webnovel

Kisah Air & Api-Petualangan Cinta Air dan Api

Buku 2 Kisah Air & Api ini banyak bercerita tentang bagaimana kedua tokoh sentral dalam kisah ini berpetualang mencari murninya cinta sejati. Petualangan yang dilakukan begitu dinamis dan dramatis. Penuh dengan bahaya dan tipu daya. Menemui berbagai macam muslihat dan pertarungan yang luar biasa. Termasuk bagaimana ilmu-ilmu langka intisari dari bumi dan kehidupan yang akhirnya muncul lagi ke dunia persilatan. Air, api, udara adalah komponen ilmiah utama penguasa kehidupan. Tanah, kayu dan besi adalah komponen ilmiah pendukung yang tidak kalah pentingnya bagi kehidupan. Jika berdiri sendiri, komponen komponen tersebut bisa bermanfaat dan bisa juga bermalapetaka. Jika digabungkan, maka manfaatnya berlipat-lipat dan malapetakanya bisa dihilangkan. Munculnya kerajaan baru di pesisir selatan jawa yang didukung oleh penguasa gaib laut selatan, membawa cerita seru seputar pemberontakan, sihir dan ketakutan. Tokoh-tokoh lama dan baru saling bergelut dalam intrik dan ambisi yang tak berkesudahan. Perebutan mustika naga api adalah puncak pertama dari kehebatan petualangan dalam buku ini. Diharu-biru oleh pengorbanan luar biasa dari sebuah cinta yang juga luar biasa. Darah dan airmata tumpah menjadi satu dengan rasa takjub dan indahnya sebuah perjuangan demi cinta. Latar belakang sejarah dari perang dingin antara Majapahit dan Galuh Pakuan memuncak dalam sebuah alur cerita heroik yang dipenuhi dengan petir, hujan badai, dan sentuhan dramatis dari pengabdian. Mempertahankan harga diri menjadi pilihan utama. Lebih baik mati digulung tanah daripada hidup tapi menghirup udara belas kasihan. Kemarahan, murka, dendam, cinta, dan kasih setulus hujan kepada bumi, sangat dominan dalam petualangan yang menggiriskan hati. Memberikan arti sesungguhnya dari kata kemuliaan dan keindahan. Begitu mencekam perasaan hingga tangis saja bukanlah pilihan yang menenangkan, adalah intisari dari cerita yang tak mau untuk sudah saat ini.

mim_yudiarto · Fantasy
Not enough ratings
16 Chs

Bab 5

Merubah wajah dunia yang penuh bopeng dan cela

Perlu sebuah keberanian untuk memutuskan

Maju terluka, diam berduka atau mundur mendustai airmata

Maju lelah, diam gelisah atau mundur menyerah

Maju berkeringat kerak, diam tanpa bergerak atau mundur hancur berserak

Tlatah Ujung Kulon. Arya Dahana memasuki wilayah yang jarang didatangi manusia. Berada di ujung pulau Jawa sebelah barat. Tempat yang masih berhutan sangat lebat. Penuh dengan binatang buas dan cerita kesohor mengenai sihir-sihir aneh dan tak masuk akal. Selama perjalanan beberapa hari, Arya Dahana mencoba memulihkan luka dalam hebat Bimala Calya. Dia pernah ikut seorang dewa ilmu pengobatan selama sepuluh tahun. Sedikit banyak dia tahu apa yang harus dilakukan untuk mengobati luka dalam hebat akibat pukulan sakti. Mencari daun dan akar yang tepat untuk obat. Meskipun harus diakuinya Sima Lodra masih jauh lebih hebat dalam hal ini. Mungkin karena naluri binatang yang dimilikinya jauh lebih tajam dibanding manusia.

Teringat Sima Lodra, Arya Dahana jadi mengingat runutan perjalanan setelah terjadi pertarungan dahsyat di kota pelabuhan Tuban. Dia dan Dyah Puspita menyelamatkan Putri Anjani yang terluka parah akibat totokan pukulan aneh Bayu Lesus Madaharsa. Mereka membawa putri dari Istana Laut Utara itu ke hutan di mana Sima Lodra menunggu dengan setia.

Beberapa hari mereka berdiam di dalam hutan karena beberapa tabib yang didatangi tidak sanggup mengobati luka dalam hebat Putri Anjani. Seorang tabib yang paling terkenal dan hebat menyarankan untuk membawa Putri Anjani ke Ki Gerah Gendeng atau seorang tabib tua di Tlatah Ujung Kulon bernama Ki Sasmita. Luka dalam yang diderita gadis itu sangat aneh. Jika tubuhnya digerakkan, maka lukanya akan semakin parah. Totokan langka Bayu Lesus memang sangat hebat. Raja dari segala ilmu pukulan yang berdasarkan unsur utama angin. Kerusakan yang ditimbulkan juga dahsyat.

Ki Gerah Gendeng sudah lama meninggal dunia. Satu-satunya pilihan adalah Ki Sasmita. Ujungkulon sangatlah jauh jaraknya. Tidak mungkin membawa Putri Anjani yang terluka sejauh itu. Setelah berunding dengan Dyah Puspita, akhirnya diputuskan Arya Dahana mencari obat ke Ki Sasmita sedangkan Dyah Puspita mencari tempat yang nyaman untuk menunggu di Alas Roban tempat Nyai Genduk Roban dan Ayu Wulan. Sekalian memenuhi janjinya mengajari ilmu kanuragan Ayu Wulan. Gadis cucu Nyai Genduk Roban itu memang sudah kembali dari ibukota Majapahit atas permintaan khusus Dyah Puspita kepada Maesa Amuk saat dia dikirim ke perbatasan Blambangan waktu itu. Sedangkan Nyai Genduk Roban sudah pula kembali ke Alas Roban setelah perang Blambangan berakhir.

