webnovel

Bab 4

Aku mematung di sudut sini

Memandangi tubuh sunyi yang sedang menggeliat

Selepas terbangun dari keramaian yang membabi buta.

Aku melangkahkan kaki

Memasuki lorong gelap tanpa sedikitpun sambaran pelita

Mencari dan menantang idu geni

Agar berhenti dan tak lagi mencederai mimpi.

Lepas pantai Ngobaran. Rupanya Sanghyang Widhi masih melindungi Arya Dahana. Begitu terjatuh dari bibir tebing karena luka akibat pukulan Dewi Mulia Ratri, jatuhnya langsung ke laut dan bukan ke karang yang banyak sekali berada di bawah sini, tubuh Arya Dahana langsung ditelan air laut yang masih ganas.

Pemuda ini sebenarnya pandai sekali berenang. Dia adalah seorang ahli di air sebagai penangkap ikan. Namun saat ini tubuhnya sedang terluka dalam yang cukup hebat sehingga gerakannya menjadi sangat terbatas. Apalagi hempasan terjatuh yang sangat keras tadi membuat tubuhnya makin terluka. Bagaimanapun dia tidak akan menyerah pada nasib. Diayunkannya tangan dan kaki sekuat tenaga mencoba untuk terus mengambang di air. Hanya saja gelombang yang sangat kuat menghempasnya ke bawah air berkali-kali. Kepala dan tubuhnya berulangkali tenggelam, lalu timbul dan tenggelam lagi.

Pemuda ini gelagapan mencari udara untuk bernafas. Saat sampai pada puncak tidak bisa lagi bertahan dan tubuhnya mulai tersedot ke bawah air, sepasang tangan menarik tubuhnya dan menyangga lehernya agar tetap ada di permukaan. Arya Dahana hanya sempat melirik sejenak Putri Anjani berusaha sekuat tenaga menahan tubuhnya tidak tenggelam dengan darah yang masih mengalir di sudut bibirnya, setelah itu kegelapan menguasainya. Pingsan.

Putri Anjani bersyukur sekali pemuda itu pingsan. Jika tidak, akan cukup berbahaya bagi mereka berdua karena orang tenggelam cenderung untuk memberontak dan membuat penyelamatan menjadi lebih sulit. Gadis ini sedari kecil tinggal di pulau kecil yang dikepung laut. Tidak heran dirinya sangat mahir berketrampilan di laut. Dia akan dengan mudah menyelamatkan Arya Dahana. Tapi ada satu hal yang membuat penyelamatan kali ini sangat sulit. Dia juga sedang terluka parah. Tenaganya hampir habis.

Meskipun dia masih leluasa membuat mereka berdua mengambang, namun karena keterbatasan tenaga, akhirnya keduanya terseret arus dan gelombang hingga ke tengah. Putri Anjani menyadari hal tersebut, sambil tetap menjaga mereka berdua tidak tenggelam, gadis ini menengok kesana kemari mencari sesuatu yang bisa membantu mereka mengambang dan bertahan.

Dan sesuatu itu secara ajaib lewat di depan mereka. Sebuah gelondongan kayu yang sangat besar hanyut terombang-ambing gelombang lautan. Cepat-cepat Putri Anjani berenang menuju gelondongan kayu itu sambil tetap membawa tubuh Arya Dahana yang masih tak sadarkan diri. Berhasil!

Dinaikkannya tubuh kurus Arya Dahana terlebih dahulu dengan susah payah, setelah itu menyusul dirinya sendiri. Gelondongan kayu itu sangat besar. Lebih besar dari sebuah perahu kecil. Lebih dari cukup untuk mereka berdua. Bahkan ini ternyata bukan sekedar gelondongan! Ini adalah sebatang kayu utuh yang tercabut dari akar-akarnya oleh Raja Badai. Nampak tajuknya yang dipenuhi dedaunan hijau di ujung sebelah sana. Dan luar biasanya adalah ini kayu Maja! Banyak sekali buahnya yang besar-besar bergelantungan di dahan-dahannya yang rimbun. Buah ini memang sangat pahit, tapi setidaknya akan bisa membuat mereka bertahan hidup di tengah-tengah laut selatan.

Setelah selesai mempelajari keadaan, Putri Anjani mengalihkan perhatian kepada Arya Dahana. Pemuda yang telah menolongnya berkali-kali ini terlihat sangat lemah. Wajahnya pucat pasi. Darah mengering di mulut dan dagunya. Bajunya yang robek di bagian dada memperlihatkan bekas tangan yang menggosong di kulit. Pukulan Dewi Mulia Ratri sangat telak mengenai dada pemuda ini. Tanpa pertahanan yang berarti lagi. Huh! Pemuda bodoh! Mau-maunya mengalah dan tidak balas menyerang.

Putri Anjani meraba leher dan pergelangan tangan Arya Dahana. Detak nadinya masih sangat kuat. Luar biasa! Pemuda ini mempunyai daya tahan tubuh yang tidak biasa. Jika orang lain yang terkena pukulan sedahsyat itu, sudah pasti dadanya akan remuk sampai ke tulang-tulang.

