webnovel

Lisya, The Guardian of Nature

Elf, dikenal sebagai ras yang paling dekat dengan alam, bersahabat dengan makhluk hidup, berhubungan baik dengan para roh, juga satu satunya ras di dunia yang mampu menggunakan sihir alam. Selama ini elf telah mengisolasi diri mereka dari dunia luar demi melindungi 'pusaka' yang telah ada sejak dahulu kala. Diberkahi dengan sihir unik, elf tidak mengenal 'teknologi' dunia luar. Hingga... kelahiran seorang anak elf mengubah takdir seluruh rasnya. Dia adalah anak termuda dalam perkumpulan mereka itu telah menjadi kunci utama keselamatan ras mereka dari kehancuran yang akan datang.

Ay_Syifanul · Fantasy
Not enough ratings
14 Chs

Bagian 7 - Melihat Dunia yang Berbeda

"Lisya, kau kah itu? Syukurlah, aku pikir ada demon lain sedang berkeliaran."

"Refaz, kau juga tau tentang demon itu?!"

Kini Lisya terkejut, pasalnya dia pikir Refaz sudah kembali ke dunia manusia beberapa hari lalu. Namun menemukannya di wilayah elf seperti sebuah keberuntungan.

Banyak hal tentang dunia luar yang belum Lisya ketahui, dengan bantuan lelaki elf itu dia akan tertolong.

"Yah, selain mengetahuinya aku bahkan sempat bertarung dengannya saat aku melihatnya pergi membawa salah seorang elf. Aku harus kembali dan memberitahukan kemana arah tujuan demon itu pergi pada tetua."

Namun pandangan Refaz justru meneliti Lisya keseluruhan. Matanya berkeliling dari puncak kepala hingga mata kaki.

"Melihatmu mengingatkanku pada elf itu...—— Tunggu, jangan-jangan..."

Lisya yang sadar akan ucapan Refaz hanya tertunduk lemas. Dia tak tau harus mengucapkan apa atau bagaimana, dia takut Refaz akan menghentikannya dengan alasan yang sama seperti Aesura dan Meisa.

"Kau benar. Demon itu membunuh ayahku lalu menculik ibuku."

Kata-katanya tertahan pada tenggorokannya seolah memaksanya untuk enggan berbicara. Lisya sendiri tau, dia hanya akan terus menyakiti dirinya sendiri bila terus menyimpannya seorang diri, namun dia enggan ada orang yang menahannya untuk tidak menolong ibunya.

Refaz bungkam. Dia baru saja memikirkan apa yang menjadi bahan pembicaraan mereka. Dengan enggan dia menghela napas, melalui tatapan sayup mata Lisya, tanpa diberitahu Refaz mengerti kenapa Lisya ada di tempat tersebut.

"Jangan katakan kau disini untuk pergi menyelamatkan ibumu."

"Itu benar. Aku akan lakukan sebisa..."

"Mustahil!"

Seketika ucapan Refaz membuat Lisya terbelak. Dia tersentak karena dia merasakan perasaan yang sama seperti sebelumnya.

"Tapi aku masih bisa lakukan sesuatu!"

Amarah, ego, rasa sedih, Lisya hampir memiliki semua perasaan itu sekaligus. Dia yang sudah merasakan perasaan kehilangan memiliki tekad untuk tidak kehilangan lagi orang yang disayanginya.

Bahkan bila dunia menentangnya, Lisya tak akan berhenti. Dia akan menghadapi siapapun yang mengganggu orang yang dikasihinya.

Itu tak terbatas siapa atau kenapa melakukannya.

"Bukan itu yang aku maksud. Apa kau tak pernah diberitahu tentang tempat ini?"

Hal itu membuat Lisya terkejut. Bukannya dia akan mendengar kata semacam Refaz akan menahannya, namun lelaki elf itu justru berujar lain.

"Tempat? Maksudmu, hutan?"

