webnovel

Bab 3

Kini dunia berlari sangat kencang

Menyusuri pinggiran waktu yang berputar kejam

Melindas kemauan dan kesungguhan yang absurd

Meramalkan gundah yang berhamburan

Melupakan orang-orang yang tertinggal di belakang

Menjadi kerak-kerak tergilas jaman

Pantai Ngobaran. Arawinda sedang berlatih di atas sebuah batu karang yang menonjol di permukaan laut. Gurunya Si Bungkuk Misteri duduk di karang agak jauh di depannya. Pantai di sini sangat tidak ramah. Selain banyak batu karang dan jarang sekali tempat yang landai, ombak laut selatan di sini cenderung pemarah.

Badai juga sering terjadi di pantai ini. Tidak main-main. Badai-badai yang bisa digolongkan sebagai badai-badai besar dan raksasa. Seringkali kapal-kapal yang terseret arus ganas laut selatan berakhir di sini. Cukup banyak kapal-kapal yang bernasib sial seperti itu kandas dan tenggelam di laut sekitar Ngobaran.

Termasuk salah satunya adalah kapal bajak laut terkenal jaman dulu yang bernama Lanun Samudera. Bajak laut ini dulu terkenal sebagai perompak yang sangat ganas. Bahkan iring-iringan kapal dari kerajaan terkenal Kutai dirompak di laut utara. Semua barang berharga diambil paksa. Lalu dengan cepat menghilang di cakrawala saat pengejaran dilakukan oleh armada laut Kutai.

Mereka terus dikejar oleh pasukan laut kerajaan Kutai sampai harus berputar melewati selat Blambangan dan menghilang di laut selatan. Kapal-kapal pemburu kerajaan Kutai terus mencari karena banyak benda pusaka yang ikut dirompak oleh Lanun Samudera. Salah satunya yang sangat terkenal adalah Gendewa Bernyawa milik kerajaan Kutai yang baru saja dipersembahkan oleh Kerajaan Kali di India sebagai tanda persahabatan.

Di laut selatan, Lanun Samudera terus berlayar menuju ke Nusakambangan untuk bergabung dengan gerombolan bajak laut lain. Akan tetapi baru sampai di pertengahan, yaitu daerah sekitar Ngobaran, mereka disergap oleh badai besar yang tidak sanggup lagi ditahan oleh kapal mereka. Setelah diombang-ambingkan badai dan gelombang tinggi, kapal bajak laut terkenal itu terdampar di perairan Ngobaran, menghantam karang dan tenggelam bersama seluruh isinya.

Legenda ini hidup selama ratusan tahun lamanya. Banyak sekali orang yang mencoba mencari harta karun dan barang-barang berharga di kapal Lanun Samudera namun tidak pernah berhasil menemukannya. Tidak ketinggalan pula para pendekar dan penjahat di dunia persilatan. Mereka berlomba lomba mencari benda-benda pusaka termasuk Gendewa Bernyawa yang sakti. Tetap saja tidak ada yang berhasil.

Kapal Lanun Samudera tenggelam di antara karang-karang yang banyak terdapat di perairan Ngobaran. Untuk mencapai karang-karang itu menggunakan perahu sangatlah tidak mungkin. Gelombang di wilayah itu sangat tinggi. Perahu pasti terbalik sebelum sampai tujuan. Dari daratan juga sulit. Orang harus sangat luar biasa sakti agar bisa mencapai batu karang satu demi satu hingga bisa mencapai Karang Ngobar, tempat Lanun Samudera tenggelam. Setelah itu pun, kesulitan belum usai. Harus menjadi seorang ahli selam yang sangat ahli dan berpengalaman agar dapat mencapai kapal yang tenggelam itu.

Ada satu waktu yang ditunggu-tunggu oleh para pemburu harta pusaka itu. Yaitu sebuah musim yang dinamakan musim Raja Badai. Sebuah musim badai yang terjadi setiap dua puluh lima tahun sekali. Pada saat musim itu tiba, laut selatan bergolak luar biasa. Gelombang bisa setinggi pohon kelapa dan kekuatannya bisa membongkar seluruh isi lautan. Memindahkannya dengan mudah ke tengah laut atau ke pinggir pantai.

Sejak kejadian perburuan harta karun Lanun Samudera ratusan tahun yang lalu, telah terjadi belasan Raja Badai. Kapal-kapal yang tenggelam di perairan sekitar Ngobaran bergeser dibawa arus dan gelombang raksasa ke tepi pantai secara pasti. Sudah ada dua kapal yang sekarang bahkan nangkring di daratan tidak jauh dari bukit terjal tempat pondok Arawinda berada.

Orang-orang lalu menambahkan dalam legenda Lanun Samudera, bahwa suatu saat kelak bangkai kapal Lanun Samudera juga akan sampai ke daratan juga. Meskipun tidak ada yang tahu secara pasti kapan waktunya.

Di setiap musim Raja Badai, banyak sekali orang yang memberanikan diri ke Pantai Ngobaran. Mencoba peruntungan siapa tahu kapal Lanun Samudera sudah waktunya terseret ke daratan. Dan itu belum juga terjadi hingga sudah belasan kali musim Raja Badai terjadi. Sepertinya kapal Lanun Samudera terlalu besar dan berat sehingga Raja Badai sekalipun hanya bisa menggesernya sedikit demi sedikit.

Lima purnama ke depan musim Raja Badai akan kembali tiba. Arawinda kini mengerti kenapa gurunya berdiam di pantai ini meskipun tidak bercerita. Si Bungkuk Misteri hanya sempat berucap bahwa dia adalah penjaga keseimbangan. Gendewa Bernyawa adalah pusaka yang maha dahsyat. Bagi siapapun yang memilikinya akan menjadikannya seorang yang luar biasa tangguh dan mematikan. Gendewa itu mempunyai kemampuan yang mengerikan. Senjata itu sekali terpentang dan dibidikkan, akan mengeluarkan ratusan anak panah berapi dalam sekali bidik. Sangat cocok untuk dijadikan senjata dalam menghadapi sebuah pasukan yang besar.

Gendewa Bernyawa adalah legenda yang berusia ribuan tahun. Kabarnya senjata itu adalah senjata Adipati Karna dalam hikayat pewayangan yang dipergunakan dalam perang Bharatayuda saat melawan Pandawa. Diwariskan secara turun temurun di Kerajaan Kali di India. Lalu dijadikan alat tukar menukar hadiah dengan Kerajaan Kutai yang memberikan juga sebuah pusaka yang tidak kalah bertuahnya dengan Gendewa Bernyawa kepada Kerajaan Kali.

Si Bungkuk Misteri memberikan nasehat berulangkali kepada Arawinda untuk tekun berlatih ilmu pukulan Aguru Bayanaka. Saat musim Raja Badai tiba, akan banyak sekali tokoh yang datang untuk memperebutkan benda pusaka Gendewa Bernyawa jika memang Lanun Samudera terseret badai hingga ke tepi pantai. Arawinda harus membantu gurunya dalam menjaga keseimbangan dunia persilatan. Gendewa itu terlalu berbahaya jika jatuh ke tangan seorang yang sesat atau tamak kuasa.

Demikianlah, Arawinda menjadi sangat bersemangat berlatih. Ilmu pukulan Aguru Bayanaka sangat dahsyat namun rumit saat mendalaminya. Ilmu pukulan ini bersumber pada unsur alam kayu. Ilmu ini bisa menjadi lunak jika berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu keras dan bisa menjadi keras jika lawan memiliki ilmu yang lunak. Kehebatannya yang lain adalah, Aguru Bayanaka memiliki unsur sihir di dalamnya. Ilmu ini bisa membangkitkan pasukan pohon-pohon hidup. Agak mengerikan. Seperti yang pernah dipraktekkan dulu oleh Raja Iblis Nusakambangan. Namun sihir yang diperlihatkan oleh Raja Iblis Nusakambangan adalah ilmu sihir hitam dan bukan murni ilmu pembangkit seperti Aguru Bayanaka. Ilmu pembangkit dalam Aguru Bayanaka jauh lebih dahsyat dan kuat karena pasukan pohon yang dibangkitkan jauh lebih banyak dibanding sihir hitam Raja Iblis yang hanya bisa membangkitkan tidak lebih dari sepuluh pohon saja.

Tugas yang akan diembannya sangatlah berat. Menjaga keseimbangan berarti harus siap berhadapan dengan para tokoh sesat yang mempunyai kemampuan hebat. Belum lagi kenyataan bahwa tokoh-tokoh sesat itu bisa dengan mudah bersekutu untuk mencapai tujuan, meski pada akhirnya juga mudah untuk bermusuhan kembali.

Dalam waktu yang cukup singkat ini dia harus menguasai Aguru Bayanaka yang dahsyat. Gurunya memang tokoh ajaib dunia persilatan. Cara melatihnya juga tidak lumrah. Pernah suatu ketika dia harus berlatih di laut saat gelombang sedang besar dan terdapat angin topan melanda. Dia juga pernah diminta untuk berlatih di sebuah gua yang sangat dalam dan gelap gulita di sebuah tebing selama beberapa hari. Tanpa cahaya maupun penerangan apapun. Bahkan yang paling mengerikan, dia disuruh berlatih di bawah permukaan laut tempat sarang ular dan ubur-ubur laut yang sangat berbahaya.

Selain harus menahan nafas, mengambil udara di permukaan, kembali lagi ke bawah, Arawinda juga masih harus menghadapi ular-ular laut dan ubur-ubur beracun. Latihan terberat dalam hidupnya. Untunglah dia sanggup menjalaninya. Ternyata semua cara latihan yang tidak lumrah itu justru membuat kemampuannya meningkat dengan pesat. Bahkan tanpa disadarinya, latihan berat di dalam gua yang gelap itu membuat ilmu sihirnya melonjak hingga beberapa tingkat sehingga mendukung penguasaannya terhadap Aguru Bayanaka. Latihan terberat di dalam laut membuat tenaga dalam dan hawa murni di dalam tubuhnya juga meningkat berlipat-lipat.

Dan puncak dari semua latihannya adalah saat Si Bungkuk Misteri membawa Arawinda ke sebuah tempat di sebuah lembah yang sangat terasing. Pepohonan di hutan itu sangat lebat. Seperti hampir tak ada celah bagi manusia untuk melangkah saking rapatnya. Si Bungkuk Misteri mengerahkan ajian Aguru Bayanaka dan membuat pasukan pohon yang dibuatnya menyerang Arawinda dengan dahsyat. Gadis itu tentu saja kalang kabut tidak karuan. Puluhan pasukan pohon itu berderak-derak menyerangnya dengan hebat. Gerakan pasukan ajaib itu sama sekali tidak kaku seperti layaknya pohon. Namun lincah dan sangat berbahaya.

Tugas yang diberikan oleh Si Bungkuk Misteri kepada Arawinda adalah menciptakan pasukan pohon tandingan untuk melawan pasukan pohon sang Mahaguru. Gadis itu mematuhinya. Puluhan pohon hidup dan tercerabut dari akarnya untuk menghadapi puluhan pohon yang menyerang. Perbedaannya sangat jelas. Pasukan pohon Arawinda sangat kaku gerakannya. Sementara pasukan pohon Si Bungkuk Misteri sangat luwes dan lincah layaknya manusia.

Pertarungan yang terjadi menjadi sangat tidak seimbang. Karena pasukan Arawinda bergerak lambat dan kaku, mudah saja bagi pasukan Si Bungkuk Misteri menghajar dan mengalahkan mereka. Si Bungkuk Misteri mengembalikan pasukan pohonnya dan memberikan petunjuk kepada muridnya.

"Muridku, semakin kau menguasai Aguru Bayanaka, maka semakin hebat pasukan ajaib ini kau bisa ciptakan. Pasukan pohon ini jauh lebih tangguh dibandingkan pasukan terlatih manusia karena pohon ini tidak merasakan sakit dan selalu maju pantang mundur."

Arawinda menggangguk takzim dan melanjutkan dengan sebuah pertanyaan,

"Kapan aku bisa mencapai tingkatan seperti guru tadi?"

Si Bungkuk Misteri tersenyum,

"Rajin-rajinlah berlatih nak, semakin rajin kau berlatih, kau akan cepat mencapai tingkatan ini dengan cepat. Tingkatan tertinggi Aguru Bayanaka akan membuatmu bisa membuat pasukan yang tak terkalahkan sekaligus juga membuatmu bisa meremukkan baja yang paling kuat atau bahkan melubangi air."

Kembali Arawinda mengangguk takjub. Meremukkan baja jauh lebih dahsyat dibanding mematahkannya. Melubangi air? Ini yang dia sangat bingung. Bagaimana cara air bisa dilubangi? Aaahh, Arawinda semakin penasaran dengan kehebatan ilmu pukulan ini jika telah mencapai kesempurnaannya. Waktu lima purnama sepertinya sangat berharga untuk menyempurnakan ilmu pukulan tersebut sebelum tempat ini digaduhkan dengan peristiwa langka Raja Badai.

---

Dan lima purnama berlalu tanpa terasa. Beberapa hari lagi adalah saatnya puncak Raja Badai. Arawinda bersama gurunya menyaksikan dari jauh betapa orang-orang mulai berdatangan di Ngobaran. Mereka mendirikan kemah dan pondok-pondok kecil di bukit-bukit kecil tidak jauh dari pantai. Tidak ada yang berani mencoba tinggal terlalu dekat dengan pantai. Musim Raja Badai biasanya menimbulkan gelombang hingga setinggi pohon kelapa dan angin topan yang sangat kencang. Terlalu berbahaya untuk berdekatan dengan pantai.

Nampaklah pemandangan yang menarik jika dilihat dari bukit tempat Arawinda dan Si Bungkuk Misteri berdiam. Kemah-kemah dan pondok-pondok berjajar di sepanjang puncak bukit. Kerumunan orang terlihat di sana-sini. Berbagai macam latar belakang orang berkumpul di sekitar ceruk pantai berkarang yang sempit. Bersiap-siap mempertaruhkan nyawa untuk sesuatu yang maha dahsyat.

Belum nampak orang-orang yang sangat terkenal di kalangan dunia persilatan maupun kerajaan. Yang sudah hadir rata-rata adalah orang-orang semenjana yang ada karena ingin meramaikan peristiwa sekaligus penasaran terhadap keajaiban dan peruntungan.