Gadis ini sama sekali tidak tahu bagaimana cara mengobati luka dalam pemuda ini. Dia tidak mungkin menyalurkan tenaga dalam ke tubuh Arya Dahana. Dia masih terluka. Bisa-bisa lukanya akan semakin membahayakan jiwanya. Keputusan gadis ini sangat tepat meskipun dengan alasan yang berbeda. Dan ini juga sebetulnya secara tidak sengaja menyelamatkan nyawanya sendiri. Dia tidak tahu kalau tubuh Arya Dahana tidak bisa menerima penyaluran tenaga dalam dari luar karena pasti akan ditolak oleh dua tenaga yang berlawanan dalam dirinya dan akan membuat yang menyalurkan tenaga dalam terkena pukulan balik tenaga yang disalurkan.

Tentu ada sesuatu yang harus dilakukan untuk memperingan penderitaan pemuda ini, pikir Putri Anjani cepat. Dipetiknya beberapa buah maja. Diambilnya belati dari pinggangnya untuk mengupas buah tersebut. Buah yang sangat pahit ini banyak mengandung air. Paling tidak bisa memberi masukan air bagi tubuhnya. Tapi bagaimana cara dia bisa makan? Sedangkan pemuda ini masih dengan enaknya pingsan?

Selintas pikiran membuat Putri Anjani senang. Dia mengambil potongan buah maja lalu mulai mengunyahnya perlahan. Fiuuuhhh...pahit sekali. Tapi gadis ini tidak berhenti. Terus saja dikunyahnya hingga buah itu menjadi halus. Setelah merasa yakin hasil kunyahannya halus, putri dari laut utara ini meletakkan dalam tangannya kemudian diperas dan diteteskan ke mulut Arya Dahana.

Air buah maja yang sangat pahit itu masuk ke dalam mulut pemuda itu. Wajah yang masih pingsan itu mengrenyit sesaat. Namun tenang lagi dalam pingsannya. Begitulah cara Putri Anjani memberikan minum sekaligus makan kepada Arya Dahana beberapa kali. Gadis itu sama sekali tidak menyadari bahwa kayu itu semakin lama semakin hanyut ke tengah samudera.

Menjelang sore, barulah gadis itu sadar bahwa mereka sekarang jauh sekali dari daratan. Tapi gadis itu mengangkat bahunya. Tidak ada cara lain selain mengikuti saja kemana kayu besar ini akan hanyut. Dia tidak mungkin bisa mengayuh kayu sebesar ini ke tepian sendirian. Apalagi gelombang besar selalu saja datang dan tidak mungkin bisa dilawan. Dia hanya berharap bisa bertemu daratan dan bisa membuat perahu kecil di sana.

Malam ini purnama datang dengan penuhnya. Putri Anjani sedang terpusat perhatiannya pada samadinya untuk memulihkan diri. Gadis ini beringsut kaget saat terdengar gerakan pelan dari tempat Arya Dahana terbaring. Pemuda itu membuka mata sembari berusaha bangkit berdiri. Untung saja Putri Anjani cepat-cepat memegang tangan pemuda itu, karena jika tidak, pemuda yang tidak menyadari dia sedang berada di sebuah perahu aneh ini akan jatuh ke laut saat mencoba meregangkan otot-ototnya sambil melangkah ke depan.

Arya Dahana terperanjat ketika dipegang erat oleh Putri Anjani dan mendapati dirinya ada di atas sebuah kayu yang sangat besar dan terombang-ambing ombak di lautan yang sangat luas. Dia menggali-gali ingatannya pada apa yang telah terjadi. Barulah paham kenapa dia ada di sini. Pastilah gadis di depannya ini yang telah menolong saat dia tenggelam tadi. Buru-buru pemuda ini membungkukkan badannya dalam-dalam ke arah Putri Anjani.

"Kaulah yang pasti telah menyelamatkan nyawaku Putri. Terimakasih...terimakasih banyak."

Putri Anjani tersenyum melihat kelakuan pemuda konyol di depannya ini.

"Sudahlah Arya. Jangan banyak basa-basi. Sekarang pikirkan bagaimana kita bisa sampai daratan dengan perahu aneh sebesar anak gunung ini."

Arya Dahana balas tersenyum. Dia memperhatikan sekeliling. Kayu ini luar biasa besar. Leluasa bagi mereka untuk menumpang di atasnya. Namun juga akan sangat sulit mengendalikannya di tengah lautan bergelombang besar seperti ini. Mungkin bisa jika mereka berdua sudah pulih dan dalam kondisi sehat sepenuhnya. Paling penting bagi mereka sekarang adalah memulihkan diri dari luka dalam yang diderita.

"Putri, kita tidak bisa apa-apa saat ini. Lebih baik kita pergunakan waktu sebaik mungkin untuk memulihkan diri. Setelah itu kita bisa coba bawa kayu ini ke pinggir menuju daratan."

Putri Anjani mengangguk-angguk. Gadis ini segera saja duduk bersamadi. Memusatkan segala perhatian untuk menyembuhkan luka pukulan Raja Iblis Nusakambangan yang terasa sakit sekali di pundaknya. Arya Dahana juga melakukan hal yang sama. Pemuda ini duduk bersila dan mengalirkan hawa murni di dalam tubuh ke dadanya yang terkena pukulan telak Lembu Sakethi Dewi Mulia Ratri. Dadanya terasa sangat sakit sekali. Pukulan Dewi Mulia Ratri sangat hebat. Hanya satu hal yang sama sekali tidak bisa dimengerti oleh pemuda ini adalah kenapa gadis yang dicintainya itu tega menjatuhkan tangan besi kepadanya.

