webnovel

Kisah Air & Api-Petualangan Cinta Air dan Api

Buku 2 Kisah Air & Api ini banyak bercerita tentang bagaimana kedua tokoh sentral dalam kisah ini berpetualang mencari murninya cinta sejati. Petualangan yang dilakukan begitu dinamis dan dramatis. Penuh dengan bahaya dan tipu daya. Menemui berbagai macam muslihat dan pertarungan yang luar biasa. Termasuk bagaimana ilmu-ilmu langka intisari dari bumi dan kehidupan yang akhirnya muncul lagi ke dunia persilatan. Air, api, udara adalah komponen ilmiah utama penguasa kehidupan. Tanah, kayu dan besi adalah komponen ilmiah pendukung yang tidak kalah pentingnya bagi kehidupan. Jika berdiri sendiri, komponen komponen tersebut bisa bermanfaat dan bisa juga bermalapetaka. Jika digabungkan, maka manfaatnya berlipat-lipat dan malapetakanya bisa dihilangkan. Munculnya kerajaan baru di pesisir selatan jawa yang didukung oleh penguasa gaib laut selatan, membawa cerita seru seputar pemberontakan, sihir dan ketakutan. Tokoh-tokoh lama dan baru saling bergelut dalam intrik dan ambisi yang tak berkesudahan. Perebutan mustika naga api adalah puncak pertama dari kehebatan petualangan dalam buku ini. Diharu-biru oleh pengorbanan luar biasa dari sebuah cinta yang juga luar biasa. Darah dan airmata tumpah menjadi satu dengan rasa takjub dan indahnya sebuah perjuangan demi cinta. Latar belakang sejarah dari perang dingin antara Majapahit dan Galuh Pakuan memuncak dalam sebuah alur cerita heroik yang dipenuhi dengan petir, hujan badai, dan sentuhan dramatis dari pengabdian. Mempertahankan harga diri menjadi pilihan utama. Lebih baik mati digulung tanah daripada hidup tapi menghirup udara belas kasihan. Kemarahan, murka, dendam, cinta, dan kasih setulus hujan kepada bumi, sangat dominan dalam petualangan yang menggiriskan hati. Memberikan arti sesungguhnya dari kata kemuliaan dan keindahan. Begitu mencekam perasaan hingga tangis saja bukanlah pilihan yang menenangkan, adalah intisari dari cerita yang tak mau untuk sudah saat ini.

mim_yudiarto · Fantasy
Not enough ratings
16 Chs

Bab 4

Kau takkan pernah berhasil menepis mimpi

Sekalipun kau berusaha setengah mati

Hingga darahmu menggelegak

Amarahmu bergolak

Hatimu memberontak

Mimpi itu akan selalu hadir menjelma

Dengan ikhlas ataupun paksa

Sampai kau berhenti berteriak putus asa

Nyatakan bahwa cinta itu memang ada

Gunung Pangrango. Setelah beberapa purnama dibutuhkan untuk menyelesaikan serah terima sementara Garda Kujang kepada Pangeran Bunga dan beberapa urusan lainnya terutama yang menyangkut urusan perbatasan, Dewi Mulia Ratri dan Andika Sinatria memulai perjalanannya ke pantai selatan dan sekarang tiba di gunung yang terkenal akan keindahan alamnya itu. Mereka sudah menempuh perjalanan selama beberapa hari. Sengaja perjalanan dilakukan dengan tidak tergesa-gesa. Agar sebanyak mungkin informasi bisa diserap tentang keberadaan Perkumpulan Kelelawar. Namun tidak banyak informasi yang bisa mereka dapatkan. Perkumpulan itu benar-benar misterius dan sangat rahasia. Hanya sepotong kecil keterangan dari seorang pengemis setengah gila yang mengatakan bahwa pesisir selatan Pelabuhan Ratu adalah sarang hantu dan dedemit mengerikan semenjak kedatangan seorang wanita tua beserta anak gadisnya yang gila.

Keterangan yang cukup gila dari seorang gila itu membuat Andika Sinatria berpikir keras. Bukankah yang disebut telik sandi adalah Panglima Kelelawar? Pastilah seorang lelaki gagah perkasa yang mempunyai kesaktian dan pengaruh luar biasa. Tetapi kenapa yang disebut-sebut orang gila itu adalah seorang wanita tua dan anak gadisnya yang gila? Astaga! Andika Sinatria menggeleng-gelengkan kepala tidak mengerti

Dewi Mulia Ratri tidak berusaha berpikir panjang. Selama dalam perjalananpun gadis ini hanya banyak diam. Andika Sinatria lah yang banyak berbicara dan bercerita. Dewi Mulia Ratri mengherani dirinya sendiri. Seharusnya dia merasa sangat berbahagia karena bisa melakukan perjalanan bersama-sama pangeran tampan, jantan dan baik hati ini. Namun ada sesuatu yang menggelitik hatinya. Dia membandingkan perjalanan bersama Andika Sinatria ini dengan perjalanan bersama Arya Dahana. Bersama Andika Sinatria, dia merasa sangat terlindungi dan terlayani. Tapi ada yang sangat terasa kurang. Gadis ini sama sekali tidak merasakan gairah hidup yang meledak-ledak. Hal yang dialaminya tiap hari bersama pemuda konyol itu. Ada tawa, sedih, marah, haru, diperhatikan dan api yang selalu berkobar di hati. Begitu lengkap sehingga mampu membangkitkan gairahnya secara kodrati terhadap dunia. Dia tidak perlu melakukan sikap pura-pura dalam hal apapun. Bahkan dia sudah menampar pipi pemuda itu beberapa kali. Hihihi...jika ingat ini Dewi Mulia Ratri menjadi geli. Pemuda itu meskipun tengil dan konyol, namun sikapnya selalu menyenangkan, romantis lagi!

Pagi ini, setelah semalaman beristirahat di tenda yang disediakan oleh pengawal Andika Sinatria, Dewi Mulia Ratri membersihkan diri dengan air hangat yang disediakan oleh para pengawal. Ya, Andika Sinatria memang pendekar yang sangat lihai dan tangguh. Sangat jarang orang yang bisa menandinginya di jaman ini. Tingkatnya sudah mendekati tingkat gurunya, Ki Mandara si Iblis Tua Galunggung, tokoh tua sakti di daratan Jawa. Namun tetap saja dia adalah seorang pangeran kerajaan besar Pasundan. Tetap ada satu regu pengawal yang menyertainya kemana-mana untuk melayani semua kebutuhannya. Itu juga yang membuat Dewi Mulia Ratri agak tidak merasa nyaman. Dia risih jika apa-apa selalu dilayani.

Dewi Mulia Ratri pernah menyatakan keberatannya kepada Andika Sinatria. Namun pangeran ini malah tersinggung berat dan ngambek beberapa kali. Sehingga tidak pernah lagi Dewi Mulia Ratri menyinggung-nyinggung tentang pelayanan kelas atas dalam pengembaraan ini. Bagaimanapun....air hangat ini membuat tubuhnya sangat segar. Begitu keluar dari tenda untuk menghirup udara pagi yang luar biasa sejuk di gunung ini, Dewi Mulia Ratri kembali dikejutkan dengan pelayanan kelas tinggi. Di depan tendanya telah tersedia sebuah meja lipat lengkap dengan sarapannya yang masih mengepul panas. Ada dua kursi di situ. Andika Sinatria tersenyum manis sambil mempersilahkan Dewi Mulia Ratri duduk di kursi sebelahnya. Gadis cantik itu menjadi kikuk. Kursi itu berdampingan dan sangat berdekatan. Tentu saja dia senang namun juga sedikit sebal. Tidak perlu berlebihan seperti ini seharusnya.