Arawinda berucap kepada gurunya,

"Guru, kemanakah para tokoh-tokoh hebat dunia persilatan? Bagaimana menurut guru kemampuan saya jika nanti akan berhadapan dengan mereka?"

Si Bungkuk Misteri menatap muridnya yang dalam-dalam.

"Nak, mereka baru akan menampakkan diri pada hari tepat saat Raja Badai tiba. Kemampuanmu? Aku rasa sudah bisa mengimbangi para datuk Delapan Penjuru Mata Angin. Jangan pernah lupa nak, kemenangan dalam pertarungan nanti juga ditentukan oleh ketahanan mentalmu."

Arawinda tidak melanjutkan dengan pertanyaan apapun lagi. Gadis ini membayangkan, para tokoh Delapan Penjuru Mata Angin adalah tokoh-tokoh nomor satu. Jika menurut Si Bungkuk Misteri dia bisa menandingi kemampuan mereka, itu berarti peningkatan kemampuannya luar biasa pesat. Dulu dia bahkan tidak bisa bertahan hingga dua puluh jurus melawan mereka. Arawinda terus tenggelam dalam lamunannya. Namun terputus seketika saat matanya menangkap beberapa orang berdatangan tidak jauh dari tempatnya.

Orang-orang itu semua berbaju compang-camping. Membawa tongkat dengan warna yang sama. Keperakan. Hmm, para Pengemis Tongkat Perak sudah tiba. Perkumpulan pengemis ini cukup terkenal di dunia persilatan. Selain bermarkas di Ibukota Kerajaan Majapahit, juga karena karena perkumpulan ini cukup banyak mempunyai anggota. Jumlahnya bisa mencapai ribuan di seantero kerajaan Majapahit.

Perkumpulan pengemis ini bukan sepenuhnya hendak mengejar peruntungan mendapatkan pusaka Gendewa Bernyawa, namun lebih kepada berburu harta karun. Mereka menyadari bahwa tokoh-tokoh pimpinan Perkumpulan Pengemis Tongkat Perak tidak akan mampu bersaing dengan para datuk dunia persilatan jika harus ikut memperebutkan pusaka ajaib itu. Mendapatkan harta karun akan semakin memperbesar perkumpulan mereka. Ada sebuah cita-cita besar tersembunyi yang dicanangkan oleh para pimpinan perkumpulan. Pada saatnya nanti akan dibuka semua kepada anggota perkumpulan.

Arawinda memalingkan wajah saat di kejauhan terdengar derap kaki kuda berduyun-duyun datang. Gadis ini tertarik melihat umbul-umbul merah dan kuning yang berkibar megah. Hmm, Majapahit!

Selanjutnya dari arah barat muncul juga serombongan pasukan berkuda dengan umbul-umbul warna hijau. Arawinda mengerutkan keningnya. Ini rombongan kerajaan juga. Tapi kerajaan mana? Dia mengingat-ingat umbul-umbul kebesaran Galuh Pakuan. Bukan, ini bukan warna kebesaran Galuh Pakuan. Aaahh, ini pasti warna kebesaran kerajaan sempalan dari tanah pasundan itu. Lawa Agung!

Setelah dua rombongan itu sama-sama mendekat ke arah bukit tujuan mereka masing-masing, Arawinda bisa melihat dengan jelas meski masih cukup jauh jaraknya dengan tempat dia berdiri memperhatikan.

Rombongan Majapahit dipimpin oleh Ki Tunggal Jiwo. Diikuti oleh Maesa Amuk, Madaharsa, Bledug Awu-awu, Tiga Pendekar Malaikat dari Negeri Cina, Ki Biantara, dan Ardi Brata. Nampak pula Bimala Calya yang berkuda di samping Ardi Brata. Wajah gadis cantik itu terlihat bersinar-sinar gembira.

Mahapatih Gajahmada sengaja memerintahkan agar Sayap Sima menurunkan kekuatan penuh kali ini. Gendewa Bernyawa terlalu berbahaya jika jatuh ke tangan musuh. Busur ajaib itu bisa mengeluarkan ratusan panah berapi dalam sekali bidik. Jika kerajaan musuh memilikinya maka Majapahit akan berada dalam kesulitan besar apabila terjadi peperangan.

Bimala Calya merasa sangat bersemangat ketika gurunya memperbolehkan ikut ke Ngobaran. Harapannya cuma satu, bisa bertemu dengan Arya Dahana di sini. Pemuda itu pasti tidak akan melewatkan kesempatan langka yang jarang sekali terjadi di dunia persilatan. Dia pasti datang. Itulah mengapa wajah gadis ini terlihat berseri-seri gembira.

Di puncak bukit yang tidak terlalu jauh. Raja Iblis Nusakambangan memimpin rombongan Lawa Agung dengan gagah. Diiringi oleh Lima Hulubalang tangguh pengawal Panglima Kelelawar, Lima Kobra Benggala dan Nyai Genduk Roban. Panglima Kelelawar tidak kelihatan di antara rombongan. Tapi siapapun yang mengenalnya sangat yakin, tokoh sakti ini pasti tidak akan melewatkan kesempatan mendapatkan Gendewa Bernyawa. Pusaka ini akan sangat berguna bagi Lawa Agung dalam menghadapi Galuh Pakuan kelak.

Arawinda tidak menyadari bahwa di ujung bukit terjauh dari pantai telah hadir pula tokoh sesat yang luar biasa sakti Datuk Rajo Bumi bersama muridnya Putri Anjani. Datuk ini semula tidak tertarik untuk datang ke tempat ini. Namun Putri Anjani berhasil meyakinkannya. Putri Laut Utara ini menyampaikan sebuah alasan kuat yang sulit ditolak oleh Datuk Rajo Bumi. Jika ingin membuat dirinya menjadi wanita penebar maut nomor satu di dunia persilatan, maka memiliki Gendewa Bernyawa adalah salah satu caranya.

Arawinda memutuskan untuk berhenti memperhatikan siapa saja yang telah di datang ke tempat ini. Gadis ini kembali memusatkan perhatian sepenuhnya pada latihannya. Dia tidak mau gagal membantu gurunya dalam menjaga keseimbangan. Aguru Bayanaka miliknya tidak lama lagi akan sampai pada tingkat tertinggi. Dia akan terus mengasah ilmu tersebut meski juga menyadari bahwa waktu beberapa hari ini tidak akan mungkin untuk membuatnya sempurna. Dan tenggelamlah gadis cantik ini dalam latihan yang menguras tenaga dan pikirannya.

---

Dewi Mulia Ratri menghentikan larinya. Dia telah sampai di pantai selatan. Tapi benarkah ini Pantai Ngobaran? Dia mendapatkan keterangan dari beberapa orang yang ditemuinya di jalan. Pantai Ngobaran adalah pantai yang sangat terjal dan berkarang. Namun pantai yang ditemuinya sekarang adalah pantai yang sangat landai dengan pasir putih yang terhampar memanjang sepanjang pantai.

Sepertinya aku salah pantai. Ini pasti bukan Ngobaran, pikir Dewi Mulia Ratri. Dia mendapatkan saran dari ayahnya yang telah berunding dengan Ki Mandara bahwa Gendewa Bernyawa tidak boleh terjatuh ke tangan Majapahit atau Lawa Agung. Dan dia mendapatkan tugas agar itu tidak terjadi. Sambil memikirkan sumpah dan dendamnya terhadap Majapahit, Dewi Mulia Ratri terbangkitkan semangatnya dalam menerima tugas berat itu.

Dia ditugaskan sendirian. Tidak ada siapapun dari Galuh Pakuan selain dirinya yang akan datang ke Pantai Ngobaran. Ki Gularma tidak diketahui lagi dimana rimbanya. Pangeran Bunga yang menyebalkan itu sekarang malah diangkat sebagai pimpinan Kujang Emas Elang. Sementara Garda Kujang secara keseluruhan di bawah komando Ki Mandara sendiri yang semenjak kematian muridnya Andika Sinatria, kembali turun tangan langsung memimpin pasukan.

Ayahnya masih menetap di ibukota Galuh Pakuan untuk berjaga-jaga dari segala kemungkinan buruk perebutan kekuasaan sepeninggal Raja Linggabuana, Putri Dyah Pitaloka dan Andika Sinatria.

Sang Permaisuri mengambil alih tampuk kekuasaan Galuh Pakuan sambil menunggu saat yang tepat untuk menobatkan salah satu putra raja bernama Niskala sebagai raja. Putra raja tersebut masih belasan tahun dan di bawah umur sehingga waktu penobatan ditunda sementara hingga usianya mencukupi.

Kembali kepada Dewi Mulia Ratri yang sedang kebingungan. Gadis yang hanya tahu bahwa puncak musim Raja Badai tinggal beberapa hari lagi, memutuskan untuk menelusuri pantai ke arah timur sesuai dengan firasatnya.

Benar saja, setelah seharian berjalan, pantai yang sebelumnya landai kini digantikan oleh pantai yang berkarang. Di kejauhan nampak puncak bukit-bukit kecil. Dari sini dia harus berhati-hati sekarang. Dia sangat yakin Majapahit akan mengirimkan Sayap Sima ke sini. Jika mengingat akan sumpahnya, Dewi Mulia Ratri akan dengan senang hati berjumpa dengan orang-orang Majapahit dan Lawa Agung. Namun tugasnya dari kerajaan tetaplah yang paling utama dan dia tidak akan mengacaukannya.

Biarlah dia akan mengabaikan jika berjumpa dengan orang-orang Majapahit dan Lawa Agung untuk sementara. Jika nanti dia sudah bisa memastikan bahwa Gendewa ajaib itu tidak jatuh ke tangan dua kerajaan itu, maka dia akan mulai memenuhi sumpah Idu Geninya.

Dewi Mulia Ratri melanjutkan perjalanannya dengan sangat berhati-hati. Gadis ini malah sedikit memutar ke belakang tebing pantai agar terhindar dari perjumpaan yang tidak sengaja dengan pasukan Majapahit maupun Lawa Agung.

Gadis ini terlalu jauh memutar dari arah belakang sehingga tidak menyadari bahwa dirinya telah sampai di ujung paling timur Pantai Ngobaran dan mendaki bukit tempat Arawinda dan Si Bungkuk Misteri berdiam.

Alangkah kagetnya gadis cantik dari tanah Pasundan ini ketika didengarnya angin tajam bersiutan di atas bukit itu. dengan cepat gadis ini bersembunyi di balik batu-batu besar yang terdapat di bukit ini. Suara ini sangat dikenalnya sebagai angin pukulan jurus-jurus sakti yang tidak sembarangan. Seseorang sedang berlatih di atas sana!

Dewi Mulia Ratri mengendap-endapkan langkahnya. Dia tidak ingin kedatangannya diketahui. Dia tidak ingin terjadi perseteruan sebelum hari yang dinanti tiba. Gadis ini menunda langkahnya sambil menatap kagum pada pemandangan di depannya.

Arawinda sedang berlatih jurus-jurus pukulan yang sangat dahsyat. Gerakan gadis manis ini sangat kaku dan patah-patah namun luar biasa hebat. Angin bersuitan mendahului pukulannya. Puncaknya saat Arawinda menghantamkan sebuah pukulan ke sebuah batu besar yang teronggok di depannya.

"Duaaaaarrrr..."

Batu itu hancur berkeping-keping.

Dewi Mulia Ratri yang menyaksikan ini berdecak kagum. Dia tahu Arawinda adalah seorang yang tangguh. Namun ini jauh berbeda. Gadis itu seperti menjelma menjadi seorang datuk persilatan yang siap menyaingi para tokoh delapan penjuru mata angin. Luar biasa!

Dewi Mulia Ratri kemudian tersadar dari kekagumannya dengan cepat saat angin pukulan yang dahsyat itu menuju ke batu tempatnya bersembunyi. Buru-buru gadis Sunda ini berjumpalitan menjauh. Untung saja, karena batu besar itu sekarang sudah tidak berbekas lagi. hancur berantakan dihantam pukulan Aguru Bayanaka.

Arawinda bertolak pinggang di depannya. Siap-siap melancarkan pukulan susulan atau makian. Tapi setelah gadis itu tersadar dia sedang berhadapan dengan siapa, justru sekarang gadis itu memekik senang.

"Aaaahhh! Dewi Mulia Ratri....untunglah kau tidak apa-apa. Maaf aku menyerangmu tadi, karena aku pikir ada seorang penyusup gila yang suka mengintip. Maaf ya kakak yang baik."

Dewi Mulia Ratri tersenyum geli.

"Tidak apa-apa Arawinda. Akulah yang tidak sopan karena mengintipmu saat berlatih. Pukulanmu luar biasa hebat! Kamu tidak perlu mengkhawatirkan si Raja Iblis itu sekarang."

Arawinda sedikit berubah mukanya mendengar nama itu disebut. Namun tidak lama. Wajahnya kembali berseri-seri sambil memegang tangan Dewi Mulia Ratri.

"Kakak yang cantik, kenapa kau tiba-tiba berada di tempat ini? Aaahhh...kau pasti juga berniat memperebutkan gendewa pusaka itu bukan?"

Kembali Dewi Mulia Ratri tersenyum. Dia suka sekali gadis yang sangat riang ini. Sekali mereka bertemu sebagai lawan saat perang perbatasan Blambangan. Lalu bahu membahu menjadi kawan ketika Perang Bubat terjadi.

"Aku kesini ingin melihat keramaian Arawinda. Pasti banyak orang Majapahit dan Lawa Agung di sini. Aku akan sampaikan pesan dari neraka di hadapan orang-orang licik dan kejam itu satu demi satu!"

Suara bening itu mengeluarkan desis dendam yang sangat mengerikan. Arawinda sampai giris sekali hatinya mendengar kalimat penuh dendam keluar dari mulut Dewi Mulia Ratri. Dia sendiri memiliki dendam yang hebat terhadap orang-orang Majapahit. Tapi gadis Sunda di depannya ini, ancamannya luar biasa menakutkan karena disertai mimik yang mengerikan dan mata menyala laksana utusan dari neraka sendiri. Arawinda bergidik.