Dia memang tidak pernah mengucapkan kata cinta kepada gadis sunda itu. Tapi apakah gadis itu tidak sadar bagaimana cara dia memandang? Bagaimana cara dia memperhatikan? Bagaimana cara dia memperlakukan? Gadis itu, entah bodoh atau sombong, atau mungkin dua-duanya. Arya Dahana terhanyut dalam pikiran itu dengan penuh pertanyaan dan geram keheranan.

Tanpa terasa, semalaman penuh sepasang muda-mudi ini hanyut dalam samadi dan pikiran masing-masing. Arya Dahana jauh lebih cepat proses penyembuhan lukanya karena mempunyai tenaga dalam ajaib yang merupakan percampuran hawa panas, dingin serta hawa sihir akibat teluh Ratu Laut Selatan dahulu. Waktu semalam cukup untuk menyembuhkan luka dalam di dadanya. Setelahnya hanya diperlukan istirahat dan pemulihan tenaga saja.

Sementara Putri Anjani belum bisa sepenuhnya pulih dari luka akibat pukulan Raja Iblis. Hawa murni di tubuhnya tidak sekuat dan seajaib Arya Dahana. Oleh karena itu, akan perlu waktu hingga berhari-hari agar gadis ini berhasil pulih seperti sedia kala kembali. Tapi gadis ini merasakan ada sesuatu yang aneh terjadi. Dia merasa senang mereka terjebak di kayu yang terapung di lautan sangat luas ini. Selain tidak terganggu dalam masa pemulihan luka, juga karena ada Arya Dahana bersamanya. Makanan dan air juga tercukupi dari banyaknya buah maja. Biarlah dia akan berlama-lama menyembuhkan luka, agar bisa berlama-lama juga dengan pemuda ini.

Sedari dulu ketertarikannya kepada pemuda ini telah ada. Ditambah banyaknya kebaikan yang dilakukan pemuda ini untuknya. Membuat hatinya merasa tenang dan damai. Dia memang jatuh cinta kepada mendiang Andika Sinatria. Tapi itu dipenuhi oleh rasa khawatir akibat persaingan dengan gadis dukun Dewi Mulia Ratri. Andika Sinatria telah tiada. Dengan mudah dia akan bisa mengalihkan rasa cintanya kepada pemuda yang sangat baik kepadanya ini.

Niatnya untuk membalas dendam terhadap Majapahit dan orang-orangnya tidak pupus. Apalagi dia punya Gendewa Bernyawa sekarang. Senjata pusaka ini sangat ampuh luar biasa. Dia akan mengumpulkan kekuatan untuk menyerang Majapahit. Apalagi dengan bantuan gurunya yang sakti dan pemuda luar biasa di depannya ini, dia tidak perlu khawatir lagi dengan kekuatan orang-orang lihai Sayap Sima.

Putri Anjani tersenyum-senyum penuh makna. Dia sudah mempunyai rencana hebat. Banyak sekali pihak-pihak yang membenci Majapahit. Galuh Pakuan, Blambangan, tokoh-tokoh dunia persilatan yang berseberangan dengan tokoh-tokoh Majapahit. Lalu dia teringat dulu pernah ada undangan misterius untuk menghadiri sebuah pertemuan rahasia di Tuban. Dia tidak tahu persis apa yang hendak dibicarakan, namun selentingan kabar menyebutkan pertemuan itu untuk menggalang kekuatan melawan Majapahit.

Gadis ini tersadar saat titik-titik air hujan jatuh membasahi kepalanya. Wah, rupanya hujan mulai turun. Ini gawat. Mereka sedang berada di tengah-tengah lautan luas. Tanpa peneduh. Tanpa tempat berlindung.

Putri Anjani berpaling kepada Arya Dahana. Pemuda itu terlihat dengan tenang sedang membuat jalinan tali kecil panjang dari kulit kayu dengan menggunakan ranting kecil. Disambung-sambungnya dengan teliti sampai akhirnya mendapatkan tali yang cukup panjang. Dipasangnya sebuah kait dari besi yang selalu dibawanya kemana-mana. Jadilah sebuah alat pancing.

Mulailah pemuda dari Blambangan ini melempar pancing ke laut dengan menggunakan umpan seadanya...dari buah maja. Putri Anjani hampir saja mengeluarkan olok-olok melihat umpan yang aneh bin ajaib itu.

Sebelum keluar kata-kata olokan dari bibir mungil itu, mendadak Arya Dahana menyentak tali pancingnya. Seekor ikan yang cukup besar melayang ke udara. Buru-buru Putri Anjani menyambar ikan yang mendarat di kayu, takut kecemplung ke laut lagi. Waaahhh... ini ikan karang yang cukup besar dan terkenal enak.

Dua tiga kali Arya Dahana berhasil mendapatkan ikan yang serupa dengan pancingnya yang sederhana. Pemuda ini menggunakan ranting kayu kecil untuk membersihkan ikan-ikan itu. Setelah itu dia membuat api dan mulai membakar ikan di atas perahu aneh mereka. Tanpa menggunakan bumbu apapun, makan malam mereka yang dibasahi air hujan terasa sangat nikmat sekali.