Arya Dahana mengantar terlebih dahulu Dyah Puspita dan Putri Anjani ke Alas Roban yang memang tidak terlalu jauh tempatnya dari kota pelabuhan Tuban. Dyah Puspita bersikeras dia yang menggendong Putri Anjani dan tidak memperbolehkan Arya Dahana melakukannya. Pemuda itu tidak paham alasannya namun dia menuruti saja permintaan Dyah Puspita tersebut.

Sesampainya di Alas Roban, Nyai Genduk Roban menerima mereka dengan senang hati. Terlebih-lebih Ayu Wulan. Dia sangat suka kepada Dyah Puspita dan alangkah gembira hatinya saat Dyah Puspita meminta ijin untuk tinggal sementara di sana sampai Arya Dahana kembali membawa obat dari Ki Sasmita.

Jadi di sinilah dia sekarang. Mencari obat untuk Putri Anjani sambil merawat dan menggendong gadis lain lagi untuk diobati. Gusti.... hidupnya sangat menarik dan penuh warna. Dipenuhi dengan wanita-wanita cantik yang pingsan, terluka parah, merawat dan mencari obat. Sebenarnya dia merasa senang karena dia sangat memuja kecantikan dan keindahan. Namun kenapa harus selalu pingsan atau terluka ya? Arya Dahana menjadi tersenyum-senyum sendiri seperti orang tidak waras.

Arya Dahana membaringkan tubuh Bimala Calya yang lemas tak bertenaga. Lalu merebus daun-daunan untuk obat gadis itu. Bimala Calya hanya mengangkat kepala dan mengawasi pemuda aneh yang berusaha menolong dirinya. Dia sendiri bingung apa yang harus dilakukannya. Dia adalah gadis sebatang kara yang diangkat sebagai anak oleh sang Panglima Kelelawar. Dirawat sedari kecil. Dilatih ilmu-ilmu kanuragan. Sampai akhirnya diberikan cara khusus bagaimana menaklukkan kelelawar beracun dan menjadikannya senjata mematikan. Kini dia bersama orang yang tak dikenalnya sama sekali. Meskipun telah menyelamatkannya dari menjadi tawanan Galuh Pakuan, namun dia tidak bisa mengira-ngira apa sebenarnya maksud pemuda ini menyelamatkannya.

Gadis itu hanya mempunyai tekad dalam hati. Jika sudah sembuh, dia akan kembali ke markas perkumpulan kelelawar, menghadap sang panglima dan menceritakan semuanya. Meskipun dari lubuk hatinya yang paling dalam dia ragu sang panglima akan menerima penjelasannya. Puluhan tahun dia sudah hidup bersama ayah angkatnya itu. Banyak sekali kejahatan dan pemaksaan yang sering dia saksikan dilakukan oleh ayah angkat dan anak buahnya. Dia terbiasa menyaksikan itu semua. Namun hati kecilnya selalu menentang apa yang dilakukan ayah angkatnya. Dia hanya terpaksa membiarkan karena sang panglima adalah orang yang paling tidak suka ditentang.

Lamunan Bimala Calya terputus seketika saat Arya Dahana mendekati dirinya sambil membawa mangkok air berisi obat rebusan. Dengan lembut pemuda itu mengangkat leher dan kepalanya agar bisa duduk minum air obat itu. Kelembutan pemuda itu hampir membuat gadis itu tidak bisa meminum obatnya karena sesuatu tercekat di tenggorokannya. Rasa haru yang teramat sangat. Dia menjalani hidup selama ini dengan sangat biasa tanpa sedikitpun ada kasih dan sayang yang dirasa. Pemuda ini membuka mata hatinya secara luar biasa.

Dia adalah gadis yang cantik dan molek. Dia sadar mengenai ini semenjak beranjak dewasa. Banyak sekali mata-mata nakal anak buah ayah angkatnya yang seringkali menatapnya secara kurang ajar meskipun sembunyi-sembunyi. Namun dia bisa merasakan dengan jelas, pemuda ini sama sekali tidak berniat sedikitpun untuk memanfaatkan kesempatan yang sangat terbuka ini. Dia sedang lemah. Tak berdaya. Mudah sekali bagi pemuda ini untuk melaksanakan niat jahat jika memang ada.

Mata Bimala Calya semakin luruh dalam kaca-kaca. Bibirnya ingin mengucap terimakasih. Namun lidahnya kelu tanpa sanggup berkata-kata. Pemuda kurus ini sangat telaten merawat dirinya yang sangat lemas dan lemah. Bahkan sekarang pemuda itu membawa air dalam sebuah wadah kecil. Sebuah kain kecil ada di dalamnya. Bimala Calya masih menerka-nerka apa yang akan dilakukan pemuda itu saat Arya Dahana memeras kain itu dan lalu membersihkan wajah dan tangannya dengan pelan dan lembut.

Aaahhh....Bimala Calya seperti jatuh ke dalam kelembutan awan. Matanya terpejam menikmati setiap sentuhan kain yang mengusap kulit wajah, tangan dan kakinya. Pikirannya masih melayang ke tepian bumi meski Arya Dahana sudah lama menyelesaikan tugas perawatannya. Mulut gadis cantik itu tersenyum dikulum dengan mata terpejam.

