webnovel

Katerina

Katerina adalah mantan anak nakal yang ingin menjadi guru di sekolah. Simak tahun pertamanya menjadi guru Bahasa Inggris di sebuah SMP Swasta di Bandung, lalu tahun keduanya saat menjadi guru wali satu kelas badung. PS: Ini cerita lama yang saya tulis tahun 2003, waktu itu belum banyak orang yang menggunakan ponsel dan internet juga tidak semaju sekarang. Mohon dimaafkan bila masih sangat banyak kekurangannya. :) PPS: Untuk yang membaca "Katerina" dan belum membaca dua novel saya yang lain, silakan dibaca ya. Lebih seru lho, karena masih segar dan baru ditulis. ** The Alchemists (ada versi asli Indonesia dan versi terjemahan Inggrisnya) ** Ludwina & Andrea ------------------ Follow FB Page "Missrealitybites" untuk ngobrol dengan saya tentang novel-novel saya: 1. The Alchemists 2. Ludwina & Andrea 3. Katerina 4. Glass Heart : Kojiro - Nana 5. 1912-1932 6. Altair & Vega 7. Kisah dari Kerajaan Air 8. Emma Stardust (Finding Stardust)

Missrealitybites · Urban
Not enough ratings
48 Chs

Tawuran

Malam itu telepon berdering bagi Katerina dari Denny yang menyatakan bahwa ia positif bisa mendapat cuti bulan depan dan menanyakan kapan kira-kira pertunjukan itu akan berlangsung agar ia bisa menghadirinya.

Katerina berusaha bersikap tenang dan bercerita dengan gembira tentang murid-muridnya dan kegiatan mereka di sekolah, tetapi bayangan peristiwa siang tadi tak bisa lepas dari benaknya.

"Den..." katanya kemudian, agak ragu.

"Ada apa, Rin?" tanya Denny mulai terdengar cemas, "Kamu baik-baik saja, kan?"

"Rio dan aku...kita udah nggak..." Katerina terisak pelan. "...maksudku...kami sepakat nggak usah ketemu selama empat bulan...dan aku sungguh nggak mengira...itu akan jadi pemicu perpisahan kami..."

"Maksud lu apa, Rin?" Denny menjadi tegang. "Lu ama Rio udah putus?"

"Rio udah jalan bareng cewek lain..."

"Nggak mungkin Rio begitu...!" cetus Denny pelan. "Kamu telepon dia, dong... tanya dulu baik-baik. Remember, communication is very important in a relationship, jangan buat kesalahan seperti Raja kemaren..."

"Aku udah janji nggak akan nelepon dia lagi... Itu akan jadi tanda bahwa aku udah kalah..." Katerina berkata dengan tenang setelah meredakan emosinya. "Kamu kan tahu aku nggak suka kekalahan."

"Ini bukan soal kalah atau menang, Rin..."

"Memang bukan, tapi...."

"Kalo kamu terlalu angkuh untuk meneleponnya, biar aku yang telepon..." Denny memutuskan.

"Tapi kamu harus janji nggak bilang apa-apa tentang aku...!"

"Oke."

Katerina merasa sedikit terhibur. Bukan karena Denny akan menelepon Rio, tapi karena akhirnya bisa mencurahkan isi hatinya pada seseorang, apalagi Denny adalah teman baik mereka berdua.

Keesokan harinya perasaan Katerina sudah membaik. Ia berkonsentrasi mengajar dan berhasil melupakan perasaan sedihnya, apalagi setelah sekolah usai dan mereka kembali berlatih drama.

"Minggu depan kita latihan sambil mengepas kostum, rasanya kostum sudah akan selesai waktu itu."

Anak-anak bersorak gembira.

"Senang banget, deh... akhirnya kerja keras kita akan berhasil...!" seru seseorang, yang lain bersorak membenarkan.

Mereka kembali berlatih di aula sekolah setelah makan siang di kantin. Sekolah sepi sama sekali karena semua orang sudah pulang. Paling, selain mereka hanya ada beberapa anak laki-laki yang bermain Basket di lapangan.

Latihan hari ini sudah mendekati kesempurnaan. Katerina sangat puas melihat kerja keras murid-muridnya. Mereka sudah sampai di adegan terakhir ketika tiba-tiba terdengar suara keributan dari luar.

PRANG! PRANG!

