27 Menikmati Hidup

"Dasar cewek murahan!" hardik Reyhan, sesaat sebelum ia ditarik oleh dua orang satpam perusahaan yang sedang bertugas.

Saat itu pula, Soraya sempat mengatakan isi hatinya secara singkat, padat, dan sangat jelas. "Kita putus!" ucapnya dari balik tangan Rudie yang menghalanginya untuk melangkah maju.

Ada sedikit rasa kasihan dalam hati Soraya, saat melihat Reyhan yang diboyong keluar dari lobby perusahaan. Walaupun Reyhan terbilang cukup kasar, lelaki itu pernah mengisi hari bahagianya berdua dulu. Dan itu tidak bisa dia lupakan dengan mudah, semudah membalikkan telapak tangan.

"Sudahlah, kamu nggak kenapa-kenapa, 'kan?" Rudie khawatir sambil meneliti Soraya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Melihat Soraya yang menganggukkan kepalanya membuat Rudie tenang. Kemudian mereka segera duduk, mengatur napas masing-masing.

"Pria itu pacar kamu?" tanya Rudie menatap Soraya yang masih terlihat syok. Soraya kembali menganggukkan kepala.

"Dan kamu selalu ngasih uang kalau dia meminta?" tanya Rudie semakin tegas.

Lagi-lagi Soraya menganggukkan kepalanya pelan. Kini matanya melihat ke arah bawah, di mana ada ujung sepatunya di atas lantai. Para jemari yang semenjak tadi tertaut gemetar, kini sudah mulai berangsur-angsur pulih.

Untuk yang kedua kalinya, Soraya dipermalukan di depan banyak orang dengan lawan yang berbeda. Tetapi masih di tempat yang sama, lobby kantornya sendiri. Dan kali ini, tanpa adanya kekerasan, hanya nada suara yang meninggi.

***

Langit mulai gelap, hawa sejuk angin malam sudah mulai terasa, merasuk menyentuh kulit. Soraya pulang dari kantor menggunakan motor sekuter satu-satunya miliknya. Selalu seperti itu. Sendiri.

Pikirannya selalu saja kacau beberapa hari ini. Apalagi jika kembali mengingat kejadian tadi siang yang menimpa dirinya. Terlalu miris.

Ditambah lagi dengan menghilangnya Liam. Entah ke mana perginya lelaki itu, yang jelas Soraya tidak mendapatkan kabar apa-apa lagi tentangnya. Dan bodohnya, Soraya lupa bertanya pada Rudie tadi siang.

Soraya merutuki dirinya sendiri, sambil melangkah masuk ke dalam apartemen. Berjalan lunglai dengan pemikiran yang penuh tentang Liam.

'Apa kabar lelaki itu? Apa yang sedang lelaki itu lakukan sekarang? Apa lelaki itu merindukanku? Apa lelaki itu masih mengingatku?' Dan masih banyak pertanyaan lainnya bagi Soraya. Dia merindukan Liam, sangat merindukannya.

Langkah kaki Soraya langsung membawanya masuk ke dalam kamar, meletakkan tas, lalu segera dia melepaskan pakaiannya, sambil masuk ke dalam kamar mandi untuk segera membersihkan tubuh.

***

Brak!!

Reyhan menghempaskan kedua tangannya memukul kemudi setir. Kesal dengan keputusan Soraya yang baru saja mengakhiri hubungan mereka.

"Mestinya tadi aku yang duluan bilang putus ke dia! Sialan!" Reyhan meluapkan amarahnya.

Dengan kedua bola matanya yang tajam, Reyhan menghela napas lalu menyalakan mesin mobilnya. Segera pergi dari wilayah perkantoran mantan kekasihnya.

Ya, Soraya memang sudah menjadi mantannya. Dia sudah tidak memiliki hubungan serius lagi, dengan wanita mana pun. Dia benar-benar sudah sendiri lagi. Begitu pula dengan Soraya. Sama.

"Pantesan aja banyak duit, udah pasti dia jadi simpenan om-om!" tambahnya lagi.

Sejuta pemikiran bersemayan dalam otaknya. Penilaian demi penilaian muncul begitu saja dengan pembenarannya sendiri.

Dengan kecepatan penuh, Reyhan melintasi jalanan ibu kota. Memacu adrenalin demi melampiaskan amarah. Menyelip beberapa pengendara mobil di depannya.