Arya Dahana yang sedari tadi sama sekali tidak memperhatikan si gadis yang diam saja, tanpa sengaja menoleh ke Bimala Calya. Pemuda itu bengong seperti tersambar setan lewat. Gadis di hadapannya sedang bertingkah aneh. Senyum-senyum sendiri dengan mata terpejam. Hiiiihhh...jangan-jangan hutan ini banyak penghuninya? Dan gadis ini sedang dirasuki sesuatu yang gaib? Arya Dahana sedikit merinding namun cepat-cepat ditepisnya pikiran itu. Dia sudah melanglang buana kemana-mana. Melihat makhluk yang paling aneh dan mengerikan sekalipun dari dunia lain sudah dialaminya. Kenapa harus takut?

Arya Dahana tidak mempedulikan lagi keanehan gadis cantik itu. Pemuda itu melangkahkan kaki menuju sungai untuk mencari ikan yang pasti banyak terdapat di sungai itu. Siang ini dia harus mencari cukup banyak ikan untuk makan siang dan untuk bekal di perjalanan. Dia sudah terbiasa membuat salai ikan yang kata Dyah Puspita dan Dewi Mulia Ratri sangat lezat. Ah, dua nama itu berkeliaran dengan bebas dalam pikirannya setiap saat. Yang satu cantik penuh kelembutan dan bersikap sangat dewasa. Satunya lagi cantik, lincah, manja dan penuh dengan gairah hidup. Yang satu singgah dihatinya karena seringnya bersama-sama dan mengalami suka duka perjalanan sehingga timbul rasa suka dan iba. Sedangkan satu lagi justru menetap di hatinya karena disuruh oleh hatinya sendiri. Tanpa faktor apapun yang mempengaruhi selain rasa cinta.

Arya Dahana mengeluh pendek karena jika sudah mulai memikirkan ini dia seperti tidak sanggup lagi berpikir. Otaknya menjadi buntu karena dipenuhi oleh rasa tak berdaya. Pemuda ini melangkahkan kaki ke sungai dengan lunglai. Memikirkan dua wanita itu menguras energi yang sangat besar. Ujung-ujungnya dia kelelahan seperti habis bertempur dengan tokoh setingkat Datuk Rajo Bumi.

Setelah masuk ke sungai dengan dalam sepinggang, Arya Dahana tidak langsung memancing dan menangkap ikan. Pemuda ini berlatih ilmu pukulan Busur Bintang terlebih dahulu. Ilmu pukulan ini memang paling cocok dilakukan di sungai, laut, atau puncak gunung. Yang penting tempat-tempat tersebut harus sangatlah dingin.

Suara mendesir-desir keluar dari angin pukulan Arya Dahana. Tubuhnya yang terbuka di bagian atas terlihat berotot meskipun kurus. Kulit tubuhnya yang berwarna kecoklatan terbakar matahari berubah sangat pucat. Air sungai yang memang sudah sangat dingin, perlahan-lahan terlihat membeku di permukaannya. Arya Dahana yang tenggelam dalam latihannya, tidak menyadari ada sepasang mata yang sedang mengawasinya di balik rimbunnya semak pinggir sungai.

Sepasang mata yang mengawasi itu sebentar terbelalak, sebentar mengerutkan kening dan sebentar menghela nafas pelan. Makin lama, latihan Arya Dahana makin mencapai puncaknya. Permukaan sungai sekarang benar-benar beku. Hawa sangat dingin namun tubuh pemuda itu nampak berkeringat hebat. Setelah dirasa cukup, Arya Dahana menghentikan latihannya. Pemuda itu mengeluh pendek dan baru menyadari bahwa tubuhnya terperangkap dalam es yang membeku. Dia berusaha menggerakkan pinggangnya agar terlepas dari perangkap namun tidak berhasil.

Pemuda itu kemudian mengerahkan tenaga sepenuhnya dan memukul dengan sekuat tenaga ke permukaan es. Terjadi getaran, namun permukaan es itu tak bergeming sedikitpun. Arya Dahana menjadi sedikit panik. Ilmu pukulan Busur Bintang itu ternyata luar biasa hebat. Dingin dan beku yang dihasilkanpun bukan dingin biasa. Bisa saja dia menunggu sampai matahari mencairkan es itu. Tetapi sampai berapa lama? Bisa saja berhari-hari sampai es tebal itu meleleh dibakar matahari yang hanya sayup-sayup sampai di tempat itu.

Arya Dahana berpikir sejenak. Mengambil nafas dalam-dalam lalu mulai mengerahkan hawa panas melalui ajian Geni Sewindu. Ilmu ini sudah dipelajarinya hingga tingkat yang tertinggi. Selubung sinar keperakan mulai nampak menyelimuti tubuh Arya Dahana. Semakin lama semakin terang dan menyilaukan. Hawa dingin di sekitar tempat itu digantikan dengan hawa panas yang luar biasa menghanguskan. Permukaan es yang sangat keras itu perlahan tapi pasti mulai mencair. Asap mengepul tebal dari pertemuan kedua hawa yang saling berlawanan. Arya Dahana semakin memusatkan pikiran dan tenaganya. Ini sekaligus berlatih pukulan Geni Sewindu meski dia sudah menguasainya dengan cukup sempurna.

Sepasang mata yang sedari tadi tidak pernah lepas memperhatikan apapun yang dilakukan Arya Dahana, terbelalak kaget sekaligus kagum. Pemuda ini ternyata mempunyai ajian lain yang berlawanan dari yang dilatihnya tadi. Luar biasa! Orang misterius ini semakin tertarik untuk mengetahui apa yang terjadi selanjutnya.

