"Kita sudah sampai, sekarang kau bisa melihat betapa indahnya Kota Mizore."
Kata Refaz yang sejak awal mengambil alih tugas sebagai kurir untuk mengangkutnya agar dapat memasuki kota.
Awalnya mereka sempat terhenti karena pemeriksaan, namun Refaz yang memiliki surat izin khusus berdagang yang diberikan dari seorang kenalannya dapat masuk kota tanpa dicurigai.
"Apakah semua ini... manusia? Mereka terlihat begitu berbeda-beda. Lihat disana! Mereka sedang melakukan apa?"
Perjalanan mereka begitu tenang dengan suara deburan ombak di samping mereka.
Disana dipenuhi oleh berbagai macam kapal khusus penumpang juga nelayan yang berlabuh pada sebuah dermaga kayu yang dibuat diatas air.
Pemandangan tidak biasa itu membuat Lisya kagum. Ini pertama kalinya dia berada di dunia bawah, wilayah manusia dan kini dia diperlihatkan oleh lautan luas melebihi danau yang ada di hutan tempat tinggalnya.
Didampingi oleh berbagai gerai dipinggir jalanan, suasana dermaga menjadi begitu ramai juga terlihat begitu menyegarkan mata.
Tak ada yang terlihat susah, wajah mereka dipenuhi oleh kebahagiaan. Akan tetapi, tatapan Lisya tanpa sadar jatuh pada sekumpulan manusia yang terlihat begitu akrab bermain di pinggiran dermaga. Disana ada orang dewasa menemani mereka.
Bahkan tanpa dikatakan Lisya bisa mengerti.
Perasaan tak enak hinggap di hatinya. Rasanya kebahagiaan yang dia dapat barusan begitu semu, tertinggal, namun Lisya tak bisa merasakannya lagi.
Lisya kembali masuk ke dalam gerbong. Refaz yang selalu mengikuti arah pandang Lisya kemudian tersenyum seraya tetap menatap ke depan.
"Apa kau merindukan ibumu?"
"..."
Lisya bungkam. Air matanya sudah tak sanggup mengalir kembali, namun hatinya begitu sakit seolah tengah diperas hingga kering.
"Aku bukannya ingin berkata sesuatu yang buruk tentang ibumu. Tapi, jika kemungkinan terburuk terjadi... apa yang akan kau lakukan?"
"Aku..."
Mereka pergi untuk menyelamatkan Erita, namun jika mereka gagal bahkan hingga sejauh ini Lisya tak tau harus melakukan apa.
Dia telah meninggalkan hutan, mengkhianati Aesura dan Meisa, terutama dia mengkhianati perasaannya yang mengatakan untuk meminta bantuan pada kedua sahabatnya itu.
Lisya tau mungkin itu yang terbaik, namun Lisya ingin setidaknya berusaha untuk menyelamatkan ibunya entah itu akan menjadi sia-sia atau tidak, dia ingin mencoba.
"Aku tak tau. Aku tak memiliki siapa pun lagi untukku bersandar. Aku tak dapat kembali."
Jika ibunya pergi meninggalkan sisinya, Lisya berpikir untuk dirinya bunuh diri agar mereka bisa bersama di alam sana, namun Lisya yakin Refaz tak akan membiarkannya.
"Jika kau berpikir untuk bunuh diri, maka itu tak akan merubah apapun. Kau hanya akan menyakiti semua orang. Jangan berpikir rasa sakit itu milikmu seorang."
"Aku tau. Bahkan aku juga tau kau akan menghentikanku."
Refaz bungkam. Bahkan sekali pun itu bukan dirinya, seseorang pasti akan menghentikan tindakan Lisya.
Namun Refaz tertunduk karena mengingat sesuatu. Dia sempat berpikir juga untuk menahan Lisya agar dirinya tak pergi, akan tetapi tersirat melalui tatapan matanya rasa kehilangan yang begitu sangat.
Tatapan matanya mengingatkan Refaz akan dirinya di masa lalu. Saat dirinya tak berdaya dan hanya mampu pasrah menerima keadaan seakan-akan hidupnya dapat berakhir kapan pun.
Akan tetapi dia diselamatkan dari perasaan itu, seseorang datang padanya merawat dirinya meski pada akhirnya dia dilepaskan.
Namun perasaan saat berkeluarga itulah yang menjadi semangat hidup Refaz. Jika, suatu saat dia bisa membagikan hal yang sama pada seseorang yang membutuhkannya, Refaz akan merasa hidupnya sudah cukup bahagia.
"Tapi, aku masih tak mengerti. Kenapa kau mau membantuku?"
"Kenapa ya? Aku hanya berpikir itu hal yang benar untuk dilakukan. Hanya itu."
Dibalik perkataan yang diucapkan dengan rendah oleh Refaz itu, Lisya seolah bisa mengerti ada sesuatu yang mengganggu pikiran Refaz saat ini.
Jadi dia memilih diam saat kereta kuda mereka terus melaju di jalanan setapak Kota Mizore.