Suara kaca-kaca jendela yang dihantam hingga pecah sungguh menakutkan. Anak-anak seketika ribut mencaritahu keluar aula, termasuk Katerina.

Ia terkejut sekali menemukan sekelompok anak SMP beringas sedang menghantam pintu-pintu dan jendela-jendela kelas dengan batu dan kayu, beberapa di antaranya malah membawa senjata tajam.

"HEI!! Apa yang kalian lakukan di sini?!" pekiknya kaget. "Hentikan! Jangan dirusak! BERHENTI!!"

Beberapa anak laki-laki dari kelas 2C dan yang sedang main Basket segera menghadapi para perusuh itu, dan perkelahian tak seimbang pun terjadi.

"Itu anak-anak SMP Taruna... mungkin mereka mau membalas dendam atas kekalahan kemarin..." bisik Karin cemas.

"Ini tidak bisa dibiarkan..." desis Katerina. Ia mendorong anak-anak itu masuk kembali ke dalam aula.

"Cepat masuk dan kunci pintunya! Denny, jaga teman-temanmu...! Hei, Johan! Andy! Ke sini... Jagain anak-anak perempuan ini, jangan maju ke sana! Biar saya yang melerainya...!"

Dengan setengah hati ketiganya menggiring anak-anak perempuan ke dalam aula dan mengunci pintunya sementara yang lain sudah terlanjur menghilang ke dalam perkelahian. Katerina berlari menuju anak-anak yang sedang berkelahi itu, berusaha sekuat tenaga menghentikan mereka dengan suaranya. Tetapi usahanya itu tidak dihargai siapa pun, sebuah kayu, entah siapa yang memukul, menghantam kepalanya dengan keras sekali. Katerina jatuh terduduk memegangi kepalanya yang sakit.

"Miss! Jangan di sana...! Ayolah!"

Entah dari mana Laura muncul dan menarik Katerina pergi dari situ. Mereka berlari ke belakang sekolah tetapi dihadang beberapa anak SMP Taruna yang membawa kayu dan pisau.

"Aaakh..!! Tolong...!!!" jerit Laura keras-keras.

Ia menutup wajahnya dengan ketakutan. Tiba-tiba terdengar teriakan keras dan saat ia membuka mata dilihatnya Michael sedang berkelahi melawan mereka dengan sepotong kayu yang besar.

"CEPAT! Pergi dari sini!!" teriaknya keras.

Laura terpaku. Kakinya tak bisa bergerak.

Untunglah tiba-tiba datang bantuan dari Hendry dan Indra, sehingga Michael bebas. Ia segera menarik Laura dan Katerina berlari menjauh.

"Bodoh! Seharusnya tadi kalian bersembunyi...!" Ia mengomel, tetapi nada suaranya terdengar lega sekali. Michael membawa mereka ke halaman belakang dan menyuruh mereka naik ke pohon besar itu agar terlindung.

"Ta...tapi..aku nggak bisa manjat..." tangis Laura. "Aku takut ketinggian..."

"Ayo naik, kalau tidak kamu bisa celaka..."

"Tapi di atas pohon aku nanti akan...."

"Pohonnya sangat rimbun, dari bawah orang nggak akan bisa ngeliat kamu... Ayo, Miss juga harus naik..."

Katerina memegangi kepalanya yang berdarah dan mengangguk. Karena tidak sabar akhirnya Michael memanjat duluan

"Nah, lihat.... gampang sekali. Sekarang ayo, naiklah... Miss Katerina akan mendorong kamu dari bawah... kutarik dari atas!"

Laura mengangguk gugup. Ia berusaha memanjat sekuat tenaga tetapi gagal dan ia jatuh berkali-kali. Michael semakin cemas mendengar suara perkelahian yang mendekat. Ia menyesal tadi tidak memasukkan Laura dan Katerina ke aula saja. Tapi sudah terlambat untuk menyesal.

Ia pun melompat turun.

"Lau, aku akan berjongkok di tanah, kamu naiklah ke punggungku, injak saja. Nanti aku berdiri dan kamu akan cukup tinggi untuk meraih dahan terdekat. Kamu harus segera manjat!" perintahnya.

Laura mengangguk, wajahnya semakin pucat.

Michael berjongkok di tanah. Laura pun naik ke atas punggungnya dan segera diangkat Michael ke atas dahan terdekat.