Reyhan sungguh kesal atas perlakuan wanita itu. Tetapi dia juga menyesali keputusan yang telah terjadi. Sebab, satu-satunya aset berharganya kini hilang sudah. Tidak ada lagi wanita yang dapat menunjang hidupnya.

Setelah beberapa menit melintasi jalan, Reyhan membelokan mobilnya memasuki halaman parkir sebuah ruko bertingkat dua. Ada tiga pintu di lantai dasarnya, dan semuanya masih dalam keadaan terbuka dengan menjual berbagai macam kebutuhan.

Ruko itu milik Haris, sahabat karibnya. Mereka berdua sudah saling mengenal sejak lama, mungkin sudah hampir 15 tahun lebih. Entahlah.

Tingtong!

Reyhan menekan bel yang tersedia di samping dinding pintu di lantai pertama. Setelah berhasil menaiki anak tangga di samping ruko. Lumayan lama dan beberapa kali dia menekan bel tersebut, hingga akhirnya sosok Haris muncul membukakan pintu.

"Masuk!" ajaknya langsung berbalik, meninggalkan Reyhan yang berjalan membontel di belakang.

"Lu seriusan itu si Soraya mutusin?" tanya Haris sembari membuka kulkas, mengambil dua buah kaleng bir. Dia memberikan salah satunya pada Reyhan yang menarik sebuah kursi meja makan.

"Yap!" Duduk dengan tidak bergairah. "Sialan banget tu cewek!" kesal Reyhan, lalu membuka kaleng birnya dan menelan beberapa tegukan. Melepaskan dahaga yang terasa begitu kering. Sekaligus membasahi amarahnya yang masih menggebu.

Haris berdecak lalu ikut duduk di seberang Reyhan, agar mereka bisa saling bertatap wajah. "Lu terlalu nganggap remeh tu cewek! Mestinya tu cewek lu tidurin dulu, baru lu plorotin. Apa nikmatnya cuman habisin duit doang?"

Reyhan membalas decakan temannya itu sambil mendelik. "Lu tahu sendiri gua nggak bisa yang begituan. Nyari biaya hidup aja sudah bikin pusing!"

Seketika gelak tawa Haris menggema di udara, mengejek temannya yang begitu bodoh untuk hal mendasar dalam urusan bersenang-senang menurut pria kebanyakkan. Apakah Reyhan terlalu polos?

Tentu saja tidak. Reyhan tidak sepolos itu, yang tidak tahu akan kenikmatan dunia yang fana ini. Kenikmatan sesaat yang dapat meringankan otaknya dari hanya sekedar memikirkan biaya hidup.

Reyhan sudah sering mencoba hal intim itu, hanya saja dia tidak bisa menahan klimaks dari kegiatan tersebut. Sehingga, dia tidak kuat untuk berlama-lama melakukannya.

"Sesekali nikmati keduanya. Uang dapat, hasrat tersalurkan. Jadi otak lu nggak terlalu berat kalau mikir!" Haris memberi saran.

Bukannya membenarkan, Reyhan malah mencoba menyentil kaki temannya di bawah meja makan lalu berkata, "Sialan lu!" Mereka sama-sama menyesap bir masing-masing di tangannya.

Tiba-tiba pikiran Reyhan melayang, membayangkan sosok Ceril yang sepertinya anak orang berada. Dilihat dari penampilan Ceril saja, semua orang pasti bisa menebak, jika wanita itu memang anak orang kaya.

Rambunya terurai lembut, dengan pakaian yang licin dan juga wangi. Belum lagi sepatu yang dikenakannya adalah salah satu merk ternama. Sepasang dengan tas yang menghiasi lengannya. Benar-benar terlihat mewah dan juga elegan.

Bayangan Ceril begitu memesona Reyhan. Baru bayangannya saja sudah mampu seperti itu, apalagi jika wujud aslinya berada tepat di depannya. Reyhan mabuk kepayang.

"Gue punya mangsa lain. Dan gue yakin, kalau yang satu ini, gue bisa dapetin keduanya." Sebuah senyuman nakal mengembang sempurna di wajahnya, menghapus amarahnya begitu saja.

"Yakin?" tanya Haris memastikan.

"Iya, gue pasti bisa dapetin keduanya. Bukannya kata lu hidup itu harus menikmati?"

Haris menganggukkan kepalanya, setuju dengan ucapan Reyhan barusan. Keduanya saling melempar senyuman yang berarti, masih dengan sekaleng bir di tangan masing-masing.

avataravatar
Next chapter