Rasanya ada sesuatu yang janggal dari ucapan Refaz, namun karena lelaki elf itu tau lebih banyak darinya akhirnya Lisya menyerah untuk melawannya.

"Dari wajahmu sepertinya kau belum mengetahui apapun. Mari ikut aku!"

Refaz berjalan menuju keluar hutan yang adalah rute serupa yang akan Lisya lalui. Lisya yang tak begitu mengerti hanya bisa mengekorinya dengan penasaran.

Tak lama kemudian mereka keluar dari hutan. Lisya seketika terpana tak kala dia dapat memandangi bulan yang indah dan terlihat begitu besar dihadapannya.

Awan juga terlihat begitu dekat dan seolah-olah Lisya dapat menggapainya hanya dengan mengulurkan tangan.

"Refaz, ini..."

"Kesini, bukan ini yang ingin aku tunjukkan."

Membawanya pada sebuah bagian seperti tanah yang paling menjorok ke luar, Refaz berdiri di ujungnya.

Menyisakan sedikit tempat untuknya, Lisya berdiri di sampingnya kemudian hal itu membuatnya telunjak, kakinya tanpa sadar melangkah mundur beberapa langkah.

"Ini..."

"Benar. Ini adalah perbatasan akhir wilayah... bukan, tepatnya benua tempat tinggal elf. Tempat ini berada di ketinggian 10.000 kaki dari atas tanah."

Langit membentang luas hingga cakrawala. Mata Lisya hanya mampu melihat awan bahkan saat dia memandang ke bawah.

"Pulau terapung?"

"Bukan pulau... tapi benua. B—E—N—U—A! Jika dibandingkan dengan yang ada di peta, benua ini sedikit lebih kecil dari Benua Goladar di dunia manusia."

Tak bisa mempercayai apa yang dilihatnya, Lisya sampai berulang kali berkedip dan mengusap matanya. Dia tidak bermimpi bahwa rupanya keberadaan elf sangat, sangat, sangat, dan sangat tersembunyi.

Namun Heindall berhasil menemukan tempat mereka, Lisya tak bisa berspekulasi kecuali jika ada yang memberitahu Heindall, dan kemungkinan itu adalah orang dalam.

"Benua ini disebut Benua Alf. Kita berada tepat di atas lautan yang memisahkan Benua Reiln, tempat tinggal Demi-human dan Benua Atherdia, tempat tinggal manusia."

"Menakjubkan!!"

Hampir saja Lisya terlena dengan pemandangan di depan matanya, namun malam berbintang dengan memandang bulan mengingatkan Lisya akan saat itu.

Saat dimana Lisya menghabiskan waktu bersama Erita dengan membaca buku di kamarnya.

"Ibu..."

Kembali air mata hampir menetes melalui kedua pelupuk matanya, namun Lisya segera menyembunyikannya dari tatapan khawatir Refaz.

Refaz kemudian justru tersenyum. Dia melihat betapa besarnya rasa sayang yang dimiliki Lisya pada kedua orang tuanya.

Dalam hatinya Refaz merasa cemburu. Dia sudah tak memiliki orang tua bahkan tempatnya untuk pulang terbatas.

Namun, dari semua itu Refaz bersyukur. Dia dapat membantu Lisya disaat gadis elf itu kesusahan. Dari apa yang dipikirkannya sepertinya Lisya sedang melarikan diri.

Dan jika itu benar maka saat ini memberitahu tetua bukanlah pilihan yang bagus. Refaz pikir dia mungkin lebih baik membantu gadis itu.

Refaz kemudian mendekat dengan mengusap pundak gadis elf itu perlahan.

"Inilah kenapa aku katakan kau tak akan dapat pergi. Ini bukan seperti aku melarangmu."

"Kau benar. Tapi, tetap saja aku..."

Telah kehilangan ibuku. Hampir Lisya berkata demikian jika saja Refaz tak menyela ucapannya.

"Itu lain lagi jika kau mau pergi bersamaku. Aku bisa membawamu ke bawah sana dan menemukan demon itu."