Permukaan sungai yang membatu menjadi es itu akhirnya lumer dan mencair. Untuk memastikan semuanya, Arya Dahana mengerahkan tenaga dalamnya dan mengarahkan pukulan Geni Sewindu ke permukaan es yang melumer itu. Terdengar ledakan keras sekaligus getaran yang mengguncang saat pukulannya mengenai permukaan keras. Es itu meledak berkeping-keping dan terbebaslah pemuda itu dari perangkap yang tidak sengaja dibuatnya sendiri.

Arya Dahana melompat keluar dari sungai sambil menahan rasa dingin dan panas secara bergantian. Dia tadi berlatih terlalu keras sehingga tenaganya terkuras. Pemuda itu teringat kepada Bimala Calya yang ditinggalkannya untuk mencari makanan. Tujuannya menangkap ikan menjadi terlupa. Pemuda ini lalu sibuk mencari peralatan memancingnya. Saat mencari-cari, matanya terpaku pada sungai di depannya. Beberapa ekor ikan yang cukup besar terlihat mengambang. Buru-buru diambilnya jala untuk menangkap dan mengumpulkan ikan-ikan itu. Secara tidak sadar, pemuda itu tadi mengaduk-aduk sungai dengan dua ilmunya yang sangat berlawanan. Ikan-ikan yang berada dalam jangkauan ilmu-ilmu tadi lantas bermatian dan mengambang. Padahal ikan-ikan tersebut cukup besar. Sebesar paha orang dewasa. Sangat lebih dari cukup untuk makan mereka sekaligus diasap untuk menjadi bekal perjalanan nanti.

Dengan riang gembira dan bersiul-siul Arya Dahana membersihkan ikan-ikan lezat. Kemudian membakarnya sebagian dan mengasapnya sebagian lagi. Setelah semua siap, Arya Dahana membawa ikan bakar dan asap itu ke tempat Bimala Calya terbaring. Dilihatnya gadis itu masih terbaring lemah. Pemuda itu mengangkat tubuh Bimala Calya dan menyandarkannya pada sebuah pohon Nibung. Setelah itu mengangkat ikan-ikan beraroma lezat di hadapan Bimala Calya. Pemuda itu sengaja melakukan itu agar gadis itu tertarik untuk memakannya dan dia tidak perlu berusaha keras untuk membujuknya agar makan.

Benar saja, begitu hidungnya membaui ikan bakar tersebut, wajah pucat gadis itu berubah. Matanya membuka seketika. Dipandangnya pemuda di depannya sambil mengangguk angguk. Arya Dahana tersenyum lega. Pemuda ini mulai menyuapi si gadis yang terlihat sangat kelaparan.

Demikianlah. Selama berhari-hari Arya Dahana melanjutkan perjalanan mencari Ki Sasmita, selama berhari-hari pula dia juga harus mengurus dan merawat Bimala Calya. Termasuk harus menggendongnya saat mereka harus berpindah tempat. Gadis itu hanya pasrah saja apapun yang dilakukan oleh Arya Dahana. Dia mulai menikmati perjalanannya bersama pemuda itu. Menikmati dan merindukan tiap pagi datang, Arya Dahana pasti membersihkan tubuhnya, meminumkan ramuan obat, memasak makanan sederhana yang lezat kemudian menyuapinya.

Kepulihannya berlangsung cepat. Akhirnya gadis itu sudah mulai bisa berdiri, berjalan dan makan sendiri, bahkan sudah rutin membantu Arya Dahana menangkap ikan dan membersihkannya. Hidupnya berubah total. Warna-warni pelangi sudah sangat bisa dinikmatinya. Yang selama ini hanya sekedar perhiasan alam yang lewat begitu saja di depan matanya. Berhujan panas menjadi sangat menyenangkan. Arya Dahana begitu penuh perhatian, konyol, lucu dan sedikit misterius. Selama ini, Bimala Calya tidak pernah bergaul dengan lawan jenis sedekat ini. Hatinya seperti menjadi sebuah taman, dipenuhi oleh bunga-bunga.

Gadis ini memutuskan dalam hatinya, dia sudah mempunyai tujuan hidup yang pasti. Dia sama sekali tidak berniat kembali ke tempat ayah angkatnya. Terus bersama dengan pemuda konyol ini adalah pilihan terbaik satu-satunya. Tidak ada pilihan kedua, ketiga dan atau lainnya. Membayangkan ini, Bimala Calya tersenyum bahagia. Entah mengapa dia memutuskan bahwa dia bahagia bersama pemuda ini. Dia hanya mengikuti kata hatinya.

Setelah Bimala Calya sehat dan pulih sepenuhnya dan tetap ngotot untuk menemani Arya Dahana, meskipun pemuda itu memintanya untuk kembali ke tempat tinggalnya setelah sembuh, perjalanan menjadi jauh lebih cepat sekarang. Sampailah dua anak muda ini akhirnya ke pantai Ujungkulon. Sebuah pantai yang gelap dan misterius. Pantai berbatu-batu sebesar rumah yang dilatarbelakangi oleh hutan yang juga gelap.

