webnovel

Lisya, The Guardian of Nature

Elf, dikenal sebagai ras yang paling dekat dengan alam, bersahabat dengan makhluk hidup, berhubungan baik dengan para roh, juga satu satunya ras di dunia yang mampu menggunakan sihir alam. Selama ini elf telah mengisolasi diri mereka dari dunia luar demi melindungi 'pusaka' yang telah ada sejak dahulu kala. Diberkahi dengan sihir unik, elf tidak mengenal 'teknologi' dunia luar. Hingga... kelahiran seorang anak elf mengubah takdir seluruh rasnya. Dia adalah anak termuda dalam perkumpulan mereka itu telah menjadi kunci utama keselamatan ras mereka dari kehancuran yang akan datang.

Ay_Syifanul · Fantasy
Not enough ratings
14 Chs

Bagian 6 - Membuat Keputusan

Lisya mengunci diri pada rumahnya hingga malam menjelang. Dia tidak makan atau minum dan hanya terus menatap wajah tidur ayahnya yang kini lukanya telah tertutup.

Meskipun begitu, jiwanya tak akan kembali. Lisya tau itu, tapi dia tidak bisa membiarkannya.

Meisa yang merasa tak enak harus membicarakan kejadian barusan dengan Aesura. Aesura langsung memahaminya segera karena dia mengenal baik Lisya daripada siapapun.

"Tak apa, Meisa. Aku akan berbicara dengannya, kau istirahatlah."

Karena tak tak harus berbuat apa, Meisa hanya mengangguk. Dia menyerahkan Lisya pada lelaki elf itu.

Disamping itu, para tetua membicarakan apa yang baru saja terjadi. Namun bahkan setelah mengetahui Erita dibawa kabur demon bernama Heindall itu, para tetua memutuskan untuk...

"Tak ada yang bisa kita perbuat." (Ruphell)

"Benar, jika memang ada yang harus kita lakukan. Itu pasti memperbaiki penghalang serta memperkuatnya." (Freya)

"Sepertinya sudah dimulai ya?" (Manolo)

"Kau benar, aku sudah memiliki visi mengenai hal ini." (Thierry)

"Jatuh korban sudah tak bisa dihindari. Mulai saat ini, perketat keamanan penghalang terluar. Untuk sisanya, mari kita melakukan penghormatan pada mereka yang telah gugur." (Lorphin)

Beberapa petinggi dan orang penting elf, mereka segera membubarkan diri dari rapat mendadak tersebut.

Namun diantara mereka semua, ada satu pria elf tetap tinggal tanpa menghiraukan yang lainnya.

"Apakah baik-baik saja dengan ini, Tetua Agung? Maksudku..."

"Lisya Moonwell. Gadis elf itulah yang sedang kau bicarakan bukan, Tuan Kyle Windell?" (Lorphin)

Kyle yang tidak terkejut hanya mengangguk tanpa menatap wajah tetuanya. Dia tertunduk memikirkan nasib gadis yang adalah anak dari teman elfnya.

"Aku mengerti. Tapi sayangnya tak ada yang dapat kita lakukan terhadapnya." (Lorphin)

"T-tapi... dia masih muda. Dan semua ini... bagiku terlalu berat untuknya. Bahkan saat aku kehilangan Sunnie, Meisa juga..."

Menutup mata menghindari pernyataan itu, Lorphin bahkan tetua lainnya juga memahaminya.

Namun mereka sudah memutuskan hal tersebut. Mereka mungkin tau risiko perbuatan mereka, namun jika mereka tidak melakukannya maka semua yang mereka lakukan untuk melindungi ras mereka akan sia-sia.

"Kembalilah, Tuan Kyle. Tidak ada lagi yang dapat kami tawarkan padamu." (Lorphin)

Terdengar sedikit menekannya, Kyle tau jika dia tidak seharusnya mempertanyakan hal tersebut.

Dia tau apa yang dikatakan para tetua adalah demi kebaikan mereka, tapi jika Kyle boleh mengatakan... dia ingin menjadi sedikit egois hanya demi seorang gadis elf.

Tidak. Mungkin bukan hanya dia, namun baginya tak ada lagi yang bisa dia harapkan dari para tetua.

Bukan berarti dia membenci keputusan itu, namun dia menyayangkan para tetua yang harus memilih untuk tidak menyelamatkan satu anggota ras mereka.

"Maaf, aku akan pergi."

Dengan itu pintu tertutup rapat. Bahkan sampai terakhir kalinya, Kyle tidak bisa membuat para tetua berubah pikiran.