Sesaat penciumannya yang tajam dapat mencium aroma amis dan bau asin air laut. Hal itu menjadi teman perjalanannya hingga tiba-tiba kereta mereka terhenti.
"Kesini. Tempat ini satu-satunya tempat teraman untukmu membuka jubah. Terus memakainya akan terasa panas bukan."
Saat Lisya memunculkan kepalanya dari balik kain yang menuruti gerbong kereta, dia bisa melihat sebuah rumah yang terbuat dari sesuatu yang dikenalnya sebagai batu dan kayu.
"Bahan utama bangunan ini adalah batu bata. Batu bata sendiri terbuat dari tanah liat."
"Ke-kenapa kau mengatakan itu padaku?"
Tanya Lisya seolah Refaz bisa mengerti apa yang dipikirkannya.
"Karena aku tau kau akan menanyakannya."
"Hmpp!"
Tak heran jika Lisya penasaran. Ini pertama kalinya dia melihat susunan bangunan yang tidak dikenalnya.
Seluruh rumah bahkan perpustakaan di hutan terbuat dari bahan alami berupa kayu dan dedaunan, namun melihat struktur bangunan yang begitu tebal dan kokoh itu membuat Lisya terpikirkan sesuatu.
Refaz yang tak memperhatikan Lisya hanya berjalan ringan setelah meninggalkan kuda dan gerbong kereta pada sebuah tempat yang sepertinya memang dikhususkan untuk hal itu.
"Refaz, sebenarnya ada siapa di balik dinding ini? Apakah ada elf lain disini?"
Awalnya Lisya menaruh curiga dikarenakan memang tempat tersebut begitu asing apalagi Lisya tidak merasakan kehadiran elf lainnya.
"Tidak. Justru sebaliknya, manusialah yang menempati tempat ini."
"A-apa?! Tapi..."
"Tenang saja. Aku yakin mereka tak akan terkejut jika aku membawa setidaknya satu orang elf lagi."
Lisya tak mengerti. Hatinya belum bisa tenang apalagi jubah yang dikenakannya semakin membuatnya gerah. Jika dia tak melepasnya segera, Lisya pikir dia bisa gila.
"Percayalah padaku. Ini akan baik-baik saja."
Tak menghiraukan Lisya yang masih berdiri mematung di belakangnya, Refaz mengetok pintu toko yang kemudian masuk dengan mengucapkan permisi.
Hal pertama yang Lisya dapati adalah aroma hangat dan sedap dari berbagai benda dihadapannya.
Benda-benda yang tak pernah dia lihat yang dibentuk sedemikian rupa sehingga sebagian menimbulkan kesan cantik untuk dipandang.
"Benda apa ini, Refaz?"
"Ini roti. Kau bisa memakannya jika kau sudah membelinya."
"Makanan? Beli? Sekarang, setelah kau mengatakannya..."
Perut Lisya berbunyi sesaat setelah Refaz mengatakannya. Seperti sebuah peringatan kalau Lisya tidak memperhatikan kesehatannya, Refaz sempat tertawa.
"Kau ini... kau ingin pergi dengan kelaparan seperti itu?!"
"A-a-aku tau! Tidak usah kau katakan juga!"
Saat Lisya tengah memperdebatkannya dengan Refaz, dari arah dalam toko terdengar suara seorang gadis yang dipenuhi oleh keceriaan.
Suaranya seperti tengah bersenandung diikuti irama langkah kaki yang mendekat.
Begitu matanya menangkap sosok Refaz, gadis itu menampakkan wajah sumringah diikuti langkah yang semakin cepat.
"Kak Refaz! Jadi kau sudah kembali. Bukankah ini terlalu cepat?!"
Gadis yang mungkin seumuran dengan Lisya itu melompat kecil dengan tangan yang mendekap lengan lelaki elf itu. Wajahnya tampak bahagia dengan tatapan mata yang tidak berpaling bahkan sesaat.
"Ah, Sana. Yah, ada keperluan mendadak jadi aku pulang lebih awal."
"Hee... masih kerja? Kita sudah lama tak pergi keluar bersama. Kita juga masih bisa meminjam kapal milik Ayah untuk pergi memancing."
Lisya perhatikan dengan sangat gadis berambut cokelat sebahu itu juga manik mata merah darah miliknya yang begitu lekat dengan Refaz.
'Apa dia sudah tau siapa Refaz?'
Pasalnya mereka begitu akrab dan lagi gadis itu memanggil Refaz dengan sebutan 'Kak'.
Karena rasa penasaran memenuhi pikirannya, Lisya bertanya dengan suara rendah.
"Refaz, manusia ini... apakah dia keluarga dari ras campuranmu?"
Sontak pertanyaan Lisya membuat Refaz dan gadis yang dipanggil Sana itu memandang kearahnya dengan tatapan tanya.
"Manusia...?"