Dia teringat saat sarapan bersama Arya Dahana dan Sima Lodra di pinggir sungai. Mereka duduk di rerumputan dengan seenaknya. Makan ikan segar yang ditangkap oleh Arya Dahana. Membakarnya bersama-sama sambil saling olok satu sama lain. Dan sesaat setelah suapan terakhirnya masuk ke dalam mulut, tiba-tiba Arya Dahana menyodorkan tempat minum dari bambu yang ditulisi sajak yang sangat indah;

Air dan Api Merenda Pagi

Tertidur di sela-sela batu. Meringkuk kedinginan padahal hari sangatlah terang. Anginpun tidak membawa gigil yang berarti. Semilirnya amatlah lembut. Membawa sayup kidung sanggabuana. Dari seruling seorang gembala, yang termangu mengantuk di lerengnya.

Terbangun tiba-tiba karena suara petir mengetuk kesunyian. Pertanda awan akan melahirkan. Titik dan remah kecil air hujan. Basahi sekujur tubuh bumi. Yang sekian waktu belum juga mandi.

Terduduk diam karena rindu mengusik urat nadi. Pada bidadari penunggu hati. Yang menghilang saat dulu petang berkemas pulang. Menghilang bersama keramaian sungai cilamaya. Pergi entah kemana.

Bangkit berdiri sebab sebuah sengatan. Hadirnya mimpi yang berkebaya malam. Kisah tentang air dan api. Yang tak mau sudah merenda datangnya pagi.

Bukan main! Saat itu Dewi Mulia Ratri yang terbiasa menahan perasaannya, sampai meneteskan air mata terharu. Jika tidak malu dan takut menurunkan harga diri, pasti sudah dihadiahinya langsung pemuda itu kecupan hangat di pipi. Namun pemuda itu sudah bersikap biasa lagi, bahkan asyik bermain-main dengan Sima Lodra. Tanpa memperdulikan dia lagi. Saat itu, perasaan hangat yang menjalar di hati Dewi Mulia Ratri berubah seketika menjadi setitik kemarahan. Keinginannya untuk mencium pipi pemuda itu berubah seketika menjadi keinginan menampar pipi!

Aaahhh...kenapa dia kembali memikirkan pemuda bodoh itu? Sekarang dia sedang bersama orang paling tampan se-Galuh Pakuan, makan bersama dengan posisi duduk begitu mesra. Gadis-gadis se-kerajaan pasti akan sangat iri hati kepadanya jika melihat kejadian sarapan ini. Dewi Mulia Ratri mencoba menikmati sarapannya dengan berpura-pura terlihat bangga dan bahagia. Dia tidak ingin menyakiti pangeran tampan yang sudah berusaha dengan susah payah melayaninya. Hah? Susah payah?! Para pelayannya lah yang bersusah payah! Bukan dia. Dewi Mulia Ratri menampik pikirannya sendiri dengan cepat. Ini menghilangkan senyum manis yang dia tampilkan sedari tadi. Dilihatnya para pelayan masih bersimpuh agak jauh dari mereka berdua, menunggu perintah ini itu lagi.

Gadis itu melambai kepada salah satu pelayan kurus yang masih muda. Dengan tergopoh-gopoh pelayan itu mendatangi sambil menunduk. Siap menanti perintah.

"Kalian kulihat sibuk sedari pagi. Aku yakin kalian pasti belum sempat sarapan. Ini ambillah. Bagi-bagilah dengan teman-temanmu yang terlihat sekali kelaparan itu..." Dewi Mulia Ratri mengambil beberapa piring besar dan menyisihkan potongan besar daging rusa, ayam, dan ubi panas yang sangat lezat. Dia memberi isyarat kepada pelayan itu agar segera pergi membawa piring-piring penuh makanan itu. Tentu saja yang disuruh menjadi pucat ketakutan. Pelayan muda itu bersimpuh sambil mundur-mundur. Tidak berani melihat kepada Andika Sinatria dan sekarang melirik ngeri kepada kepala pengawal sang pangeran yang sering dipanggil dengan nama julukan si Tangan Baja. Kepala pengawal itu memang memelototi si pelayan agar tidak menuruti perintah Dewi Mulia Ratri. Lumrah sebenarnya, karena sejak jaman kerajaan dahulu kala, siapapun belum boleh makan sebelum keluarga kerajaan selesai makan jika dalam suatu perjalanan. Ini adalah aturan umum kerajaan.

Dewi Mulia Ratri memandang tidak senang kepada si Tangan Baja. Keluar lagi pikiran jahilnya. Dia mengambil sepotong paha besar ayam dan disodorkannya kepada si Tangan Baja sambil berkata halus," Paha ayam ini terlalu keras pengawal. Cobalah makan, agar lain kali cara memasak para koki harus diperbaiki.."

Giliran si Tangan Baja yang memucat sekarang. Laki-laki kekar dan tinggi besar ini membungkukkan tubuhnya, memberi isyarat menolak. Dewi Mulia Ratri sudah menduganya. Dia menoleh kepada Andika Sinatria di sebelahnya yang sejak dimulainya peristiwa ini terbengong-bengong saja.

"Pangeran, orang-orangmu sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadaku. Mereka memang pengawal dan pelayanmu, namun apakah perintah kepala pengawal Kujang Emas Garuda bukan merupakan perintah?"

Andika Sinatria semakin kebingungan. Pangeran ini sadar bahwa gadis jelita di depannya ini mempunyai watak yang sedikit aneh dan sering melawan paugeran. Di satu sisi, dia harus menjaga wibawa di depan para pengikutnya. Di lain pihak dia juga khawatir, gadis yang telah menjatuhkan hatinya ini akan marah dan kecewa. Dia tidak mau gadis pujaannya ini kecewa. Kalau sampai dia kecewa, akan semakin sulit untuk menaklukkan hatinya yang sekeras baja. Pangeran ini mengangguk ke arah si Tangan Baja dan pelayan muda yang masih bersimpuh ketakutan.

"Pelayan, ambillah apa yang diberikan tuan puteri Dewi Mulia. Bagi-bagikanlah dengan yang lain. Tangan Baja, kau juga ajaklah pengawal yang lain untuk makan bersama-sama kali ini."

Si Tangan Baja dan pelayan muda itu memperlihatkan kelegaan yang luar biasa. Buru-buru mereka melaksanakan perintah itu dengan takzim.

Andika Sinatria menatap gemas kepada Dewi Mulia Ratri," sudah puas Dewi...?"

Dewi Mulia Ratri tersenyum lebar dan mengangguk-angguk puas tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kebahagiaan yang sangat sederhana dicatatnya pagi ini dalam hati. Melihat orang-orang suruhan itu menikmati makan dengan cepat karena memang sudah sangat kelaparan membuatnya sangat bahagia luar biasa.

