webnovel

Bertingkah Aneh

Semilir angin sejuk di pagi hari masuk begitu saja ke dalam kamar tidur Soraya. Membelai lembut tubuhnya yang tidak tertutup oleh selimut. Hawa sejuk itu terasa merasuk ke tulang hingga membuatnya bergidik sambil menggeliatkan tubuh.

Sebenarnya, Soraya masih ingin berlama-lama di atas kasur empuk itu. Tetapi nyatanya, itu tidak bisa dia lakukan. Dia masih harus bekerja, mengumpulkan pundi-pundi uang untuk masa depannya kelak. Masa depan yang entah akan kemana arahnya. Yang jelas, Soraya harus memiliki tabungan uang sebanyak-banyaknya, itulah yang ada dalam pikirannya.

Tidak lama berselang, baru saja Soraya meregangkan otot-otot tubuhnya, menarik kencang kedua tangan dan kedua kakinya. Menggeliat bak ulat keket yang tubuhnya bisa memanjang dan memendek. Kemudian ponselnya berbunyi dengan nyaringnya. Sebuah panggilan telepon.

Soraya bergegas bangkit dari kasur, lalu meraih ponselnya yang sengaja dia letakkan di atas meja rias untuk sekalian mengisi daya baterainya. Sebuah nomor tidak dikenal muncul pada layar ponsel, membuat dia mengernyitkan dahinya.

Cukup lama wanita itu memandangi layar ponselnya sambil membiarkan nada deringnya terus saja mengalun di udara. Otaknya berpikir, "Nomor siapa ini? Aku tidak mengenalnya," batinnya.

Satu panggilan tidak terjawab berhasil menghiasi layar ponsel itu. Soraya tidak peduli. Belum sempat dia meletakkan ponselnya, tiba-tiba nada dering tanda panggilan masuk kembali berbunyi. Nomor yang sama, nomor yang tidak dia kenali.

Dengan seribu lipatan rasa penasaran yang tercetak pada dahinya, Soraya memberanikan diri untuk menerima panggilan itu. "Hallo?" jawabnya saat ponselnya sudah menyentuh daun telinganya.

Di seberang sana, suara berat seorang lelaki langsung menyapa indera pendengarannya. "Hallo, Soraya? Gimana keadaan kamu?" tanya lelaki yang ternyata adalah ayahnya Liam, Rudie.

"Oh, ini Om Rudie? Astaga, maaf ya, Om, Aya nggak tahu kalau ini nomor telepon, Om," jelas Aya yang sempat terdiam saat mendengarkan suara Rudie, hingga akhirnya dia mengenali suara tersebut.

"Iya, ini nomor kantor, nomor khusus untuk bisnis. Gimana kabar kamu?" Suara Rudie terdengar cemas. Jelas saja, sebab baru kemarin Rudie mengalami kejadiaan tidak terduga itu.

"Loh, kok Om tahu nomor telepon aku?" Dia bingung, Soraya kembali duduk di atas kasur, dengan tangan yang masih melekatkan ponsel pada telinganya.

"Tanya sama Liam. Kamu baik-baik aja?" Rudie kembali bertanya, dia masih khawatir.

"Iya, Om, aku nggak apa-apa kok."

"Baguslah. Jangan lupa istirahat dan juga refreshing. Nikmati hidup dengan tenang. Nikmati juga penghasilan yang kamu dapatkan, jangan berikan ke orang lain. Uang gaji itu adalah reward untuk diri kamu sendiri, setelah sebulan penuh bekerja." Rudie mengatakan itu untuk sekadar mengingatkan Soraya, agar anak itu tidak lagi memberikan uang kepada kekasihnya. Ah bukan, bukan kekasihnya, melainkan mantan kekasihnya.

Sebuah senyuman tipis terlihat di wajah Soraya. "Iya. Maaf Om, gimana kabar tante? Aku lupa tanya kemarin."

"Baik." Pikiran Rudie melayang beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Kejadian kemarin jangan kamu ceritakan ke siapa pun. Cukup kita yang tahu dan beberapa orang di kantor kamu. Malu kalau sampai banyak orang yang menceritakan kamu."

Kali ini bukan senyuman yang mengembang, Soraya malah tertegun mendengar pola pikir Rudie. Benar-benar bijak dan dewasa. Ya, jelas saja dewasa, Rudie sudah berkeluarga dan memiliki anak. Bahkan usia perkawinannya juga sudah terbilang lama.

"Iya, Om, iya. Tenang aja, lagian ngapain juga aku cerita ke sana-kemari. Kurang kerjaan itu namanya." Soraya terkekeh.

