14 PENGIRIM SURAT

Via tak bisa berhenti tersenyum ketika melihat sosok yang ada didalam televisi itu. Pria yang sudah berusia matang itu pasti adalah sosok seorang Ayah yang luar biasa bagi keluarganya. Dirinya membayangkan jika Ayahnya seperti itu pasti Via akan sangat bahagia, pikirnya.

Dengan setia ia terus mendengarkan pertanyaan demi pertanyaan yang disuguhkan oleh Host di acara televisi nya kepada pria itu. Via menopang dagunya menggunakan kedua tangan dengan siku yang bertumpu pada bantal yang berada diatas pahanya.

Dihadapan Via terdapat beberapa camilan di meja yang sengaja Via persiapkan ketika ingin menonton televisi. Sesekali tangan Via mengambil camilannya dengan mata yang terfokus hanya pada layar yang menampilkan sesosok pria sukses itu.

"Ganteng banget, Om. Ayah Via lebih ganteng dari Om gak ya?"

Via terkekeh geli, entah kenapa ada kebahagiaan tersendiri ketika melihat pria yang berada didalam televisi itu. Jam sudah menunjukkan pukul 16.00, Via melirik pintu kamar Ibunya yang sedikit terbuka sedikit. Alis Via mengerut, sejak tadi siang ia belum bertemu kembali dengan Ibunya.

"Ibu kok dari tadi belum kelihatan, ya? Kemana Ibu?" Ujar Via pelan sembari matanya terus saja memperhatikan kamar Ibunya yang sedikit terbuka.

Via menghela nafas lalu menggelengkan kepalanya, berusaha berpikir positif. "Mungkin Ibu capek." Lanjutnya lagi.

Setelah itu Via kembali fokus pada layar televisinya. Kembali tersenyum begitu mengembang setiap kali melihat sosok pria tua yang tampan itu. Via berharap Ayahnya juga selain tampan, tetapi juga adalah orang yang baik dan sayang pada Ibunya.

"Ayah, pasti Ayah gak kalah tampan dari Om. Iya kan, Om?"

Acara itu terus berlangsung sampai tak sadar ada seseorang yang sedang mengetuk pintu rumanya. Ia berniat memberi tahu Ibunya, hendak memanggilnya namun urung karena suara ketukan pintu itu kembali terdengar.

Via pun beranjak dari sofa yang didudukinya lalu berjalan melewati ruang tamu dan membuka pintunya. Betapa terkejutnya Via dengan kedatangan seorang kurir. Alis Via terangkat seolah mempertanyakan maksud kedatangan kurir itu ke Rumahnya sore-sore begini.

"Ada apa ya, Pak?"

"Apa betul ini rumah Via Lavista?"

"Iya benar, Pak."

Setelah itu kurir nya pun memberikan sesuatu pada Via. Sementara Via hanya diam dan menerimanya saja karena belum mengerti dengan situasinya.

Via merasa ada yang tengah memperhatikannya dari luar rumah setelah kepergian kurir itu. Ia memicingkan matanya ketika melihat bayangan hitam yang bersembunyi didekat pepohonan.

Via menelan ludahnya dan langsung masuk ke dalam Rumah karena takut. Ia langsung menggelengkan kepalanya berusaha menghilangkan pikirannya yang mulai bertanya-tanya.

Ketika sampai di ruang televisi, pikirannya pun langsung teralihkan ketika tayangannya masih tetap sama tentang pria matang yang sukses itu. Via ikut tersenyum ketika melihatnya tersenyum, padahal orang itu hanyalah orang asing yang tidak memiliki keterikatan apapun.

Tatapan matanya berubah sendu, "Via rindu Ayah meskipun Via belum pernah lihat Ayah." Tanpa sadar Via mengerucutkan bibirnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Ah, siapa saja yang melihatnya sedang ingin menangis tetapi ditahan pasti akan gemas dengan Via.

Karena keasyikan menonton televisi, ia hampir melupakan surat yang entah siapa pengirimnya. Ia langsung menuju kamar Ibunya yang ternyata masih sedikit terbuka. Saat ingin masuk terdengar suara Ibunya yang tengah berbicara dengan seseorang yang entah siapa.

Via bisa mendengar dengan jelas bahwa Ibunya itu membentak seperti marah dan menangis seperti terluka secara bersamaan. Melihat itu ia sempat terkejut karena selama ini Ibunya tak pernah menunjukkan kemarahannya dihadapannya sendiri.

Karena itu Via menjadi mengurungkan niatnya untuk memberitahu perihal surat yang ada di genggamannya itu. Setelah Via perhatikan ternyata ada nama yang tertera di suratnya itu.

"John... Sheikh." Via membacanya dengan alis yang berkerut. "John Sheikh? Siapa?" Gumam Via bertanya-tanya. Jika mengikuti kata hati sejujurnya Via ingin melihat suratnya, tetapi ia tak berani melakukannya.