Dia akan mencatat sesederhana apa hal-hal yang bisa membuatnya merasa bahagia. Diambilnya secarik daun lontar dan ditulisnya ringkasan kejadian pagi ini dengan wajah berseri-seri. Andika Sinatria yang memperhatikan semua itu menjadi terpesona. Gadis di depannya ini sangat cantik jelita. Memikat hati secara lahir dan batin. Aneh dan juga sakti. Apakah dia bisa menjalani peran sebagai istri seorang pangeran? Apakah dia tidak akan selalu menabrak cara-cara dan tata krama kerajaan? Apakah baginda raja setuju jika gadis ini menjadi istrinya?

Andika Sinatria menggeleng-gelengkan kepala mengusir pertanyaan-pertanyaan aneh yang berkeliaran di kepalanya. Dia mempunyai tugas kerajaan yang sangat penting. Dia harus mengabaikan gejolak hati yang tidak karuan ini. Urusan perkumpulan Kelelawar ini cukup gawat. Semakin lama mereka bisa semakin kuat dan bisa merongrong kekuasaan kerajaan Galuh Pakuan.

Pangeran yang jiwanya tertempa dengan kuat ini bisa mengalihkan perhatiannya pada urusan negara. Dia harus menepis bayangan cinta yang sudah mulai mendarah di dalam hatinya. Dia sangat bahagia bisa melakukan perjalanan bersama gadis pujaannya ini. Itu dulu. Urusan lainnya bisa dipikirkan lagi nanti.

Setelah selesai sarapan dan berbenah, rombongan kecil ini berkemas-kemas melanjutkan perjalanan. Mereka harus melintasi dan memutari lereng Gunung Pangrango untuk mencapai sisi selatan gunung. Ada jalan kecil yang bisa dilewati. Terlalu lama jika harus mendaki sampai puncak dan kemudian turun lagi. Kuda-kuda itu tidak mungkin kuat. Apalagi cukup banyak perbekalan yang dibawa serta.

Lewat tengah hari, rombongan ini mulai memasuki hutan di sisi selatan gunung. Tak lama lagi mereka harus menemukan tempat untuk bermalam. Hutan semakin lebat dan sungai juga mulai jarang didapat. Mereka harus menemukan tempat yang cukup landai untuk berkemah dan sumber air untuk menambah perbekalan minum. Dan sampailah mereka di sebuah lembah berpadang rumput yang cukup luas. Bahkan terdengar suara gemuruh air terjun kecil yang tidak terlalu jauh letaknya. Tempat yang sangat tepat untuk membangun perkemahan.

Para pengawal segera melakukan tugasnya membangun kemah-kemah. Sedangkan para pelayan mengisi kantong-kantong air minum serta mempersiapkan makan malam. Dewi Mulia Ratri dan Andika Sinatria turun dari kudanya. Membersihkan diri di sungai air terjun. Lalu kembali ke perkemahan yang sudah berdiri kokoh dan rapi.

Andika Sinatria memutuskan mereka berhenti berkemah di tempat ini beberapa hari. Selanjutnya dia dan Dewi Mulia Ratri akan pergi pulang setiap hari dari perkemahan ini untuk menyelidiki. Terlalu mencolok jika harus membawa rombongan dalam penyelidikan. Selain itu perjalanan akan menjadi lambat. Mereka berdua akan bisa pergi pulang dengan cepat dari tempat ini dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Bahkan meski itu jauh hingga ke pesisir pantai Sukabumi.

Malam itu berlalu tanpa ada aral melintang. Hanya suara siamang bersahutan yang berusaha mengganggu keheningan saja yang terdengar. Pagi-pagi buta setelah membersihkan diri, tanpa menunggu makan pagi, Dewi Mulia Ratri mengajak Andika Sinatria memulai penyelidikannya ke arah pantai selatan. Andika Sinatria yang juga sudah mandi dan menunggu makanan siap, mengeluh dalam hati. Namun tetap saja kakinya melangkah pergi mengikuti Dewi Mulia Ratri.

Agar pagi yang sangat dingin menjadi sedikit lebih hangat, Dewi Mulia Ratri mengajak Andika Sinatria berlomba lari hingga pesisir pantai selatan. Dari sanalah mereka akan memulai penyelidikan dengan menyisir pantai. Andika Sinatria lagi-lagi tidak sanggup menolak. Dua tubuh pemuda-pemudi yang terlihat sangat serasi itu kemudian berkelebatan cepat menembus lebatnya hutan.

Dewi Mulia Ratri yang penasaran dengan kemampuan meringankan tubuh Andika Sinatria, mengerahkan semua kemampuan larinya. Jika dibandingkan, kemampuan olah kanuragan dua orang ini cukup seimbang. Kelebihan dari Dewi Mulia Ratri adalah kemampuan sihirnya yang luar biasa. Kekuatan sihir tidak berpengaruh terhadap ilmu meringankan tubuh. Oleh karena itu, lomba lari berlangsung dengan seimbang. Kelebatan dua sosok lihai itu seperti bayangan hantu yang menyelusup di antara kerapatan pohon-pohon. Siapapun orang awam yang melihat peristiwa ini pastilah akan merasa ngeri.

Dalam beberapa jeda kemudian, dua orang ini terlihat beradu cepat ke bibir pantai yang sudah terlihat dari jauh. Bayangan putih dan biru saling susul. Dewi Mulia Ratri tiba terlebih dahulu. Wajahnya yang cantik memerah seperti tomat masak. Beberapa butir keringat menetes dari keningnya. Aura kecantikannya semakin memancar. Sedangkan Andika Sinatria meskipun tiba belakangan namun kelelahan tidak terlalu nampak di wajahnya. Dari sini terlihat bahwa sebetulnya Andika Sinatria masih sedikit lebih tinggi ilmu meringankan tubuhnya. Hanya saja pemuda ini tidak tega dan akhirnya mengalah pada detik-detik terakhir adu cepat.

Hal ini bukannya tidak diketahui oleh Dewi Mulia Ratri. Nampak wajah gadis ini cemberut. Dia tidak suka dirinya dikasihani. Selain itu dia penasaran kenapa dia bisa kalah adu lari dengan pangeran ini. Tanpa berkata-kata, gadis ini berjalan menyusuri pantai memulai penyelidikan.

Andika Sinatria maklum bahwa gadis cantik itu marah. Karena itu, dia hanya diam saja sambil berjalan mengikuti kemana gadis itu pergi. Mereka sampai di sebuah kampung kecil di pinggir pantai. Kampung itu terlihat sepi. Tidak ada manusia yang berkeliaran atau duduk-duduk di luar rumah. Bahkan anjing atau kucing pun tidak nampak seekorpun. Benar-benar sepi. Seperti kampung mati.

Dewi Mulia Ratri berhenti sejenak sambil menajamkan pendengarannya. Ada suara aneh dari sebuah rumah di ujung kampung. Suara lirih tangis yang ditahan sekuat tenaga agar tidak terdengar. Dewi Mulia Ratri secepat mungkin berlari menuju rumah itu. Didorongnya pintu rumah yang tidak terkunci. Andika Sinatria mengikuti sambil berjaga-jaga, waspada karena ditakutkan ini adalah jebakan.

Dewi Mulia Ratri muncul dari sebuah kamar sambil menggendong seorang bayi kecil yang berumur belum juga setahun, diikuti seorang perempuan setengah baya. Bayi perempuan kecil itu kurus kering seperti kekurangan makan. Namun wajah tak berdosa itu bersih dan cantik. Perempuan setengah baya yang terus mengikuti Dewi Mulia Ratri hingga keluar rumah juga kurus kering. Bahkan terbungkuk-bungkuk. Sepertinya terlalu lama mengangkat beban berat di pundak dan punggungnya.

