22 MEMBOHONGI VIA

Via mengerjapkan matanya beberapa kali, ia memandang langit-langit kamarnya, tubuhnya begitu lemas. Via memaksakan diri untuk bangun dari baringannya, tetapi kepalanya mendadak sangat pusing.

"Ah, sakit, hiks!" Lirih Via dengan kedua tangannya yang memegangi pelipisnya. Kemudia Via pun berdiri, berjalan dengan tertatih-tatih mencari keberadaan Ibunya.

Samar-samar Via mendengar suara seseorang, begitu menyadari siapa pemilik suara itu Via berlari keluar kamar, namun langkahnya terhenti ketika melihat ada seseorang yang bersama Ibunya saat ini. Maka dari itu Via lebih memilih melihatnya dari jauh.

Terlihat begitu jelas jika di ruang tamu sana, Ibu Via berhadapan dengan seorang pria yang tidak Via kenali. Entah apa yang mereka berdua bicarakan, tetapi jika ia lihat Ibunya dengan pria dewasa itu seperti sudah saling kenal satu sama lain.

Bahkan mungkin lebih dari itu, Via terkejut ketika Ibunya berteriak dihadapan orang itu, melihat itu Via menjadi ketakutan, bahkan seluruh tubuhnya bergetar hebat saat ini. Ia merasa seperti pernah melihat hal yang sama dimana Ibunya juga bertengkar hebat dengan seseorang.

Detik itu juga Via langsung menangis ketika mendengar Ibunya memanggil pria dewasa itu dengan nama yang tak asing bagi Via, seketika Via menggelengkan kepalanya dengan air mata yang masih mengalir deras.

"Gak mungkin, hiks."

Via menutup mulutnya dan mati-matian menahan suara isak tangisnya yang mungkin bisa saja terdengar. Ia kembali memperhatikan mereka dengan ketakutan yang begitu besar, karena seumur hidupnya, Via tak pernah melihat melihat pertengkaran seperti ini. Maka dari itu, Via benar-benar terkejut mendapati Ibunya bisa semarah ini terhadap seseorang.

Cukup, Via sudah tak tahan lagi dengan semua ini, ia langsung berlari menuju kamarnya terlebih dahulu untuk membasuh mukanya agar Ibunya tak curiga. Setelah selesai Via langsung keluar dari kamar mandi dan langsung menghadap cermin untuk melihat wajahnya sendiri.

Dirasa sudah lebih baik, Via mencoba tersenyum dan tak sengaja matanya menangkap sebuah figura foto yang mana didalamnya terdapat dirinya bersama Ibunya. Melihat wajah Ibunya yang tersenyum penuh kelembutan, lalu melihat kejadian tadi dengan mata kepalanya sendiri benar-benar membuatnya kebingungan.

Hampir saja Via akan kembali meneteskan air matanya, ia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri agar nanti ketika menghampiri kedua orang yang tengah bertengkar itu ia tidak kembali menangis. Benar, Via meyakinkan dirinya sendiri agar nanti ia tidak menangis ataupun merasa ketakutan dihadapan Ibu dan pria dewasa itu.

Akhirnya, Via keluar kamarnya, tetapi sebelum itu ia menarik nafasnya dalam-dalam lalu mengeluarkannya lagi, melakukan itu sembari berjalan menuju ruang tamu. Pemandangan pertama yang dirinya lihat saat ini adalah dimana Via dengan jelas melihat Ibunya yang sedang berada dalam pelukan seseorang itu.

Ibu Via memukuli pria itu dengan kencang, sedangkan pria itu hanya diam saja dan membiarkan Ibunya yang menangis sembari terus-menerus memukulinya. Via pun yang melihatnya sudah tak tahan lagi, ia langsung memanggil Ibunya ketika melihat Ibunya yang berhenti memukuli pria itu.

"Ibu," Panggil Via, tepat setelah itu ia melihat dua orang itu yang langsung melepaskan pelukannya, Ibu Via langsung menghampirinya dan memeluknya erat-erat, namun tatapan Via sedari tadi terfokus pada pria itu yang terdiam mematung dengan air mata yang keluar.

"Vivi, kamu udah sadar, Sayang?"

Tunggu, apa alasan pria itu menangis, dan kenapa tatapan matanya seperti seakan bahwa ia begitu merindukan seseorang yang sekian lama tidak bertemu. Akhirnya, fokus Via pun teralihkan pada Ibunya, ia ingin bertanya siapa sebenarnya pria itu.

"Ibu, itu siapa?" Tanya Via. Ibu Via sempat menatap dirinya dan pria itu bergantian sebelum menjawabnya, lalu berkata "Dia... namanya Om John, teman Sekolah Ibu dulu." Jawab Ibu Via dengan senyum yang bisa Via lihat bahwa senyuman itu dipaksakan serta matanya penuh keraguan akan jawaban yang dirinya lontarkan sendiri.