Bimala Calya yang sudah biasa berpindah-pindah dari satu tempat gelap ke tempat gelap yang lain, masih juga merasa merinding melihat tempat ini. Ini seperti dunia yang bukan dunia sebenarnya. Ada hawa kegelapan di sini. Arya Dahana juga merasakan hal yang sama. Pemuda ini tanpa sadar mendekatkan dirinya pada Bimala Calya. Pemuda ini sangat tangguh dan lihai bukan main. Namun hawa misteri yang sangat kuat di tempat ini membuatnya jerih. Bimala Calya tersenyum samar melihat sorot kengerian di mata Arya Dahana. Diraihnya tangan pemuda itu dan digenggamnya erat. Arya Dahana menatap mata Bimala Calya dengan sorot terimakasih.

Arya Dahana hanya mempunyai petunjuk kecil bahwa Ki Sasmita menetap di sebuah ceruk pantai kecil yang menghadap ke arah Gunung Krakatau. Berarti mereka harus menelusuri pantai ini dari ujung ke ujung, dan itu sama saja dengan perjalanan beberapa hari. Pantai di ujung barat Jawa ini sangat panjang. Hampir semuanya menghadap Gunung Krakatau. Pantainya pun jarang ada yang landai. Arya Dahana memutuskan bahwa malam ini mereka harus bermalam di tempat yang mengerikan ini.

Bimala Calya membantu Arya Dahana mencari ranting-ranting kering. Mereka masih mempunyai perbekalan berupa ikan asap. Jadi tidak perlu khawatir kelaparan atau harus mencari ikan sore ini. Setelah makan malam dengan ikan asap yang masih terasa kelezatannya, dua muda-mudi ini membaringkan tubuh beristirahat. Cuaca sangat cerah malam ini. Mereka tidak perlu khawatir kehujanan. Namun angin cukup kencang sehingga udara dingin terasa menusuk tulang. Arya Dahana tidak takut kedinginan. Dia bisa menyalurkan hawa murni panas dari dalam tubuhnya untuk mengatasi dingin. Pemuda itu melihat Bimala Calya yang berbaring tidak jauh darinya meringkukkan tubuh menahan dingin. Gadis itu memang lihai dan cukup tangguh. Namun tidak mempunyai kemampuan khusus seperti hawa murni aneh seperti yang dimiliki Arya Dahana.

Pemuda itu tidak tega membiarkan Bimala Calya meringkuk kedinginan seperti udang beku. Pemuda itu duduk bersila sambil mengerahkan ajian Geni Sewindu secukupnya secara diam-diam untuk menghangatkan udara di sekitar mereka. Perlahan-lahan tubuh Bimala Calya yang tadinya meringkuk, kini terbaring secara biasa lagi. Gadis ini yang memang belum sepenuhnya pulas karena hawa yang sangat dingin tadi, terheran-heran dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba menghangat dengan cepat. Tubuhnya menjadi sangat nyaman sekali. Dia membuka matanya sedikit mengintip apa yang dilakukan Arya Dahana. Gadis ini hampir terlompat berdiri saking takjubnya. Pemuda itu duduk bersila dengan tenang. Matanya terpejam dengan nafas yang sangat teratur. Tapi kelihatannya belum tidur. Yang membuat takjub Bimala Calya adalah dari wajah dan tubuh Arya Dahana keluar cahaya berwarna keperakan. Memang hanya samar namun terlihat dengan jelas.

Jadi inilah sebabnya tiba-tiba udara berubah menghangat tadi. Pemuda itu sedang mengerahkan ajiannya yang berhawa panas agar di sekitar mereka tidak lagi dingin membekukan. Begitu memperhatikan yang menjadi kebutuhannya. Ingin rasanya dia meloncat dan memeluk pemuda itu. Meskipun dia dididik dengan cara kasar oleh Panglima Kelelawar namun naluri kewanitaannya melarang dia melakukan itu.

Hati Bimala Calya semakin menghangat. Pemuda ini sangat luar biasa! Hal ini semakin membuat keputusannya menjadi semakin bulat. Dia akan ikut kemanapun pemuda pergi! Tidak peduli seberapa jauh. Tidak peduli seberapa lama. Titik tidak pakai koma!

Terhanyut oleh pikirannya yang hangat dan berbunga-bunga membawa Bimala Calya ke alam tidur yang sangat nyaman. Sementara Arya Dahana tetap bersamadi sambil mengerahkan Geni Sewindu seperlunya karena semakin malam, udara menjadi semakin dingin saja.

Suara burung-burung pagi membangunkan Arya Dahana. Pemuda ini terkaget-kaget saat hendak bangkit dari tidurnya. Sebuah lengan halus melingkari dadanya. Rupanya tanpa sadar, di dalam tidurnya yang nyaman, Bimala Calya tidur nyenyak sambil memeluk Arya Dahana. Pemuda itu jadi kikuk dan serba salah. Mau disingkirkan lengan itu, kasihan. Gadis itu terlihat lelap sekali. Jika tidak, maka mereka akan terlambat melakukan perjalanan. Dan itu berarti membuang waktu yang cukup berharga. Arya Dahana teringat bahwa Putri Anjani harus segera mendapatkan obat karena luka yang dideritanya cukup parah serta aneh.

Arya Dahana menarik nafas lega ketika Bimala Calya menggeliatkan tubuh terbangun. Membuka matanya yang masih kelihatan mengantuk, kemudian menyadari bahwa dia sedang memeluk Arya Dahana. Gadis itu agak tersentak kaget. Secepat kilat ditariknya lengan yang melingkari dada Arya Dahana. Wajahnya memerah semerah matahari yang baru bangkit di cakrawala. Kepalanya tertunduk malu. Gadis itu sampai lupa bahwa tangan satunya masih berpegangan pada lengan Arya Dahana.