Andika Sinatria terpana melihat bayi kecil yang terus menangis tertahan namun terisak-isak. Pemuda itu kemudian memperhatikan wajah Dewi Mulia Ratri yang terlihat sangat prihatin dan khawatir. Bahkan di kedua sudut mata yang bening itu mengembun. Hmmm…dibalik ketangguhan dan kecantikannya yang garang, gadis ini berjiwa sangat lembut. Tidak salah jika namanya Dewi Mulia...Ahhh makin jatuh lebih dalam hati Andika Sinatria karenanya.

Dua pendekar ini mencoba bertanya apa yang terjadi di kampung ini kepada perempuan setengah baya yang masih nampak sangat ketakutan. Awalnya perempuan tua itu hanya menggeleng-gelengkan kepala menolak menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Dewi Mulia Ratri maupun Andika Sinatria. Namun setelah dengan lembut Dewi Mulia Ratri meyakinkan bahwa mereka bukanlah orang yang bermaksud jahat, barulah perempuan tua itu bercerita panjang lebar.

Awalnya kampung-kampung di sekitar pantai Sukabumi yang pada umumnya serba kekurangan didatangi oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai anak buah seorang sakti yang berniat untuk membuat makmur seluruh kampung dan desa. Mereka diminta untuk dengan sukarela menyatakan dukungan kepada tokoh yang sering disebut sebagai Panglima Kelelawar.

Dukungan itu diwujudkan dalam bentuk pengabdian tenaga. Para pemuda dan pemudi di kampung-kampung itu dibawa ke markas perkumpulan dan dipekerjakan. Para pemuda yang cukup kuat dilatih ilmu kanuragan dan dijadikan anggota perkumpulan. Yang tidak cukup kuat dijadikan pelayan. Demikian juga bagi para wanitanya. Yang cukup cantik dijadikan pengawal dan pelayan istana Sang Panglima Kelelawar. Sedangkan sisanya dijadikan tukang masak, tukang cuci dan pekerjaan dapur lainnya.

Mereka tidak diperbolehkan pulang kembali ke kampung. Meskipun banyak di antaranya yang mempunyai anak dan keluarga. Pernah suatu ketika ada yang nekat pulang karena sangat merindukan anaknya. Akibatnya, wanita itu beserta bayinya hilang lenyap tak berbekas dari kampung tempatnya tinggal, dan juga tidak dijumpai lagi di markas perkumpulan. Banyak desas-desus yang mengatakan bahwa wanita dan anaknya itu dijadikan tumbal untuk penguasa laut selatan.

Sejak itu, tidak ada satupun yang berani melakukan pembangkangan lagi. Itulah sebabnya hampir di semua kampung, yang tersisa hanyalah orang tua dan anak-anak saja. Orang-orang dewasa semuanya ada di markas perkumpulan untuk dipekerjakan.

"Sejak kapan ini terjadi, Nek?" Dewi Mulia Ratri mencoba menganalisa situasi.

"Sejak beberapa purnama yang lalu, Neng."

"Kenapa tidak ada yang melaporkan kepada petugas kerajaan yang terdekat, Nek?" Andika Sinatria menimpali.

"Tidak ada satupun yang berani, Tuan. Kami semua takut. Mereka bisa berbuat semaunya tanpa kami bisa berbuat apa-apa. Pernah ada sebuah padepokan di sekitar kampung kami yang mencoba mencegah dan melawan. Namun akibatnya padepokan itu terbakar habis dan semua penghuninya tewas dibantai oleh perkumpulan ini." Perempuan tua itu menjawab dengan wajah miris dan ngeri.

Andika Sinatria dan Dewi Mulia Ratri saling berpandangan. Pantas saja berita tentang keberadaan perkumpulan ini sangat terbatas. Telik sandi yang biasanya cepat mengorek sebuah informasi, tidak bisa menangkap dengan jelas informasi yang beredar. Perkumpulan ini pintar memanfaatkan kelemahan warga yang telah merasa terancam sebelumnya.

Kedua muda-mudi ini lalu memutuskan untuk melanjutkan penyelidikan. Dewi Mulia Ratri menyerahkan kembali bayi yang sedari tadi sudah terdiam dalam gendongannya kepada perempuan tua yang ternyata adalah nenek dari bayi itu. Dewi Mulia Ratri berpesan agar perempuan itu kembali bersembunyi di dalam rumahnya. Menjelang sore nanti, gadis itu berjanji akan menjemput dan membawa mereka ke lereng Pangrango untuk diselamatkan.

Kedua orang muda lihai ini meneruskan perjalanan menyisir pantai selatan sepanjang wilayah Sukabumi. Dan benar saja, kampung-kampung selanjutnya yang mereka temui, keadaannya kurang lebih sama. Nyaris kosong tak berpenghuni. Andika Sinatria terheran-heran. Lalu dimana perkumpulan itu bermarkas? Tidak ada satu petunjukpun yang mengarah di mana mereka berada. Kampung sepanjang pantai selatan memang tidak sebanyak di pantai utara. Namun paling tidak penduduknya sudah mencapai ribuan orang. Dengan ribuan orang yang dikumpulkan seperti itu, bagaimana mungkin markasnya sama sekali tidak berjejak?

Hari sudah menjelang sore. Dewi Mulia Ratri dan Andika Sinatria akhirnya memutuskan untuk menghentikan penyelidikan. Percuma mereka melanjutkan penyelidikan di malam hari. Keduanya bergegas kembali ke kampung pertama tadi. Perempuan tua itu ternyata dengan sabar menunggu di depan rumahnya sambil mengayun-ayun sang cucu dalam gendongannya. Dewi Mulia Ratri kemudian mengajak perempuan tua itu untuk pergi dari tempat itu.

"Maaf Neng, nenek tidak sanggup meninggalkan kampung ini. Nenek akan menunggu anak-anak nenek kembali. Nenek hanya bermohon agar sudilah kiranya Neng bisa membawa cucu nenek ini pergi. Nenek khawatir tidak ada satupun yang bisa merawatnya kalau terjadi apa-apa dengan nenek. Nama cucu nenek ini Alka Awahita." Perempuan tua itu memohon pelan dengan suara terisak yang tercekat di tenggorokannya.

Dewi Mulia Ratri merasa sangat iba mendengar permintaan itu. Diraihnya bayi itu ke dalam gendongannya. Anak itu hanya terbangun sejenak. Menatap mata Dewi Mulia Ratri dengan sejuk lalu tertidur lagi dengan pulas. Gadis cantik itu tidak mau berlama-lama lagi di tempat itu. Perjalanan malam bersama bayi tidaklah baik untuk kesehatan si bayi. Dia segera mengajak Andika Sinatria kembali ke perkemahan.

Dua pendekar tangguh Galuh Pakuan itu kemudian melesat cepat meninggalkan tempat yang misterius itu. Perjalanan tidak makan waktu lama. Kali ini mereka memilih rute yang agak lebih mudah meskipun harus berputar sedikit. Malam sudah menyentuh permukaan bumi ketika mereka tiba di perkemahan. Dewi Mulia Ratri memanggil salah seorang pelayan dan menyerahkan Alka untuk dibersihkan serta berpesan agar membawa bayi itu ke tendanya karena gadis itu ingin menyuapi bayi itu makan. Ada semacam magnet dari bayi itu yang membuat Dewi Mulia Ratri ingin merawatnya sendiri dengan kedua tangannya.