Benar. Para tetua tau Lisya akan menjadi apa, mereka bahkan tak ingin mengubahnya.

Apa yang mereka putuskan mungkin akan memulai sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Itulah yang Kyle percayai.

———

"Lisya, apakah kau ada didalam? Aku masuk ya?"

Aesura yang telah menunggu hampir satu jam itu memutuskan masuk dengan paksa. Suara pintu berderit menandakan Lisya tidak mengunci rumahnya.

Aesura berkeliling mencari sosoknya. Dia pikir Lisya akan ketiduran atau sesuatu hal yang serupa dengan itu.

Namun sebuah suara seperti gemerisik terdengar tak jauh dari tempatnya berdiri. Aesura yang tau ada sesuatu dibalik salah satu ruangan yang tertutup kain itu mencoba mendekat.

Tangannya tergerak untuk menyingkap kain itu. Begitu dia masuk, wajah Aesura seketika memanas.

Pasalnya dia dipertontonkan pemandangan Lisya yang tengah berganti pakaian. Tubuhnya putih yang memunggunginya tersebut memiliki keadaan setengah terbuka karena saat itu tepat Lisya akan memakai pakaiannya.

"Ma-maaf!"

Anehnya, Lisya seperti tidak mengindahkannya. Dia hanya melanjutkan apa yang dilakukannya kemudian keluar tanpa menghiraukan Aesura.

"Tunggu, apa yang akan kau lakukan?!"

Lebih dari itu, Lisya mengambil panah pemberian Refaz. Kemudian dia menjunjung tas rami yang ada didekat pintu masuk.

Mengetahui apa yang dilakukan Lisya, Aesura segera menghentikannya.

"Hentikan, Lisya! Kau tak dapat pergi!"

Tangannya menarik gadis elf itu hingga punggungnya menghantam dinding kayu menjauhi pintu. Aesura berada di hadapannya dengan tangan menempel di dinding tak membiarkannya lari.

"Lisya, dengarkan aku. Kau tidak bisa pergi dengan cara ini. Saat ini kau sedang termakan dendam. Tenangkan pikiranmu!"

"Tenangkan pikiranku katamu?!"

Lisya membalasnya dengan suara yang serak. Wajahnya berpaling enggan menatap lelaki elf itu.

"Saat aku tenang, Ibuku sedang tersiksa dan Ayah sudah tewas. Kau pikir aku bisa tenang saat ini?!"

Meski tidak membentak, namun Lisya berujar dengan menentang Aesura. Karena dia tau, Aesura tidak akan berhenti bila dia tidak memaksanya.

"Tapi bagaimanapun tak boleh! Kau bisa mati seorang diri!"

Mendengar hal itu seketika amarah Lisya naik hingga puncak kepalanya. Rasanya dia sudah tak bisa menahan diri untuk tidak menekan lelaki elf itu dan memintanya membiarkannya pergi.

"Lalu kau biarkan Ibuku mati?! Setelah Ayahku, lalu Ibuku, jika mereka... mereka... pergi meninggalkanku. Untuk apa aku tetap hidup!! Aku tak akan bisa memiliki kebahagiaan seperti ini!"

"Bukan seperti itu. Hidupmu saat ini terancam bahaya, aku yakin pasti ada jalan keluar untuk ini. Jadi bersabarlah."

"Kau tak mengerti... kau tak akan mengerti sakitnya, Aesura! Para Tetua juga, aku yakin mereka semua tau, tapi mereka tidak mengatakannya padaku! Tak ada yang aku percayai dan tak akan ada yang bisa membuatku percaya!"

"Para tetua? Tapi aku yakin mereka melakukannya agar..."

"Agar apa?! Menyelamatkan seluruh ras dengan mengorbankan sebagian diantaranya!? Itu yang mereka lakukan. Tempat ini... sedang mengurung kita dengan peraturan mereka."

Lisya yakin ini adalah hasil penglihatan Thierry, namun pria elf itu tak pernah memberitahukannya. Dia menyembunyikannya dan bahkan dia tidak memberikan pertanda itu padanya.

Lisya bahkan belum mempersiapkan hatinya, dia tak ingin kehilangan keluarganya.

Dirinya tak bisa tenang dengan itu. Jika dia membicarakannya dengan para tetua, mereka mungkin akan menghalangi rencananya dan menahannya pergi dari hutan.

Hanya menunggu waktu hingga ibunya tewas, Lisya tak ingin hal tersebut terjadi.

