"Kau... demon!"
"Hoo... sepertinya kau mengenalku. Aku pikir ras elf adalah ras bodoh yang hanya dapat bersembunyi dalam sangkar mereka." (???)
Pandangan gadis elf itu teralihkan untuk sejenak. Dia begitu terkejut hingga dari matanya hampir meneteskan air mata.
Dia sama sekali tidak mempercayai apa yang saat ini dilihatnya.
"Kau lihat. Mereka langsung menyerangku setelah melihatku. Mereka layak mendapatkan semua itu." (???)
"Mereka... layak...?"
Tatapannya jatuh pada demon dihadapannya. Meisa menggertakkan giginya menahan amarahnya yang akan meluap-luap.
"Mereka teman kami... keluarga kami... kematian yang seperti ini, kau pikir layak untuk kami!?"
Meisa pergi meninggalkan tempatnya disisi Lisya. Gadis elf itu meneriaki kekesalannya pada demon itu.
Benar. Hanya melihat teman-temannya tergeletak tak berdaya, tewas, bahkan ada yang tak tersisa.
Karena demon itu. Demon yang mengganggu ketenangan mereka. Demon yang menghancurkan keseharian mereka, kebahagiaan mereka... Meisa tidak bisa menerimanya.
Tidak hanya sekadar elf, bahkan tumbuhan dan hewan yang Meisa kenal tinggal di daerah sana juga menghilang tak membekas.
"Aku masih memiliki sisa tenaga. Mari kita bermain-main terlebih dahulu." (???)
Mengetahui seberapa besar potensi Meisa dalam menggunakan sihir alam, demon itu merasa senang karena mendapat lawan yang setara dengannya.
"Wahai ibu bumi, guncanglah tempat ini dengan kuasamu!"
Tanah seketika bergetar dengan kencang. Demon yang belum terbebas dari jeratan akar berduri itu berusaha menghindari tanah yang mencuat berusaha untuk menusuknya.
Dengan setipis kertas demon itu sanggup menghindar bahkan dengan Erita yang berada di salah satu sayapnya. Serangan itu juga telah menghilangkan akar yang menjeratnya.
Namun karena demon itu tak melawan, Meisa berhasil mendekat. Dia mengumpulkan energi alam pada kepalan tangan kanannya lalu menghempaskannya pada demon tersebut.
*BANG!!!
Meisa terkejut dengan mata terbuka lebar. Pukulannya berhasil dihentikan hanya dengan satu tangan demon itu.
"Boleh juga." (???)
Demon itu tersenyum. Bahkan ditengah perkelahian mereka, Meisa menyadari seberapa besar perbedaan kekuatan mereka.
Karena itu Meisa mencoba melepaskan diri.
"Aku memohon kekuatan untuk..."
"Lambat!" (???)
"...?!"
Kekuatan kegelapan menyelimuti tangan demon yang bebas. Dibandingkan sihir penguatan yang akan Meisa gunakan, kecepatan pemanggilan sihir mereka jelas berbeda.
"GYAAA...!!"
Tubuhnya seketika melayang sesaat kemudian terseret pada tanah cukup jauh meninggalkan bekas garis panjang di tanah.
Bahkan dengan resistansi serangan fisik dan sihir pada pakaiannya, jelas dampak serangan barusan telah melampaui kekuatannya untuk memulihkan keadaannya.
"Masih belum!"
Namun Meisa tidak berhenti. Jika dia berhenti melawan, entah berapa banyak demon itu akan melukai hati seluruh elf terutama Lisya.
Meisa tak menginginkan hal tersebut.
"Meisa..."
Dibelakang mereka, Lisya mampu melihat seberapa besar perjuangan Meisa hanya demi membantunya yang bahkan hanya bisa mengeluhkan keadaan mereka saat ini.
'Andai saja aku mendengarkan saran Ibu dan Meisa untuk berlatih, maka aku bisa membantunya, tapi yang aku lakukan...'
Benar. Lisya tak berpengalaman dalam simulasi pertarungan langsung. Dia juga belum mampu menggunakan senjata apapun.