"Bukan seperti itu. Yah, kau tau seperti dalam hutan dimana kau tak memanggil seseorang dengan 'Paman' atau 'Bibi'. Disini berbeda, manusia menghargai usia dan waktu hidup mereka hingga penamaan itu dibutuhkan."
"Hutan...? Jangan-jangan..."
Sana nampak terkejut dengan memandang ke arah Lisya seolah telah menebak sesuatu.
Tak berhenti sampai di situ, seseorang muncul dari balik pintu dalam toko setelah mendengar keributan di dalam tokonya.
"Aku tak pernah mengatakan kau boleh membawa elf lain kemari."
"Paman Ren. Aku kembali. Dan juga maaf karena tak mendiskusikannya sebelumnya, tapi aku ingin Paman mendengar sesuatu."
Ekspresi pria dewasa dengan rambut hitamnya yang berantakan itu terlihat serius. Dalam diam dia menunggu Refaz mengatakannya.
"Ini tentang tempat tinggalku."
———
"Jadi begitu, aku bisa mengerti. Akan tetapi kau tidak seharusnya membawa kemari. Kau pikir ini tempat pengasingan."
Kata Ren dengan suara tegas membuat Lisya yang masih bersembunyi dibalik tudung jubahnya ketakutan.
"Aku tau. Aku punya alasan membawanya kemari, kami hanya akan tinggal beberapa hari untuk persiapan."
Mengikuti perkataan Refaz, Ren memperhatikan gelagat lelaki elf yang sudah dikenalnya cukup lama itu.
Wajahnya sama sekali belum melembut dan tatapannya masih tajam tertuju pada Refaz, akan tetapi perkataannya kemudian mengejutkan Lisya.
"Lakukan sesukamu!"
Perwatakan tubuh besar Ren menghilang dari balik pintu keluar toko roti tersebut. Refaz dan Lisya yang seolah mengingat untuk bernapas mulai menghirup udara dengan panjang.
"Refaz, kau bilang mereka tak akan terkejut?!"
"Memang, hanya... masalah kecil. Paman Ren selalu seperti itu, dia sulit diajak kompromi."
Lisya terlihat tidak menyukainya. Refaz mungkin sudah terbiasa, namun perasaan barusan lebih seperti akan membunuhnya saja.
Tatapan Lisya kemudian jatuh pada gadis yang berdiri tak jauh dari Refaz. Sesaat setelah percekcokan tadi gadis ini nampak menjauh, namun kemudian dia justru terlihat penasaran padanya.
Alasannya karena dia selalu memandang Lisya seolah berusaha mengintip wajahnya.
Refaz yang memperhatikan itu kemudian mengenakan mereka.
"Sebelum itu kenalkan dulu. Ini Sanae Aylmer, putri tunggal Renardo Aylmer. Mereka sudah membantuku kurang lebih 5 tahun terakhir."
Gadis itu tersenyum pada Lisya. Lisya yang sadar akan posisinya kemudian ikut mengenalkan dirinya.
"Namaku Lisya Moonwell. Garis keturunan murni keluarga elf. Ayahku Ayrei Moonwell dan ibuku Erita Moonwell. Pekerjaan suci yang diberikan padaku..."
"A, a, a, berhenti! Kau tidak harus mengatakan semuanya. Cukup nama dan margamu saja sudah cukup."
Refaz panik saat mengetahui kalau Lisya hampir mengungkap seluruh identitasnya di hutan. Refaz pikir itu ide yang buruk membiarkan Sana tau semua itu.
"A-a-aku, maaf!"
Saat Lisya membungkukkan badannya meminta maaf, tudung jubahnya tersingkap mulai memperlihatkan penampilannya.
Seperti sebuah pancaran keanggunan menyebar disekelilingnya, Sana nampak iri. Baginya yang adalah ras manusia mengakui ketidaksempurnaannya dibandingkan ras elf.
"Senang bertemu denganmu, Lisya."
Wajah gadis elf itu bangkit dengan mata yang berbinar. Dia pikir dia tak akan diterima di tempat tersebut atau setidaknya mereka menaruh curiga padanya.
Namun sepertinya Refaz sudah menutup semua untuknya. Karena itu Lisya jadi berhutang banyak padanya.
Dan kali ini Lisya untuk pertama kalinya mulai merasa berteman dengan makhluk selain elf. Dia harap dia akan baik-baik saja selagi Refaz ada disampingnya.
"Aku juga, Sanae."
Kedua gadis itu saling tersenyum. Refaz merasa tenang saat melihat Lisya sudah kembali lebih baik daripada sebelumnya.
"Mari masuk, aku yakin kalian lapar setelah perjalanan jauh kalian kemari."
Sana yang entah bagaimana bisa menyadari itu membuat Lisya memerah karena malu, suara perutnya yang sebelumnya berbunyi cukup nyaring pasti terdengar oleh Sana.
Entah bagaimana Refaz bisa kembali tertawa karenanya membuat gadis itu semakin memerah malu.
"Refaz!!"
Lisya berseru untuk menghentikan lelaki itu.