Untungnya hujan tidak berlangsung lama. Sehingga tengah malam hingga pagi, sepasang muda-mudi ini bisa beristirahat dengan lebih tenang. Mereka sama sekali tidak sadar, kayu besar yang mereka tumpangi sudah hanyut begitu jauh dan terbawa arus ke arah barat.

Laut selatan memang sangat jauh berbeda dibandingkan laut utara. Arus di sini jauh lebih kencang dan lautannya banyak menyimpan misteri yang luar biasa. Karena itu kayu Maja yang sangat besar itu dalam sehari semalam sudah terbawa jauh ke barat. Putri Anjani yang mahir sekali di laut dan punya pengetahuan yang baik tentang lautan, memperhatikan perubahan itu saat terbangun keesokan harinya.

Mereka sudah sangat jauh dari Ngobaran. Arus yang sangat kencang ini bisa membawa mereka hingga ke samudera tak berujung di selatan pulau Percha. Dan itu berbahaya. Mereka sanggup bertahan hidup dengan keahlian Arya Dahana menangkap ikan. Tapi air yang mereka butuhkan dan saat ini tercukupi oleh buah Maja, bisa jadi akan membuat mereka dalam bahaya jika buah itu habis.

Sambil terus memperhatikan arus laut dan langit pagi yang masih menyisakan sisa-sisa bulan, putri dari laut utara ini mengerutkan alis sejenak, lalu buru-buru memanggil Arya Dahana yang mulai asik memancing dan bertengger di atas dahan-dahan di ujung.

"Arya, kita dalam bahaya. Kita harus mencoba untuk membawa kayu ini ke arah sana," sambil berkata, Putri Anjani mengarahkan telunjuknya ke utara. Lalu melanjutkan kembali kalimatnya.

"Kita tidak boleh terbawa terus ke arah selatan. Tidak ada pulau apapun di sana. Bahkan bisa-bisa kita terjebak di neraka salju di bagian paling selatan bumi ini."

Arya Dahana terperanjat mendengar ini. Itu sama saja dengan kematian bagi mereka. Pemuda ini langsung saja mematahkan sebuah dahan yang tidak terlalu besar, kemudian mengerat dan menghaluskan mempergunakan belati Putri Anjani. Jadilah sebuah dayung panjang yang sederhana.

Pemuda ini mencoba mengayuh sambil mengerahkan tenaga dalamnya. Kayu langsung berubah arah sesuai arah yang ditunjuk oleh Putri Anjani. Pemuda ini mempunyai tenaga dalam yang luar biasa hebat. Namun tetap saja berkeringat karena yang dilawannya adalah kekuatan alam yang juga luar biasa besar.

Putri Anjani memandang kagum bukan main. Pemuda ini terlihat begitu perkasa. Kayu raksasa ini dibawanya perlahan-lahan menuju arah utara. Pada saat sudah kelelahan, pemuda ini beristirahat sejenak mendayung. Namun agar kayu tidak terbawa arus lagi ke selatan, dia menahan dayung di air dengan menggunakan kekuatannya, sehingga kayu itu menjadi tidak bergerak dan hanya berputar-putar di tempat.

Putri Anjani sekarang melayani pemuda itu. Menyuapinya dengan buah Maja, membakar ikan yang ditangkapnya dan lalu menyuapkannya ke mulut Arya Dahana. Demikian hal ini berlangsung selama dua hari dua malam penuh. Tidak ada waktu istirahat yang memadai bagi Arya Dahana. Putri Anjani sendiri berusaha untuk menyembuhkan luka dalamnya serta memulihkan tenaga dengan banyak bersamadi di luar waktu melayani kebutuhan makan Arya Dahana.

Pada hari ketiga, saat Arya Dahana mulai kelelahan, keberuntungan mendatangi mereka. Arus berubah arah dengan tiba-tiba. Kayu itu tidak perlu didayung dan menuju ke arah utara dengan sendirinya. Putri Anjani dan Arya Dahana menjadi sangat lega. Arya Dahana adalah seorang manusia biasa yang mempunyai batas. Jika terus-terusan mendayung dengan menggunakan kekuatannya tanpa istirahat yang cukup, pemuda ini akan menyerah juga pada akhirnya.

Menjelang tengah hari, Putri Anjani berteriak kegirangan. Gadis ini melompat ke arah Arya Dahana dan memeluk erat-erat pemuda itu sembari masih berteriak-teriak kegirangan. Kontan saja si pemuda gelagapan.

"Arya...Arya...daratan..pulau!"

Pemuda mengikutkan pandangan matanya ke arah yang ditunjuk Putri Anjani. Tampak sebuah bayangan hitam samar di kejauhan. Pemuda ini ikut tersenyum senang. Usaha mereka tidak sia-sia. Akhirnya mereka menemukan daratan setelah berhari-hari terapung apung di lautan.

Arya Dahana seperti mendapatkan tenaga baru. Dikayuhnya kayu besar itu cepat-cepat menuju bayangan pulau itu. Semakin mendekati pulau, perairan di sekitarnya berubah total. Jika sebelumnya laut selalu bergelombang tinggi dengan arus yang sangat kencang, namun di sini laut sangat tenang dan sebening cermin.