Malam berlalu dengan cepat. Tak terasa pagi sudah menyeruak menyapa. Dewi Mulia Ratri cepat-cepat bangun dan kembali menyibukkan dirinya dengan merawat Alka. Bayi perempuan kurus cantik itu mengikat hati Dewi Mulia Ratri sejak pertama kali berjumpa. Gadis itu bertekad untuk merawat bayi cantik itu hingga besar. Semangatnya menjadi terjaga dengan kehadiran bayi itu.

Namun keheningan pagi itu dipecahkan dengan suara-suara teriakan siaga dari para pengawal istana.

"Siaaaaaaappppp.....waspadaaaaaaa.....!!!"

Terdengar hentakan-hentakan kaki dan pedang-pedang tajam ditarik dari sarungnya. Sebagai pasukan pengawal yang terlatih, puluhan orang itu bergerak cepat melindungi tenda pangeran Andika Sinatria dan Dewi Mulia Ratri. Pengawal yang berjumlah sekitar 30 orang itu membentuk formasi pagar betis. Dari jauh terdengar gemuruh tapak kaki kuda. Andika Sinatria yang masih berada di dalam tenda cepat-cepat keluar untuk melihat situasi. Dewi Mulia Ratri yang masih asyik dengan Alka juga keluar tenda.

Gemuruh tapak kaki kuda semakin mendekat. Dan sekarang terlihat sepasukan orang berbaju hitam-hitam menunggangi puluhan kuda mendekati perkemahan dipimpin oleh seorang gadis cantik berbaju hijau. Rombongan itu menghentikan kuda-kudanya dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari perkemahan. Gadis cantik itu memajukan kudanya sambil memperhatikan pasukan Galuh Pakuan yang bersiaga penuh. Matanya mencari-cari dan bertemu dengan mata Andika Sinatria. Berhenti sejenak. Lalu menatap Dewi Mulia Ratri yang memandangnya dengan penuh selidik. Gadis yang seumuran dengan Dewi Mulia Ratri itu tersenyum memamerkan giginya yang putih.

"Aku menduga bahwa kalian berdualah yang memimpin pasukan Galuh Pakuan ini. Aku tidak ingin berbuat tidak sopan pada kalian. Tapi kalian memasuki wilayah Lawa Agung tanpa ijin. Oleh karena itu, pergilah secepat mungkin dari sini. Sang Panglima bukan orang yang mudah mengampuni...pergilah."

Dewi Mulia Ratri mengerutkan alisnya. Gadis ini bicara dengan sopan tapi mengusir mereka dari wilayah kerajaan Galuh Pakuan? Benar-benar menggelikan. Diliriknya Andika Sinatria masih menatap gadis itu dengan kekaguman yang tidak bisa disembunyikan. Dewi Mulia Ratri menjadi semakin kesal melihat tingkah pangeran muda itu. Dia maju selangkah ke depan setelah menyerahkan Alka kepada seorang pelayan.

"Hmmmm....gadis cilik! Siapa kau berani beraninya mengusir kami di tanah kami sendiri..?"

Gadis berbaju hijau itu menjawab dengan kalem namun tegas," namaku Bimala Calya...aku adalah tangan kanan Panglima Kelelawar. Ini bukan wilayah Galuh Pakuan. Panglima Kelelawar telah menyatakan bahwa pesisir selatan mulai dari ujung barat Jawa hingga ujung timur Jawa adalah wilayah kerajaan Lawa Agung."

Bimala Calya melanjutkan," Panglima Kelelewar juga telah mendapatkan restu dari Yang Mulia Ratu Laut Selatan. Ingatlah itu baik baik. Pulanglah! Sampaikan kepada Baginda Raja Galuh Pakuan. Kerajaan Lawa Agung sekarang setara dengan Galuh Pakuan."

Andika Sinatria maju ke sebelah Dewi Mulia Ratri. Tatapan pangeran itu kini bukan lagi kagum, namun tajam dan berwibawa.

"Bimala, apakah dengan pernyataan Panglima Kelelawar semua urusan sudah selesai begitu saja? Tidak! Kalian tidak bisa seenaknya mengambil alih wilayah kekuasaan kerajaan Galuh Pakuan tanpa persetujuan dari kami..."

"Dan kamu adalah.....?" Bimala Calya memandang Andika Sinatria dengan pandangan menusuk.

"Aku adalah Pangeran Andika Sinatria. Putra dari Baginda Raja Galuh Pakuan. Kakakku adalah putri mahkota Dyah Pitaloka. Aku berhak berbicara atas nama kerajaan!" Andika Sinatria menyahut dengan tidak kalah tegas.

Bimala Calya tersenyum manis sambil meniup semacam peluit kecil dengan suara melengking tinggi dan mengangkat tangan kanannya ke atas. Mendadak langit di atas perkemahan menggelap dipenuhi mendung hitam. Mendung itu perlahan-lahan merendah seperti sedang ditekan dari atas. Andika Sinatria terkesiap sejenak. Ini bukan mendung biasa! Ada aroma sihir di mendung itu.

Benar saja. Begitu tinggal berjarak beberapa puluh depa, mendung hitam itu ambyar dan menyerbu pasukan Galuh Pakuan. Ternyata mendung itu adalah kumpulan dari ratusan ribu kelelawar yang menyatu. Binatang-binatang malam kecil itu bukanlah kelelawar biasa. Saat menyerbu, terlihat taring-taring kecil tajam berwarna kemerahan. Bahkan dari taring runcing kecil itu menetes cairan berwarna merah kehitaman. Inilah salah satu jenis kelelawar langka yang hanya bisa dijumpai di pesisir pantai selatan barat Jawa. Jenis kelelawar ini biasa disebut Lawa Wisa. Jenis yang sangat beracun dan bisa membunuh binatang besar seperti sapi atau kerbau dalam sekejap kemudian menghisap habis darahnya.

Dewi Mulia Ratri dan Andika Sinatria mengenal binatang berbahaya dan langka ini dari buku-buku pengetahuan di istana. Keduanya berteriak memperingatkan para pasukan agar masuk dalam tenda-tenda untuk berlindung. Kontan saja pasukan pengawal istana itu kalang kabut semuanya. Keluarnya seruan peringatan dari sang pangeran dan panglima Kujang Emas Garuda itu berarti bahaya. Pasukan yang berjumlah puluhan orang itu serabutan menuju tenda terdekat untuk berlindung.

Hampir semua berhasil masuk tenda kecuali beberapa orang yang saking paniknya terjatuh kemudian diserang oleh Lawa Wisa dengan ganas. Terdengar jerit dan lolong kesakitan dari beberapa orang yang digigit oleh taring runcing beracun kelelawar. Racun kelelawar itu sangat menyakitkan saat memasuki aliran darah manusia. Tapi kesakitan itu tidak berlangsung lama, karena begitu tubuh-tubuh kejang itu tergeletak, ribuan kelelawar mengerubuti untuk menghisap darah.

Akibatnya sangat mengerikan! Tubuh tubuh orang yang dihisap habis darahnya itu seperti karung berisi air yang bocor besar. Terlihat mayat mayat dengan tubuh mengempis tanpa cairan darah yang tersisa sedikitpun.