Sejak awal Erita selalu mendorongnya untuk ikut pelatihan Kyle, namun Lisya terus saja mengeluh dan menolak permintaan Erita untuk pergi.
Mungkin ini adalah hukuman untuknya. Dia yang tak bisa memperdengarkan saran orang disekitarnya, akan kehilangan sesuatu yang sangat disayanginya.
Kemudian tanpa Lisya sadari Ayrei telah menggenggam tangannya. Untuk sesaat Lisya tertegun mengetahui Ayrei berusaha sebisa mungkin tersenyum padanya.
"Ayah..."
"Pergilah...!"
Ayrei terbatuk darah lagi. Kali ini jumlah darah terus meningkat bahkan saat Lisya masih menggunakan sihir pemulihannya.
"Tidak, aku tak akan meninggalkan Ayah!"
"Lisya, dengarkan aku... jika kau... membiarkan... dia... membawa ibumu,... kejadian ini... akan terus terulang."
"Tapi... tapi...!!"
"Tidak... lebih dari... ini. Kau juga... masih memiliki... teman, kan?"
Suaranya semakin rendah. Matanya mulai sayup-sayup terpejam membuat Lisya semakin panik. Dirinya yang tak tau harus berbuat apa hanya terdiam bungkam.
Dia menekankan seluruh kekuatannya untuk memulihkan luka Ayrei, namun dengan sejumlah besar darah yang keluar. Jujur, Lisya putus asa. Dia tak akan mampu menutup seluruh lukanya tepat waktu.
"Kumohon... ibumu... selamatkan dia. Lisya... anakku..."
Tangan yang terlumuri darah itu perlahan jatuh melewati genggaman tangan Lisya. Mengikuti sayup mata Ayrei yang terpejam, kekuatan pemulihan Lisya berpecah menjadi kepingan titik cahaya kecil di udara.
"A... yah...? Ayah...?!"
Dia memanggilnya berulang kali, namun tidak ada jawaban dari Ayrei. Dengan takut Lisya mendekatkan telinganya pada jantung pria elf tersebut.
...sunyi...
Suara jantung Ayrei tak berdetak membuat Lisya terguncang. Tubuhnya menegang dan bergetar begitu kuatnya. Air matanya jatuh tanpa Lisya inginkan.
"Tidak... tidak... tidak.. "
Lisya terus menggumamkan demikian seraya mencari secercah harapan kecil tertinggal. Namun dia tak menemukannya bahkan untuk sekecil biji tumbuhan.
"TIDAAAAAAKKKK! KUMOHON JANGAN TINGGALKAN AKU, AYAH!"
Jeritan kesedihan Lisya dapat didengar Meisa dari kejauhan. Hal itu membuat Meisa sadar apa yang telah terjadi.
Saat ini, Lisya yang tengah bersedih membutuhkannya. Namun posisi Meisa tidak mengizinkannya untuk kembali. Masih ada nyawa seseorang yang dapat ditolongnya.
"Kemana kau melihat saat menghadapiku, huh?!" (???)
Kali ini sihir kegelapan itu sepenuhnya menyelimuti tubuhnya. Rasa sesak seperti dirinya dicekik oleh sesuatu yang tak tersentuh.
Tubuhnya naik mengikuti tangan demon itu. Meisa berusaha sebisa mungkin melepaskan diri, namun lehernya yang tercekik tidak mampu membuatnya merapalkan sesuatu.
"Sepertinya waktu bermain-main telah selesai. Awalnya aku berniat membawamu juga, tapi... kau tidak lebih hanya boneka yang akan mengganggu. Lebih baik kau pergi dan mati saja!" (???)
"UWAAAAA...!!!"
Kini disekitar mereka hanya diisi jeritan kesakitan Meisa. Kekuatan yang melekat di tubuhnya bahkan tidak mengizinkan para roh untuk membantu gadis itu.
"Selamat tinggal, elf——!!!?"