"Biarkan aku pergi, Aesura."

"Lisya... tapi..."

"Biarkan aku!"

Semakin memaksanya, Aesura bisa melihat setumpuk air mata kembali menetes melalui pelupuk mata Lisya.

Berapa banyak dia menangis? Pikirnya.

Namun dengan membiarkan Lisya pergi, mungkin nyawanya akan terancam. Setidaknya Aesura tak ingin kehilangan gadis elf itu.

Hanya saja mungkin Lisya belum bisa menanggung semua ini, dirinya diliputi amarah, dendam, dan energi negatif lainnya. Lisya tak dapat pergi dengan semua itu.

Apalagi dia juga belum terlatih untuk menggunakan panah atau pedang. Aesura takut bila terjadi sesuatu padanya atau bahkan hingga diperbudak oleh para manusia.

Mungkin perkataannya mengenai para tetua ada benarnya, bahkan tentang hutan elf. Aesura pun pernah memikirkannya, namun tetap saja ego-nya tidak menginginkan gadis elf itu mengambil risiko yang begitu besar.

Masih ada satu alasan Aesura tak menginginkan Lisya untuk pergi.

"Maafkan aku, tapi tetap saja aku tak bisa membiarkanmu. Aku akan memaksamu untuk tinggal."

Meski terdengar egois, tapi ini keputusan terbaik. Setelah orang tua gadis itu, Aesura tak bisa membiarkan Lisya.

Kemudian Lisya menunduk. Dia menyadari sesuatu hal dari tindakan dan keras kepalanya Aesura.

Bibirnya kemudian berujar dengan suara lirih.

"Kau sama saja..."

"Apa?"

"Kau sama saja seperti Meisa! Kalian ingin menyakitiku! Kalian semua monster!——"

Disamping semua itu, ada satu hal yang ingin selalu Lisya katakan, namun dia tak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya pada saat itu.

Namun saat ini, Lisya yang pikirannya dipenuhi oleh sekelebat masalah mengeluarkan sebagian kecil darinya.

"—Aku akhirnya mengerti. Kalian berdua terlalu banyak memiliki kemiripan. Kalian berdua terlalu cocok."

"Tu-tunggu, apa yang kau katakan!?"

Perkataan Lisya membuat Aesura mengendur. Hal itu dimanfaatkannya untuk mendorong tubuh lelaki elf itu menjauh.

Aesura tersentak karenanya hingga menghantam dinding disamping pintu keluar.

Menyisakan waktu sebelum lelaki itu bangkit, Lisya mengambil panahnya dan anak panah lalu mengarahkannya pada sesuatu.

Kekuatan sihir terpusat pada ujung anak panah. Semakin Lisya menahannya, semakin besar kekuatan itu terhimpun.

"Lisya, hentikan!!!"

Aesura terlambat, Lisya terlanjur melepas anak panah itu dan melontarkannya dengan sentakan kuat.

———

Malam itu dimana para elf mengerjakan pekerjaan mereka dalam tenang juga sedikit perasaan risau, suara gemuruh mengejutkan mereka.

Terlebih suara itu berasal dari dalam hutan, dekat dengan tempat mereka.

Bersamaan dengan suara gemuruh, cahaya warna-warni muncul melesat pada satu titik kemudian terurai di udara dan menghilang.

Hal itu membuat kegaduhan serta memunculkan rasa takut. Mereka pikir ada serangan dari dalam seperti yang sebelumnya.

Namun salah seorang elf mengetahui asal dari munculnya serangan tersebut. Dia segera berlari mendekati tempat tersebut.

Setibanya disana, dia dikejutkan oleh lubang besar menganga di depan matanya. Juga berdiri di baliknya, sesosok elf yang dikenalnya dengan wajah seperti orang tersiksa.

"Lisya... Aesura!"

Lebih dari itu, pada dekat lubang besar tersebut sosok lelaki elf terduduk setelah mungkin terlempar pada serangan sebelumnya.

Wajah Lisya terangkat memandang Meisa. Dia berpaling sejenak, kemudian kembali dengan tatapan sendu miliknya.

"Aesura... Meisa... untuk kalian, berbahagialah!"

Tak dapat mengatakan banyak hal lagi, Lisya segera pergi melalui lubang itu dan menghilang dalam kegelapan. Meisa yang akan mengejarnya lebih mengkhawatirkan keadaan Aesura.