Namun ternyata ketenangan dan kebeningan ini justru menampakkan kengerian di sekitar mereka. Sirip hiu-hiu besar berputar-putar mengelilingi perahu kayu besar. Di sana sini nampak bertonjolan karang-karang runcing dari bawah permukaan laut. Arya Dahana dan Putri Anjani menyadari keanehan yang bertolak belakang dengan sifat laut selatan ini. Pasti ada hal yang misterius di sekitar sini. Air yang sangat tenang ini sangat tidak lazim. Bahkan susunan karang-karang yang bertebaran itu terlihat begitu rapi seperti diatur. Hanya ada sebuah alur besar yang bisa mereka lalui. Sisanya akan sangat berbahaya bagi kapal maupun perahu.

Terdengar jeritan heran Putri Anjani. Arya Dahana menoleh dan bergegas mendatangi gadis yang sedang berdiri di ujung kayu itu. Tempat itu perlahan-lahan di selimuti oleh kabut yang sangat tebal saat kayu mereka memasuki alur lebar yang dipagari oleh karang-karang besar itu.

Kabut yang misterius, karena pada umumnya kabut di lautan hanya turun di malam atau pagi hari. Sedangkan sekarang masih tengah hari bolong! Pulau tadi menghilang dari pandangan karena tertutup kabut yang sangat tebal ini. Karang-karang yang tadinya nampak di permukaan laut juga tidak nampak lagi. Udara menjadi sangat dingin. Putri Anjani sampai gemeletukan giginya menahan hawa dingin.

Arya Dahana waspada. Ini pasti ada apa-apa. Pemuda ini mengerahkan kekuatan panas pukulan Bayangan Matahari untuk bersiaga sembari menghangatkan diri. Dia memberi isyarat kepada Putri Anjani agar mendekat. Gadis itu mendekat dan merasakan hawa yang hangat dan nyaman melingkari mereka berdua. Putri Anjani bisa saja mengerahkan tenaga dalam untuk menolak serangan hawa dingin tersebut. Namun luka dan tenaganya masih belum pulih dengan sempurna sehingga dia tidak berani menggunakannya.

Arya Dahana mengayuh pelan-pelan di tengah kabut tebal sambil mempertahankan agar kayu besar dan panjang ini tidak kehilangan arah atau menabrak karang. Sangat sulit mengendalikan kayu sebesar dan sepanjang ini dalam kondisi pelan-pelan dan keadaan berkabut. Kedua muda mudi ini memandang penuh selidik kanan dan kiri. Takut tiba-tiba ada serangan mendadak. Kayu itu maju terus perlahan tapi pasti. Semakin masuk ke dalam alur sempit yang hanya cukup untuk sebuah kapal besar. Karang-karang di samping kiri kanan sama sekali tidak terlihat. Hanya terlihat samar pada saat mereka sudah mendekat.

Putri Anjani menjerit kaget saat kayu tiba-tiba berhenti seperti terantuk benda keras. Terdengar derakan kayu patah di bagian ujung terhantam karang. Itu bagian tajuk yang banyak terdapat dahan. Sekarang kayu tinggal batangan bulat saja. Arya Dahana merasa semakin ringan mengendalikan.

Pemuda dari Blambangan itu merasakan sesuatu yang tidak beres dengan kabut tebal ini. Aromanya sangat berbau mistis dan mengerikan. Seolah-olah menarik jiwa orang-orang yang lewat dan tidak dikehendaki ke dalam ketakutan yang teramat sangat. Putri Anjani merasakan hal tersebut. Perasaannya dilingkupi rasa ngeri dan takut. Hawa dingin dari kabut itu seperti masuk ke dalam tubuh dan menyedot jiwanya. Gadis itu menggigil kedinginan lagi meski masih berada di dekat Arya Dahana yang sedang mengerahkan ilmu Bayangan Matahari untuk menghangatkan diri.

Arya Dahana tidak terpengaruh sedikitpun dengan aroma sihir yang sangat kuat itu. Dia kebal terhadap racun dan sihir. Namun hawa sihir ini sangat luar biasa. Pemuda ini ikut merasakan sesuatu yang aneh meski tidak mempengaruhi dirinya sedikitpun. Hmmm, aku harus mencoba sesuatu. Pemuda ini mengerahkan pukulan Geni Sewindu sepenuhnya di kedua lengannya. Dihantamkannya sekuat tenaga ke depan untuk mengusir kabut sihir yang mengerikan itu.

"Blaaarrr! Blaaarrr!...."

Suara ledakan hebat terdengar saat kabut tebal itu pecah terkena pukulan Geni Sewindu. Alur laut menuju pulau itu menjadi terang sekarang. Buru-buru Arya Dahana mendayung sekuatnya ke depan. Kayu bulat itu meluncur ke depan seperti anak panah ditembakkan dari busurnya. Putri Anjani yang tadinya lemas tak bertenaga kini kembali pulih seperti sediakala saat kabut itu menghilang. Gadis ini marah sekali. Dia tadi sangat tidak berdaya dan tidak menduga kalau kabut itulah penyebabnya. Setelah melihat Arya Dahana membuyarkan kabut itu dengan pukulannya, barulah dia tahu bahwa kabut itu adalah kabut buatan. Pasti ada orang-orang yang mengendalikan kabut sihir itu.