Dalam hati Soraya ingin sekali menanyakan tentang keberadaan Liam pada Rudie, tetapi entah mengapa kalimat itu seakan sulit untuk diucapkan. Lidahnya terasa kelu, padahal dalam otaknya berkecamuk pemikiran tentang lelaki yang satu itu. Lelaki tempatnya berkeluh kesah.

"Ya sudah, kamu istirahat aja. Om cuma mau ngomong itu ke kamu." Rudie langsung memutuskan panggilan teleponnya. Soraya juga hanya berdiam diri.

***

Hari ini Liam berencana membawa Sofia untuk berkeliling, bersenang-senang. Ya, bukan hanya untuk hiburan Sofia semata, tetapi juga untuk hiburan dirinya.

Jauh di lubuk hati Liam, dia begitu merindukan Soraya. Beberapa menit sekali dia memeriksa keadaan ponselnya, siapa tahu ada chat ataupun panggilan dari wanita itu. Namun semua itu nihil adanya. Ponselnya terlalu sepi, tidak ada pemberitahuan apa-apa.

Entah sudah berapa lama mereka berdua tidak saling berhubungan, yang jelas, pemikiran Liam mengawang jauh mengingat wanita tersebut. Begitu pula saat dalam perjalanan menuju ke tempat Sofia berada.

Berkali-kali Liam melamun, dan berkali-kali pula ia lupa membelokkan kemudi setirnya, hingga menyebabkan dirinya selalu saja melewati jalan yang lebih jauh. Tidak hanya itu, Liam juga berkali-kali mendapatkan bunyi klakson dari mobil orang lain akibat khayalannya.

"Bodoh! Kenapa aku jadi begini!" pekiknya pada diri sendiri.

Sesaat kemudian, akhirnya ia sampai di tempat Sofia yang sudah menunggunya lumayan lama.

"Ke mana aja sih? Lama banget!" sewot Sofia begitu membuka pintu mobil Liam. Belum lagi ujung bokongnya mendarat sempurna di atas kursi mobil, mulutnya yang pedas itu sudah menusuk telinga Liam.

"Kebiasaan banget sih! Kalo janjian tuh pasti leletnya minta ampun. Dari dulu sampai sekarang, nggak ada perubahan. Gitu-gitu aja. Mestinya biasain buat on time, lagian nggak ada salahnya juga ...," cerocos Sofia.

"Udah deh, nggak usah diperpanjang." Liam memotong celotehan Sofia yang selalu memojokkan dirinya.

Sofia langsung bungkam seribu bahasa, menduduki kursi dan menutup pelan pintu mobil. Bukan karena takut akibat teguran Liam, melainkan karena dia tahu, bahwa suasana hati temannya itu pasti sedang kacau. Sebab raut wajah Liam yang terlihat amat tidak bersahabat.

Dengan kecepatan sedang, Liam mengendarai mobilnya mengelilingi kota. Awalnya tidak ada suara di antara keduanya, sampai pada akhirnya Sofia kembali memecah keheningan itu.

"Gimana kalau kita ajakin Soraya buat jalan-jalan juga? Kayaknya kurang seru kalau cuma berdua. Gimana?" tanya Sofia bersemangat.

Liam menoleh sekilas saat itu, mencari tahu raut wajah teman wanitanya. Sebab pepatah pernah berkata, raut wajah seseorang tidak akan mengkhianati ketulusan hati sang pemilik wajah. Dan itu semua terbukti, Sofia memang sangat bersemangat jika otaknya sudah membahas tentang Soraya.

"Dia pasti sibuk kerja," sahut Liam santai, lalu kembali memerhatikan jalanan di depannya.

Entah mengapa akhir-akhir ini Liam seakan malas untuk menelepon Soraya. Jangankan untuk menelepon, sekadar bertukar pesan singkat saja tidak ia lakukan. Mereka berdua seperti membuat jaraknya masing-masing, jarak yang membuat keduanya semakin jauh.

Sofia berdecak sebal mendengar jawaban Liam. "Belum tentu ah! Siapa tahu hari ini dia enggak masuk kerja."

"Udahlah, nggak usah repot mikirin dia. Emang kalau kita jalan berdua aja nggak bisa?" protes Liam.

Sofia akhirnya mengalah dan tidak lagi membahas tentang Soraya. Namun, begitu dirinya melempar pandangannya ke arah luar jendela mobil, tiba-tiba sesosok wanita yang baru saja dia bicarakan terlihat sedang berjalan kaki menyusuri jalan.

Ya, sosok itu adalah Soraya yang sepertinya sedang berolahraga, atau lebih tepatnya selesai berolahraga. Sebab dia tengah asyik berjalan santai lengkap dengan celana training dan jaketnya, sendirian.

"Bukannya itu Soraya?" pekik Sofia yang membuat Liam sontak terkaget menoleh lalu perlahan melambatkan laju mobilnya.

Next chapter