Suasana menjadi sehening kuburan di tengah malam. Kedua gadis ini berpandangan lama. Masing-masing melayangkan ingatan pada peristiwa Perang Bubat yang luar biasa hebat, menghancurkan, meluluh-lantakkan, sekaligus mengharukan. Rasa kehilangan meniti hati mereka yang tercabik dendam sehingga keduanya lupa bahwa mereka telah berdiri cukup lama di situ tanpa suara.

Terdengar dehem lirih yang berwibawa di belakang mereka. Dewi Mulia Ratri dan Arawinda tersadar dan menoleh. Keduanya serentak menjatuhkan diri berlutut. Si Bungkuk Misteri berdiri di hadapan mereka sambil tersenyum penuh pengertian. Tokoh luar biasa sakti ini adalah guru mereka berdua. Sembari mengelus jenggotnya yang berwarna perak, tokoh ini mengangkat tangan kirinya sehingga mereka berdua terangkat berdiri tanpa bisa dicegah,

"Murid-muridku, urusan hati aku serahkan kepada kalian. Apapun yang hendak kalian lakukan, adalah garis dari Sanghyang Widhi. Suatu saat kelak, garis itu pasti menemui simpang atau sampai pada ujungnya. Aku hanya ingin memberikan ingat, bahwa semua yang terjadi di dunia ini selalu ada alasannya. Dan alasan tersebut pasti bisa dinalar sebab selalu ada kebaikan di dalamnya."

Kedua gadis cantik murid Si Bungkuk Misteri itu terdiam mendengarkan tanpa berucap apa-apa. Entah apa yang dipikirkan oleh mereka tentang petuah tokoh sakti itu.

"Dendam adalah ketidakpuasan yang timbul akibat rasa tidak bahagia maupun sedih karena kehilangan sesuatu. Padahal kita semua di dunia ini tidak memiliki sesuatupun sebenarnya. Semuanya sementara. Semuanya akan hilang begitu kita bersatu kembali dengan bumi. Kepuasan yang didapatkan dari sebuah pembalasan dendam mengakibatkan ketidakpuasan lain, rasa sedih lain, rasa kehilangan lain dari keturunan orang yang kau balas tadi. Selanjutnya muncul lagi dendam-dendam baru. Tidak akan pernah terputus kecuali salah satu pihak mencoba menghilangkan dendam itu dengan kepasrahan kepada Yang Maha Tinggi."

Arawinda dan Dewi Mulia Ratri mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Namun di dalam diri mereka sepertinya masih terjadi pergulatan batin yang sangat seru.

"Aku tidak menyalahkan kalian berdua atas kesedihan yang menimbulkan dendam. Itu juga manusiawi. Jika kalian merasa balas dendam adalah satu-satunya cara untuk berbahagia, lakukanlah. Tapi jika kalian akan merasa tidak berbahagia setelah membalas dendam, maka jangan lakukan. Semuanya terpulang pada kalian nduk. Termasuk Sanghyang Widhi juga menyerahkan semua keputusan kepada kalian."

Dewi Mulia Ratri menatap Si Bungkuk Misteri dengan wajah penuh dengan pertanyaan. Namun pertanyaan itu urung keluar dari mulutnya. Suara sangat gaduh terdengar dari kejauhan. Angin yang tadinya sepoi nyaman, perlahan-lahan berubah menjadi kencang. Baju panjang kedua gadis murid Si Bungkuk Misteri itu berkibar-kibar. Gelombang laut mulai bergejolak di bawah tebing mereka tempat mereka berbincang-bincang. Suara gelombang saat menghantam karang terdengar membahana. Seluruh Ngobaran sekarang hanya dikuasai dua suara yang mengerikan itu. Badai dan gelombang berlomba menjadi yang terkuat untuk membuat gaduh alam.

Semua orang menjadi terkesiap dan waspada. Musim Raja Badai sudah dimulai! Itu akan terjadi beberapa hari, sampai mencapai puncaknya pada hari ke-5, lalu menurun hingga hilang sama sekali pada hari ke-7. Mulai saat ini, tidak ada seorangpun akan berani mendekati pantai. Terlalu berbahaya! Bahkan orang selihai para tokoh delapan penjuru mata angin pun harus berpikir ribuan kali jika hendak menantang kekuatan alam sedahsyat ini.

Malam ini Dewi Mulia Ratri menghabiskan malam di pondok Arawinda. Di sini cukup aman dari jangkauan gelombang raksasa. Pondok ini juga terlindungi dari kuatnya badai karena dihalangi oleh batu-batu karang sebesar besar rumah. Si Bungkuk Misteri tidak terlihat lagi ada di sekitar pondok. Benar-benar misterius.

Keesokan harinya saat kedua gadis itu terbangun dari tidur yang sama sekali tidak nyenyak, angin badai semakin menggelora. Gelombang semakin dahsyat. Buih raksasa yang tercipta saat menghantam karang menyisakan suara-suara yang menyeramkan. Seperti raksasa laut yang sedang marah karena terganggu tidurnya. Kedua gadis yang belum pernah melihat peristiwa alam ini tidak habis-habis rasa takjubnya. Ini belum sampai pada puncak Raja Badai, tapi suasananya sudah sangat mencekam dan menyurutkan nyali.

Semua orang yang ada di bukit-bukit kecil sekitar pantai juga semakin cemas. Angin sudah menumbangkan dan menerbangkan kemah-kemah mereka beberapa kali. Sebentar dibetulkan dan diperbaiki, sebentar kemudian sudah diporak-porandakan angin lagi. Akhirnya semua menjadi putus asa dan memilih untuk mencari gua-gua di ketinggian.

Hari berikutnya juga sama. Badai semakin kuat. Beberapa pohon tua sudah tumbang diterjang angin. Gelombang semakin tinggi menghajar pinggang-pinggang tebing. Sehari sebelum puncak Raja Badai, gelombang sudah mencapai bibir-bibir tebing. Badai menghancurkan tanaman dan pepohonan. Batang-batang yang bertumbangan, malang melintang di sepanjang bukit-bukit sekitar pantai. Ini akan menjadi tantangan tersendiri untuk melangkah atau bahkan bertarung.

Tidak ada lagi orang-orang yang berani keluar dari gua. Angin badai bahkan sekarang mampu mengguling-gulingkan batang-batang tumbang kesana kemari. Jika ada orang biasa yang tidak mempunyai kemampuan tinggi, pasti akan terbawa oleh angin sekuat ini. Rombongan Majapahit, Lawa Agung, Perkumpulan Pengemis dan tokoh tokoh sakti lain juga tidak mau mempertaruhkan nyawa mereka dengan keluar gua.

Besok adalah puncak musim Raja Badai. Tak terbayangkan bagaimana dahsyatnya angin dan gelombang esok hari. Tapi besok jugalah hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua orang. Gelombang raksasa akan membawa semua benda yang di dekat pantai terbawa hingga ke pinggir. Saat itulah orang tidak akan ragu-ragu mempertaruhkan nyawa demi harta pusaka yang ada di dalam kapal Lanun Samudera.

Namun ada hal lain yang harus diperhitungkan juga oleh semua orang. Bisa saja mereka datang kesini dengan sia-sia. Jika saja gelombang raksasa tidak cukup kuat membawa kapal sebesar Lanun Samudera ke pinggir, maka sia-sialah penantian selama 25 Saka. Ujung-ujungnya hanya akan terjadi bentrok dan pertarungan dahsyat antara mereka sendiri, karena orang-orang yang datang membawa panji dan kepentingan sendiri-sendiri di sini.

Malam sebelum puncak Raja Badai tiba. Arawinda dan Dewi Mulia Ratri sibuk bersiap siap. Si Bungkuk Misteri beberapa hari ini membuka beberapa rahasia mempercepat penguasaan ilmu masing-masing yang telah diajarkannya.

Dewi Mulia Ratri mendapatkan sebuah petunjuk bagaimana Gempa Pralaya ternyata bisa mengakibatkan gempa dahsyat bagi musuh yang berada dalam jarak hingga 100 depa sekeliling saat ilmu itu dihentakkan ke bumi. Sementara Arawinda diberikan petunjuk bagaimana Aguru Bayanaka ternyata bisa membuat musuh dalam jumlah banyak mematung diam seperti kayu dalam beberapa jeda ketika ilmu dihentakkan ke tanah.

Ternyata ilmu-ilmu dasar dan utama unsur-unsur alam seperti air, api, udara atau angin, tanah, kayu dan besi memiliki kelebihan masing-masing untuk menghadapi musuh dalam jumlah besar. Danu Cayapata bisa menimbulkan gelombang luar biasa jika dihentakkan di air. Amurti Arundaya bisa mengakibatkan badai api sepanas matahari. Bayu Lesus bisa membuat angin badai yang luar biasa besar. Gempa Pralaya bisa menimbulkan gempa dahsyat yang mengerikan. Aguru Bayanaka mengakibatkan musuh berhenti mematung di tempatnya berdiri. Dan Gora Waja sebagai ilmu perlambang unsur besi, mampu membuat kebal tubuh dari pukulan maupun senjata tajam.

Malam itu kedua gadis cantik murid Si Bungkuk Misteri benar-benar berkonsentrasi penuh terhadap cara-cara rahasia yang diajarkan oleh sang mahaguru. Mereka tahu esok adalah hari di mana kesiapan batin dan lahir sangat menentukan. Banyak tokoh-tokoh lihai di luaran yang akan bertarung satu sama lain untuk memperebutkan sebuah benda ajaib yang bisa sangat berpengaruh mengerikan terhadap kehidupan jika jatuh di tangan orang yang salah.

Si Bungkuk Misteri adalah orang yang sangat waskita. Bisa melihat bagaimana seseorang meyakini sesuatu dan akan berbuat sejauh apa. Dia bisa merasakan perubahan sikap dan pandangan Arawinda terhadap dendam yang disimpannya. Gadis itu bahkan cenderung mengikuti petuahnya tentang menjaga keseimbangan alam. Meskipun tetap saja ada bara yang masih menyala di hatinya.

Sedangkan Dewi Mulia Ratri? Terlalu dalam dendam yang telah mengendap di dasar hati gadis itu. Dendam yang luar biasa hebat. Sakit hati yang luar biasa dalam. Hanya darah yang bisa mengurangi kadar dendam yang membara di jiwanya. Si Bungkuk Misteri paham bahwa dirinya tidak bisa lagi bertindak lebih jauh. Dendam juga sebuah cara untuk menjaga keseimbangan. Biarlah, biarlah Sanghyang Widhi yang menunjukkan terang pada gadis dari tlatah Pasundan itu.

Tengah malam. Badai disertai guruh dan guntur tak henti-henti menghiasi langit Ngobaran. Hujan seperti ditumpahkan dari langit. Angin bukan lagi bertiup. Namun seperti dihamburkan mengaduk seisi laut dan pantai Ngobaran. Suasana sangat mencekam. Suara deburan ombak menghantam batu karang dan tebing terdengar seperti cambuk-cambuk malaikat yang sedang menjalankan tugas menghukum manusia. Bahkan sempat terdengar suara tebing yang runtuh ke laut saking kerasnya pukulan gelombang. Tinggi gelombang sendiri sudah mulai mencapai puncak-puncak bukit kecil di sepanjang pantai Ngobaran.

Daratan yang tersambung dengan pantai sudah sepenuhnya tenggelam oleh air laut. Bukit-bukit kecil tempat para tokoh dunia persilatan berlindung kini terpisah satu sama lain karena tergenang. Ini bukan lagi mencekam, tapi sudah sangat mengerikan. Waktu seolah berhenti. Ngobaran seperti terpisah dari daratan Jawa. Semua orang terdiam membisu. Menunggu apakah ada lagi peristiwa yang lebih mengerikan akan terjadi?

Puncaknya terjadi menjelang pagi hari. Terdengar suara-suara aneh benda-benda saling bertabrakan. Belum ada satupun yang berani keluar dari tempat berlindung masing-masing. Angin badai terlalu kencang. Hujan deras menghantam bumi tak henti-henti. Suara gelombang yang datang menghajar karang dan tebing kini bergemuruh tak habis-habis. Terasa suasana gaib melingkupi seluruh Ngobaran. Udara sangat dingin. Hampir seperti musim dingin di kerajaan dan negara nun jauh di barat. Hujan berubah menjadi gumpalan-gumpalan es yang menyakitkan bahkan bisa melukai jika mengenai tubuh.

Di atas bukit tempat Arawinda dan Dewi Mulia Ratri berdiam. Si Bungkuk Misteri bersedekap di luar pondok sementara kedua gadis itu tidak berani keluar. Mereka hanya mengintip dari dalam. Mereka melihat hujan es sebesar-besar kepalan tangan itu tidak pernah mengenai tubuh kakek renta yang sedang bersamadi sambil berdiri itu. Tokoh sakti itu seperti dilindungi oleh payung gaib di sekeliling tubuhnya. Bahkan tubuh kakek itu basahpun tidak. Angin badai yang menderu-deru menerbangkan segala sesuatu juga tidak berpengaruh terhadap Si Bungkuk Misteri. Tubuhnya yang kurus tetap tegak menatap lurus ke arah lautan yang sedang mengamuk itu.

"Braaaakkkkk!.....Blaaaaarrrrrr!"

Suara luar biasa dahsyat terdengar saat sesuatu yang sepertinya sebuah benda berat menghantam karang atau tebing. Arawinda dan Dewi Mulia Ratri terjengit kaget. Apalagi disusul kemudian dengan suara gemuruh susul menyusul gelombang yang bergulung-gulung dibawa badai ke arah pantai. Gelombang raksasa itu menghajar karang dan pantai berkali-kali. Gemuruhnya sangat mengecilkan hati. Bahkan bagi orang-orang pemberani sekalipun.

Dewi Mulia Ratri dan Arawinda semakin memepetkan diri ke dinding pondok. Ini seperti neraka sedang berpindah ke bumi. Tepatnya di bagian bumi yang ini. Makhluk-makhluk dari neraka itu sedang berpesta di sini. Siap memangsa siapapun yang lemah dan tidak kuat menjaga diri.