Arya Dahana yang sebenarnya geli namun merasa kasihan lalu batuk-batuk untuk mengusir keheningan dan suasana kikuk. Bimala Calya seperti tersadar untuk kedua kalinya. Gadis itu melompat berdiri lalu berjalan mendekati muara sungai untuk membersihkan diri. Langkahnya terlihat gontai. Arya Dahana menjajari langkahnya dan memecahkan keheningan dengan berkata;" hati hati Mala...muara sungai biasanya dihuni oleh banyak buaya...."

Bimala Calya menghentikan langkah dengan tiba tiba. Buaya? Dia bisa menaklukkan seekor buaya di darat. Namun di air?....hhhhhh...lebih baik dia tidak usah mandi. Gadis itu membalikkan badan kembali ke pondok. Arya Dahana tersenyum kecil dan menahan lengan gadis itu dengan lembut.

"Mandilah di sungai kecil yang sebelah sana Mala...dijamin tidak ada buayanya. Aku akan mencari ikan di laut untuk makan dan bekal kita di jalan. Perjalanan kita akan makan waktu beberapa hari. Kamu sudah pulih, tapi kamu perlu tetap menjaga daya tahan tubuhmu."

Bimala Calya menatap pemuda yang sedang tersenyum kepadanya itu dengan pandangan yang sulit dimengerti. Antara malu dan bahagia. Gadis itu hanya mengangguk lalu berjalan menuju arah yang ditunjukkan Arya Dahana. Perasaannya benar-benar sedang tidak karuan. Malu, karena memeluk Arya Dahana semalaman. Bahagia, karena inilah yang diinginkannya.

Arya Dahana memandang kepergian gadis cantik itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. Digaruk-garuknya kepalanya yang tidak gatal. Bingung dengan segala perubahan mendadak dari sikap seorang wanita. Dia melakukan pengembaraan yang panjang dengan Dyah Puspita, wanita jelita yang dikasihinya dan selalu menolongnya. Lalu perjalanan penuh liku dengan Dewi Mulia Ratri, gadis cantik yang telah menjatuhkan hatinya dan selalu mengharu-biru perasaannya. Sekarang Bimala Calya, gadis cantik yang terlihat garang namun lembut hatinya. Tapi tidak ada satupun perubahan-perasaan para wanita itu yang diketahuinya dengan pasti.

Pemuda itu melanjutkan niatnya untuk mencari ikan sambil tetap menggeleng-gelengkan kepala tidak mengerti. Ah biarlah, dunia memang serba aneh. Dia harus mengerti bahwa banyak hal yang masih tidak dimengerti.

Ternyata ikan sangat mudah didapat di selat Sunda. Bahkan ikan-ikan dengan ukuran yang sangat besar. Arya Dahana sampai hampir lupa waktu. Satu keranjang penuh ikan beraneka macam dibawanya kembali ke pondok dengan riang gembira.

Alangkah kagetnya pemuda itu ketika sampai di pondok ternyata di atas alas daun pisang yang lebar dan bersih, telah tersedia makanan lengkap yang mengepul panas. Ada daging bakar, sayuran kuah, dan...nasi putih!

Bimala Calya tersenyum senang melihat Arya Dahana terbengong bengong sambil menelan ludah. Gadis itu sangat gembira berhasil menarik perhatian pemuda yang telah mengikat rasa hatinya itu. Hilang sudah rasa malu dan lelah mencuri bahan makanan yang ada di sebuah pondok di dekat sungai kecil tempatnya mandi tadi. Pondok para pemburu binatang yang belum pulang. Apalagi tanpa basa-basi, Arya Dahana menarik tangan Bimala Calya duduk dan menyomot makanan di sana sini.

Setelah menyelesaikan acara makan pagi yang sangat menyenangkan, kedua anak muda ini kemudian berkemas, menyiapkan bekal lalu melanjutkan perjalanan. Menyisir pantai yang dipenuhi batu karang runcing dan tajam, menyeberangi muara sungai besar dengan rakit seadanya, bahkan memanjat tebing tinggi terjal dengan bantuan akar pepohonan atau tanaman merambat di atasnya. Saat menemukan pantai yang landai, pemuda-pemudi ini memutuskan beristirahat dan menambah perbekalan makanan.

Demikianlah terjadi berhari-hari. Waktu yang dihabiskan untuk mencari tempat tinggal Ki Sasmita. Tokoh sakti ahli obat yang tidak kalah misterius dibanding Ki Gerah Gendeng yang pernah mengasuh Arya Dahana semasa kecil dulu.

Pada hari ketujuh, sampailah mereka di pantai yang sangat cantik. Pasir berwarna putih seperti taburan mutiara menghiasi seluruh pantai itu. Air lautnya sejernih mata air para dewa. Hingga karang dan tumbuhan laut serta ikan ikan yang lalu-lalang di dalamnya terlihat dengan jelas. Selepas menikmati keindahan pantai dan bawah laut yang sangat mempesona itu, pandangan Arya Dahana terangkat ke depan dan bertemu dengan sebuah pulau kecil dengan gunung menjulang di atasnya. Sangat jelas dan pasti bahwa inilah Gunung Krakatau yang terkenal itu.

Letak pantai ini benar-benar persis di depan gunung yang melegenda itu. Tidak salah lagi. Inilah yang tempat yang sesuai dengan petunjuk dimana Ki Sasmita tinggal. Tapi dimana persisnya? Tidak ada satupun pondok atau rumah di sini? Gua....? Barangkali itulah jawabannya.

Arya Dahana memberi isyarat kepada Bimala Calya untuk mendekat.