Menengadah tanda Lisya kembali mendapat harapannya, dia memandangi tak percaya Refaz yang bahkan adalah orang pertama yang ingin mengajukan diri untuk membantunya.

"Tapi dengan cara apa?"

"Apa kau lupa? Aku punya sahabat baik, dia akan membantu kita."

"Sahabat?"

Lagi-lagi Lisya menanyakan hal yang seharusnya dia ketahui. Refaz hanya tertawa melihat Lisya yang memandangnya tidak mengerti.

Namun, tatapannya kembali ke depan. Dia mengambil seperti sebuah harmonika yang dibuat menggunakan kayu kemudian memainkannya.

Seketika irama sedap didengar melayang di udara menghias langit. Lisya yang mendengarnya terpana dengan memandangi punggung lelaki elf tersebut.

Perasaannya yang kacau balau sedikit menghangat karenanya. Suara harmonika itu terdengar seperti melebur dengan gemerisik dedaunan menciptakan sebuah irama baru.

Tanpa sadar Lisya memejamkan matanya. Dia menikmati alunan lembut tiap nada yang menyentuh hatinya meski hanya sesaat.

Saat Lisya membuka matanya dia merasakan sebuah kehadiran. Tak jauh dari tempat mereka berdiri, hembusan angin terasa begitu berat dan suara semacam pekikan burung terdengar.

Seketika itu mengingatkan Lisya.

"Temanmu itu..."

Refaz berhenti memainkan harmonikanya, sejenak menatap hangat Lisya yang masih terdiam terpaku.

"Dia ini sahabatku yang kupercayai dan dapat diandalkan. Dia tak pernah mengkhianati kepercayaanku itu. Kau mungkin tau, namun biarkan aku mengenalkan kalian. Namanya adalah Rex Caelo atau yang berarti 'raja langit'."

Melesat melalui awan dibawah mereka, seekor griffin terbang mengepakkan sayapnya di atas langit berbintang ditemani cahaya rembulan.

Untuk sesaat Lisya membuka mulutnya lebar karena terkejut. Dia lalu tersenyum begitu Caelo turun dari langit dan mendekati Refaz.

"Kalian cukup dekat bukan?"

Lisya mengatakan itu selagi Refaz mengusap bulu di tubuh Caelo. Mereka berdua terlihat menikmati waktu mereka bersama.

Hal itu mengingatkan Lisya pada Meisa dan Aesura. Keseharian mereka tak jauh berbeda dibandingkan Refaz.

Apalagi beberapa hari lalu dirinya bersama Aesura berada di taman aurele berdua saling berbagi waktu dan kebahagiaan mereka.

Mengingat untuk dirinya sendiri seolah dapat membuat Lisya kembali menangis. Dia langsung merindukan mereka yang telah dia tinggalkan beberapa saat lalu.

Melihat ekspresi Lisya dibalik sunyinya malam, Refaz memberikan senyum penuh arti. Seolah perasaannya bisa sampai padanya, Refaz berujar.

"Memutuskan jalan hidupku sendiri adalah apa yang sudah aku harapkan selama ini. Terbebas dari peraturan, mengenal banyak orang, mengenal lebih banyak macam perasaan... aku bahagia dengan hidupku saat ini, Lisya. Jika kau merasa kehilangan dalam hatimu, maka kau cukup mengisinya kembali dengan sesuatu yang baru. Hal yang lalu bukanlah apa yang harus kau pikirkan, namun justru kedepannya lah yang menjadi tolak ukur apakah kau sanggup menghadapi halangan dalam hidupmu atau memilih kalah di tengah jalan. Terkadang hidup harus bekerja keras, menjadi kuat adalah jawabannya."

Tanpa membuang waktu, Refaz menunggangi Caelo. Makhluk setengah burung dan singa itu terlihat berubah posisi bersiap akan penerbangan mereka.

Tangan lelaki elf itu terulur padanya. Lisya, yang merasa ragu menjadi bingung. Dia memang mencemaskan ibunya, namun dia juga tak ingin menyakiti perasaan Aesura juga Meisa.

