webnovel

Bab 5

Kemarahan itu datang tiba tiba

Ketika hati disentuh oleh rasa kecewa

Saat dunia tak mau memihak kepadanya

Waktu Sang Kala menyusup di sela-sela jiwanya.

Idu Geni memberikan siksa

Tidak hanya kepada yang kehilangan nyawa

Namun juga bagi sang pengucap sumpah luar biasa.

Padepokan Segoro Langit. Dewi Mulia Ratri terjaga dari pingsan dan sakitnya setelah beberapa hari dirawat di padepokan oleh gurunya. Ki Biantara menyadari bahwa muridnya yang satu ini bukan sakit di badan, namun terluka parah di jiwanya. Obat yang dibutuhkan bukanlah ramuan atau ajian, namun keikhlasan dan kesadaran hati adalah yang paling tepat dan mujarab. Dia hanya memberi beberapa petuah kepada muridnya ini. Biarlah dia yang harus mencari sendiri apa arti sesungguhnya dari hidup dan kehidupan, arti yang sebenarnya dari cinta dan kasih sayang.

Bersamaan dengan itu pula, Bimala Calya juga siuman. Pendekar Pena Menawan juga paham bahwa muridnya yang satu lagi ini sedang patah hatinya. Keadaan gadis ini tidaklah separah Dewi Mulia Ratri yang sangat terguncang. Gadis ini hanya merasakan sakit di jiwa karena sebuah kehilangan yang sangat besar. Bersamadi, bertepekur mengingat Sang Hyang Widhi, banyak berbuat baik kepada orang lain akan mengobati luka hati ini pelan-pelan. Demikian nasehat dari Ki Biantara untuk Bimala Calya.

Pendekar yang gagah ini menggeleng-gelengkan kepala melihat akibat dari sebuah cinta. Cinta yang sama sekali tidak sederhana. Namun sebetulnya juga tidak rumit jika yang bersangkutan mau menyederhanakannya. Menjadi rumit sebab mereka sendiri menikmati kerumitan itu berlama-lama. Sesuatu yang sederhana dan tanpa perjuangan biasanya membosankan dan mudah dilupakan. Sebaliknya, sesuatu yang sangat rumit dalam menggapainya, memerlukan keringat dan darah serta perjuangan tak kenal menyerah, akan terkenang sepanjang masa dan akan menjadi sesuatu yang tak pernah terlupakan.

Ardi Brata kebagian tugas yang sangat menyenangkan baginya. Ki Biantara hanya memperbolehkan pemuda itu yang melayani makan dan minum dua gadis yang sedang putus asa dan harapan. Ki Biantara khawatir jika menugaskan anggota padepokan yang lain, tidak diterima oleh dua gadis yang sedang dalam keadaan nelangsa itu. Ardi Brata telah dikenal oleh mereka sehingga tidak ada keberatan sama sekali.

Selain itu, Ardi Brata juga bertugas untuk mengawasi dengan ketat. Siapa tahu ada di antara dua gadis itu yang sangat putus asa dan memutuskan untuk melakukan tindakan gila, seperti bunuh diri misalnya. Pemuda ini selalu bersiaga setiap harinya di depan kamar dua gadis yang memang sengaja berdampingan. Tugas ini sangat menyenangkan bagi si pemuda. Dia bisa setiap hari bertemu dan menatap Dewi Mulia Ratri, gadis yang sangat dikaguminya semenjak dahulu waktu bertemu pertama kali di tepian Danau Ranu Kumbolo. Dia juga bahagia bisa berbuat sesuatu kepada Bimala Calya, gadis yang sekarang membuatnya ingin selalu dekat dan bersama.

Setiap pagi, Ardi Brata selalu mengajak kedua gadis ini berjalan-jalan di pantai belakang padepokan. Menikmati semilir angin laut yang membawa bau asin yang khas. Tujuannya untuk mengingatkan pahit yang sedang dialami dua gadis itu, bahwa ada rasa asin yang menyenangkan di dunia ini.

Setelah itu, Ardi Brata membawa mereka berdua ke kebun tebu milik padepokan yang terletak agak jauh ke tengah perladangan. Dipotongnya beberapa ruas tebu. Diberikannya masing-masing dua ruas untuk dua gadis itu. Dia menyuruh mereka mengupas dengan gigi lalu menyesap air gulanya secara perlahan. Tujuannya sama, untuk mengingatkan kepada dua gadis yang patah hati itu bahwa masih ada rasa manis yang sebenarnya di sekeliling mereka.