Saat Meisa hampir saja meregang nyawa, dorongan kekuatan yang begitu besar menghempaskan demon itu menjauh
Meisa terlepas karenanya. Dia terjatuh dengan terbatuk-batuk. Kepalanya mengingat apa yang baru saja terjadi, namun dia tak mengetahui siapa yang memiliki kekuatan sebesar itu.
Namun tak lama dari itu, Meisa akhirnya menemukan jawabannya begitu seseorang berdiri disampingnya tanpa memandang kearahnya.
Dengan bekas air mata di matanya, kerutan di wajahnya, darah di sekujur tubuhnya. Meisa akhirnya sadar apa yang baru saja dilalui sosok tersebut.
"Li...sya?"
———
"Tak bisa ku maafkan. Setelah kau membunuh ayahku dan melukai ibuku... aku tak akan memaafkanmu!"
Cahaya di matanya mulai memudar. Darah yang mengalir dalam tubuhnya dibuat mendidih hingga puncak kepalanya. Kini hanya amarah lah yang menguasai diri Lisya.
Keyakinannya yang sebelumnya telah dibuat hancur. Lisya sadar ini bukan saatnya dia hanya meratapi apa yang terjadi dihadapannya. Namun lebih dari itu...
'Kekuatan itu... Lisya...'
Meisa sangat mengenal kekuatan yang menyelimuti tubuh gadis elf itu. Kyle bahkan Aesura pernah mengatakan padanya kalau kekuatan itu tidak terkendali dan mampu menghancurkan apapun bahkan bagi penggunanya.
"Lisya... sihir roh milikmu... Tidak, kau sendiri membuatnya lepas kendali!"
Tak dapat mendengar suara Meisa, Lisya melesat secepat udara mengambil kepalan tangannya meninju wajah demon itu.
Demon itu terpukul karenanya. Dia tak mampu menghindari serangan dengan kecepatan itu.
"Cih, pengganggu lainnya muncul. Sepertinya kau ingin melihatku serius!" (???)
Tekanan udara disekitar demon itu berubah. Meisa bahkan tau kalau serangan demon beberapa waktu lalu bukanlah kekuatan penuhnya.
Karena demon itu enggan melukai tubuh Erita, dia meletakkan wanita elf yang telah pingsan itu menjauh dengan kekuatan kegelapan yang menyelimutinya.
Namun Lisya tak mundur. Dia maju mendekati demon itu dengan serangan sihirnya. Karena Lisya tak memiliki keahlian bertarung, maka dia hanya bisa mengandalkan sihirnya.
Namun tetap saja seperti yang seharusnya terjadi. Lisya tidak mampu melihat apapun kecuali demon itu dihadapannya. Tanah, udara, bahkan ibunya. Semua itu terlihat begitu gelap.
Lisya tau itu ganjaran baginya untuk menggunakan seluruh kekuatan... tidak. Lisya melepas seluruh batasan miliknya. Bisa dikatakan saat ini tubuhnya hanya dipenuhi oleh kekuatan pemberian para roh.
Lebih tepatnya, Lisya berusaha mengendalikan kekuatan yang diluar kendali.
Sosok merah darah dihadapannya telah dia identifikasi sebagai musuhnya. Lisya tak berhenti memberikan seluruh perlawanannya padanya bahkan saat tubuhnya mulai terasa begitu berat.
Sesaat Lisya bisa merasakan sosok itu mengucapkan sesuatu, namun saat ini telinganya dibuat tuli hingga yang ada dalam pikirannya hanyalah melenyapkan sosok itu.
Bahkan saat serangan sihir mengenai tubuhnya, Lisya tak dapat merasakan apapun. Dia bahkan tak tau apa yang terjadi pada tubuhnya, namun dia tetap bertarung. Mulutnya terus merapalkan sihir yang diketahuinya.
"Ugh! Bagaimana mungkin!?" (???)
Demon yang terlihat kuwalahan meladeni gadis elf itu mulai merasakan perbedaan mereka.
Disaat dirinya berusaha meningkatkan kekuatannya hingga batas tertentu, Lisya justru meningkatkan tekanan kekuatannya secara bertahap.