"Kita harus mencari gua di sekitar sini Mala. Pantai ini agak panjang. Kita harus berpencar. Kau mulailah dari ujung sini. Aku akan mulai dari ujung sebelah sana."

Bimala Calya menengok kanan kiri belakang dengan cepat.

"Tidak ada tebing atau apapun di sini yang menyembunyikan sebuah gua Arya....pantai ini sangat landai dan bersih. Semak-semak pun tidak ada....hanya tumpukan gunung pasir di sana itu....wah wah..."

Belum selesai Bimala Calya berkata, tubuh gadis itu sudah melesat ke tumpukan gunung pasir yang tidak terlalu jauh dari tempat mereka berdiri. Arya Dahana mengikuti. Begitu tiba di depan gunung pasir itu, keduanya terbengong-bengong. Tumpukan gunung pasir yang terlihat rendah saja tadi ternyata cukup tinggi. Dua kali lipat ukuran mereka berdiri. Dan ada sebuah lubang gua di sini!

Keduanya saling pandang. Lalu dengan langkah pasti Arya Dahana memasuki mulut gua yang ternyata beranak tangga alami ke bawah. Mulut gua itu tidak akan kemasukan air laut meski sedang pasang sekalipun. Tempatnya lebih tinggi dari pantai yang lain.

Arya Dahana melangkah dengan hati-hati. Gua ini tidak terlalu gelap di permukaan, namun dia sangat yakin gua ini akan membawa mereka berdua semakin jauh ke bawah permukaan bumi. Benar saja! Semakin jauh saja langkah mereka menembus perut bumi. Tidak ada tanda-tanda ini adalah tempat tinggal seseorang. Tapi tangga dan jalan setapak di gua ini sudah pasti pernah diinjak orang.

Yang mengherankan, jalan setapak yang mereka lalui tidak semakin gelap meskipun mereka semakin jauh masuk ke pusat bumi. Kedua anak muda ini berhenti sejenak untuk meneliti apa penyebab keanehan ini. Setelah beberapa jeda, barulah mereka paham ternyata di bawah jalan setapak mengandung batuan yang bisa menyala dalam gelap.

Mungkin di permukaan sudah hampir tengah hari sekarang. Berarti mereka sudah berjalan cukup lama menuruni gua yang berliku dan sangat dalam ini. Sampai akhirnya tibalah mereka di permukaan yang datar dan tidak lagi menurun. Dan itu belum akhir dari perjalanan. Sekarang mereka harus berjalan melalui lorong yang datar dan sangat lurus. Udara mulai pengap. Arya Dahana teringat gua mengerikan yang pernah dimasukinya bersama Dyah Puspita. Pemuda ini berbisik kepada Bimala Calya agar menghemat nafas dan tidak banyak bersuara. Bimala Calya mengangguk mengerti. Gadis ini berjalan perlahan mengikuti langkah-langkah Arya Dahana di depannya.

Untunglah perbekalan yang tersisa tidak lupa mereka bawa. Lorong ini teramat sangat panjang dan melelahkan. Mereka berhenti untuk beristirahat ketika menemukan sebuah ruangan cukup luas di pinggir lorong yang mereka lalui. Ruangan ini seperti dibuat memang untuk istirahat. Keanehan kedua, ada mata air kecil di dalam ruangan ini. Cukup untuk minum atau bahkan membersihkan diri. Namun tidak ada jejak apapun yang bisa memberikan petunjuk tentang keberadaan kehidupan.

Setelah cukup lama melepas lelah sambil makan minum secukupnya, keduanya melanjutkan perjalanan dengan lebih bertenaga. Keanehan ketiga, mereka sekilas seperti mendengar suara debur ombak menghantam karang. Tapi hanya sebentar saja lalu menghilang. Arya Dahana mengambil kesimpulan bahwa ujung dari gua inilah nanti yang akan memecahkan misteri. Pemuda ini semakin bersemangat untuk cepat sampai. Diajaknya Bimala Calya berjalan lebih cepat. Namun mendadak pemuda ini berhenti seperti orang yang tercekat. Bimala Calya yang berjalan sambil menunduk hampir saja menabrak tubuh pemuda itu jika saja tidak dipegang lengannya oleh Arya Dahana.

"Kau dengar apa yang kudengar Mala..? Arya Dahana berkata pelan.

Bimala Calya memasang telinganya baik-baik. Pertama dia tidak mendengar apa-apa. Namun samar-samar akhirnya gadis itu bisa mendengar suara gemuruh lirih tak henti-henti. Mirip suara rebusan air yang sedang mendidih. Keduanya kembali bergerak maju. Kali ini jauh lebih perlahan untuk memastikan tidak ada bahaya yang sedang menunggu mereka di depan sana.

Makin jauh mereka maju, suara gemuruh itu makin kencang menakutkan. Persis air mendidih memang, tapi jumlahnya ribuan liter dan mendidihnya di sebuah kuali raksasa. Udara terasa sangat panas sekali. Arya Dahana dan Bimala Calya sampai harus berhenti beberapa kali untuk mengusap peluh yang bertetesan seperti air hujan. Panas itu makin tak tertahankan. Arya Dahana memberi isyarat kepada Bimala Calya untuk mengatur nafas dengan bersamadi. Sekaligus juga melawan hawa panas luar biasa menggunakan hawa murni dalam tubuh.