Dengan wajah memerah menahan amarah, Putri Anjani mengambil Gendewa Bernyawa di punggungnya. Dibidikkannya ke depan dan melesatlah ratusan anak anak panah berapi. Angkasa seperti menyala saat ratusan anak panah itu mengudara. Anak-anak panah itu melesat jauh menuju sasaran yang tidak diketahui karena Putri Anjani hanya melampiaskan kemarahan dan mencoba peruntungan saja.

Ledakan-ledakan keras terdengar di kejauhan. Kabut yang tadinya hanya menghilang sepanjang alur kini benar-benar tersapu bersih dari permukaan laut. Karang-karang kembali terlihat dan pulau itu ternyata sudah dekat. Luar biasa memang keampuhan Gendewa Bernyawa. Anak panah ajaib yang dikeluarkannya mampu membuyarkan sepenuhnya sihir kuat yang diciptakan Ratu Laut Selatan untuk melindungi Pulau Kabut itu.

Ya. Arya Dahana dan Putri Anjani sama sekali tidak menduga bahwa pulau yang sedang mereka tuju sekarang ini adalah Pulau Kabut. Pulau tempat kerajaan Lawa Agung berpusat. Karang-karang di sekitar pulau dan banyaknya hiu-hiu besar di perairan, lalu kabut aneh yang berbau sihir kuat adalah tanda-tanda pasti yang menunjukkan bahwa itu adalah perairan di mana Pulau Kabut berada.

Arya Dahana berdecak kagum melihat kedahsyatan pusaka Gendewa Bernyawa yang dengan mudahnya mengusir kabut sihir yang hebat tadi. Pemuda ini memacu kayu bulat yang mereka tumpangi secepat kilat agar segera tiba di pulau yang cukup besar itu.

Kembali keanehan terlihat nyata. Saat jarak kira-kira tidak sampai beberapa ratus pelemparan batu lagi dari pulau, perairan berubah lagi. Kali ini laut sangat bersih dari karang-karang tajam. Tidak nampak juga sirip-sirip hiu yang terlihat berkeliaran. Airnya sangat jernih dengan warna biru kehijauan. Dari jarak ini, sekarang terlihat puluhan kapal besar dan kecil berjajar dengan sangat rapi.

Putri Anjani saling pandang dengan Arya Dahana. Ini pasti pulau dengan penduduk yang padat jika melihat banyaknya kapal-kapal tersebut. Tapi itu kapal-kapal perang dan pengangkut pasukan! Bukan kapal-kapal nelayan biasa. Keduanya kembali saling pandang. Tanpa saling mengucapkan kata, keduanya seperti bersepakat untuk mendarat di tempat yang tidak ramai seperti di depan itu.

Arya Dahana membelokkan kayu bulat ke kanan dengan mudah dan cepat. Kayu meluncur membelah air mengitari Pulau Kabut. Mencari tempat mendarat yang sepi. Sampai setengah pulau mereka kelilingi, tidak ada satupun yang landai dan berupa pantai. Semua yang mereka lalui berupa dinding tebing yang sangat terjal. Arya Dahana melanjutkan mengitari pulau itu. Berharap ada sebuah pantai kecil atau celah kosong dimana mereka bisa mendaratkan kayu bulat ini. Dan..... sampailah mereka ke tempat kapal-kapal berjajar tadi.

Ternyata pelabuhan besar ini adalah satu-satunya jalan masuk ke pulau. Arya Dahana memajukan kayu dan menyelusup di antara kapal-kapal besar. Tidak ada pilihan lain. Mereka akan pergi ke daratan melalui pelabuhan besar yang terlihat sangat sunyi ini. tidak ada manusia satupun di pelabuhan maupun kapal. Aneh. Tapi kedua muda-mudi ini tidak mau ambil pusing lagi. Mereka sudah lama terombang-ambing di lautan. Sekarang menemukan daratan. Tidak boleh disia-siakan.

Akhirnya mereka sampai di pantai dengan menyusup pelan-pelan di antara kapal-kapal. Keduanya melompat turun dari kayu bulat yang sangat berjasa menyelamatkan mereka. Mereka berdua bernafas lega. Aah daratan yang sangat dirindukan. Mereka terlalu curiga nampaknya. Tidak ada orang belum tentu berarti jebakan atau bahaya. Mungkin orang-orang di sini sedang ada kegiatan atau acara.

Belum juga selesai mereka mereka-reka, tiba-tiba terdengar hiruk pikuk di sekeliling mereka. Dalam sekejap mata saja, Arya Dahana dan Putri Anjani sudah dikelilingi oleh ratusan orang bersenjata lengkap. Berdiri dengan gagah di depan ratusan orang itu, Raja Iblis Nusakambangan, Nini Cucara, Nyai Genduk Roban dan...Panglima Kelelawar.

