13 AWAL DARI SEGALANYA

Besok adalah hari dimana aku akan memulai hidup baruku. Dimana aku harus terbiasa dengan keramaian, berinteraksi dengan setiap orang. Ah, rasanya tak henti-henti aku tersenyum membayangkan semua itu.

Aku berharap apa yang Ibuku inginkan menjadi terwujud. Impianku adalah dimana mimpi dan doa Ibu tentangku terwujud, karena bagiku kebahagiaan Ibu adalah yang utama.

Semilir angin yang berhembus membuat rambutku yang beterbangan menutupi wajahku. Mataku terasa perih karena rambut yang mengenai mataku, mengerjabkan mataku berkali-kali, lalu aku mengerutkan kening.

Tepat berada jauh dari posisiku berdiam, aku bisa melihat bayangan seseorang yang tengah tersenyum padaku. Aku tidak yakin itu benar-benar seseorang atau bukan, karena aku sedang berada didalam kamar menghadap jendela yang sengaja aku buka.

Aku melihat sekelilingnya tak ada seorang pun yang berlalu lalang. Namun saat aku melihat kembali ke tempat seseorang itu berdiri, orang itu masih ada. Melambaikan tangan kearahku lalu setelah itu dia berbalik pergi.

Aku menggelengkan kepalaku, berpikir mungkin hanya orang iseng saja. Setelah itu saat aku hendak beranjak dari tempat berdiam, mataku tak sengaja melihat foto yang ku temukan tadi dihalaman belakang.

Aku terus memandangi foto itu berusaha mengingat masa kecilku. Lagi-lagi aku mendesah pelan, kenapa aku tak bisa mengingat apapun tentang anak kecil laki-laki yang bersamaku ini?

"Apa dia punya Ayah? Seperti apa Ayahnya? Apa Ayahnya selalu pulang ke rumahnya atau tidak seperti Ayah Via?"

Entah kenapa aku malah merindukan Ayahku dan mempertanyakan Ayahnya. Seandainya Ayahku ada mungkin keluargaku akan lengkap dan alasanku untuk tetap bersekolah adalah kedua orang tuaku.

Aku sangat ingin sekali bertemu dengan Ayahku, tetapi aku juga tak ingin melihat Ibuku menangis. Entah kenapa saat aku mempertanyakan Ayah, Ibu selalu meneteskan air mata. Apa mungkin hidupku hanya ditakdirkan tanpa seorang Ayah?

Jika boleh memilih, aku tak menginginkan dunia ini jika aku pun tak pernah bisa bertemu dengan Ayahku.

Aku terkadang berpikir seperti apa sosok Ayahku itu dan bagaimana wajahnya, tetapi aku mencoba menghilangkan semua rasa ingin tahuku tentang Ayah.

Bagiku Ibu adalah Ibu sekaligus Ayah untukku. Karena pengorbanan Ibu terlalu besar untukku dan ini saatnya aku yang harus membalas semua pengorbanan Ibu.

"Maaf kalau Via selama ini menyusahkanmu, Bu. Via janji gak akan pernah mengecewakan Ibu lagi. Anak Ibu akan bersungguh-sungguh Sekolah sekarang."

Aku tersenyum dengan air mata yang sudah mengalir dikedua pipinya. Untung saja saat ini Ibu sedang berada didalam kamarnya, sehingga aku tak perlu takut jika Ibu akan mendengar aku yang sedang menangis.

"Aku menyayangimu, Bu." Ujarku dengan suara parau.

Saat ini aku sedang menonton televisi, hari sudah mulai sore. Aku merasa bosan tetapi aku sudah terbiasa dengan keseharianku yang seperti ini. Aku terheran karena sejak tadi siang tidak melihat Ibuku lagi. Apa mungkin Ibu kelelahan? Mungkin saja.

Aku kembali fokus menonton acara televisi, bahkan sesekali tertawa terbahak-bahak sampai acara itu selesai. Aku mengganti channel yang lain, entah kenapa aku merasa penasaran denga berita yang satu ini.

Dimana seorang pria dewasa yang begitu tampan dengan dibaluti jas hitamnya yang sangat cocok ditubuhnya. Berita itu menayangkan tentang kesuksesan seseorang itu yang ternyata merupakan CEO terkaya nomor satu di Indonesia.