Tetapi Via langsung tersenyum, tatapannya beralih menatap pria itu yang sedari tadi diam. Via melangkahkan kakinya untuk menghampiri pria itu, "Halo, Om. Om temannya Ibu, ya? Kenalin, Om, nama aku, Via." Ujar Via dengan ramah memperkenalkan dirinya, meskipun Via merasa tak yakin jika seseorang yang ada dihadapannya saat ini hanyalah temannya.

Namun, pria itu hanya diam saja, malah menatap Ibu Via dengan tatapan yang sulit diartikan oleh Via. Ia menoleh ke belakang untuk melihat Ibunya, tetapi ternyata Ibunya sendiri bahkan tak menatap balik pada pria itu, saat ini Ibu Via sedang menunduk.

Via kemudian kembali menatap pria itu dan bertanya, "Om, kok, diam aja?" Tanya Via, pertanyaan yang dilontarkan Via sukses mengalihkan perhatian pria dewasa itu yang kini tengah gugup padanya. Kedua alis Via masih terangkat, seolah menunggu jawaban dari pria itu.

"Maaf, iya, Om teman Sekolah Ibumu, kamu cantik sekali, Sayang, mirip sekali dengan Ibumu saat masih muda dulu."

Lagi-lagi, Via melihat tatapan yang sama dari pria itu ketika menatap Ibunya sendiri. Entahlah, Via bisa melihat tatapan itu adalah tatapan kerinduan serta penyesalan yang mendalam.

"Vivi, makan dulu, yuk! Kamu belum makan, kan?" Via mengangguk, kemudian menghampiri Ibunya.

Setelah berhadapan dengan Ibunya, Via menoleh pada pria itu, "Om, Via makan dulu, ya. Om, mau ikut makan sama Via, gak?"

Via melihat pria itu mengangguk, setelah itu mereka pun berjalan menuju dapur. Via dan pria itu tengah duduk dimeja makan menunggu Ibu Via yang sedang memasak, entah kenapa ia merasa jika pria itu tengah menatap dirinya, benar saja, pria itu menatapnya yang membuat Via menjadi takut.

"Ibu, udah selesai belum?"

"Belum, Sayang, tunggu ya, sebentar lagi selesai, kok." Mendengar itu Via mendengus kesal, bibirnya mengerucut membuat pria itu terkekeh gemas melihatnya. Via menoleh sekilas, lalu menghela nafas kasarnya.

"Jangan marah, jelek, nanti cantiknya hilang."

"Iya, Om." Jawab Via pasrah. Seandainya saja pria itu tahu jika Via merasa risih dan sedikit ketakutan karena terus diperhatikan seperti itu. Selama ini ia tidak pernah ditatap terus-menerus oleh seseorang, jangankan ditatap, bergaul berinteraksi dengan orang lain saja tak pernah, lebih tepatnya tak diperbolehkan oleh Ibunya, entah apa alasannya.

Ibu Via datang dengan membawa beberapa masakan yang telah selesai ia buat. Ibunya dapat melihat jika Via sedikit merajuk, namun entah apa alasannya, "Vivi, kamu kenapa?" Tanya Ibu Via sembari tangannya mengambilkan makanan untuk Via.

Namun, Via hanya menjawabnya dengan gelengan. Ibu Via yang melihatnya hanya menghela nafas. Celetukkan Via membuat Ibu Via dan pria itu terkejut, bagaimana tidak?

"Ibu, ambilin juga buat Om." Tepat, Via meyuruhnya agar mengambilkan makanan juga olehnya. "Hah?" Ibu Via benar-benar terkejut mendengar ucapan yang dilontarkan oleh putrinya itu.

Tanpa mereka sadari jika diantara mereka ada yang senang, pria itu mengulum senyumnya, andai saja jika ia dan Ibu Via tidak berpisah, pasti saat ini John akan tertawa menyetujui perintah Via, tak perlu menyembunyikannya lagi seperti sekarang.

"Gak usah, Vi. Ayah bisa sendiri, kok." Ujar pria itu dengan senyum bahagianya. Via benar-benar terkejut dengan apa yang baru saja pria itu katakan, lalu menatap Ibunya meminta penjelasan.

Senyuman pria itu meluntur ketika suasana menjadi hening. Menatap Via dan Mara secara bergantian, terutama ketika melihat Mara, tatapan tajamnya membuatnya benar-benar menciut.

"Ayok, selamat makan. Jangan lupa baca doa dulu ya, Via." Ujar pria itu lagi. Via menganggukan kepalanya, "Iya, Om." Jawabnya, lalu sibuk dengan makanannya sendiri. Tanpa mereka sadari, jika dalam diamnya Via benar-benar memikirkan beberapa keanehan yang terjadi hari ini.

FLASHBACK OFF

avataravatar
Next chapter