Dua orang gadis ini sedang merasa jerih sekali. Apalagi setelah mereka mengintip dari dinding pondok, Si Bungkuk Misteri sedang komat kamit bicara seorang diri. Tangannya diangkat ke atas. Tatapannya menuju ke satu arah di lautan. Kedua gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa kakek sakti ini sedang berbincang dengan Ratu Laut Selatan melalui ilmu mengirimkan suara jarak jauh yang diperkuat dengan sihir tingkat tinggi.

"Putri Gaib, aku memintamu untuk tidak mencampuri urusan yang satu ini. Biarlah urusan ini menjadi urusan mereka."

Terdengar bisikan lirih yang cukup jelas diterima oleh Si Bungkuk Misteri.

"Kakek bungkuk, aku tidak akan mencampuri ini kalau kau juga tidak mencampurinya."

Si Bungkuk Misteri menganggukkan kepalanya sedikit.

"Aku berjanji tidak akan mencampuri apapun Putri. Tugasku menjaga keseimbangan, akan aku serahkan kepada muridku Arawinda kali ini."

Sebuah ledakan halilintar menerpa tanah di samping kakek sakti yang sama sekali tidak bergeser dari tempatnya sedikitpun. Itu jawaban mengiyakan dari Sang Ratu Laut Selatan.

Semburat merah terlihat sedikit di cakrawala. Pagi sudah mulai tiba menjalankan tugasnya. Namun cuaca di Ngobaran semakin tidak karuan. Semburat itu hanyalah semburat. Sinar matahari tidak kuasa menembus gelapnya badai dan hujan. Pantai Ngobaran masih terlihat sangat remang-remang. Si Bungkuk Misteri membalikkan tubuhnya ke arah pondok.

"Murid-muridku, aku harus pergi. Arawinda, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Dewi, kamu juga tahu apa yang harus kamu tahan. Selamat tinggal, kita jumpa lagi lain waktu."

Tanpa menunggu jawaban dari murid-muridnya, tokoh misterius ini tiba-tiba saja sudah tidak nampak lagi wujudnya di halaman pondok.

Dewi Mulia Ratri dan Arawinda saling berpandangan. Keduanya maklum seperti apa guru mereka ini. Arawinda hanya bisa menghela nafas panjang. Dia tahu apa maksud pesan gurunya tadi. Semua tugas menjaga keseimbangan yang diemban gurunya, diserahkan kepadanya sekarang. Dia tahu bahwa tugas ini luar biasa berat. Dia tidak tahu entah seperti apa keseimbangan yang harus dia jaga hari ini.

Dewi Mulia Ratri tercenung sejenak mendengar pesan gurunya tadi. Dia harus menahan apa? Pesan yang sangat membingungkan.

Kedua gadis ini mencoba keluar dan membuka pintu pondok. Namun pintu itu berat sekali tidak bisa dibuka. Sesuatu menahannya dengan begitu kuat. Sesuatu itu juga bersuara seperti dengungan dan siutan keras. Ya ampun, angin kencang menahan pintu ini tidak bisa membuka. Luar biasa! Tak terbayangkan bagaimana jika mereka berada di luar saat ini. Sontak saja keduanya mengurungkan niat.

Badai memang masih bergulat dengan hujan dan petir. Gelombang besar dan raksasa bertubi-tubi menghantam pantai Ngobaran. Seharusnya hari sudah terang sekarang. Namun matahari sepertinya enggan datang. Terlalu mengerikan di pantai Ngobaran. Suasana mencekam sama sekali tidak berkurang. Hanya bedanya sekarang orang-orang bisa melihat betapa dahsyatnya amukan Raja Badai semalam.

Tidak seorangpun melihat saat dua bayangan menantang badai dan hujan. Mengendap endap sambil mempertahankan diri agar tidak terbawa angin yang masih mengamuk. Dua bayangan itu berusaha sekuat tenaga menuju sebuah bukit yang kebetulan agak jauh dari pantai. Di dalam keremangan, bukit itu terlihat seperti kura-kura raksasa yang menyangga sebuah beban besar di punggungnya. Letak bukit itu persis di sebelah bukit tempat pondok Arawinda dan Dewi Mulia Ratri.

Air yang menggenangi daratan perlahan mulai menyurut. Nampak sekali bekas amukan Raja Badai. Batang-batang pohon besar bergelimpangan di mana-mana. Terlihat ada tiga kapal yang sudah berupa rongsokan terdampar jauh di daratan. Serpihan besar batu karang yang dihajar dan dipotong gelombang berhamburan di daratan. Dua bayangan ini melompat dari karang satu ke karang lainnya untuk menghindari air laut yang masih menggenang di sana sini.

Saat sudah sampai di bukit tujuan, dua bayangan ini berhenti. Menengok ke kanan dan kiri lalu dengan pasti menuju bangkai kapal yang teronggok di atas puncak bukit. Bangkai kapal itu dipenuhi lumut dan diselimuti karang kecil tempat biasa ikan-ikan bersarang.

Badai tiba-tiba berhenti seketika. Hujan juga tinggal menyisakan gerimis. Gelombang raksasa yang dari semalam menghantam bertubi-tubi juga lambat laun mereda. Sinar matahari tahu-tahu sudah meninggi. Memancarkan sinar yang terang-benderang.

Semua orang kemudian berlarian keluar dari tempat perlindungan masing-masing. Semuanya tidak mau ketinggalan untuk berlomba mencari tahu apa yang terjadi setelah Raja Badai mereda.

Semua mata menyelidik ke sekeliling, lalu serempak berlari menuju bukit tempat dua orang tadi mengendap-endap datang. Sekarang nampak jelas. Sebuah kapal besar bertengger dengan angkuh di atas bukit itu. Bukan cuma satu kapal saja yang terbawa Raja Badai hingga ke pinggir rupanya. Selain kapal besar berwarna hitam itu, ada juga dua kapal lain yang lebih kecil dan juga berwarna hitam terbawa gelombang raksasa. Letaknya cukup berjauhan.

Ketika semua orang berlari mendaki bukit kecil di sebelah bukit tempat pondok Arawinda berdiri, Arawinda dan Dewi Mulia Ratri melihat dari jauh dengan kebingungan. Yang mana di antara tiga kapal itu Lanun Samudera? Semula mereka akan ikut berlari menuju bukit tempat kapal itu kandas. Namun seketika mereka tersadar saat melihat dua sosok bayangan turun dari bukit tersebut dengan cepat, menuju ke arah dua kapal lain yang terseret ke daratan secara berdampingan.

Sedari tadi Arawinda dan Dewi Mulia Ratri memperhatikan gerak-gerik dua orang misterius itu. Termasuk saat keduanya dengan tergesa-gesa keluar dari kapal hitam besar lalu dengan terburu-buru berlari ke arah kedua kapal yang lebih kecil. Mereka turun melalui jalan yang berbeda dengan orang-orang yang berebut naik sehingga tak seorangpun menyadari bahwa ada dua orang yang telah mendahului memeriksa isi kapal.

Arawinda dan Dewi Mulia Ratri saling pandang sejenak. Lalu menggerakkan kaki berlari membuntuti kedua orang misterius tadi. Tapi mereka terlambat sepersekian jeda karena dua orang misterius itu telah keluar dari kapal kedua dan sekarang menuju ke kapal ketiga yang berada di sebelahnya dengan juga terburu-buru.

Kedua gadis murid Si Bungkuk Misteri ini tidak mau kecolongan lagi. Keduanya berkelebat cepat mengekor dua orang yang sekarang terlihat jelas dari belakang sebagai seorang perempuan langsing dan seorang laki laki kecil kurus.

Dewi Mulia Ratri mengerutkan keningnya. Rasanya dia sangat kenal dengan bentuk tubuh wanita itu. Dan juga laki laki itu. Namun belum bisa memastikan karena hanya nampak dari belakang. Itupun hanya sekelebat-sekelebat saja. Arawinda sendiri tidak memperhatikan hal ini. Dengan sangat hati-hati dia menggerakkan tubuh dengan lincah di antara batu-batu besar yang berserakan. Kedua orang itu sangat mencurigakan sejak badai belum mereda tadi pagi. Sepertinya mereka tahu apa yang harus dicarinya.

Sekarang mereka berada di atas bukit kecil tempat sepasang kapal kembar itu terdampar. Dua sosok yang menutupi kepala menggunakan tudung hitam itu memasuki dan memeriksa kapal terakhir. Arawinda dan Dewi Mulia Ratri tepat berada di belakang kedua orang itu. Meski sudah sangat berhati-hati dan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, namun sedikit kecerobohan yang dilakukan Dewi Mulia Ratri, yaitu menendang secara tidak sengaja sebuah batu kecil, membuat dua sosok itu seketika menoleh dengan curiga. Saat itulah Dewi Mulia Ratri menyadari betapa tepat dugaannya tadi. Putri Anjani dan Datuk Rajo Bumi!

Datuk Rajo Bumi berdehem pelan,

"Lanjutkan pencarianmu muridku. Hmmm, aku akan menghajar dua pengacau cilik ini."

Tubuh tokoh sesat sakti ini berkelebat ke depan menerjang Dewi Mulia Ratri dan Arawinda secara bersamaan. Angin pukulan yang terasa menusuk-nusuk mendahului serangan yang mematikan ini.

Arawinda dan Dewi Mulia Ratri menyambut serangan dengan cekatan. Mereka tahu, kakek ini mempunyai kemampuan luar biasa yang masih di atas mereka. Oleh karena itu, keduanya langsung saja memainkan jurus-jurus pukulan ajaib yang diajarkan oleh Si Bungkuk Misteri. Arawinda mengerahkan Aguru Bayanaka sedangkan Dewi Mulia Ratri memainkan Gempa Pralaya.

Datuk Rajo Bumi bersuit kaget menghadapi pukulan-pukulan hebat dua gadis muda ini. Tapi sekaligus juga gembira. Ada lawan tanding yang setara pagi-pagi begini membuat semangatnya berlipat-lipat.

"Wah! Wah! Si bungkuk bangkotan rupanya telah menemukan murid-murid yang cocok untuk ilmu-ilmunya. Hahahaha...."

Kakek ini sepertinya berkata mengejek, namun sesungguhnya dalam hati dia tahu. Ini bukan main-main. Kedua ilmu pukulan langka ini luar biasa hebat. Untung saja kedua gadis muda ini belum secara sempurna menguasai. Jika sudah, tentu saja dia akan sangat kerepotan melayani mereka berdua sekaligus.

Arawinda dan Dewi Mulia Ratri paham sepenuhnya bahwa yang mereka hadapi kali ini adalah seorang sakti luar biasa yang mungkin hanya satu atau dua orang saja di dunia persilatan ini yang dapat menghadapinya. Meski mereka menguasai ilmu-ilmu yang tiada tandingan, tetap saja keduanya perlahan-lahan mulai terdesak. Jika saja mereka sudah sempurna menguasai, tentu jalannya pertarungan akan lain.

Sementara Datuk Rajo Bumi sedang menahan Arawinda dan Dewi Mulia Ratri, Putri Anjani telah berada di dalam kapal tua yang tidak terlalu besar namun masih kelihatan kuat meski sudah ratusan tahun terpendam di dasar laut Ngobaran. Matanya diedarkan ke sekeliling. Ruangan kapal ini dipenuhi lumut dan karang. Lantainya sangat basah dan licin. Berbeda dengan dua kapal sebelumnya, kapal yang ini terlihat lebih mewah dan lengkap. Kapal yang paling besar tadi hanya berisi peti-peti berisi senjata dan perlengkapan para prajurit. Kapal yang kedua dipenuhi oleh peti-peti kayu yang berisi perhiasan mahal, keping-keping emas dan perak.

Putri Anjani berfirasat ini adalah kapal sang pemimpin Lanun Samudera. Dan memang jalan pikiran Putri Laut Utara ini benar adanya. Pemimpin Lanun Samudera tidak pernah menggunakan kapal yang paling besar sebagai tempatnya memimpin gerombolan bajak laut. Dia lebih memilih kapal yang lebih kecil namun jauh lebih kuat dan jauh lebih lincah. Tidak heran jika kapal ini jauh lebih mewah dibanding dua kapal lainnya.

Mata Putri Anjani terpaku pada sebuah pintu tertutup di sudut ruangan depan para awak kapal. Pintu itu tebal dan kokoh. Serta lebih besar dibanding pintu-pintu yang lain di sekelilingnya. Ini pasti kamar pemimpin Lanun Samudera dahulu kala. Dengan waspada, Putri Anjani mencoba mendorong pintu yang kemudian berderit membuka. Bersamaan dengan melesatnya beberapa anak panah yang sengaja dipasang saat pintu dibuka paksa.

Untung saja dia sudah waspada sebelumnya. Anak-anak panah itu melesat dan menancap di lantai persis di depan kakinya yang tadi sempat ditariknya mundur dan melompat ke belakang. Hmmm, kapal ini penuh jebakan.

Sambil tetap berhati-hati, Putri Anjani memeriksa pintu yang kokoh itu. Ada beberapa tahap jebakan rupanya. Di pintu terdapat beberapa tuas yang menempel. Putri Anjani mengambil sebatang pecahan kayu di lantai dan melempar ke dalam melalui pintu yang terbuka. Terdengar debum keras saat ruangan itu dihujani oleh puluhan lembing bergagang pendek yang menghajar lantai kapal.

Putri Anjani bergidik ngeri. Selihai apapun, tidak akan ada orang yang bisa selamat dari hujan lembing itu tadi jika sudah terlanjur masuk ruangan. Hujan lembing itu datang dari atap, lantai dan dinding ruangan. Puluhan lembing itu menancap di beberapa titik lantai. Menciptakan sebuah pemandangan yang mengerikan.

Putri Anjani berpikir sejenak. Tidak mungkin jebakan maut ini sudah habis. Ada barang luar biasa penting yang dilindungi di dalam kamar yang besar itu. Dia sangat yakin dengan hal itu. Apa yang harus dilakukannya lagi supaya jebakan berikutnya bisa terbuka? Putri yang cerdik ini kemudian mengayunkan tangannya ke depan. Angin berdesir halus memasuki ruangan. Dia menduga bahwa jika hujan lembing tadi adalah jebakan bagi orang yang terburu-buru masuk ruangan, maka sekarang dia memancing dengan angin pukulan seolah-olah yang masuk kamar adalah orang yang berhati-hati dan berilmu tinggi dan sedang mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya.