Andika Sinatria dan Dewi Mulia Ratri bergidik ngeri melihat kejadian itu. Keduanya lalu mengerahkan ilmu kesaktian masing-masing untuk menahan kelelawar itu supaya tidak semakin merajalela. Andika Sinatria mengeluarkan ajian Lampah Dangdaunan. Angin berputar-putar seperti lesus membawa daun-daun terbang ke atas membentuk sebuah payung besar untuk menghadang serbuan kelelawar. Dewi Mulia Ratri mengerahkan ilmu pukulan Pena Menggores Awan yang juga menciptakan angin pukulan dahsyat yang membuat ratusan kelelawar terpental jatuh dan mati dalam sekali pukul.

Sepasang anak muda ini menjadi pusat perhatian dan diserbu oleh ratusan ribu kelelawar. Dewi Mulia Ratri tidak bisa mengeluarkan sihir karena kelelawar-kelelawar ini binatang sungguhan dan bukan hasil sihir. Mau tidak mau mereka berdua bertahan dan menyerang balik dengan menggunakan ilmu kanuragan yang bisa menimbulkan angin besar.

Bimala Calya bersedekap sambil tersenyum puas melihat kedua pendekar tinggi Galuh Pakuan ini sibuk menahan serbuan kelelawar. Gadis cantik ini menahan pasukannya agar tidak menyerang pasukan pengawal di dalam tenda-tenda yang mencoba menghindari serbuan kelelawar. Jika dua orang tangguh pimpinan pasukan Galuh Pakuan itu bisa ditaklukkan, maka urusan pasukan adalah urusan yang sangat sepele.

Boleh jadi Andika Sinatria dan Dewi Mulia Ratri adalah pendekar-pendekar tangguh yang mempunyai ilmu kesaktian tinggi. Namun serbuan kelelawar-kelelawar beracun yang berjumlah ratusan ribu membuat mereka sangat kewalahan. Jika keadaan terus-terusan seperti ini, maka dapat dipastikan mereka berdua akan sangat kelelahan sedangkan kelelawar itu seakan tiada habisnya.

Saat situasi menjadi sangat genting, tiba-tiba berkelebat bayangan seorang pemuda masuk ke gelanggang pertempuran aneh itu sambil menyebarkan pukulan-pukulan berwarna keperakan. Bayangan itu tidak berusaha melindungi tubuhnya dari gigitan kelelawar. Banyak sekali kelelawar yang berhasil menggigit tubuhnya. Namun sepertinya gigitan-gigitan sangat beracun itu tidak dirasakannya. Dia sibuk membagi pukulan-pukulan keperakan yang menghanguskan ribuan kelelawar.

Dewi Mulia Ratri sempat melirik sejenak ke arah bayangan yang membantu mereka menghadapi serbuan dahsyat kelelawar dan hatinya langsung tercekat. Perasaan girang luar biasa hinggap di hatinya. Sanghyang Widhi! Arya Dahana datang! Jika saja dia tidak dalam keadaan pertempuran aneh ini, mudah saja dia menubruk pemuda konyol itu dengan pelukan erat.

Perasaan girang itu membuat Dewi Mulia Ratri bersemangat menghabisi ribuan kelelawar ganas itu. Jurus Pena Menggores Langit memenuhi angkasa dengan suara menderu-deru. Andika Sinatria yang juga melihat kedatangan pemuda dekil kurus itu, merasa panas hatinya menyaksikan Dewi Mulia Ratri sangat kegirangan. Pukulan pangeran itu mengganas dan makin menggila. Amukan tiga muda-mudi sakti itu membuat tumpukan bangkai kelelawar menggunung dengan cepat. Bau anyir darah dan racun menguar memenuhi tempat itu.

Bimala Calya terkesiap. Kedatangan pemuda aneh dan terlihat konyol itu membalikkan situasi. Pemuda itu mempunyai pukulan dahsyat yang sangat panas dan menyilaukan. Apalagi pemuda itu sepertinya sama sekali tidak mempan racun gigitan kelelawar. Jika dibiarkan, pasti kelelawar peliharaan sang panglima akan musnah dibasmi tiga muda mudi itu.

Gadis itu mengambil keputusan cepat. Diambilnya alat tiup kecil dari kantong bajunya. Suara mendengking tinggi kembali memenuhi lembah. Kelelawar-kelelawar kecil terbang cepat membubung ke atas. Seperti memberi jalan kepada sesuatu yang lebih besar yang akan datang. Dan...langit menyibak biru lalu kembali menghitam dengan seketika. Suara gemuruh mendatangi dengan cepat. Warna langit yang menghitam adalah ribuan lagi kelelawar yang memenuhi. Kali ini jenis yang datang menyerbu jauh lebih mengerikan. Tetap kelelawar tapi jauh lebih besar. Berukuran 10 kali lipat kelelawar pertama. Muka binatang ini seperti muka serigala. Taringnya besar dan panjang. Cairan yang menetes di taring dan mulutnya bukan lagi berwarna darah. Namun memang benar-benar darah. Ini bukan jenis-jenis yang bisa ditemui di pulau Jawa. Kelelawar jenis ini didatangkan dari negeri Kali dan sengaja dipelihara dan dikembangbiakkan oleh Panglima Kelelawar untuk dijadikan pasukan khusus yang dahsyat dan mengerikan. Racun yang terkandung di taringnya adalah racun darah. Jenis racun mematikan yang membekukan darah dengan seketika.

Tiga muda mudi ini bersiap-siap. Suara gemuruh dari langit itu mendekat dengan cepat. Arya Dahana memusatkan pikiran dan hawa murni di tubuhnya. Ajian Geni Sewindu berhawa panas dan hanya bisa mencapai puncak sempurnanya jika dia dalam keadaan sangat marah, dan itu sangatlah beresiko karena dia akan terluka parah oleh pukulan balik. Sementara hawa yang mendahului serangan dari atas ini sangatlah dingin. Pastilah racun yang dibawa binatang-binatang aneh ini berhawa dingin.

Pemuda ini mempersiapkan pukulan yang dipelajarinya dari kitab Danu Cayapata yaitu pukulan Busur Bintang yang juga berhawa luar biasa dingin. Karena pada dasarnya pemuda ini sedari kecil menyimpan hawa murni dingin beracun yang didapatkannya akibat pukulan beracun berhawa dingin para tokoh sesat Sayap Sima, maka kekuatan hawa murni dingin di dalam tubuhnya amatlah luar biasa. Sehingga mempelajari ilmu pukulan Busur Bintang bukanlah hal yang terlalu sulit. Dalam waktu yang tidak terlalu lama pemuda ini sanggup menguasai dasar-dasar pukulan kuno yang sakti itu secara menyeluruh. Hanya perlu melatih diri secara rutin dan terus-menerus untuk meninggikan tingkat kesempurnaannya.

Setelah merasakan hawa dingin memenuhi dada dan seluruh tubuhnya, Arya Dahana berteriak keras dan mengibaskan kedua lengannya ke atas. Ke arah pasukan aneh kelelawar raksasa yang semakin bergemuruh mendekat. Dewi Mulia Ratri dan Andika Sinatria yang agak jauh dari Arya Dahana merasakan hawa dingin yang luar biasa keluar dari kibasan lengan pemuda itu. Serta diikuti pula oleh bau tajam menusuk.