Pemuda sakti ini lalu mulai mengerahkan ajian Busur Bintang yang berhawa sangat dingin untuk melawan serangan hawa panas yang mematikan ini. Setelah dirasa cukup bisa melawan, Arya Dahana memegang tangan Bimala Calya yang terlihat hampir jatuh pingsan. Gadis ini terlonjak kaget karena hawa yang sangat dingin keluar dari jari jemari Arya Dahana yang sedang menggenggam tangannya. Hawa dingin menegakkan kesadarannya kembali.

Arya Dahana membimbing Bimala Calya melanjutkan perjalanan. Mereka sampai di bagian lorong asal suara gemuruh tadi. Lorong ini adalah keanehan berikutnya. Batuan dinding yang menyusunnya memancarkan warna kemerahan di dinding sebelah kanan. Sedangkan dinding di sebelah kiri berwarna hitam pekat. Hawa sangat panas keluar dari dinding berwarna kemerahan ini. Suara gemuruh juga timbul dari dinding berwarna kemerahan. Di sinilah puncak hawa panas berada. Arya Dahana sampai harus berkeringat dingin ketika hampir semua tenaganya dikeluarkan untuk mengerahkan ajian Busur Bintang. Bimala Calya benar-benar pingsan sekarang.

Tanpa ba bi bu lagi, Arya Dahana menggendong tubuh gadis itu dan melesat cepat dari ruangan mengerikan itu. Siksaan panas luar biasa itu berakhir ketika lorong ini kemudian berbelok ke arah kiri. Bahkan mulai menanjak lagi dengan tangga-tangga yang hampir sama susunannya dengan saat mereka masuk gua tadi. Yang membedakan adalah lorong ini tidak sepanjang lorong di pintu masuk. Arya Dahana bisa melihat terang matahari samar-samar di atas. Dan akhirnya, gua maut ini berakhir di sebuah bukit pasir yang terletak di pantai berpasir hitam.

Arya Dahana membaringkan tubuh Bimala Calya yang masih pingsan di pasir. Mata pemuda ini beredar ke sekeliling. Mereka berada di sebuah pulau kecil dengan...Gunung Krakatau menjulang tinggi di depannya. Arya Dahana membalik badan melihat ke seberang. Daratan Pulau Jawa nampak samar kehitaman di seberang. Pemuda ini menggeleng-gelengkan kepala dengan takjub! Jadi tadi mereka masuk ke pusat bumi, menelusuri lorong yang menghubungkan antara pulau Jawa dengan pulau Gunung Krakatau ini! Pantas saja lorong itu berhawa sangat panas. Mereka tadi memasuki lorong yang menembus perlintasan aliran lava Gunung Krakatau. Suara bergemuruh tadi sudah jelas adalah aliran lava yang mendidih di perut Gunung Krakatau. Bukan main!

Lamunan Arya Dahana terputus saat suara batuk-batuk berat di belakang mereka membangunkan rasa takjubnya.

"Ehm..ehm... anak muda. Kalian pastilah anak-anak muda luar biasa hingga bisa sampai di tempat ini tanpa perahu..."

Arya Dahana berhadapan dengan seorang tua berperawakan sedang dengan rambut dan janggut panjang yang semuanya sudah memutih.

"Ehh...maaf, Ki. Kami telah lancang memasuki tempat ini tanpa ijin. Apakah... apakah Aki yang bernama Ki Sasmita?"

Orang tua berambut putih itu mengelus jenggotnya sambil mengangguk membenarkan.

"Benar anak muda. Aku Ki Sasmita. Siapa namamu? Dan apa tujuanmu kemari? Aku lihat tidak ada yang sakit di antara kalian. Gadis itu hanya pingsan karena kelelahan. Sedangkan kau anak muda....hmmm...aku tidak bisa menyembuhkan penyakitmu yang aneh itu. Aku sarankan kau mencoba peruntunganmu beberapa purnama lagi di puncak Merapi...Mustika Naga Api akan membuatmu pulih dan normal kembali."

Arya Dahana menjawab dengan sopan," benar Ki...saya kesini mencari Ki Sasmita untuk memohonkan obat bagi seorang teman yang terkena pukulan Bayu Lesus. Hanya Ki Sasmita yang bisa membantu dalam hal ini."

"Bayu Lesus!...Gusti...itu pukulan kuno yang aku pikir sudah punah?...hmmm..baiklah anak muda. Aku menghargai semua perjuangan dan kerja kerasmu untuk sampai ke tempat ini. Aku akan membantumu. Tinggallah di sini beberapa hari. Aku harus mencari ramuan khusus untuk obat khusus ini."

Arya Dahana berseri-seri gembira mendengar jawaban Ki Sasmita. Buru-buru pemuda ini menangkupkan tangan di dada sambil membungkuk dalam-dalam.

"Terimakasih Ki...terimakasih..."

Ki Sasmita tersenyum sareh. Memberi isyarat Arya Dahana untuk mengikutinya. Pemuda ini mengangguk sambil meraih tubuh Bimala Calya dalam gendongannya, mengikuti langkah Ki Sasmita menjauhi pantai. Ki Sasmita membawa mereka ke sebuah pondok sederhana di sebuah ceruk yang dilindungi oleh tebing terjal dari gempuran ombak selat Sunda.

Demikianlah, beberapa hari kemudian Ki Sasmita memberikan obat yang diminta oleh Arya Dahana. Hari itu juga Arya Dahana dan Bimala Calya berpamitan kepada Ki Sasmita. Ucapan terimakasih tak henti-hentinya mengalir dari pemuda itu sebelum akhirnya mereka meninggalkan pulau Gunung Krakatau menggunakan perahu yang dipinjamkan oleh Ki Sasmita.

*****