"siuuuutt....blakkkkk!"

Begitu angin pukulannya masuk ruangan, pintu di depannya mendadak menutup sendiri seperti kilat dan di dalam ruangan terdengar desis kuat. Putri Anjani melompat mundur sejauh mungkin. Ada asap berbau tengik dan aneh yang lolos dari lubang lubang dinding kamar yang renggang kayunya. Asap beracun!

Aaahhh...kali ini jebakan asap beracun. Kamar ini seperti kamar neraka. Semua jebakannya berbau maut dan kematian yang mengerikan. Putri Anjani mengatur nafas agar asap beracun yang lolos dari kamar tidak terhirup olehnya. Tetap saja matanya agak berkunang-kunang membaui sisa-sisa asap tersebut.

Suara derit pelan membawa mata Putri Anjani ke pintu kamar yang membuka sendiri secara perlahan. Mata Putri dari Laut Utara ini terbelalak kaget bukan main. Puluhan lembing yang terbuat dari baja dan menancap di lantai itu telah meleleh seperti air. Rupanya suara desis yang keluar tadi tidak hanya asap, namun juga suara cairan asam peleleh baja yang disemprotkan dari lubang-lubang kecil di dinding ruangan. Dia tidak bisa membayangkan apa jadinya jika tubuh manusia terkena cairan yang sanggup melelehkan baja itu.

Sebelum Putri Anjani melangkahkan kaki masuk kamar, bersitan pikirannya menahan kakinya. Ditelitinya tuas yang ada di pintu bagian dalam. Tiga tuas telah menutup ke bawah. Tinggal satu tuas lagi yang masih membuka ke atas. Gadis ini mengerutkan keningnya. Ada satu jebakan terakhir yang harus dipecahkan. Apalagi hal mengerikan yang akan terjadi? Putri Anjani mendengar teriakan-teriakan keras di luar. Dia harus cepat mengambil keputusan sebelum suasana gaduh akan sangat mengganggu dan menghambatnya.

Gadis ini mengintip dengan hati-hati ke dalam kamar. Matanya terpaku pada sebuah peti besar yang sekarang tergeletak di tengah-tengah ruangan. Tadi peti itu tidak ada, pikir Putri Anjani dengan heran. Dia harus cepat. Disambarnya sebuah tongkat yang tergeletak di luar kamar. Gadis itu memberanikan diri masuk kamar sambil menyorongkan tongkat di depan tubuhnya. Tidak terjadi apa apa. Disentuhkannya ujung tongkat ke peti. Tidak terjadi apa apa. Belum sempat gadis ini menarik nafas lega, mendadak terdengar suara dengung pelan yang makin lama makin menguat. Telinganya menjadi sakit sekali. Ini bukan dengung biasa. Ini adalah sebuah tanda bahwa kepalanya akan meledak jika terlalu lama di dalam kapal ini.

Tanpa pikir panjang lagi karena sudah tak tertahankan sakit di telinga dan kepalanya, Putri Anjani bergegas menyambar peti yang cukup besar itu dan membawanya lari keluar kapal dengan cepat. Kepalanya berdenyut-denyut, semua darah dalam tubuhnya serasa berkumpul di kepala. Kesadarannya makin melemah.

Akhirnya dengan terhuyung-huyung, gadis cantik ini berhasil mencapai pintu keluar. Begitu sampai di luar dimana Datuk Rajo Bumi masih bertempur dengan hebat melawan Arawinda dan Dewi Mulia Ratri, suara dengungan itu mendadak berhenti. Sebagai gantinya terdengar suara gemuruh hebat dari dalam kapal seperti ada sesuatu yang akan terlontar keluar.

Putri Anjani berteriak kepada gurunya sambil lari menuruni bukit. Peti itu masih ada dalam gendongannya. Datuk Rajo Bumi yang mendengar teriakan muridnya, dan melihat bahwa Putri Anjani berlari ke bawah sambil menggendong sesuatu, segera melesat cepat menyusul. Arawinda dan Dewi Mulia Ratri juga melihat Putri Anjani membawa sesuatu berbentuk peti, seperti tersengat lebah. Itu pasti pusaka mengerikan yang dicari-cari selama ini. Gendewa Bernyawa! Buru-buru kedua gadis ini menyusul ke bawah.

Terdengar hiruk pikuk saat ratusan orang yang tadinya masih berkutat memeriksa kapal yang besar, menaiki bukit tempat dua kapal kecil ini terdampar. Bersamaan pula dengan ledakan hebat yang menghancurkan dua kapal kecil itu berkeping keping. Mengirimkan serpihan-serpihan tajam ke segala penjuru.

Rupanya suara dengungan tadi adalah tanda-tanda akan meledaknya kapal. Untung saja Putri Anjani menyadari hal itu dan cepat menghindar pergi sambil memberi tahu gurunya. Teriakan ini juga sekaligus menyelamatkan Arawinda dan Dewi Mulia Ratri secara tidak langsung.

Langkah Putri Anjani terhenti di lereng terakhir sebelum mencapai dataran. Ratusan orang itu sekarang menuju ke arahnya. Hatinya tercekat beberapa saat. Tidak mungkin dia bisa melawan orang sebanyak itu. Apalagi banyak di antara mereka adalah tokoh-tokoh berilmu tinggi yang tingkatnya sama atau bahkan lebih tinggi darinya. Diliriknya ke samping, gurunya sedang menimbang-nimbang kekuatan sepertinya.

Putri Anjani tersentak oleh pikirannya sendiri. Mereka harus pergi dari sini. Dikeroyok oleh orang-orang lihai begitu banyak, meski dibantu oleh datuk sakti sekelas gurunya sekalipun, adalah perbuatan sia-sia. Gadis ini meletakkan peti ke tanah. Membukanya dengan tergesa-gesa. Dan matanya terbelalak lebar.

Bukan main! Luar biasa! Benda di dalam peti itu adalah sebuah busur kecil dengan gagang emas dan tali gendewa bersinar seperti nyala api. Setelah ratusan tahun terpendam di dasar laut, benda pusaka ini masih terlihat utuh mengkilap. Gadis ini meraih Gendewa Bernyawa kemudian dipentangkannya ke atas. Arah yang ditujunya adalah kerumunan orang yang sedang berlari menyerbu ke arah dirinya dan sang guru.

"sraaatttt...sraaaatttt...wusssss...wusssss..."

Ratusan anak panah meluncur sekaligus dari gendewa pusaka itu. Anak-anak panah itu menyala mengeluarkan api di bagian ujungnya. Meski hari menjelang siang, namun pemandangan yang tercipta dari ratusan panah berapi di udara itu sangatlah indah dan menakjubkan. Tak ayal, ratusan orang yang sedang bersemangat untuk menyerang itu kalang kabut tidak karuan. Ratusan panah berapi itu tepat mengarah mereka.

Sontak saja orang-orang itu berusaha menghindar sebisanya. Bagi yang mempunyai ilmu tinggi cukup mudah dilakukan. Mereka yang seperti Maesa Amuk dan rombongan, Raja Iblis Nusakambangan dan rombongan, serta beberapa puluh lagi tokoh yang punya kepandaian, berlompatan menghindar ke belakang samping kanan dan kiri.

Tapi tidak semua cukup cepat menghindar. Terdengar jeritan-jeritan ngeri menyayat hati saat puluhan anak panah berapi itu menembus tubuh korbannya. Akibatnya sangat mengerikan! Tubuh tubuh yang terkena anak panah dari Gendewa Bernyawa itu langsung terbakar seketika. Sepertinya anak panah yang keluar dari gendewa sakti itu mengeluarkan api sekaligus dengan racun apinya sehingga begitu terkena sasaran, akan langsung terbakar seperti api disiram minyak.

Kejadian mengerikan itu sejenak membuat sebagian orang tertegun takut. Namun ternyata tidak menyurutkan langkah mereka untuk merebut gendewa sakti itu dari Putri Anjani.

Sekali lagi Putri Anjani mementang gendewanya dan mengirimkan ratusan anak panah berapi yang menghujani gerombolan orang yang sedang menyerbu ke arahnya. Lagi-lagi tindakannya membawa korban yang tidak sedikit. Puluhan orang kembali terkapar dan hangus dimakan oleh api.

Putri Anjani menyelempangkan gendewa di punggungnya. Tokoh-tokoh sakti itu sudah sampai di hadapannya dan bersiap untuk menyerang. Tidak mungkin lagi dia menggunakan gendewa karena jarak sudah terlalu dekat. Begitu diselempangkan di punggungnya, tubuh gadis itu seperti dijalari oleh sebuah tenaga gaib yang tak nampak mata.

Matanya memancar beringas mencari-cari. Saat matanya bertemu dengan mata Maesa Amuk, mata gadis ini menyala terang. Digerakkan tubuhnya menyongsong tokoh sakti Majapahit ini sambil mengirimkan pukulan dahsyat Gora Waja yang dipelajarinya dari Datuk Rajo Bumi.

Gora Waja adalah salah satu ilmu pukulan unsur utama besi. Ilmu ini lebih banyak mengandalkan kekuatan dahsyat yang dibentuk dari latihan dan tenaga dalam tingkatan tinggi. Bahkan jika sudah menguasainya dengan sempurna, ilmu pukulan ini bisa mengendalikan logam. Tubuh menjadi sekuat baja yang tidak akan mempan senjata tajam. Tenaga pukulannya juga akan sekuat baja.

Maesa Amuk tersentak kaget melihat betapa hebatnya pukulan gadis cantik yang sangat mendendam kepadanya ini. Dulu dia belum setangguh ini. Sekarang kemampuannya menjadi sangat menakjubkan sekaligus mengerikan. Gendewa Bernyawa di punggung gadis itu memberikan hawa dan energi luar biasa yang meningkatkan kekuatannya menjadi dua kali lipat.

Tokoh penting Sayap Sima ini melayani serangan-serangan Putri Anjani dengan sigap. Tubuhnya bergerak kesana kemari dengan sangat lincah. Sangat mengherankan mengingat tubuhnya yang tinggi besar. Terjadilah pertarungan hebat antara dua orang ini.

Semua orang menyaksikan pertarungan dahsyat ini dengan mengelilingi gelanggang. Raja Iblis Nusakambangan yang berdiri tidak terlalu jauh dari ajang pertarungan, menunggu-nunggu kesempatan untuk merebut gendewa sakti di punggung gadis cantik itu. Demikian juga para tokoh yang lain, semua mata memang tertuju pada jalannya pertarungan, namun sesungguhnya orang-orang ini hanya menunggu kesempatan untuk merebut Gendewa Bernyawa.

Arawinda dan Dewi Mulia Ratri sedari tadi menonton dari tempat yang jauh. Mereka telah berunding untuk tidak mencampuri pertarungan pertarungan yang akan terjadi dalam memperebutkan Gendewa Bernyawa. Meskipun sebenarnya sejak tadi, Arawinda matanya hanya tertuju kepada Raja Iblis Nusakambangan. Sedangkan mata Dewi Mulia Ratri berkilat-kilat penuh dendam saat melihat orang-orang Majapahit dan Lawa Agung yang menyebabkan kehancuran Galuh Pakuan di Pesanggrahan Bubat semua ada di sini.

Sudah gatal rasanya tangannya untuk membunuhi mereka satu persatu. Hanya ingatan terhadap kalimat petuah dari gurunya yang masih terngiang ngiang di telinganya. Tahan muridku...tahan...

Kedua gadis ini memperhatikan dengan seksama betapa puluhan orang yang mengepung tempat ini sedang menunggu kesempatan baik untuk merebut gendewa di punggung Putri Anjani. Sudah terbukti tadi betapa dahsyatnya gendewa pusaka itu. Jika bisa memilikinya maka itu akan menjadi hal yang istimewa bagi siapapun juga.

Tapi semua orang juga berpikir sedikit panjang. Putri Anjani dilindungi oleh Datuk Rajo Bumi. Seorang datuk sesat yang mempunyai kemampuan setengah dewa. Dan gadis itupun ternyata mempunyai kemampuan yang sangat tinggi. Terbukti dia sekarang mampu mengimbangi bahkan mendesak Maesa Amuk dengan pasti.

Pertarungan berlangsung semakin dahsyat. Kekebalan tubuh raksasa Maesa Amuk menemui lawan yang sepadan. Pukulan-pukulan Gora Waja tidak akan bisa diterimanya seperti pukulan-pukulan lain. Tokoh Sayap Sima ini menyadari bahwa sekali saja dia terkena pukulan Gora Waja, tubuhnya akan remuk hingga ke tulang.

Puluhan jurus berlalu. Maesa Amuk memang mulai terdesak. Namun dia adalah tokoh tua yang mempunyai pengalaman segudang. Sementara Putri Anjani meski sekarang mempunyai kemampuan yang lebih tinggi berkat Gora Waja dan aliran tenaga ajaib Gendewa Bernyawa, namun pengalaman bertarungnya masih di bawah sang lawan. Sehingga desakan-desakan pukulannya belum juga mampu merobohkan Maesa Amuk.

Mendekati jurus ke seratus, desakan-desakan pukulan Gora Waja semakin menyudutkan Maesa Amuk. Tokoh ini tahu bahwa tidak lama lagi dia pasti akan kalah, terluka, atau bahkan tewas. Tapi dasar seorang yang berkemauan keras dan penuh harga diri, Maesa Amuk terus saja mencoba bertahan. Akan lebih gagah mati secara terhormat, daripada menjadi pengecut rendah dengan meminta bantuan dari kawan-kawannya.

Ki Tunggal Jiwo sebagai pimpinan rombongan Majapahit sebenarnya sangat khawatir melihat keadaan Maesa Amuk yang terdesak hebat. Namun dia sadar bahwa Maesa Amuk justru akan mengamuk jika dibantu. Diam-diam Ki Tunggal Jiwo memberi isyarat kepada Bledug Awu-awu. Tokoh sihir Majapahit ini mengangguk mengerti. Mulutnya berkomat kamit tertuju kepada Putri Anjani.

"Aiiiiihhhh...."