"Lisya, kebahagiaan itu... ada pada tanganmu. Kau sendiri yang putuskan, kau sendiri yang akan meraihnya. Aku disini hanya membantu."

Senyum lelaki elf itu menguatkan kembali tekad Lisya, gadis elf itu segera membalas uluran tangan Refaz. Tubuhnya terangkat menaiki Caelo.

Griffin itu berdiri dengan keempat kakinya sedikit menyentak Lisya. Sontak tanpa sadar Lisya mengulurkan tangannya memeluk tubuh Refaz dari belakang.

Sesaat Lisya terpaku ditempat. Wajahnya mulai memanas dan disamping itu, Lisya bisa merasakan kehangatan pada punggung lelaki elf tersebut.

Karena Lisya akan sangat merindukan tempat tinggalnya. Untuk beberapa saat Lisya memutuskan untuk tetap berada di posisi itu.

"Pasti menyakitkan untukmu, tapi aku akan selalu mendukungmu dari sini. Jika suatu saat kau tak dapat kembali ke hutan, aku pasti akan membantumu hidup di dunia luar sana. Aku berjanji meski sesulit apapun itu, aku pasti akan mengangkat rasa sakitmu."

Mendengar Refaz yang memutuskan untuk terus bersamanya, Lisya menjadi terharu. Tidak seperti Aesura atau Meisa yang malah menahannya, Refaz justru ingin mengemban rasa sakit itu bersamanya.

Itu terdengar seperti sebuah pernyataan cinta.

"Terima kasih..."

Caelo memekik keras pada langit. Tubuhnya mulai melayang bersamaan dengan kedua sayapnya yang mengepak menghempaskan udara.

Lisya semakin memeluk erat lelaki elf tersebut. Semakin kencang pelukannya, maka semakin berat hati juga Refaz melakukannya.

Jujur dia sedang menyembunyikan sesuatu dari Lisya. Jika dia mengatakannya dia takut Lisya akan syok dan Refaz mengerti ini bukan saatnya untuk itu.

Sebisa mungkin Refaz akan memberikan gadis elf itu kebahagiaan yang sempat terenggut darinya meski hanya sesaat.

'Maafkan aku Lisya, suatu saat kau mungkin akan membenciku. Lagipula aku ini memang seorang pengecut.'

Sesuatu hal yang besar yang menjadi alasan kenapa Refaz ingin membantu Lisya. Itu adalah sesuatu yang tak dapat Refaz katakan.

"Kita berangkat!"

Diatas langit malam, Caelo melesat turun dari wilayah kekuasaan elf. Lisya perhatikan di belakangnya, wilayah kekuasaan elf yang ternyata adalah sebuah pulau melayang besar berbentuk menyerupai bintang.

Sempat dirinya terkagum, namun pandangannya kembali ke depan. Lisya bertekad untuk menyelamatkan ibunya apapun bayarannya.

'Tunggu Ibu. Aku pasti akan datang menyelamatkanmu!'

———

"Jadi dia pergi?"

Lorphin memandangi keluar aula, dia dapat merasakan seseorang baru saja melalui dinding pelindung akhir yang seharusnya kini terjaga.

"Kita tak apa-apa kah dengan keputusan ini? Gadis elf itu baru saja memulai untuk menghadapi takdirnya yang mungkin akan diluar jangkauannya."

Freya yang setiap saat menemani Lorphin itu mendekatinya ikut berdiri disampingnya memandangi langit malam dari kejauhan.

"Akan tiba saatnya kita akan bertanggung jawab dengan tindakan kita, namun saat ini adalah bukan saatnya."

"Mungkin kita hanya akan selalu melukai hatinya."

"Kau benar. Semua ini hanyalah awal. Masalah ini akan semakin meluas termakan waktu. Akan lebih banyak orang tersakiti karenanya hingga pada akhirnya... perang akan kembali pecah."