Rombongan pertama binatang malam yang mengerikan itu terkena hawa pukulan langsung pukulan Busur Bintang. Binatang-binatang ganas itu tetap meluncur ke bawah. Tetapi kali ini tanpa kendali. Menghantam tanah dengan keras dan hancur berkeping keping. Tubuh-tubuh kelelawar raksasa yang terkena pukulan Busur Bintang itu telah beku terlebih dahulu di udara sebelum menghantam tanah.

Bimala Calya kini bukan hanya terkesiap. Namun rasa jerih mulai menghinggapi hatinya. Pemuda yang baru datang ini ternyata bisa mengetahui kelemahan pasukan kelelawar raksasa dengan memberikan pukulan berhawa dingin. Seandainya Panglima Kelelawar ada di sini saat ini, pastilah tokoh itu bisa mencari jalan bagaimana menghadapi muda-mudi tangguh ini. Tahu kalau keadaan ini diteruskan akan membuat punah pasukan kelelawar raksasa yang menjadi andalan dan rencana ke depan sang panglima, Bimala Calya meniupkan lagi alat kecil tadi dengan nada yang berbeda.

Kelelawar-kelelawar raksasa yang masih mencoba menyerbu dengan garang itu secepat kilat berbalik arah dan terbang ke angkasa lalu kembali ke asalnya. Bimala Calya membalikkan badan hendak melarikan diri, namun Dewi Mulia Ratri dan Andika Sinatria berkelebat cepat dan tahu-tahu telah berdiri bertolak pinggang di hadapannya.

Andika Sinatria bergerak untuk menotok bagian tubuh gadis itu agar tidak bisa melarikan diri lagi. Namun Bimala Calya bukanlah gadis kemarin sore yang mudah ditaklukkan. Gadis itu menghindar dengan cepat dan bahkan balik menyerang Andika Sinatria dengan pukulan mematikan. Terjadilah saling serang menyerang dengan hebat. Sebentar saja Bimala Calya kerepotan. Tingkat Andika Sinatria masih lebih tinggi daripada dirinya. Dewi Mulia Ratri tidak mau ikut-ikutan. Gadis itu justru tertarik menghampiri Arya Dahana yang sedang mengatur nafas karena mengeluarkan banyak tenaga secara berlebihan menghadapi pertempuran melawan pasukan kelelawar yang berbahaya tadi.

"Dahana, kamu memenuhi janjimu untuk mengunjungiku...aku bahagia. Hanya saja aku tidak menduga kita bertemu di sini, apa yang sebenarnya kamu lakukan di sini? Kenapa tiba-tiba kamu muncul di sini?" Dewi Mulia Ratri memberondong Arya Dahana dengan pertanyaan sambil menatap pemuda itu penuh rindu.

Arya Dahana menatap dalam-dalam mata gadis yang telah mencuri hatinya ini. Melirik ke pertempuran antara Bimala Calya dengan Andika Sinatria. Menghela nafas panjang lalu berkata pelan," Aku juga bahagia bisa bertemu denganmu Ratri. Sebenarnya aku sedang dalam perjalanan menuju Tlatah Ujungkulon. Ada seorang tabib sakti di sana yang bernama Ki Sasmita. Aku sedang mencarikan obat seseorang yang terluka parah oleh pukulan Bayu Lesus tokoh sesat Madaharsa."

Dewi Mulia Ratri memerah pipinya. Hmmm... jadi pemuda ini bukan sengaja mencarinya? Mendadak ada sentuhan jarum di sudut jantungnya. Namun gadis ini memaksakan diri tersenyum.

"Siapa yang terluka Dahana? Pasti orang itu sangat berarti bagimu sampai kamu jauh-jauh mencarikan obat untuknya. Kakak Puspa ya?"

Arya Dahana tersenyum kecut," bukan...bukan Puspa yang terluka parah. Orang itu gadis dari Istana Laut Utara. Kamu pernah bertempur dengannya di perang Blambangan."

Dewi Mulia Ratri tersentak seperti tersengat kalajengking. Hatinya yang tadi hanya tertusuk jarum, sekarang terbakar menyala-nyala. Pemuda yang mencuri hatinya ini rela berkorban menempuh jarak yang sangat jauh demi gadis yang tak pernah akur dengannya. Jangan-jangan....pemuda ini mencintai Putri Anjani?

"Huh! Rupanya gadis cumi-cumi itu yang kamu bela mati-matian! Sudah sana...pergilah!" Dewi Mulia Ratri cemberut dan marah luar biasa. Gadis itu sudah berniat membalikkan badan pergi. Namun lengannya ditahan dengan lembut oleh Arya Dahana.

"Ratri...setelah sekian lama kita bertemu lagi....sayang sekali jika yang kau perlihatkan hanyalah amarah.... aku membantunya murni karena kemanusiaan. Bukan karena sebab lainnya..." pemuda itu tersenyum sabar sambil tetap memegang lengan gadis itu dengan lembut.

Dewi Mulia Ratri yang masih sangat panas hatinya menoleh ke Arya Dahana. Dia tadi berniat menepis tangan pemuda itu. Tapi setelah dilihatnya tatapan mata dan senyum pemuda itu, hatinya luluh seketika. Senyum itu, senyum paling tengil yang pernah dijumpainya. Tapi..dia rindu sekali pada senyum itu. Gadis cantik itu tetap cemberut namun tangan kanannya menggenggam tangan Arya Dahana. Ingin dia memeluk erat tubuh kurus pemuda itu. Tapi alangkah lucunya jika itu terjadi.

Di tempat yang tak terlalu jauh, Andika Sinatria yang dia tahu juga mencintainya, sedang bertempur melawan musuh. Sedangkan di sini, dia berpelukan dengan nyaman bersama pemuda dekil ini. Hi hi hi...pikiran ini menerbitkan geli sekaligus miris di hati Dewi Mulia Ratri. Entah bagaimana kisah cinta yang aneh dan rumit ini terjadi.

Belum lagi saat terlintas di benaknya sosok wanita cantik sakti yang sedang terluka dan kesakitan saat usai perang Blambangan. Sosok Dyah Puspita yang dipeluk dengan erat dan khawatir oleh Arya Dahana. Uuuuuhhh...pikiran ini membuyarkan kehangatan yang tadi sudah mulai merambati hati Dewi Mulia Ratri. Ditepisnya tangan Arya Dahana dengan tiba-tiba. Dewi Mulia Ratri membalikkan tubuhnya lagi menghadap pertempuran antara Andika Sinatria melawan Bimala Calya.

Bimala Calya semakin terdesak hebat. Gadis cantik ini hanya bisa bertahan tanpa sanggup lagi balas menyerang. Puluhan pasukan berkuda yang dibawanya sudah menghunuskan pedang masing-masing. Siap menyerang dan mengeroyok Andika Sinatria.

Tanpa diduga-duga, beberapa sosok bayangan tiba-tiba muncul dari balik pepohonan dan terjun ke dalam pertempuran serta menyerang Andika Sinatria. Tiga laki-laki bertopeng tengkorak membantu Bimala Calya. Ilmu tiga orang bertopeng itu setingkat dengan yang dimiliki Bimala Calya. Meskipun dikeroyok oleh empat orang. Pangeran tampan Galuh Pakuan itu bisa menahan dengan baik. Pemuda itu memainkan sekaligus Ilmu Lampah Dangdaunan dan Lengkah Maung Kalaparan. Pertempuran menjadi agak seimbang dan sengit sekarang.