Terdengar jeritan lirih gadis yang sedang bersemangat bertarung ini. Tubuhnya seperti dijalari oleh sesuatu yang aneh. Sesuatu itu menjalari darah dalam tubuhnya. Membuatnya perih dan kesakitan. Tentu saja ini mengganggu konsentrasinya. Tubuhnya sejenak menjadi limbung. Hal ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Maesa Amuk untuk gantian mendesak menggunakan tenaganya yang besar dan dahsyat.

Datuk Rajo Bumi melihat semua ini dengan tenang. Dia tahu muridnya diserang dengan cara tidak kelihatan oleh seorang ahli sihir. Dia adalah seorang dedengkot sihir hitam. Tentu saja dia segera tahu bahwa Bledug Awu-awu membantu diam-diam Maesa Amuk dengan cara menyerang Putri Anjani menggunakan ilmu sihir.

Datuk sakti ini menggerakkan tangannya tanpa terlihat kepada Bledug Awu-awu. Yang diserang kaget bukan main saat sebuah aliran tenaga halus dan tidak terlihat berusaha menghunjam jantungnya. Ini teluh tingkat tinggi. Sihir hitam. Dia memusatkan perhatian dan kekuatan sihirnya untuk melawan teluh itu. Sehingga terbebaslah Putri Anjani dari sihir dan kini menerjang Maesa Amuk dengan sangat hebat.

Maesa Amuk terdesak hebat. Sebuah pukulan Gora Waja menyerempet pundaknya. Kontan saja tokoh Sayap Sima ini terpelanting keras. Tubuhnya berguling-gulingan di tanah dan baru berhenti saat menabrak batu karang. Mulutnya memuntahkan darah segar dan lengannya sengkleh. Luar biasa memang pukulan peremuk tulang Gora Waja ini. Hanya terkena serempet saja, tokoh sekelas Maesa Amuk dikalahkan oleh seorang gadis muda.

Dengan tersenyum kejam penuh dendam, Putri Anjani menerjang ke arah Maesa Amuk dengan maksud memberikan pukulan mematikan yang bisa mencabut nyawa tokoh ini. Sebuah bayangan menghadang dan menangkis pukulannya.

"Dukkk dukkk...."

Lengan Putri Anjani tergetar hebat. Sedangkan Ki Tunggal Jiwo yang menangkis pukulan itu terhuyung-huyung. Putri Anjani menggerung marah. Diserangnya tokoh nomor satu Sayap Sima itu dengan kemarahan yang meluap-luap. Ini adalah pimpinan Sayap Sima yang telah menyebabkan kematian tragis di Perang Bubat. Pukulan-pukulan Gora Waja kembali dikeluarkan dengan sepenuh-penuhnya karena gadis ini tahu tokoh ini lebih lihai dibanding Maesa Amuk.

Ki Tunggal Jiwo tidak mau main-main. Gadis ini lihai bukan main. Bisa mengalahkan Maesa Amuk dan mungkin juga dia nantinya. Tapi ini kesempatannya untuk menyingkirkan salah satu panglima Galuh Pakuan sekaligus berusaha merebut gendewa pusaka di tangan gadis itu. Pimpinan Sayap Sima ini mengerahkan ajian Braja Musti untuk meladeni Putri Anjani. Hawa panas luar biasa menguar di sekitar tempat pertarungan. Pukulan Braja Musti yang sempurna dikuasai Ki Tunggal Jiwo dikeluarkan melawan pukulan Gora Waja yang luar biasa itu.

Putri Anjani yang sebenarnya sudah cukup kelelahan karena lama bertarung melawan Maesa Amuk terus saja mencoba mendesak Ki Tunggal Jiwo. Boleh jadi tenaganya sekarang lebih besar dari Ki Tunggal Jiwo berkat aliran hawa ajaib Gendewa Bernyawa, namun yang dihadapinya adalah Ki Tunggal Jiwo. Seorang tokoh sakti yang kepandaiannya barangkali hanya kalah satu dua tingkat dibanding gurunya. Oleh sebab itu gadis ini perlahan-lahan mulai terdesak.

Datuk Rajo Bumi mengerutkan keningnya. Muridnya akan kalah melawan tokoh Majapahit ini. Tidak disangsikan lagi. Dia sudah terlalu kelelahan melawan Maesa Amuk dan sekarang yang dihadapinya tokoh yang lebih lihai dari Maesa Amuk. Datuk sesat ini menggerakkan tubuhnya ke depan menyerang Ki Tunggal Jiwo. Yang diserang tentu saja kelabakan tidak karuan. Kali ini yang dihadapinya adalah dedengkot sesat berkemampuan luar biasa. Tingkat kepandaiannya masih kalah dibanding datuk sesat ini. Ki Tunggal Jiwo harus mengerahkan semua kemampuannya untuk bisa mengimbanginya.

Putri Anjani menghela nafas lega saat gurunya mengambil alih lawannya. Namun belum juga sepersekian jeda, sebuah bayangan hitam menerjang ke arahnya dengan ganas. Putri dari Laut Utara ini terperanjat bukan main. Serangan ini sangat hebat. Tentu saja, Raja Iblis Nusakambangan adalah salah satu dari Delapan Tokoh Penjuru Mata Angin yang terkenal. Seorang tokoh hitam yang berkepandaian tinggi dan jarang menemui tandingan. Raja Iblis ini memang memanfaatkan situasi ketika Datuk Rajo Bumi saling serang dengan Ki Tunggal Jiwo, maka dia melihat sebuah kesempatan bagus untuk merebut Gendewa Bernyawa dari tangan gadis yang sedang kelelahan itu.

Seandainya Putri Anjani tidak sedang kelelahan, gadis ini bisa mengimbangi si Raja Iblis, bahkan mengalahkannya. Pertarungan melawan Maesa Amuk tadi benar-benar menguras tenaganya. Tak pelak, sekarang gadis itu terdesak hebat oleh serangan si Raja Iblis yang bertubi-tubi. Gadis ini hanya bisa mengelak kesana kemari dan kadang-kadang balas menyerang menggunakan Gora Waja untuk menahan serangan dahsyat si Raja Iblis.

Pertempuran antara Ki Tunggal Jiwo melawan Datuk Rajo Bumi semakin sengit. Ajian Braja Musti yang telah sempurna dikuasai bertemu dengan Gora Waja, salah satu pukulan ajaib yang langka. Bayangan kedua tokoh sakti ini sama sekali tidak nampak lagi. Hanya suara bersiutan dari kelebatan tubuh dan angin pukulan yang menderu-deru menguasai gelanggang itu. Hawa sangat panas menguar memenuhi sekitar arena pertarungan. Orang orang yang terlalu dekat dengan gelanggang segera pergi menjauh. Tidak tahan dengan hawa panas yang bisa membakar kulit.

Sebenarnya Ki Tunggal Jiwo mulai terdesak. Hanya saja tokoh satu ini punya pengalaman yang sangat banyak. Ilmu Braja Mustipun telah dikuasainya dengan sangat sempurna sehingga akan sangat berbahaya bagi lawan setangguh apapun itu, termasuk juga tokoh sesat yang masih lebih tinggi tingkatnya ini.

Datuk Rajo Bumi meskipun bisa mendesak lawannya, namun tidak berkesempatan untuk membantu muridnya yang sekarang benar-benar kewalahan melawan Raja Iblis Nusakambangan. Dia tidak boleh lengah sedikitpun melawan sang pemimpin Sayap Sima. Akan butuh waktu beberapa lama untuk mengalahkan dedengkot Majapahit ini.

Kondisi Putri Anjani semakin mengkhawatirkan sekarang. Kelelahan yang amat sangat membuatnya tidak akan lama lagi mampu bertahan terhadap gempuran serangan Raja Iblis Nusakambangan yang bertubi-tubi. Hanya tinggal menunggu waktu sampai gadis ini terkena pukulan si Raja Iblis yang sangat ganas.

Suatu saat ketika Putri Anjani tidak bisa lagi mengendalikan kelelahannya, sehingga tubuhnya hampir tergelincir akibat tersandung batu, sebuah pukulan dahsyat Raja Iblis Nusakambangan mengarah ke kepalanya dengan deras. Gadis ini tak mungkin lagi bisa mengelak. Dia hanya bisa pasrah sambil memejamkan mata dan sebisanya mencoba menangkis dengan sisa-sisa tenaganya. Dia bisa mendengar desiran angin berhawa dingin menuju kepala dan kematiannya.

"Dukkkk....dukkkk....desssss...desssss..."

Raja Iblis Nusakambangan terpelanting keras ke belakang. Tenaga yang menangkis pukulannya tadi sangatlah luar biasa sampai-sampai dia harus berjuang kuat agar tidak jatuh terguling-guling.

Awalnya si Raja Iblis menduga Datuk Rajo Bumi lah yang telah menahan pukulannya, karena hanya tokoh-tokoh sekelas itulah yang mampu menahan pukulannya. Dia membalikkan tubuh, bersiap-siap untuk bertempur melawan datuk sakti itu. Namun si Raja Iblis kecele, yang berdiri di hadapannya dengan alis berkerut ternyata adalah pemuda dekil dan tengil yang dulu dijumpainya di Perang Bubat.

"Raja Iblis. Tanganmu sungguh jahat. Tidak bisakah kau hentikan rasa haus membunuhmu itu?"

Arya Dahana berkata dengan dingin. Sementara Putri Anjani yang tadi sudah merasa ajalnya sudah dekat, bernafas sangat lega sekarang. Pemuda ini berkali-kali telah menolongnya. Dia akan berterimakasih tak terhingga kepadanya nanti.

Raja Iblis Nusakambangan mendelikkan kedua matanya. Pemuda ini dulu sanggup melayani junjungannya Panglima Kelelawar. Tapi itu tidak tuntas. Dia masih tidak yakin. Oleh sebab itu dia tidak takut sama sekali. Tokoh sesat ini mendengus geram. Tanpa berkata apa-apa lagi, langsung menerjang Arya Dahana dengan serangan berbahaya.

Pecahlah pertarungan dahsyat berikutnya di Ngobaran. Arya Dahana melawan Raja Iblis Nusakambangan. Si Raja Iblis mengerahkan segala kemampuannya untuk menghukum mati pemuda yang telah menghalanginya merebut Gendewa Bernyawa tadi.

Dewi Mulia Ratri tidak bisa menahan hatinya untuk segera melompat maju menghampiri dan memeluk Arya Dahana saat masih bercakap dengan Raja Iblis Nusakambangan. Ooohh...dia sangat merindukan pemuda tengil itu. Rindu sekali. Hilang semua rasa yang masih teraduk-aduk dalam pikirannya. Namun sebelum sempat melakukannya, pemuda itu sudah saling serang dengan si Raja Iblis. Gadis ini terpaku menyaksikan pertarungan hebat itu. Bersiap-siap membantu jika saja pemuda itu terdesak dan nyawanya dalam bahaya.

Di sudut yang lain, Bimala Calya bahkan sudah sempat melangkah maju begitu melihat Arya Dahana muncul tiba-tiba di tempat itu. Namun langkahnya ditahan oleh Ki Biantara dan Ardi Brata. Sangat berbahaya jika gadis ini sembarangan memasuki gelanggang. Tokoh sesat seperti Raja Iblis Nusakambangan tidak segan-segan ringan tangan melukai orang jika merasa terganggu sedikit saja. Gadis cantik ini tidak bisa berkata apa-apa saking senangnya melihat pemuda pujaannya ada di depan matanya. Tapi menurut saja ketika gurunya menahannya agar tidak maju.

Putri Anjani yang sempat bernafas lega dan sekarang mencoba memulihkan tenaga, sangat terkejut sekali karena beberapa bayangan kembali menyerang dan mencoba merebut gendewa yang tersampir di pundaknya. Gadis ini menghindar dengan cara melompat menjauh kemudian memperhatikan para penyerang.

Tiga orang laki-laki bermata sipit berperawakan sedang menatap ke arahnya. Hmmm... ini pasti Tiga Pendekar Malaikat dari Cina yang dulu pernah dilihatnya pada saat perebutan mustika naga di puncak Merapi. Kenapa mereka yang sekarang begitu bernafsu merebut gendewa ini? Ini pasti ada perintah dari pimpinan Sayap Sima, karena dia sempat mendengar desas-desus bahwa tiga pendekar ini bergabung bersama Sayap Sima.

Belum sempat berpikir lebih jauh, kembali suara siutan angin pukulan mengarah ke punggung Putri Anjani. Gadis ini lagi-lagi harus berlompatan menghindar sambil bersiap-siap jika tiga pendekar Cina itu melanjutkan serangan. Gadis ini tidak menyangka sama sekali. Ternyata yang baru saja mencoba merebut gendewanya orang-orang lain lagi. Lima orang tinggi besar dengan hidung mancung dan berkulit kehitaman menatap dirinya dengan tajam.

Wah wah...ini Lima Kobra Benggala. Gadis ini juga mendengar desas-desus lain yang mengatakan bahwa lima pendekar dari negeri Kali ini telah bergabung dengan Lawa Agung. Gadis ini mengeluh dalam hati. Jika semua orang menyerang dan mencoba merebut gendewanya, dia tidak tahu harus berbuat apa untuk mempertahankannya. Mereka rata-rata adalah pendekar tangguh. Dia tidak akan mampu mempertahankan pusaka ini. Gurunya sedang bertanding mati-matian melawan Ki Tunggal Jiwo. Arya Dahana yang dia yakin akan membantunya jika dia dalam keadaan bahaya, sedang bertarung melawan Raja Iblis yang kejam itu. Belum lagi dilihatnya banyak tokoh-tokoh lihai dunia persilatan yang masih menahan diri untuk tidak menyerangnya dan mencoba merebut Gendewa Bernyawa.

Setelah percobaan pertamanya gagal, Lima Kobra Benggala kembali maju untuk menyerang Putri Anjani. Kali ini dengan sungguh-sungguh menyerang. Tidak hanya mencoba merebut pusaka itu. Begitu kelima orang ini bergerak, begitu juga Tiga Pendekar Malaikat menerjang mereka. Terjadilah pertarungan lima lawan tiga yang sangat dahsyat. Seperti saat mereka bertarung dahulu di Puncak Merapi.