Putri Anjani kaget bukan kepalang. Ini situasi yang sangat berbahaya. Mereka berdua berada di sarang Lawa Agung! Gadis ini memandang ke arah Arya Dahana yang masih berusaha tenang. Gadis inipun ikut tenang. Dia tidak takut. Hanya akan menyesal dan mati penasaran jika dia harus tewas di sini tanpa sempat membalas dendam kepada Majapahit dan orang-orangnya.

Arya Dahana melangkah ke depan. Dia membungkukkan badan sedikit lalu berucap.

"Andika sekalian, mohon dimaafkan jikalau kami tanpa sengaja mendaratkan perahu kami di pulau ini tanpa ijin. Kami benar-benar tidak sengaja. Mohon dimaafkan."

Raja Iblis Nusakambangan tertawa terbahak-bahak.

"Ha ha ha ha....anak tengil! Kesalahanmu dan gadis itu sangat banyak bagi kami. Tidak usah berpura-pura. Kalian pasti hendak memata-matai Lawa Agung!"

Arya Dahana memandang tokoh sesat itu dengan tatapan tajam. Tatapannya beralih ke Nyai Genduk Roban lalu Panglima Kelelawar,

"Nyai, nyai tentu tahu bahwa aku tidak pernah berpihak kepada siapapun. Panglima yang gagah, maafkan kami yang tersesat di tempat ini. Kami benar-benar tidak sengaja. Kami mohon ijinmu untuk meninggalkan tempat ini sekarang juga."

Panglima Kelelawar mengangkat tangannya saat Raja Iblis Nusakambangan hendak angkat bicara.

"Hmmmm....perbuatan kalian melanggar hukum Lawa Agung. Hukuman atas kalian hanya bisa diputuskan oleh dewan pengadilan Lawa Agung. Oleh karena itu menyerahlah! Tidak ada gunanya melawan."

Putri Anjani maju ke depan dan berkata berapi-api. Tangannya meraih Gendewa Bernyawa,

"Heiii, kalian orang-orang Lawa Agung! Apakah kalian pikir aku takut dengan ancaman kalian? Tidak satu langkahpun aku akan mundur menghadapi kalian. Majulah! Satu-satu atau keroyokan, itu terserah kalian!"

Semua mata memandang Putri Anjani dengan rasa ingin tahu yang sangat besar. Arya Dahana melihat itu dan mengeluh dalam hati. Kenapa gadis ini harus mengeluarkan gendewa sakti itu secara terang-terangan? Kini langkah mereka semakin berat untuk meninggalkan tempat ini dengan damai.

Panglima Kelelawar mengerutkan alis kemudian tersenyum lebar.

"Aku merubah keputusanku. Kalian boleh pergi dari sini dengan selamat, bahkan aku akan menyediakan perahu terbaik dan bekal yang cukup untuk kalian. Syaratnya mudah. Tinggalkan gendewa di tangan gadis ini."

Putri Anjani memucat. Dia baru menyadari bahwa tindakannya tadi terlalu gegabah. Namun sudah kepalang basah. Gadis ini melompat mundur dan mulai membidikkan Gendewa Bernyawa ke arah mereka. Arya Dahana buru-buru mendekati Putri Anjani dan memegang lembut tangan gadis untuk menurunkan gendewa. Tapi dasar gadis keras kepala, Putri Anjani menepis tangan Arya Dahana dan tetap membidikkan gendewa itu kepada musuh.

Arya Dahana menautkan kedua alisnya dengan jengkel. Menghela nafas panjang lalu berusaha untuk terakhir kalinya membujuk Panglima Kelelawar.

"Panglima, seperti yang Panglima ketahui, tidak selayaknya Panglima meminta sesuatu secara paksa. Putri Anjani sudah menyatakan penolakannya dengan tegas. Jika memang Lawa Agung berkeras untuk menggunakan kekerasan, maka tidak jalan lain bagi kami selain melawan."

Putri Anjani mengangguk dan tersenyum penuh terimakasih kepada Arya Dahana. Pemuda itu memberi isyarat kepada Putri Anjani agar tidak menyerang terlebih dahulu kecuali mereka diserang. Gadis ini mengangguk mengerti, namun gendewa di tangannya tetap dipentangkan dan siap sewaktu-waktu jika harus dipergunakan.

Panglima Kelelawar paham betapa tangguhnya pemuda yang kelihatan dekil dan kotor. Dia masih teringat dulu pemuda ini sanggup mengimbanginya pada saat terjadi Perang Bubat. Sementara gadis yang satu ini, dia tidak tahu persis sejauh mana kelihaiannya. Tapi rasanya Raja Iblis Nusakambangan bisa mengatasinya. Yang sangat dipikirkannya adalah gendewa pusaka nggegirisi di tangan gadis itu. Akan banyak jatuh korban di pihaknya sebelum gadis itu bisa dikalahkan. Dia sudah kehilangan dua hulubalang terbaiknya saat terjadi perebutan gendewa pusaka itu di Ngobaran. Lawa Agung sedang menggalang kekuatan secara penuh dan tidak ingin kehilangan lagi orang-orang terbaiknya. Saat untuk menyerang Galuh Pakuan tidak lama lagi akan tiba. Dia harus berhati-hati dalam memutuskan ini.