Kemudian Ardi Brata akan mengajak mereka memanjat pohon asem di halaman padepokan. Sambil bercerita banyak hal yang lucu-lucu, pemuda ini mengajari mereka memetik buah asem yang bergelantungan menarik. Setelah itu makan buah asem itu sembari nyengir-nyengir keaseman. Tujuan dari bermain-main sederhana ini adalah untuk memberi tahu kepada dua gadis itu bahwa rasa asam ternyata juga bisa menyenangkan hati dan rasa.

Yang terakhir biasanya Ardi Brata akan mengajak mereka ke belakang rumah tukang kebun padepokan yang sudah tua dan ramah. Pemuda ini akan mengajak mereka melompat-lompat untuk meraih buah Maja yang bergelantungan tinggi. Siapa yang tidak bisa memetik buah Maja yang telah ditentukan, diharuskan untuk menghabiskan buah Maja yang berhasil dipetik. Dua gadis ini diingatkan melalui penjelasan si kakek tukang kebun bahwa pahitnya buah Maja ternyata punya sisi lain. Manfaatnya luar biasa besar untuk kesehatan dan pengobatan.

Begitu dilakukan selama berhari-hari. Permainan yang sama, cara yang sama, macam-macam rasa yang sama. Sampai akhirnya kedua gadis ini menjadi bosan dan meminta supaya semua dihentikan.

Ardi Brata menuruti permintaan tersebut. Selama beberapa hari berikutnya mereka tidak melakukan apa-apa. Hanya makan, minum, tidur, dan samadi saja. Sampai akhirnya pada hari kelima, Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya meminta agar Ardi Brata membawa mereka kembali ke pinggir laut menikmati rasa asin yang dibawa angin, manisnya rasa tebu, asemnya rasa buah asem, pahitnya rasa buah Maja. Mereka berdua ternyata merindukan suasana dan rasanya. Ajaib! Dua gadis ini perlahan-lahan menikmati apa yang mereka lakukan berulang-ulang. Keduanya bisa seharian menyesap bau asin air laut. Seharian bermain-main di kebun tebu. Seharian memetik buah asem dan menikmati rasanya. Lalu seharian pula melompat-lompat mengambil buah maja dan terkikik-kikik jika melihat yang lain makan buah pahit itu sambil melotot dan menjulurkan lidah saking pahitnya.

Kedua gadis ini perlahan-lahan seperti menemukan kembali hidup yang terjatuh ke ngarai sangat dalam. Bercanda dan tertawa tak habis-habis. Berjalan di kampung-kampung, mengerjakan hal-hal sederhana yang membantu penduduk di kampung-kampung itu.

Menimba air, mencari kayu bakar, membelah kayu bakar, mengejar dan menangkap sapi yang terlepas, mencangkul ladang seorang nenek tua agar si nenek bisa bertanam, dan banyak hal lagi. Kedua gadis ini menemukan sebuah kesadaran murni yang luar biasa. Ternyata melihat orang lain tersenyum dan tertawa bahagia karena apapun yang mereka lakukan, membuat mereka menjadi orang yang sangat berbahagia.

Ki Biantara yang sebenarnya menugaskan Ardi Brata untuk mengawal dan menuntun mereka melakukan semua itu, menjadi sangat bersyukur melihat perubahan yang terjadi pada dua gadis muridnya itu. Namun di lain sisi, sang pendekar menjadi was-was saat melihat Ardi Brata malah sering melamun sendiri setelah kedua gadis itu mulai pulih dari keterpurukannya. Pemuda itu sering terlihat mencuri pandang kepada dua gadis itu secara bergantian. Dengan makna tatapan yang berbeda namun bernada sama. Kasih sayang dan cinta.

Pendekar Pena Menawan kebingungan sekarang. Dua masalah terselesaikan, namun satu masalah lagi muncul. Pendekar ini menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dan akhirnya tidak tahan untuk akhirnya memanggil Ardi Brata menghadap kepadanya.

"Brata, aku melihat akhir akhir ini kamu sering melamun sendirian di bawah pohon Maja di belakang sana. Apa yang mengganggu pikiranmu muridku? Barangkali gurumu yang tua ini bisa membantu?"

Pemuda itu tersenyum malu-malu tanpa berani menatap mata gurunya yang setajam rajawali.

"Guru, maafkan muridmu yang bodoh ini. Aku sedang kebingungan. Semenjak menemani Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya memulihkan rasa pedih mereka, aku mempunyai perasaan yang berbeda dan berujung sama, yaitu kebingungan."

Ki Biantara tersenyum maklum, lalu melanjutkan dengan lembut.

"Ujung apa yang kamu bingungkan muridku?"

Ardi Brata kembali tersenyum malu-malu.