Lima Hulubalang Lawa Agung yang sedari tadi menunggu perintah dari Raja Iblis, kini mengambil keputusan untuk mencoba peruntungan merebut pusaka itu dari Putri Anjani. Mendapatkan senjata gendewa itu akan menganugerahi mereka limpahan pujian dan hadiah dari Sang Panglima Kelelawar. Namun upaya mereka menyerang Putri Anjani dihentikan oleh sebuah serbuan dahsyat dari Ardi Brata dan Ki Biantara. Gelanggang pertempuran baru kembali terbuka. Guru dan murid dari padepokan Segoro Langit ini bertarung hebat melawan lima hulubalang kepercayaan Raja Lawa Agung.

Ini semua memang sudah direncanakan dengan licik oleh Madaharsa. Tokoh yang sangat cerdik dan licin ini sengaja menyuruh Tiga Pendekar Malaikat memancing orang-orang Lawa Agung kemudian menahan mereka. Setelahnya dia meminta Pendekar Pena Menawan untuk menahan lima hulubalang tangguh dari Lawa Agung saat kelimanya mencoba merebut pusaka ajaib di tangan Putri Anjani.

Ketika semua orang sibuk bertempur, dia akan melumpuhkan gadis yang masih terlihat sangat kelelahan itu dan merebut gendewanya. Dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan Maesa Amuk yang sedang terluka parah dan sekarang sedang dirawat oleh tabib kerajaan yang memang sengaja dibawa serta. Baginya pusaka itu adalah sasaran utama mereka kesini.

Mata Madaharsa melihat kesana kemari dan bertemu dengan dua pasang mata gadis cantik yang sama-sama membeliak marah kepadanya. Aiiihhh, dua gadis dari Galuh Pakuan dan Blambangan ini bisa jadi penghalang besar rencananya. Dia sama sekali tidak peduli dengan nenek sihir sakti dari Alas Roban yang masih berdiri menyaksikan pertempuran. Bledug Awu-awu bisa menyelesaikan masalah itu.

Pikiran licik Madaharsa berputar-putar. Satu pikiran kemudian terbersit cepat. Dia mendatangi gerombolan perkumpulan pengemis yang dengan santai menikmati pertunjukan pertempuran hebat di sana-sini. Setelah berbincang sejenak, para tokoh pengemis tongkat perak tiba-tiba saja berlari menerjang ke arah Dewi Mulia Ratri dan Arawinda. Jumlah para pengemis ini cukup banyak dan dipimpin oleh empat wakil ketua perkumpulan yang dijuluki Empat Pengemis Kaya Raya. Ketua perkumpulan pengemis ini sendiri sangat misterius dan tidak pernah memunculkan diri di keramaian apapun. Orang-orang dunia persilatan sering menyebutnya sebagai Raja Tua Pengemis.

Tidak seorangpun tahu bahwa Raja Tua Pengemis adalah seorang tokoh sakti puluhan tahun lalu yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan julukan mengerikan Hantu Berjubah. Ketua pengemis ini dulunya adalah seorang bangsawan Majapahit yang suka mengembara dan mempelajari ilmu-ilmu sakti. Tidak seorangpun tahu bahwa tokoh ini adalah saudara kandung dari Malaikat Darah Berbaju Merah, pemberontak utama kerajaan Majapahit yang tewas pada saat Perang Besar di perbatasan Blambangan.

Arawinda dan Dewi Mulia Ratri awalnya tercengang melihat gerombolan pengemis lihai itu berlarian menyerang mereka. Tapi pikiran itu tidak lama, karena dua gadis cantik itu harus sibuk menahan serangan yang sama sekali bukan main-main. Pecah lagi pertempuran seru di sisi ini. Arawinda dan Dewi Mulia Ratri dikeroyok oleh belasan pengemis yang dipimpin oleh Empat Pengemis Kaya Raya.

Jika dibandingkan soal kelihaian dan kemampuan, belasan pengemis ini tidak bisa menandingi kelihaian dua gadis murid Si Bungkuk Misteri. Tapi ada satu kelebihan yang membuat mereka sanggup menahan dan mengurung dua gadis itu beberapa saat. Kemampuan menyerang dan bertahan sebagai satu kesatuan layaknya sebuah pasukan tempur. Para pengemis ini memang dilatih langsung oleh Raja Tua Pengemis dalam hal menyerang dan bertahan sebagai satu kelompok yang diperoleh oleh sang ketua dalam pengembaraannya dulu selama bertahun-tahun hingga ke negeri Siam dan Kali.

Oleh sebab itu, Arawinda dan Dewi Mulia Ratri sempat kebingungan karena mereka seperti menyerang gelombang. Pecah di bagian sini, namun cepat sekali tertutupi oleh bagian yang lain. Kedua gadis ini terpancing untuk mengikuti irama bertarung musuh. Akibatnya pertarungan menjadi sangat seru dan menegangkan.

Madaharsa yang tersenyum-senyum melihat rencananya berhasil, buru-buru menggerakkan tubuhnya ke arah Putri Anjani yang sedang berusaha memulihkan tenaganya kembali. Tangan kanannya memukul arah pundak dengan mengerahkan Bayu Lesus sedangkan tangan kirinya berusaha meraih dan merampas gendewa di punggung Putri Anjani.

Tentu saja yang diserang kaget bukan kepalang. Gadis itu berusaha sebisanya menghindar. Tapi karena serangan itu sangat tiba-tiba dan yang melakukan serangan adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, upaya Putri Anjani masih kurang cepat.

Pundak kanan gadis itu terkena serempet pukulan Madaharsa yang dahsyat. Gadis itu jatuh berguling-guling saking hebatnya pukulan. Putri Anjani terluka cukup hebat. Baju di punggungnya robek besar karena renggutan tangan Madaharsa yang berusaha merampas gendewa tadi tidak berhasil. Putri Anjani berusaha keras untuk berdiri sambil meraba punggungnya dan bernafas lega saat menyadari bahwa gendewa itu masih ada di sana.

Madaharsa hendak mengulangi upayanya yang gagal. Kali ini tidak mau menunda-nunda waktu. Dihantamkannya Bayu Lesus sepenuh tenaga kepada Putri Anjani yang masih sempoyongan berdiri. Jika gadis itu terkapar mati, maka akan jauh lebih mudah baginya merampas gendewa. Madaharsa tidak peduli meski tindakannya ini sangatlah pengecut sekali.

Putri Anjani tahu bahwa pukulan yang dilakukan dengan sekuat tenaga itu akan meremukkan tubuhnya. Dia tak akan menyerah hingga saat-saat terakhir. Dipusatkannya semua hawa murni di seluruh tubuhnya untuk menahan pukulan itu sebisa mungkin. Dia tahu itu tindakan sia-sia. Namun mencoba bertahan tidak ada salahnya. Biarlah dia mati tapi tetap dalam keadaan berjuang dan melawan.

Terdengur gerungan keras penuh amarah dari Raja Iblis Nusakambangan yang terhuyung-huyung menyumpah-nyumpah sambil meludahkan darah dari mulutnya karena sebuah pukulan Arya Dahana mampir di dada kirinya meskipun tidak telak sama sekali.

Bersamaan itu pula Arya Dahana berkelebat berdiri di depan Putri Anjani yang kembali berada di ambang kematian kedua kalinya hari ini. Pemuda ini menyorongkan kedua tangannya menyongsong pukulan Bayu Lesus sambil mengerahkan pukulan Busur Bintang sepenuhnya.

"Dukkk..dukkkk...desssss...aiiiiihhhhh....."

Madaharsa yang kaget saat ada sepasang tangan lain menahan pukulannya, terdorong ke belakang dengan hebat. Bahkan saking dahsyatnya benturan pukulan, dorongan itu akhirnya membuat Madaharsa terjengkang hebat. Nafasnya megap-megap menahan dadanya yang sesak karena dia tadi kalah tenaga sekaligus juga kalah dalam adu ilmu pukulan. Dari sudut mulut tokoh ini mengalir darah tanda dirinya terluka dalam.

Putri Anjani tidak bisa menahan diri lagi. Sudah berkali-kali dia diselamatkan pemuda ini. Gadis ini menghambur memeluk tubuh Arya Dahana yang masih berdiri tegak sambil memperhatikan Madaharsa dan Raja Iblis Nusakambangan yang tidak menyerang lagi, Kedua tokoh itu saat ini berusaha memulihkan diri dengan bersamadi.

Arya Dahana menjadi kelabakan dipeluk sedemikian erat oleh Putri Anjani. Pemuda itu menjadi sangat kikuk dan salah tingkah. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Melepaskan pelukan yang sarat dengan rasa terimakasih itu sama saja dengan melukai hati Putri Anjani.

Desir angin pukulan yang cukup hebat membuat Putri Anjani melepaskan pelukannya dan dengan cepat melompat ke samping. Pukulan itu tertuju kepada dirinya. Bimala Calya berdiri di hadapannya, berkacak pinggang dengan mata berapi-api. Putri Anjani mendelik marah. Kenapa gadis aneh yang tidak dikenalnya ini tiba tiba menyerangnya?

"Heiii, gadis sableng! Apa maksudmu dengan semua ini. Kenapa kau membabi buta menyerang orang yang tak kau kenal? Apakah aku pernah membunuh kakekmu, ayahmu atau saudaramu, atau merebut kekasihmu?!"

Bimala Calya semakin murka mendengar kalimat pedas yang dilontarkan Putri Anjani. Gadis ini melotot dan bersiap menerjang lagi. Namun sebelum bergerak, lengannya dipegang dengan halus oleh Arya Dahana.

"Mala...sabarkan hatimu. Tidak ada gunanya marah-marah ke Putri Anjani seperti itu."

Arya Dahana tersenyum menyabarkan gadis yang sedang dibakar cemburu itu.

Bimala Calya menatap Arya Dahana dengan kerinduan yang tidak bisa disembunyikannya. Gadis itu tak kuasa menatap lama-lama. Kepalanya menunduk sambil berbisik lirih.

"Aku...aku...tidak ingin kamu dekat-dekat dengan perempuan iblis itu Arya. Aku memang tidak sebanding dengan mendiang kakak Dyah Puspita. Tapi ijinkan aku merawatmu dan mengikuti kemanapun kau pergi....hiks hiks.."

Suara bergetar Bimala Calya pecah menjadi isakan. Arya Dahana tersenyum maklum. Dipegangnya kedua tangan gadis itu dengan lembut. Dibimbingnya gadis itu menjauh dari tempat itu agar tidak terkena akibat dari banyak pertarungan yang masih berlangsung.

Gadis itu menurut dengan patuh. Dia kemudian duduk di sebuah batu karang kecil di sebelah Arya Dahana yang kembali menatap ke arah pertarungan.

Terdengar teriakan dan jeritan keras susul-menyusul. Para pengemis tongkat perak berpelantingan seperti belalang yang dihempas badai. Dewi Mulia Ratri terlihat berdiri setengah membungkuk sambil masih menekankan tangannya ke tanah. Rupanya gadis dari Sanggabuana ini sama sekali tidak sabar lagi karena mereka berdua tidak sanggup mematahkan perlawanan para pengemis itu dengan cepat. Dia memutuskan mencoba pukulan Gempa Pralaya tahap pamungkas. Menghantamkan pukulan itu ke tanah sehingga menimbulkan gempa bumi yang hebat khusus kepada orang-orang yang ditujunya.

Akibatnya sungguh dahsyat. Para pengeroyoknya berpentalan tidak karuan dengan beragam luka dalam yang diderita. Masih syukur Dewi Mulia Ratri belum menguasai ilmu ini dengan sempurna. Jika sudah, tak ayal mereka akan tewas dengan tubuh remuk karena gempa akibat ilmu itu sesungguhnya meminjam kekuatan bumi untuk menghantam sasaran di atasnya.

Dewi Mulia Ratri memang tidak sabar untuk mengakhiri ini karena saat bertarung tadi, dia sempat memperhatikan sekeliling. Melihat Arya Dahana menyelamatkan Putri Anjani dua kali. Mengalahkan Raja Iblis Nusakambangan dan Madaharsa. Juga menyaksikan betapa mesranya pelukan Putri Anjani terhadap pemuda itu. Lalu melihat juga saat Arya Dahana menggandeng tangan Bimala Calya dengan mesra dan membawanya ke tepi gelanggang pertarungan.

Hatinya memanas secepat air yang dididihkan. Oleh sebab itu, pukulan Gempa Pralaya tadi semakin berlipat kekuatannya. Arawinda yang sebelumnya bertarung bahu-membahu di sebelahnya segera melompat keluar gelanggang melihat Dewi Mulia Ratri akan melepaskan pukulan pamungkas tadi.

Setelah belasan pengemis itu dikalahkan, Dewi Mulia Ratri dan diikuti oleh Arawinda menghampiri Putri Anjani yang sedang berdiri dengan limbung.

"Putri cumi-cumi, kenapa kau selalu terlibat pada hal-hal yang sama sekali bukan urusan Garda Kujang dan Galuh Pakuan? Dimana letak kesetiaanmu pada kerajaan yang telah memberimu segalanya? Kau malah sibuk mencari pusaka sementara musuh-musuh besar Majapahit seenaknya kau lupakan...huh!"

Putri Anjani tersenyum mengejek kepada musuh abadinya dalam soal cinta ini.

"Hah!...Dukun sihir! Seenaknya saja kau berbicara...apakah kau tahu bahwa gendewa ini akan sangat berguna nantinya jika Galuh Pakuan berniat membalas perlakuan Majapahit. Huh!...dasar bodoh!"

Dewi Mulia Ratri semakin panas hatinya mendengar jawaban seenaknya ini. Sebelum dia bergerak menyerang Putri Anjani, terdengar suara keras bergedebukan dari arena pertarungan hebat antara Tiga Pendekar Malaikat melawan Lima Kobra Benggala. Rupanya mereka berdelapan sudah lelah saling serang dan hindar sehingga memutuskan untuk mengadu ilmu pukulan untuk mengetahui dengan cepat siapa yang lebih unggul.

Suara bergedebukan tadi adalah jatuhnya badan tinggi besar Lima Kobra Benggala dan Tiga Pendekar Malaikat secara bersamaan setelah terjadi adu pukulan tenaga dalam. Delapan orang dari negeri jauh ini sama-sama terluka dalam yang cukup hebat sehingga secara serentak kemudian duduk bersila mengobati luka dalam dan memulihkan diri.