Dewi Mulia Ratri yang melihat ini tidak tinggal diam. Dia tidak akan ikut campur jika pertarungan dilakukan satu lawan satu. Namun jika sudah main keroyok seperti ini, tidak boleh sama sekali dibiarkan. Tubuh gadis cantik ini melesat ke depan membantu Andika Sinatria. Dua lawan empat, tapi yang dua menguasai pertempuran. Gelanggang kembali berlangsung berat sebelah. Bimala Calya mengeluh dalam hati. Meskipun kedatangan Tiga Maut Lembah Tengkorak tadi sejenak bisa membuatnya bernafas lega, namun masuknya gadis cantik yang satu ini membuat dia kembali tidak berkutik. Meskipun tidak telak, beberapa pukulan sudah mengenai tubuhnya. Demikian pula Tiga Maut Lembah Tengkorak. Tubuh mereka juga mulai babak belur dihajar pukulan-pukulan Andika Sinatria.

Hingga suatu ketika, pukulan ajian Lembu Sakethi Dewi Mulia Ratri telak mengenai dada kiri Bimala Calya. Gadis itu menjerit keras dengan nada sangat kesakitan. Tubuhnya terguling-guling di tanah. Saat mencoba bangkit, gadis ini memuntahkan darah segar yang cukup banyak sehingga kembali jatuh terduduk. Beberapa pengawal istana Galuh Pakuan termasuk Si Tangan Baja mendekat dan berniat untuk memberikan pukulan dan serangan penghabisan.

Arya Dahana terkejut melihat ini. Tubuhnya melesat ke depan untuk melindungi gadis yang terluka itu dari pukulan mematikan. Lima orang pengawal terpental tubuhnya berpelantingan ke segala arah. Arya Dahana membatasi tenaganya sehingga lima pengawal itu tidak terluka. Bersamaan dengan kejadian itu, Andika Sinatria dan Dewi Mulia Ratri berhasil mengalahkan lawan-lawannya dengan telak. Tiga Maut Lembah Tengkorak bergeletakan pingsan tak berdaya.

Dewi Mulia Ratri melompat jauh ke depan Bimala Calya, mengulurkan tangannya hendak menotok bagian tubuh gadis itu agar tidak bisa melarikan diri.

Duukkk...Dukkk...

Tangan Dewi Mulia Ratri bergetar saat sebuah lengan kurus menangkis tangannya. Dewi Mulia Ratri terperanjat melihat Arya Dahana berdiri di depan Bimala Calya sambil memandangnya tidak setuju.

Gadis jelita dari Sanggabuana ini terengah-engah menahan desakan kemarahan di dadanya. Hatinya seperti disiram api dari neraka. Wajahnya yang cantik memerah padam.

"Dahana! Apa maksudmu?! Kau bersusah payah untuk menyembuhkan putri cumi-cumi itu dengan alasan kemanusiaan aku masih bisa terima. Tapi ini....ini...kau menghalangiku meringkus musuh negaraku....hhhh...hhhh..."

Arya Dahana berusaha menyabarkan gadis yang sedang dilanda badai itu dengan tersenyum paling manis yang dia rasa dia punya. Tapi mata indah di depannya tidak bergeming sedikitpun dari amarah. Senyum manis Arya Dahana berubah menjadi kecut.

"Ratri, maafkan aku. Tapi alangkah tidak baiknya jika kita masih menyerang orang yang sudah sama sekali tidak berdaya. Sekalipun itu musuh..."

Perkataan Arya Dahana terpotong dengan mendaratnya tamparan di pipinya berulang kali. Bahkan saking geramnya, tamparan Dewi Mulia Ratri kali ini agak terlalu berlebihan. Terlihat darah mengalir dari sudut bibir Arya Dahana. Dewi Mulia Ratri nampak terkejut melihat hasil perbuatannya. Namun gadis itu berusaha menutupi rasa iba dan kegugupannya dengan membentak keras.

"Jangan sekali-kali lagi kau menghalangiku Dahana!! Aku akan membencimu seumur hidupku jika kau melakukan itu. Aku adalah petugas dan pejabat kerajaan Galuh Pakuan. Gadis ini adalah pemberontak yang hendak merongrong wibawa Galuh Pakuan. Kau tidak berhak ikut campur sedikitpun...tahu?!!" Gadis cantik itu berkata keras namun matanya mengikuti darah yang mengalir di sudut bibir Arya Dahana dengan rasa penyesalan yang dalam.

Arya Dahana sengaja mengusap darah di bibirnya dengan gaya paling mengibakan. Maksudnya tentu saja agar gadis keras hati di depannya ini bisa sedikit luluh. Dan dia berhasil. Dewi Mulia Ratri melangkah maju, mengeluarkan sebuah sapu tangan sutera dari balik bajunya. Lalu dengan gugup dan malu mengusap bibir berdarah itu dengan penuh kasih.

Arya Dahana kelabakan dan kikuk mendapatkan perhatian dan kasih yang begitu besarnya. Dia memegang tangan Dewi Mulia Ratri dengan lembut. Ketika dia hendak mengambil sapu tangan yang penuh bercak darah itu, Dewi Mulia Ratri menahannya sebentar sambil berbisik lirih.

"Pergilah Dahana. Kau harus mengembalikan sapu tangan ini langsung dari tanganmu dan tidak boleh lebih dari 10 purnama waktunya...jagalah dirimu baik-baik...." mata indah itu terlihat mengembun sedikit di ujungnya. Lalu tanpa sengaja melompatlah dua butir airmata.

Arya Dahana terpukau seperti orang tolol, keharuan menyapu seluruh perasaannya. Saputangan di tangannya hampir saja terlepas jika tidak cepat-cepat dimasukkan ke dalam kantong bajunya. Dilihatnya Dewi Mulia Ratri memalingkan muka tak mau melihatnya. Disambarnya tubuh Bimala Calya yang sudah setengah pingsan dan menghilang dengan cepat ditelan kerimbunan hutan Pangrango.

Andika Sinatria tidak mau mencampuri atau menghalangi Arya Dahana karena dia tahu betapa kerasnya Dewi Mulia Ratri jika sudah berkehendak. Barulah setelah bayangan Arya Dahana tidak terlihat lagi, dia memberikan perintah untuk menahan Tiga Maut Lembah Tengkorak. Sementara puluhan pasukan anak buah Bimala Calya sudah melarikan diri sedari tadi.

Pangeran tampan itu mendatangi Dewi Mulia Ratri yang masih hanyut oleh perasaannya.

"Dewi, aku tidak memahami alasanmu melepas Bimala Calya namun aku menghargai semua keputusanmu. Penyelidikan ini sudah lebih dari cukup aku rasa. Kita bisa mendapatkan keterangan banyak dari tiga tahanan penting ini. Hari ini kita kembali ke Ibukota Galuh Pakuan. Bagaimana menurutmu?"

Tanpa menoleh sedikitpun, Dewi Mulia Ratri mengangguk mengiyakan. Gadis itu sadar jika dia mengeluarkan suara, maka yang keluar adalah suara yang serak bergetar. Jika dia menoleh dan menatap Andika Sinatria, maka matanya yang masih digenangi air mata akan terlihat oleh pangeran itu. Hatinya seperti berteman dengan sembilu saat ini. Biarlah dia menikmatinya sesaat sampai matahari mengurainya menjadi debu berupa rindu.

****