Kekuatan itu terus meningkat seolah tak memiliki batasan. Ditambah lagi, sihir yang digunakannya adalah sihir tingkat dasar dan itu terasa begitu berat untuknya.
Namun bukan hanya dirinya yang khawatir, teman gadis elf itu justru menunjukkan kekhawatirannya pada keadaan tubuh gadis elf itu.
Benar. Meskipun kekuatannya terus meningkat, namun tubuhnya tak akan mampu menahannya. Dia akan hancur dalam waktu tak lama jadi demon itu menahan diri untuk beberapa waktu.
"Lisya, hentikan! Kau tak bisa menahan seluruh kekuatan itu!!!"
Suara Meisa tidak didengar.
"Maaf, jika kau tidak mendengarkanku, aku harus memaksamu untuk berhenti."
Meisa memaksakan sihirnya pada saat terakhir sebelum Lisya dapat mendekat.
Puluhan akar tanpa duri menjerat gadis elf itu. Menahan pergerakannya, Meisa terus berbicara dengan gadis elf itu.
"Kumohon, berhentilah!"
Lisya terus meronta meminta untuk dilepaskan, namun pengetahuan sihirnya yang begitu rendah, Lisya tak dapat menemukan kelemahan kekuatan itu.
"Lepaskan! Lepaskan aku!! Aku akan membunuhnya! Aku akan melenyapkannya dari dunia ini!!!"
Jeritan putus asa Lisya tanpa sadar memanggil puluhan hingga ratusan bola api di udara.
Demon yang melihat celah diantara mereka memutuskan untuk tidak mengulur waktu lebih lama lagi.
"Baiklah, mungkin saat ini aku akan memilih mundur. Tapi saat aku kembali, kalian semua akan merasakan rasa sakit lebih dari ini." (???)
Demon itu mundur mendekati Erita dan kembali menyelimutinya dengan sayapnya.
"Ah, satu lagi. Aku terkesan denganmu, elf. Kau mungkin akan mati dengan seluruh kekuatan itu, jadi biarkan aku memberikan sedikit apresiasi padamu." (???)
Menatap wajah Lisya yang diliputi kebencian dan amarah, demon itu berujar.
"Ingat ini! Namaku Heimdall. Peringkat terbawah satu dari ketujuh Demon General. Yah, meskipun kalian tidak tau, tapi kehancuran sudah menanti kalian. Setelah ritual kompatibilitas usai, seluruh ras elf akan menghilang dari dunia ini! Hahahaha...!!"
Heimdall terbang ke udara pergi menjauhi wilayah elf. Lisya yang menembakkan bola apinya tak bisa mengendalikannya karena batasan jarak mereka.
Setelah sosoknya menghilang, Lisya terhenti. Kesadarannya kembali pulih dan begitu Lisya menyadari apa yang menghentikan pergerakannya pada sebelumnya, dia menatap tajam Meisa.
"Kenapa... kenapa kau menghentikanku!? MENGAPA!!!??"
"Lisya..."
"Padahal dia membawa ibuku... kenapa kau menghalangiku!?"
"Tapi kau akan han—"
"Aku tak peduli!!! Biarpun aku mati, aku tak peduli! Aku membencimu... aku membencimu, Meisa!!!"
Lisya segera berlari melewati Meisa menuju Ayrei yang sudah tak bernyawa. Dia mengangkatnya dengan susah payah.
Meisa menawarkan bantuannya, namun Lisya menolaknya dengan mentah-mentah. Dia meninggalkan gadis elf itu yang tertegun tak mampu bergeming dari posisinya.
"Mari kita pulang... Ayah. Ibu... Ibu akan menyusul kita nanti."
Mengatakannya dengan menahan tangisan, Lisya masih melangkah memapah mayat disampingnya.
Hanya itu suara terakhir yang dapat Meisa dengar. Dirinya tersungkur diatas tanah bertekuk lutut meratapi kegagalannya.
Saat ini Lisya tengah bersedih, namun Meisa... dia begitu tak berdaya. Dirinya tak sanggup lakukan sesuatu. Tidak sama sekali.