Di lain sisi, Panglima Kelelawar sangat ingin memiliki gendewa sakti itu untuk kepentingan Lawa Agung. Pasukannya masih kalah kuat dan jumlah dibanding pasukan Galuh Pakuan. Gendewa Bernyawa akan menjadi sangat berguna jika terjadi peperangan besar antar pasukan.

Arya Dahana bersiaga penuh. Dia tahu sebentar lagi akan terjadi pertempuran hebat di sini. Mereka hanya berdua dan kalah jumlah serta kekuatan. Pemuda ini mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk mengukur kekuatan lawan. Saat matanya bersirobok dengan Nyai Genduk Roban, Arya Dahana berhenti sejenak. Nenek itu mencoba memberi isyarat dengan mengedipkan kedua matanya beberapa kali. Pemuda ini bingung. Namun dia meyakini sesuatu. Nenek sakti ahli sihir itu punya sebuah rencana lain. Dia mempercayai itu. Nyai Genduk Roban adalah tokoh sihir aliran putih yang tidak mungkin akan berbuat semena-mena kepada orang lain. Arya Dahana terjengit sesaat. Dimana gerangan cucu cantik si nenek? Setaunya, kedua orang itu tidak terpisahkan. Ayu Wulan selalu menemani neneknya kemana-mana. Apakah mungkin gadis itu ada di sini dan dijadikan jaminan agar nenek sakti ahli sihir itu mau membantu Lawa Agung?

Seperti bisa membaca pikirannya, Nyai Genduk Roban mengangguk sedikit dan melemparkan isyarat lirikan marah ke kanan kiri dengan sangat cepat. Arya Dahana memperhatikan ini lalu mengedipkan matanya dua kali tanda mengerti. Nenek sihir sakti itu marah kepada pihak Lawa Agung dan bersiap membantunya setiap saat. Cucunya berarti benar disandera di sini.

Arya Dahana menatap Panglima Kelelawar untuk melihat sejauh mana tindakan yang akan diambil oleh pimpinan tertinggi Lawa Agung ini. Dilihatnya Panglima yang sakti itu juga menatapnya dengan tajam. Sepertinya sedang mengukur kekuatan. Kedua orang ini saling menatap dengan sama-sama tajam dan penuh selidik.

Suasana sangat tenang namun juga sangat mencekam. Semua orang menunggu apa keputusan dari Sang Panglima. Arya Dahana tidak mengambil tindakan apapun. Dia hanya menunggu namun tetap bersiaga penuh. Putri Anjani juga bersiap-siap jika pertempuran pecah. Gendewa Bernyawa tetap dipegangnya erat-erat. Gadis ini punya kepercayaan diri yang sangat tinggi. Gendewa Bernyawa ternyata mempunyai kemampuan luar biasa untuk menghancurkan kekuatan sihir. Selain itu gadis ini juga sangat yakin dengan ilmu Gora Waja yang dipelajarinya dari datuk sakti Rajo Bumi.

Panglima Kelelawar memecahkan keheningan dengan berkata penuh wibawa.

"Hmmmm, aku tidak mau ada pertumpahan darah hari ini. Kalian untuk sementara aku maafkan. Tinggallah sementara di istana Lawa Agung sampai kalian bisa mendapatkan tumpangan menyeberang ke Tanah Jawa. Kalian aku anggap tamu karena semata-mata aku menghormati orang-orang dunia persilatan yang berkepandaian tinggi. Hulubalang Kelabang, siapkan kamar dan kelengkapan lainnya untuk dua tamu kita yang tangguh ini."

Sambil mengatakan keputusannya, panglima sakti itu langsung pergi meninggalkan tempat menuju istana raja.

Semua yang ada di tempat itu, tidak terkecuali Arya Dahana dan Putri Anjani, terbelalak heran mendengar keputusan yang aneh dari raja Lawa Agung ini. Namun semua anak buah Panglima Kelelawar tidak ada yang berani membantah. Arya Dahana memberi isyarat kepada Putri Anjani agar menurut saja dan mengikuti apa yang dia lakukan. Gadis ini dengan setengah merengut memasang lagi Gendewa Bernyawa di punggungnya lalu mengikuti Arya Dahana yang melangkah di belakang Hulubalang Kelabang menuju istana tamu.

Nyai Genduk Roban bernafas lega. Keadaan seperti ini sangat menguntungkan baginya. Masih ada waktu untuk diam-diam menemui Arya Dahana dan menceritakan keadaannya. Nenek ini sangat berharap Arya Dahana membantunya mengeluarkan dia dan cucunya Ayu Wulan dari tempat yang mengerikan ini. Atau paling tidak Ayu Wulan saja jika tidak memungkinkan untuk membawa mereka berdua. Nyai Genduk Roban tahu persis bagaimana tangguhnya Arya Dahana sekarang. Pemuda itu bisa mengimbangi Panglima Kelelawar dalam pertarungan.

Namun jauh di dasar hatinya, Nyai Genduk Roban juga sangat khawatir terhadap keselamatan pemuda itu saat menginap di istana tamu Lawa Agung. Bisa saja orang-orang ini berbuat licik dan menggunakan tipu daya untuk menangkap atau membunuh pemuda itu. Dia harus memantau situasi dengan ketat dan berusaha sedapat mungkin mendapatkan informasi tentang apa yang direncanakan Istana Lawa Agung kepada kedua muda-mudi itu.

****