Entah kenapa Via mendadak tersenyum ketika telah mengetahui nama si pengirim surat itu.

"Om John, Via manggilnya Om John aja, deh." Setelah itu Via menuju ke kamarnya untuk menyimpan Suratnya terlebih dahulu, namun langkahnya terhenti ketika samar-samar Via mendengar jika Ibunya menyebut nama yang sama seperti yang tertera pada surat ini.

Entah kenapa hati kecil Via menjadi ingin tahu, sebenarnya ada hubungan apa Ibu nya itu dengan orang yang bernama John Sheikh?

Via terpaksa menguping karena mendengar Ibu Via yang berbicara membentak bahkan menangis secara bersamaan. Hati Via menjadi sesak mendengarnya, entah apa yang dikatakan oleh seseorang itu hingga bisa membuat Ibunya semarah itu.

"Ibu pasti kecewa sama orang itu, hiks. Via takut lihat Ibu marah-marah."

Tanpa sadar Via menangis terisak, ia melupakan suara tangisnya yang mungkin saja bisa terdengar oleh Ibunya sendiri. Saat Via tersadar dengan apa yang dirinya lakukan, ia pun bergegas berlari menuju kamarnya dan menutup pintunya tanpa suara.

Dengan susah payah Via berusaha agar tidak mengeluarkan suara ketika sedang menangis. Ia menutupi mulutnya sendiri dengan kedua tangan untuk menutupi mulutnya, tetapi kedua matanya masih menitikkan air mata bahkan sedikit membengkak.

Terdengar suara langkah kaki seseorang yang Via yakini itu adalah Ibunya. Bahkan suara langkah kaki itu semakin mendekati kamarnya, hingga...

"Terima kasih sudah menonton acara kami, sampai jumpa lagi dengan kami minggu depan."

Itu suara yang berasal dari televisi, akhirnya Via bisa mendengar dengan jelas kepergian Ibunya yang sepertinya hendak pergi ke ruang tengah untuk mematikan televisinya.

Tangan Via hendak membuka surat itu, namun ia urung karena tak bisa melakukannya. Akhirnya Via pun memutuskan untuk menyimpannya di laci, "Maaf, Om John. Suratnya Via simpan dulu di laci, ya. Soalnya Ibu lagi gak baik-baik aja," Ujar Via sedikit tak enak hati.

Padahal meskipun Via melakukan itu, John takkan pernah tahu apa yang dilakukannya. Bagaimana bisa Via merasa tak enak hati pada orang yang tidak tahu dengan apa yang dirinya lakukan tanpa sepengetahuannya?

Itu lah Via, si gadis remaja cantik yang begitu baik. Ia benar-benar pemilik hati yang tulus, sehingga apapun yang dirinya lakukan benar-benar tulus dari hati dan juga jujur.

Via tidak bisa berbohong, tidak pandai sama sekali. Tetapi entah kenapa untuk kali ini, ia sedikit meragukan Ibunya yang sepertinya mentembunyikan sesuatu yang tak ia ketahui.

"Ibu, maafin Via." Ujar Via dalam hati. Saat hendak memasukkan suratnya kedalam laci, mata Via tak sengaja menatap foto yang ia temukan di Taman bunga rumahnya itu. Akhirnya Via pun menyimpannya dengan foto itu didalam laci, setelah menatap foto itu sedikit lama.

Laci pun ditutup kembali, hati Via mendadak hampa dan kosong. Ia merasa curiga dan kecewa pada Ibunya sendiri, menepuk dadanya yang berdenyut nyeri dengan keras. Via baru tahu bagaimana rasanya sakit hati, ternyata begitu sakit sehingga tak tahu harus bagaimana cara menyembuhkannya.

Air mata Via terus mengalir membasahi pipinya, baru menangis sebentar saja tubuhnya benar-benar lelah. Tak sengaja matanya menangkap figura foto yang terpajang diatas meja dekat tempat tidurnya.

Diraihnya figura itu yang dimana adalah sebuah foto dirinya dengan Ibunya ketika Via sedang berulang tahun yang ke 10. Ia pun membawa nya tidur dengan memeluk figura foto itu dengan erat, tentu saja tangisnya pun pecah.

Via tidak peduli dan tak ingat jika Ibunya bisa saja mendengarnya sedang menangis. Tetapi yang ia pikirkan saat ini adalah Ibunya. Via dibiarkan hidup penuh dengan ketidak tahuan dari keegoisan Ibunya sendiri.

"Maafin Via, Bu." Ujar Via dengan suara yang parau. Lagi, Via meminta maaf pada Ibunya karena Via sepertinya sedikit meragukan Ibu setelah apa yang Via lihat tadi.

Ibunya yang berhati lembut dan penuh kasih sayang ternyata bisa marah seperti itu. Mengingatnya saja Via benar-benar takut. Tak lama kantuk mulai menyerangnya, Via pun terlelap dikasurnya dengan memeluk figura foto itu.

avataravatar
Next chapter