"Kamu tinggallah di sana sampai keadaan aman!" kata Michael tegas. Ia beralih pada Katerina, "Miss juga naiklah... cepat! Sebelum mereka datang."

Katerina menggeleng-gelengkan kepalanya yang sakit. "Tidak, Mike...aku mesti melerai kalian..."

Saat itu muncullah empat anak SMP Taruna menghadang mereka. Katerina dan Michael yang terkejut sontak berlari menghindar.

"Miss harusnya tidak usah sok pahlawan!" omel Michael saat berlari di samping Katerina yang hampir kehabisan nafas.

"Maaf, ya...kalau saya mencoba jadi guru yang baik...!" balas Katerina. Mereka akhirnya terjepit antara toilet dan 4 anak Taruna yang bertampang sangar itu. "...Tapi kadang-kadang jadi guru yang baik itu sulit sekali....!"

Mereka mengeluh pada saat yang bersamaan.

Ketika mereka sudah merasa putus asa, terdengarlah teriakan-teriakan baru dari arah gerbang sekolah. Keempat pengacau itu tiba-tiba menjadi pucat dan berlari kabur.

Michael mendesah lega.

"Bantuan sudah datang."

Rupanya seorang anak sempat berlari keluar sekolah dan memanggil bantuan anak-anak SMP Matahari yang sering mangkal di game center dekat sekolah.

Bantuan berupa puluhan anak-anak laki-laki yang biasa berkelahi itu tiba tepat pada waktunya. Perkelahian segera terhenti dengan kemenangan di pihak mereka.

Suasana kembali menjadi ricuh setelah semua berkumpul dan menghitung kerugian. Beberapa anak terluka cukup parah dan harus segera dilarikan ke rumah sakit, sebagian terluka ringan dan sudah diberi pertolongan seadanya.

Katerina panik sekali menjadi satu-satunya guru yang ada saat itu.

"Aduh... kalian terluka... aduuh..." Ia menjerit melihat Dian memegangi kepalanya dengan tampang kesakitan. "Kamu juga terluka, Dian?"

Dian tersenyum malu. "Tadi kepentok pintu, Bu... waktu masuk ke aula... Sakitnya masih terasa sampe sekarang..."

Katerina mendesah lega.

"Ada 3 anak SMP Taruna yang ketangkap... Mereka harus dibalas!" kata seorang anak laki-laki berbadan besar. Yang lain ribut menanggapinya.

Katerina segera maju menghalangi.

"Tidak boleh! Kalian tidak boleh membalas dendam!" katanya tegas.

"Tapi mereka keterlaluan sekali, Bu... Sekolah kita dirusak dan teman-teman banyak yang terluka...!"

"Memang benar, tapi apakah memukuli mereka akan mengembalikan keadaan sekolah dan menyembuhkan teman-teman kalian? Serahkan saja masalahnya pada pihak yang berwenang, jangan main hakim sendiri... bisa-bisa nanti justru kalian yang ditangkap polisi."

Katerina memegangi kepalanya yang mengucurkan darah dengan kesakitan. Mobil ambulans sudah terdengar datang diiringi sirene polisi. "Sudahlah...jangan membalas dendam."

Mereka terdiam, apalagi karena kehadiran polisi dan orang-orang yang ingin tahu memenuhi sekolah. Anak-anak yang terluka dibawa dengan ambulans, dan polisi terpaksa ikut ke rumah sakit karena Katerina harus diobati dulu baru bisa memberi keterangan. Sebelum pergi ia masih menasehati anak-anak itu agar tidak membalas dendam dan menyuruh yang lainnya agar segera pulang.

Di rumah sakit, dahi Katerina dikenai 3 jahitan dan diperban. Di sekitarnya beberapa murid juga sedang diobati, sedangkan 2 petugas polisi yang bertugas meminta keterangan mencatat dengan cermat semua penjelasan mereka.

"Tolong diselidiki dengan cermat, Pak... biar tidak terjadi hal seperti ini lagi..." kata Katerina lemah.

"Kami tidak menuntut... hanya saja anak-anak SMP Taruna itu harus mengetahui bahwa tindakan mereka itu tidak baik... Tolong diperingatkan..."

"Baik, jadi urutan kejadiannya sudah kami ketahui, kami akan segera menyiapkan laporannya."

"Terima-kasih, Pak."