"Timbul dua perasaan di hatiku kepada dua gadis itu guru. Kepada Dewi Mulia Ratri, hatiku dipenuhi oleh kekaguman, gadis itu sakti, tapi juga diliputi rasa pedih akan cinta. Aku ingin selalu menghiburnya. Kepada Bimala Calya, hatiku dipenuhi oleh rasa iba, gadis sebatangkara yang terlunta-lunta karena cinta. Aku ingin selalu bersamanya. Aku sepertinya jatuh cinta guru. Tapi aku tidak yakin kepada siapa di antara mereka."

Ki Biantara melongo sebentar, lalu tertawa terkekeh-kekeh.

"Hehehehe muridku, ini hal yang sangat mudah. Apalagi yang kau bingungkan? Hehehe, kamu memang bodoh."

Ardi Brata memerah wajahnya karena perasaan malu yang teramat sangat. Pandangannya bertanya kepada Ki Biantara yang masih terpingkal-pingkal. Pendekar ini kasihan melihat muridnya yang wajahnya berubah sangat bloon.

"Muridku, coba kau ulangi setiap kalimat terakhir dari perasaanmu terhadap dua gadis itu?"

Ardi Brata masih tidak mengerti. Pemuda yang dijuluki Pendekar Pelajar karena saking pintarnya ini, sekarang menjadi orang paling bodoh sedunia. Karena penasaran, diulangnya kalimat yang ditanyakan gurunya.

"Dewi Mulia Ratri, aku ingin selalu menghiburnya. Bimala Calya, aku ingin selalu bersamanya. Aahhh, terimakasih guru. Aku mengerti sekarang. Guru sungguh telah memberikan matahari di hatiku yang gelap ini. Terimakasih."

Pemuda ini membungkukkan badan dengan hormat, lalu secepat itu pula berlari mencari dua gadis yang tadi berpamit untuk pergi ke sebuah kampung di pinggir hutan. Dia harus menyatakan perasaan cintanya kepada salah satu dari gadis itu sekarang. Dia tidak mau menundanya. Dia bisa tersiksa terus setiap hari jika terus saja menundanya.

Sesampainya di kampung yang sepi karena jumlah penduduknya memang sedikit itu. Ardi Brata bertanya-tanya dimana gerangan kedua gadis yang pasti sangat menonjol di kampung itu berada. Dari beberapa orang yang ditanya, semua menjawab bahwa tadi pagi kedua gadis cantik itu memang datang berkunjung ke kampung ini. Membantu mengusir seekor macan yang tersesat di kampung. Lalu membantu penduduk menggali parit dari mata air kecil di atas supaya mengalir melintasi kampung agar penduduk lebih mudah mendapatkan air. Setelah itu masih sempat juga membantu seorang kakek tua sebatangkara yang rumahnya hampir roboh untuk diperbaiki kembali.

Orang-orang itu kemudian bercerita, menjelang sore sebuah rombongan berkuda bertemu secara tidak sengaja dengan kedua gadis itu. Mereka memberi hormat kepada gadis yang berbaju hijau dan bercakap-cakap sebentar. Si gadis kelihatan sangat cemas, dia lalu berbincang sebentar dengan gadis cantik satu lagi yang berbaju ungu.

Akhirnya kedua gadis itu menaiki kuda yang disediakan oleh rombongan itu. Lalu bergegas pergi ke arah barat diikuti oleh rombongan itu. Ketika Ardi Brata mempertegas pertanyaannya seperti apa rombongan berkuda itu, penduduk yang ditanya menjelaskan tidak ada tanda-tanda khusus. Baju yang dikenakanpun bukan baju seragam seperti layaknya sebuah pasukan.

Ardi Brata berpikir sejenak. Rombongan berkuda memberi hormat kepada gadis berbaju hijau. Aahhh, itu baju kesukaan Dewi Mulia Ratri. Tidak salah lagi. Rombongan itu pasti dari Galuh Pakuan. Pergi ke arah barat? Berarti Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya pergi ke ibukota Galuh Pakuan. Mungkin ada urusan yang sangat penting di sana sehingga Dewi Mulia Ratri bahkan tidak sempat berpamitan dengannya dan Ki Biantara.

Tapi kenapa Bimala Calya ikut ke Galuh Pakuan? Ini pertanyaan yang tidak bisa dijawab sendiri oleh Ardi Brata.

Bergegas pemuda yang sedang dilanda cinta dan rasa penasaran ini pulang ke padepokan dan berpamit kepada gurunya untuk pergi ke ibukota Galuh Pakuan setelah menceritakan semua keterangan yang didapatnya di kampung tadi.

*****