Lelaki elf itu bangun dengan menyentuh bahu kanannya yang terluka. Dia mendekati Meisa dengan wajah meminta maaf.

"Ini terlalu kejam untuknya. Lisya masih muda. Dan lagi, dia tidak memiliki siapapun mendukungnya."

Kata Aesura, kemudian Meisa datang menyembuhkannya.

"Maaf, jika aku tidak menghentikannya waktu itu, dia..."

"Tidak. Kau sudah melakukan hal yang benar. Saat ini semuanya diputuskan oleh hati gadis itu."

Andai Aesura memiliki kekuatan, memiliki tekad sepertinya, dia pasti sudah akan mengejarnya dan ikut bepergian bersamanya, namun dia masih takut.

Namun daripada membiarkannya mati seorang diri, Aesura...

"Lisya masih tak tau apa-apa tenang dunia luar. Aku harus menyusulnya... ugh!"

Saat kembali berjalan, bahunya yang terluka terasa berdenyut membuatnya mengerang kesakitan.

"Kau terluka, beristirahatlah."

"Tidak. Apalagi dengan... ugh... gadis itu juga telah salah paham satu hal. Hal yang selalu aku tak ingin dia tau..."

Meisa memandangnya dengan tanya. Aesura lalu menjawabnya. Rasanya terlalu berat karena terus menyembunyikannya dari Meisa ataupun Lisya.

Saat ini adalah saat terbaik Meisa mengetahui rahasianya.

"Lisya adalah..."

———

Menangis sejadi-jadinya, Lisya tenggelam dari kesedihannya. Tidak hanya orang tuanya, dia baru saja kehilangan teman baiknya.

'Aku ini... bodoh!'

Umpatnya dalam kekesalan. Padahal dia sangat menyayangi Aesura dan Meisa seperti mereka adalah keluarganya.

Diperlakukan seperti tadi hingga hampir merenggut nyawanya, Aesura pasti telah membencinya.

"Maaf..."

Hutan terlalu sepi. Setelah serangan beberapa saat lalu, penjagaan mengendur dan sebagai gantinya upacara pemakaman dilaksanakan.

Lisya dengan mudah keluar hingga dinding pelindung akhir. Disana jejak pertarungannya dengan Heindall masih ada dan Lisya bisa merasakan sesak karenanya.

"Dari sini seharusnya aku hanya perlu terus berjalan lurus. Aku mungkin akan menemukan perbatasan wilayah."

Lisya kemudian memasuki hutan terlarang dimana kebanyakan disana ditumbuhi oleh pepohonan oak dan pinus yang menjulang tinggi.

Warna pepohonan disana dapat menyamarkan keberadaan dan Lisya akan dengan segera keluar melaluinya.

Karena khawatir, Lisya mengenakan mantel cokelat yang telah dibawanya. Tas ikat pada pundaknya, dan busur yang tergantung pada punggungnya.

Dirinya akan baik-baik saja. Dia meyakini hal tersebut. Yang perlu dia lakukan hanyalah mencari informasi mengenai ritual yang dibicarakan oleh Heindall disaat terakhir.

Pendengarnya saat itu mungkin dia batasi, namun dia bisa mendengarnya hanya pada saat terakhir.

"Heindall... ritual... aku akan menghancurkan semuanya!"

Saat berpikir dia akan baik-baik saja, tiba-tiba ada sesuatu yang menyentuh pundaknya dengan kasar.

Sentuhan itu terasa seperti sebuah tangan. Lisya terkejut mengetahui mungkin seseorang berhasil menyusulnya.

Beruntung Lisya telah mengenakan mantel untuk menutupi dirinya, dia mungkin belum diketahui.

Kemudian sosok di belakang punggungnya berujar.

"Siapa kau? Dan apa yang kau lakukan disini?"

Namun seketika Lisya tersadar karena mengingat suara itu. Kepalanya terangkat dan tanpa sadar membuat penutup kepalanya merosot jatuh.

"Seorang elf?!... Tunggu busur itu——!!"

Lisya berbalik melepas penjagaannya. Dia tidak merasa takut dan untuk sesaat dia mungkin bersyukur bertemu dengan sosok tersebut.

Didalam hutan yang gelap tersebut, cahaya rembulan memasuki area pandangnya dimana sosok itu ikut terkejut mengetahui siapa dirinya.

"Benar. Busur ini adalah pemberianmu... Refaz!"

Dengan begitu Lisya akhirnya dapat menemukan mungkin seseorang yang dapat membantunya menemukan ibunya di dunia luar sana.