Aku menjadi penasaran bagaimana sosok itu jika dilihat secara langsung dan juga bertanya-tanya. Apa Ayahku setampan dirinya? Apa dia adalah seorang Ayah dari anak yang beruntung? Beruntung sekali anak itu jika memiliki seorang Ayah sepertinya. Tidak sepertiku yang tak tahu apa alasan Ayahku tidak pernah pulang ke Rumah.

Saat sedang fokus menonton berita itu, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku pun bangkit menghampiri pintu utama untuk melihat siapa yang bertamu sore-sore begini.

Ternyata yang datang kurir yang mengantarkan surat. Aku menerimanya dan langsung kembali masuk kedalam rumah.

"Surat dari siapa ya ini? Aku kasih tahu Ibu dulu, deh."

Setelah itu aku berjalan menuju ke arah kamar Ibu melewati televisi yang masih menayangkan berita seorang CEO tampan itu. Entah kenapa ketika melihatnya tersenyum, bibirku tanpa sadar ikut tersenyum. Namun cepat-cepat aku menepuk pipiku pelan menyadarkan aku yang tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila.

Aku terkekeh sendiri, tak berangsur lama ketika aku mendengar suara Ibu seperti sedang berbicara dengan seseorang. Aku meringis mendengar Ibu yang marah dan menangis secara bersamaan pada seseorang yang entah siapa.

Melihat surat yang berada dalam genggaman, baru aku sadari tertera nama si pengirim surat disini. Niatku urung ketika melihat Ibu sedang dalam situasi seperti ini, maka dari itu aku memutuskan untuk menyimpannya dikamarku terlebih dahulu dan memberi tahu Ibu nanti.

Namun langkahku terhenti, kakiku begitu sulit digerakkan, mendadak tubuhku kaku. Apakah aku tidak salah dengar jika Ibu baru saja menyebutkan nama seseorang?

Yang membuatku bingung adalah bagaimana bisa nama yang Ibu sebut tadi begitu sama dengan nama yang tertera di surat ini. Ada hubungan apa orang itu dengan Ibuku?

Sungguh, sebenarnya aku tidak berniat menguping pembicaraan Ibu dengan seseorang itu, tetapi hati kecilku tergerak untu mendengarkannya.

Samar-samar aku mendengar jika Ibu membentaknya lagi. Entah apa yang orang itu katakan sehingga bisa membuat Ibu menjadi semarah itu. Aku takut mendengarnya, tanpa sadar aku menangis.

Entah kenapa hatiku sesak mendengar Ibu yang juga menangis. Aku bisa mendengar dengan jelas bahwa Ibu benar-benar terluka karena orang itu.

Begitu banyak rasa sakit yang sudah Ibu hadapi, tetapi kenapa masih banyak saja yang menyakiti Ibu. Sebenarnya apa salahku dan Ibuku, ya Tuhan.

Suara isak tangisku sepertinya terdengar oleh Ibu. Aku buru-buru berlari masuk kedalam kamarku sebelum Ibu melihatku sedang menangis sembari menguping pembicaraannya dengan seseorang.

Setelah pintu kamar tertutup, aku langsung menutup mulutku dengan kedua tangan yang masih menggenggam surat. Terdengar suara derap langkah kaki yang menghampiri pintu kamarku, aku tahu pasti itu adalah Ibuku.

Aku berusaha menahan isak tangisku agar tak terdengar oleh Ibuku. Aku tidak ingin membuat Ibu semakin terbebani hanya karena aku menangis. Setelah itu aku akhirnya bisa bernafas lega meskipun hatiku masih sesak, Ibuku sudah kembali ke kamarnya.

Satu hal yang aku tahu bahwa sepertinya Ibu sedang menyembunyikan sesuatu yang tak ku ketahui. Entah kenapa aku menjadi penasaran dengan isi surat yang aku genggam saat ini, tetapi aku buru-buru menggelengkan kepalaku.

Akan lebih baik jika aku menyimpannya saja terlebih dahulu. Aku menyimpannya didalam laci dengan foto yang ku temui tadi siang. Entah kenapa diumurku yang ke-15 ini begitu banyak pertanyaan yang benar-benar ingin ku ketahui jawabannya. Biarkan aku menemukannnya sendiri jawaban itu, aku sedikit meragukan Ibuku setelah ini.

"Maafin Via, Bu." Ujarku pelan kemudian mengambil figura foto yang berada diatas meja. Itu adalah fotoku dengan Ibu saat aku sedang berulang tahun yang ke-10. Aku menangis sesenggukan dengan memeluk figura itu sangat erat.

avataravatar
Next chapter