Dewi Mulia Ratri akan melanjutkan niatnya untuk menghajar Putri Anjani. Namun lagi-lagi niatnya ini dihalangi dengan suara mengaduh kesakitan dan teriakan menyayat hati akibat lepasnya nyawa dari tubuh. Suara ini bersumber pada pertempuran antara Ki Biantara dan Ardi Brata melawan Lima Hulubalang Lawa Agung.

Pertempuran tersebut mencapai puncaknya saat Ki Biantara dan Ardi Brata sama-sama mengerahkan puncak dari ilmu Pena Menggores Awan saat kelima hulubalang tangguh itu menyerang dengan dahsyat. Akibatnya sungguh hebat! Kelima hulubalang itu harus mengakui ketangguhan tokoh Sayap Sima Majapahit ini dengan telak.

Alat lukis yang dipergunakan sebagai senjata oleh Ki Biantara berhasil menghajar dada dua orang sekaligus dari lima hulubalang itu. Teriakan menyayat hati tadi keluar dari mulut Hulubalang Lipan dan Hulubalang Kobra. Keduanya berkelojotan meregang nyawa seketika terkena pukulan hebat Ki Biantara.

Beruntung tiga hulubalang yang lain berhasil menghindar tepat waktu. Karena jika tidak, mereka juga akan mengalami nasib yang sama. Ketiga orang itu lalu berlompatan menjauh dari gelanggang pertarungan sambil menyempatkan diri membawa dua mayat temannya.

Pertempuran kini tinggal antara Ki Tunggal Jiwo melawan Datuk Rajo Bumi. Sudah memasuki puluhan jurus dan mendekati seratus jurus. Ki Tunggal Jiwo terdesak sangat hebat. Bagaimanapun Datuk Rajo Bumi mempunyai kelebihan ragam ilmu dan tenaga dalam yang lebih kuat. Hanya soal waktu saja sampai Ki Tunggal Jiwo akan terkalahkan.

Benar saja. Pada satu ketika, sebuah pukulan datuk sakti itu tepat mengenai belikat Ki Tunggal Jiwo. Tokoh nomor satu Sayap Sima itu terpental ke belakang dengan hebat. Tubuh jatuh terduduk dengan posisi terluka dalam. Buru-buru tokoh ini bersila untuk mengobati luka dalam hebat itu.

Datuk Rajo Bumi tersenyum puas. Dia tidak melanjutkan dengan serangan mematikan karena tahu itu sama saja dengan memancing seluruh tokoh-tokoh Majapahit memburu dirinya kelak. Dia sudah cukup puas dengan mengalahkan dedengkot Sayap Sima yang terkenal itu.

Kakek sakti ini menghampiri muridnya yang masih kepayahan karena lukanya. Namun langkahnya dihadang oleh empat orang yang berdiri di depannya. Ki Biantara, Ardi Brata, Dewi Mulia Ratri, dan Arawinda memandangnya dengan muka sedingin es. Ki Biantara berucap.

"Dewi, kau ambil busur pusaka itu dari tangan putri Laksamana Utara. Kami bertiga akan menahan datuk sesat ini selama mungkin."

Dewi Mulia Ratri tanpa ragu-ragu membalikkan tubuh dan melangkah menuju Putri Anjani yang masih mengrenyit-ngrenyit kesakitan. Diulurkannya tangan meraih gendewa yang terkait di punggung Putri Anjani. Melihat ini, Datuk Rajo Bumi melesatkan tubuhnya ke depan untuk menghalangi. Ki Biantara tidak tinggal diam, dihadangnya kakek sakti itu dengan serangan-serangan Pena Menggores Awan pada jurus jurus pamungkas. Ardi Brata mengikuti jejak gurunya dengan menyerang Datuk Rajo Bumi menggunakan jurus yang juga sama. Sedangkan Arawinda yang mengerti betul bahwa menghadapi datuk sesat ini tidak boleh main main, langsung saja mengerahkan Aguru Bayanaka.

Datuk Rajo Bumi terperangah kaget. Terutama saat merasakan angin pukulan Arawinda. Ini pukulan langka unsur kayu! Darimana gadis ini mempelajari jurus-jurus sakti ini? Pasti dari si kakek bungkuk. Tidak ada lain.

Kakek sakti ini mau tidak mau meladeni mereka. Terlalu berbahaya untuk memaksakan diri membantu muridnya. Orang-orang ini terlalu tangguh untuk dianggap remeh. Terutama Ki Biantara dan Arawinda. Datuk sakti ini tak pelak langsung saja memainkan jurus-jurus sakti yang dipunyainya termasuk Gora Waja.

Putri Anjani mundur-mundur saat Dewi Mulia Ratri semakin mendekatinya. Gadis ini sadar tidak mungkin bisa melawan dengan kondisi tubuh seperti ini. Gadis Sanggabuana ini terlalu tangguh baginya saat ini. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia sama sekali tidak rela jika gendewa pusaka ini lepas dari tangannya. Biarlah dia akan mati bersama gendewa ini.

Dewi Mulia Ratri semakin dekat dengan Putri Anjani yang berdiri di tepi tebing sekarang. Tangannya diulurkan ke punggung Putri Anjani untuk meraih gendewa itu. Dia tidak ingin menggunakan kekerasan yang tidak perlu. Bagaimanapun, Putri Anjani adalah salah satu orang penting di Galuh Pakuan yang masih dibutuhkan tenaganya. Namun, membiarkan gadis yang penuh dendam dan pikiran tak menentu ini menguasai sebuah benda pusaka yang ampuh tak terkira, sangatlah mengkhawatirkan. Dia akan membantu tugas yang dibebankan Si Bungkuk Misteri kepada Arawinda, menjaga keseimbangan.

Putri Anjani sebisa mungkin mengerahkan tenaga menolak tangan Dewi Mulia Ratri. Tapi itu tidak cukup kuat. Tangan Dewi Mulia Ratri yang semula mencoba mengambil gendewa kini berbelok menotok tubuhnya. Putri Anjani seketika berdiri kaku setelah ditotok Dewi Mulia Ratri. Tubuhnya tidak bisa bergerak lagi. Mata gadis dari laut utara itu berkerjap-kerjap penuh amarah. Bahkan setitik air mata melompat keluar dari matanya yang bening memerah. Tanda kekesalan yang memuncak karena ketidakberdayaan.

Sebelum Dewi Mulia Ratri berhasil meraih gendewa dan menariknya lepas. Sebuah tangan dengan halus menangkisnya pelan. Dewi Mulia Ratri terlonjak kaget. Dia tidak menyangka masih ada orang yang membela gadis cumi-cumi ini.

Dan mata gadis itu terbelalak lebar setelah melihat yang mencegahnya mengambil gendewa itu ternyata Arya Dahana! Gadis dari tanah Sunda ini berkacak pinggang, mengedikkan kepalanya dan menatap tajam pemuda yang sangat mengaduk-aduk perasaannya ini. Kemarahan memancar dari matanya yang indah bak kejora itu. Nafasnya terengah-engah hebat.

"Dahana! Apa maksudmu ini?! Kenapa lagi-lagi kamu mencegahku berbuat yang benar untuk negaraku?! Dulu gadis kelelawar itu kau tolong. Sekarang putri cumi-cumi ini yang kau bela?! Uuuhhh. Dasar mata keranjang!!"

Saking tidak kuatnya menahan perasaannya yang tidak karuan oleh rasa marah, kecewa, sedih, dan patah, Dewi Mulia Ratri tanpa ba bi bu lagi menerjang Arya Dahana dengan hebat.

Pemuda dari Blambangan ini menghindar kesana kemari dengan tergopoh-gopoh. Serangan gadis pujaan hatinya ini luar biasa dahsyat. Tidak tanggung-tanggung, semua kemampuan Gempa Pralaya dikeluarkan gadis ini. Angin menderu-deru dan tanah berguncang-guncang. Membuat keseimbangan Arya Dahana menjadi goyah. Pemuda ini seperti limbung kesana kemari. Mencoba mengimbangi kecepatan Dewi Mulia Ratri sekaligus menghindari pukulan-pukulan dahsyatnya. Arya Dahana sama sekali tidak berusaha melawan. Sebisanya dia menghindar atau menangkis jika tidak memungkinkan untuk menghindar.

Putri Anjani menghela nafas lega. Pemuda konyol ini lagi-lagi menolongnya dalam keadaan dia kepepet. Dia juga telah membebaskan totokan Dewi Mulia Ratri. Putri dari laut utara ini menggeser tubuhnya menjauh dari tebing sambil bergidik ngeri saat melihat ke bawah. Karang terjal dan ombak besar siap menelan siapa saja yang jatuh kesana.

Pertarungan antara Datuk Rajo Bumi melawan Ki Biantara, Ardi Brata, dan Arawinda semakin seru dan dahsyat. Lebih seru dibanding pertarungan datuk sesat ini melawan Ki Tunggal Jiwo. Kemampuan mereka bertiga memang masih di bawah tingkat Ki Tunggal Jiwo, namun karena bersama-sama maka kekuatan mereka menjadi berlipat-lipat dan saling mengisi. Membuat repot Datuk Rajo Bumi yang harus bisa mengantisipasi banyak gerakan dan pukulan yang berbeda-beda.

Sementara itu, Dewi Mulia Ratri terus mendesak hebat Arya Dahana. Kemarahan yang timbul lebih banyak akibat rasa cemburu dan sakit hati ini mengakibatkan serangan-serangan Dewi Mulia Ratri menjadi lebih dahsyat dan mematikan. Pukulan Gempa Pralaya yang ajaib itu dikerahkan sepenuhnya. Bahkan gadis ini menyisipkan ilmu sihir di dalam setiap serangannya. Sihir hebat dari Kitab Ranu Kumbolo. Kontan saja Arya Dahana kewalahan bukan main. Jika saja dia mau balik menyerang, mungkin saja pertarungan akan lebih seimbang. Tapi pemuda ini sama sekali tidak berniat lebih menyakiti hati gadis yang dicintainya ini dengan balik menyerang.

Putri Anjani yang melihat situasi pertarungan berteriak kepada Arya Dahana,

"Arya...jangan cuma bertahan sayang! Seranglah! Gadis dukun itu bisa membunuhmu jika kamu terus begitu!"

Teriakan itu kontan saja membuat api yang menyala di hati Dewi Mulia Ratri semakin berkobar-kobar sebesar api neraka. Sebutan kata sayang dan perhatian dari Putri Anjani kepada Arya Dahana luar biasa akibatnya bagi serangan yang dilancarkan Dewi Mulia Ratri.

Gadis cantik dari tanah Sunda ini menghantamkan kemarahan melalui telapak tangannya ke bumi menggunakan ajian Gempa Pralaya. Tanah berguncang sangat hebat. Sasaran pukulan itu adalah Arya Dahana. Sosok pemuda itu bergoyang-goyang keras namun tidak terjatuh, karena inti dari pukulan itu adalah membuat lawan atau pasukan terdiam seperti patung tanpa sanggup bergerak sedikitpun. Tubuh Dewi Mulia Ratri berkelebat ke depan dan menyarangkan pukulan Lembu Sakethi ke dada Arya Dahana.

Pemuda ini tersentak kaget seperti disengat ribuan lebah beracun. Dia tadi tidak menyangka betapa dahsyatnya pukulan Gempa Pralaya sehingga tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk mengatasinya. Saat dirinya mematung tidak berdaya, pukulan Lembu Sakethi yang hebat itu menghantam dadanya. Tubuh pemuda ini terpental bergulingan ke belakang mendekati bibir tebing disertai dengan darah segar yang termuntahkan dari mulutnya.

Saat hendak bangkit, Arya Dahana merasakan rasa sakit yang luar biasa di dadanya dan ada sesuatu yang bergejolak dari dalam perutnya.

"Hoeeeekkkk... aaaahhhh...hoeeekkkk....hoeeekkkk...."

Darah segar berkali-kali dimuntahkan dari mulut pemuda itu.

Terdengar jeritan melengking dari tiga arah. Diikuti oleh tiga tubuh yang berlarian menuju pemuda yang terjengkang kembali, lalu terguling ke belakang....dan jatuh ke jurang laut di bawahnya!

Jeritan melengking semakin tinggi. Bimala Calya sampai di pinggir tebing sambil sesenggukan melihat ke bawah. Putri Anjani dengan tertatih-tatih datang menjenguk laut yang berada jauh di bawahnya....lalu terjun ke bawah!

Lain lagi apa yang sedang dilakukan Dewi Mulia Ratri. Gadis ini tertegun parah seperti orang yang kehilangan ingatan. Matanya tidak lepas-lepas melihat kedua tangannya yang diangkat ke atas. Tatapannya sangat kosong. Sama sekali tidak ada sinarnya. Tersadar sejenak lalu memalingkan muka ke arah pinggir tebing dimana Bimala Calya menangis sejadi-jadinya, gadis ini menjeritkan penyesalan dan keputusasaan yang luar biasa...lalu terguling pingsan!

Pertempuran antara Datuk Rajo Bumi melawan Ki Biantara, Ardi Brata dan Arawinda seketika itu juga terhenti. Datuk sakti itu berkelebat menghilang menuju laut di bawah dengan menuruni bukit. Dia sangat cemas dengan kondisi muridnya yang masih terluka tapi malah terjun ke laut.

Ki Biantara dan Ardi Brata buru-buru mendekati Bimala Calya yang masih menangis menjerit-jerit. Keduanya berusaha membujuk gadis itu. Bujukan yang sama sekali tidak berhasil. Bahkan Bimala Calya jatuh pingsan saking tidak kuat menahan kepedihannya.

Ki Biantara memberi isyarat kepada Ardi Brata untuk menggendong Bimala Calya. Pendekar ini sendiri menggendong muridnya Dewi Mulia Ratri yang juga pingsan, lalu berlalu cepat dari tempat itu tanpa memperhatikan lagi sekeliling. Ardi Brata mengikuti jejak gurunya.

Perebutan Gendewa Bernyawa berakhir hari itu dengan banyak menelan korban tewas dan luka. Termasuk juga luka hati yang menggores begitu dalam dari beberapa orang yang terlibat cinta tak berujung.

***