begitu mendengar nama Soraya disebutkan oleh wanita itu. Hampir semua pasang mata memandanginya, membuatnya sedikit merasa malu.

Dengan senyuman tipis yang sengaja Erna perlihatkan ke semua pengunjung, sebagai tanda permintaan maafnya karena sudah mengganggu kenyamanan mereka dalam menyantap makan siangnya. "Maaf ... maaf mengganggu ...." Erna terus tersenyum garing.

Erna kembali menajamkan telinganya, berharap obrolan antara Liam dan Sofia terus berlanjut. Tidak berganti topik pembahasan hanya karena batuknya yang tidak dikenal itu. Sedangkan kedua orang yang dimaksud itu malah terlihat acuh saat mendengar kegaduhan dari meja makan sebelahnya.

"Soraya baik, dia baik-baik aja," jawab Liam cuek, sambil kembali menyantap makanannya.

Sofia terkekeh melihat teman lamanya itu masih saja bersikap sama seperti dulu, tidak ada bedanya sedikit pun. "Ngapain masih nyimpan rahasia itu? Anak TK juga bisa lihat sikap kalian," ucapnya santai. Sebuah senyuman tipis terukir jelas di sudut bibirnya.

Liam mengacuhkannya. Sedangkan sepasang telinga lainnya sontak menegang, saat mendengar kata 'rahasia' terucapkan. Pemilik sepasang telinga itu adalah Erna, yang masih tetap berada di tempatnya.

Erna langsung melemaskan tubuhnya, kembali duduk bersandar pada dinding sekat, agar telinganya dapat lebih dekat mendengar obrolan di meja belakangnya. Tentu saja obrolan kekasih temannya itu.

"Jadi, besok rencananya kita mau kemana?" tanya Liam mengalihkan topik perbincangan saat itu.

Sofia berdecak sebal. "Jangan belokin obrolan deh!" sahutnya.

"Lagian ngapain kamu nanyain lagi sih? Udah tahu malah nanya mulu." Liam semakin ketus. Bukan karena topik obrolan yang membahas tentang Soraya, tetapi Liam memang risih jika kehidupan pribadinya dibicarakan pada ruang lingkup publik.

Ya, Liam memang sedikit pemalu. Dan Sofia tahu betul tentang tabiat temannya itu. Tabiat sejak pertama kali mereka kenal, tidak berubah.

"Masa nanya aja enggak boleh?" Sofia terus menjahili Liam, menggodanya dengan seribu satu cara. Sedangkan Liam tetap bertahan pada pendiriannya.

Perbincangan yang hangat itu terus mengalir begitu saja, dengan kedua pasang telinga yang terus saja mendengarkan dari balik sisi dinding sekat pembatas antar wilayah meja itu. Namun, tiba-tiba saja, perbincangan itu seakan memudar. Tercampur dengan obrolan pengunjung lain yang rupanya mulai memadati ruangan tersebut.

Erna semakin mendengus kesal. Niatnya yang ingin mengumpulkan informasi untuk Ceril, malah gatot alias gagal total. Ditambah lagi dengan ketidaktahuan Erna tentang 'siapa wanita yang sedang duduk santai bersama Liam' itu.

"Shit!" decak Erna, begitu suara pengunjung lain sudah semakin menenggelamkan suara Liam di sana. Erna gagal menjadi detektif dadakan untuk Ceril.

***