webnovel

Malam Setelah Tawuran

Michael melompati pagar depan dengan mudah dan segera berlari menuju halaman belakang. Setibanya di bawah pohon besar kesayangannya, ia menyorotkan senter ke atas dan menemukan Laura yang tertidur sambil memeluk batang pohon di atas salah satu dahan yang besar.

Michael segera memanjat pohon itu dan duduk di samping Laura. Tangannya yang hendak menepuk bahu Laura, agar bangun, tak jadi terayun.

Ia tak tega mengganggu tidur dari wajah yang sedamai itu.

"Jadi...keluargamu juga hancur, ya..." gumam Michael pada dirinya sendiri. "Pantas saja kamu selalu kelihatan murung. Orangtua memang brengsek... tak pernah memperdulikan apa akibat terhadap anaknya bila mereka berpisah..."

Laura pelan-pelan membuka mata.

"Ka... kamu...?"

Michael tersenyum menenangkan.

"Aku sudah tahu, maksudku... kita ternyata bernasib sama. Aku dengan caraku dan kamu dengan caramu... Keduanya salah. Seharusnya kau bilang pada orangtuamu tentang perasaanmu, bukannya malah menutup diri... Kalau orangtua tahu bahwa tindakan mereka membuat anaknya sedih, mungkin mereka akan berubah..."

Laura tersenyum pahit.

"Mudah untuk bicara... sulit sekali melakukannya. Papaku sangat jahat, mamaku bertahun-tahun melarikan diri darinya dan hampir menjadi paranoid kalau Papa akan berhasil menemukan kami. Aku nggak pernah menceritakan hal ini pada siapa pun..."

"Aku juga nggak pernah cerita perasaanku sama orang lain." Michael tersenyum sedikit. "Aku takut diketawain."

"Aku juga, sebab orang lain memiliki keluarga yang lengkap dan bahagia... Aku takut nggak ada yang bisa ngerti..."

"Aku ngerti, kok..." Michael terdiam sejenak. "Kamu bisa bicara sama aku. Aku pasti akan mengerti."

"Terima-kasih..."

Keduanya terdiam.

Tiba-tiba Michael membuka jaketnya dan menutupkannya ke punggung Laura. "Pakailah ini, biar nggak kedinginan..."

"Terima-kasih, kamu baik.'

"Kita kan berteman." Michael tersenyum. "Kamu bodoh, kenapa tidak turun dari pohon ini dan pulang sesudah semuanya aman?"

"Aku kan sudah bilang, aku takut ketinggian...!" Laura mengomel. "Gara-gara kamu, aku seharian ketakutan setengah mati memeluk pohon ini biar nggak jatuh..."

Michael tertawa kecil. "Oh, rupanya begitu. Baiklah...aku turun duluan, nanti kamu akan kutangkap...."

Sambil berkata begitu ia pun melompat turun. Setibanya di tanah ia mengembangkan kedua tangannya memberi isyarat agar Laura melompat ke bawah. Karena tidak ingin semalaman di pohon, akhirnya Laura memberanikan diri. Ia melompat dan menutup matanya agar tak usah melihat tanah.

Michael adalah seorang penangkap yang baik dan ia berhasil menangkap tubuh Laura yang terjun ke bawah. Keduanya terbanting jatuh tetapi tidak mengeluh, malah tertawa dengan sepenuh hati karena keadaan mereka konyol sekali.

Katerina yang sedari tadi berdiri di balik tembok segera bersembunyi ketika mereka lewat menuju gerbang. Ia sengaja tidak menampakkan diri agar tidak mengganggu keduanya. Ia mendesah lega ketika memikirkan bahwa akhirnya dua orang kesepian itu benar-benar memiliki teman.

"Kuantar pulang, ya...kira-kira mamamu marah, nggak, kalo kamu pulangnya selarut ini?"

"Semoga saja nggak..."

Katerina keluar dari sekolah setelah memastikan keduanya benar-benar sudah pergi. Ia tiba di rumah saat jam menunjukkan angka 11 lewat. Mama tampak khawatir sekali menyambutnya.

"Rin, kamu kemana aja? Tadi beberapa kali ada telepon iseng, Mama angkat tapi nggak mau bicara..."

Katerina mendesah pelan, "Terima-kasih, Mama..."

Di kamarnya ia terduduk dengan sedih. Ia tahu Rio mencemaskan keadaannya, tapi tak berani menelepon.

Seandainya tadi ia ada di sini dan menerima telepon itu apakah Rio akan bicara..?

Katerina rindu sekali pada suaranya...

Ia memencet nomor telepon rumah Rio dengan tangan gemetar, bunyi deringan di seberang sana baru satu kali langsung diangkat dan dadanya berdebar keras mendengar suara di seberang sana...

"Hallo..."

Katerina tidak bicara apa-apa. Ia tidak sanggup bicara pada Rio saat ini, ia takut sakit hati, padahal suara itu sangat dirindukannya.

Bicaralah... Ayo, bicaralah...

"Hallo...hallo...!"

suara itu terhenti dan Katerina berpikir Rio akan marah dan menutup telepon, tetapi hal itu tidak terjadi. "Kuharap kamu baik-baik saja..."

Katerina tidak menjawab, tapi juga tidak menutup telepon. Ia mendengarkan terus.

"Kamu jangan terlalu memaksakan diri... Jangan lupa makan siang yang bergizi, jagalah kesehatanmu... Kalau terjadi perkelahian lagi lari saja, tak usah terlalu idealis..."

Katerina mengangguk.

Mereka saling diam beberapa lama. Katerina terpaksa menutup telepon ketika tiba-tiba Mama menyuruhnya tidur.

TUT...

TUT...

TUT...

Di seberang sana Rio meletakkan gagang telepon pelan-pelan.

"Beristirahatlah, selamat tidur..."

Next chapter