Katerina menghampiri murid-muridnya yang telah selesai diobati dan memastikan keadaan mereka baik-baik saja.

"Dua orang kondisinya lumayan parah, Bu... Mereka kena tusuk." kata Hendry cemas. Katerina mengangguk sedih.

"Bagaimana keadaan kedua orang itu, Pak Dokter? Apa kami sudah boleh menjenguknya?"

Dokter mengangguk dan mengajak mereka menuju kamar tempat dua anak itu dirawat. Untunglah lukanya berhasil ditangani segera sehingga kondisi mereka tidak membahayakan. Katerina dan anak-anak lainnya duduk menjagai mereka sampai keluarga mereka tiba.

"Maaf, kami reporter! Bisa wawancara sebentar?"

Beberapa orang wartawan dan kamerawan televisi berkumpul didepan pintu memberi isyarat hendak wawancara, tetapi Katerina menggeleng. Mereka pun berlalu dengan kecewa.

Pukul 9 malam Katerina dijemput Anthony Rahman yang melihatnya di berita malam dan segera mengantarnya pulang. Untung saja sebab anak-anak lain sudah dijemput keluarga masing-masing.

"Makasih, ya, Ton... sudah menjemputku..." kata Katerina dalam perjalanan ke rumahnya.

"Untung gua tadi nonton TV. Kalian tuh masuk berita di mana-mana... Heboh banget gara-gara banyak yang luka. Gua kaget, tahu, waktu ngeliat tampang elu yang berdarah-darah di TV tadi... Langsung aja gua jemput."

"Thanks."

"Don't mention it."

Katerina merasa bukan kepalanya yang sakit melainkan dadanya. Rio pun pasti menonton berita... dan sudah mengetahui kondisi Katerina, tapi mengapa bukan Rio yang menjemputnya?

Kemana Rio?

Benarkah ia sudah tidak perduli lagi...?

Katerina tidak tahu...

Mama juga khawatir sekali, beliau baru lega setelah memastikan bahwa Katerina tidak terluka parah. Ia langsung disuruh tidur agar cepat sembuh, yang dengan senang hati dituruti oleh Katerina. Ia sedang banyak pikiran dan ingin menyendiri.

KRING...

Entah kenapa kaki Katerina bergerak cepat menghampiri telepon dan sigap mengangkatnya.

Mungkin Rio ingin mengetahui keadaannya...

"Hallo..." Katerina gagal mengatasi gejolak suaranya.

"Hallo, selamat malam, Bu... Saya mamanya Laura... Sudah malam sekali dan Laura belum juga pulang... Apa mungkin dia nginap di rumah temannya? Maaf merepotkan...Saya tidak tahu satu pun nomor telepon teman sekelasnya... Di buku catatan Laura hanya ada nomor telepon Ibu saja..." Suara di seberang tiba-tiba berganti dengan tangisan. "Maaf... Saya kuatir kalau papanya berhasil menemukan kami... Saya takut Laura diambilnya..."

Suara yang cemas itu tiba-tiba mengembalikan Katerina ke dunia nyata. "Eh, biar saya telepon semua temannya... Nanti Ibu akan saya hubungi kembali..."

"Terima-kasih, Bu Katerina... Saya takut sekali..."

Katerina menelepon semua murid kelas 2C yang ada di daftarnya. Gawat! Semua tidak mengetahui di mana Laura berada, tidak ada yang pulang bersamanya.

Ah, ya... Mungkin Michael yang mengantarnya... Mungkin Michael tahu di mana Laura sekarang.

"Hallo..." terdengar suara mengantuk di seberang sana yang bisa dipastikan sebagai suara Michael,

"Siapa ini?"

"Ini Katerina... Mike, apa tadi kamu mengantar Laura pulang? Mamanya bilang Laura belum sampai di rumahnya..." tanya Katerina cemas. "Maksudku... kalau Laura bertemu papanya.. mungkin...."

"Apa maksud Ibu?" tanya Michael gusar.

"Maksudku... mamanya takut Laura diculik papanya..."

Telepon tiba-tiba terputus.

Katerina kesal sekali. Ada-ada saja Michael ini.

Jadi di mana Laura sekarang...?

Katerina terhenyak di kursi dan berpikir keras. Jangan-jangan...

Ia segera mengambil jaketnya dan berlari keluar.

Jangan-jangan Laura masih ada di pohon halaman belakang sekolah...