Sejam kemudian Rio datang menemuinya di Food Court dengan keranjang-keranjang belanjaan. Wajahnya merah, entah karena malu atau kecapekan mencari semua barang itu cepat-cepat. Irma memeriksa kembali daftar dan barang belanjaan. Semuanya lengkap.
"Waw... kamu orang yang sangat teliti," puji Irma. "Beruntung banget cewek yang nanti ngedapetin kamu...'
"Semuanya beres? Aku mau pergi." kata Rio. Sekarang sudah jam setengah empat. Kalau buru-buru ia bisa menyusul mereka ke Lembang.
"Wah...di luar hujannya deras banget, Yo..." kata Irma menyesal. "Aku udah menelepon rumah minta dijemput... Kamu tunggu aja sampai supirku datang..."
Dari mal untuk mencapai angkot menuju Ledeng, dan nanti dilanjutkan dengan angkot Lembang, Rio harus berjalan melintasi halaman dan pelataran parkir mal yang cukup luas, di tengah hujan yang hampir seperti badai itu tak ada harapan baginya untuk berhasil. Baik ia maupun Irma tidak membawa payung.
"Padahal tadi langitnya cerah..." keluhnya pelan. Tapi di bulan Desember musim hujan dan kemarau memang tak jelas... Cuacanya tak bisa diduga. Hujan yang deras menyebabkan jalanan menjadi macet dan mobil jemputan Irma tiba lama sekali. Hampir jam empat ketika akhirnya mereka berdua naik ke mobil.
"Sudah jam 4, Yo... Jalanan ke Lembang pasti macet banget karena hujan, kamu nggak akan bisa datang on time," kata Irma. "Lagipula hujannya deras banget, bagaimana kalo kamu diantar pulang ke rumah?"
Rio menoleh padanya dengan wajah yang sukar ditebak ekspresinya. "Kenapa?"
"Yaa... maksud aku kan lebih baik kamu pulang daripada ngejar sesuatu yang nggak jelas," kata Irma. "Atau kamu benar-benar menganggap hal itu lebih penting dari kesehatan kamu sendiri?"
Rio melengos. "Tentu saja tidak."
"Kalau begitu pulang, ya..."
Mobil bergerak ke arah yang berlawanan dari hati Rio. Menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan, hujan perlahan-lahan mulai reda walaupun tetap cukup membuat orang-orang yang berjalan tanpa payung menjadi kebasahan. Mobil masuk ke Kompleks Permata dan berhenti tepat di depan rumah Rio.
"Terima-kasih ya, Yo, udah nemenin aku dan ngasih saran tentang kadonya...!" seru Irma saat melambai pergi.
Rio berdiri mematung di depan rumah dan mengangguk. Pelan-pelan air hujan membuat kepalanya basah. Setelah mobil Irma menghilang ia segera berlari menembus hujan....secepat yang ia bisa, keluar kompleks dan menunggu angkot ke Ledeng.
"Wah...coba tadi kita belok kanan, Pak...pasti memutarnya lebih gampang..." kata Irma di dalam mobil saat keluar dari gerbang kompleks.
"Iya, Neng... soalnya tadi... Eh, Neng...bukannya itu teman Neng yang barusan kita antar?" tanya supirnya tiba-tiba sambil menunjuk ke depan.
Irma kaget. Ia melihat Rio yang kebasahan berdiri di tepi jalan. Berkali-kali menyetop angkot tetapi gagal karena rata-rata penuh penumpang. Sekarang seluruh rambut ikalnya telah basah dan terjuntai ke dahinya.
Irma menggeleng-geleng heran. "Tadi katanya nggak jadi pergi..."
Angkot yang ditunggu Rio kemudian berhenti dan ia pun naik. Irma melihatnya dengan pandangan yang tertarik. Pikirannya bekerja cepat, sekarang ia telah mengingat bahwa gelang yang tadi dilihatnya serupa dengan gelang yang sering dipakai Katerina. Ia tidak mengerti kenapa Rio membelinya. Ia tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh Rio.
Rio melihat jam tangannya dengan gundah. Jam 5 kurang seperempat ia sudah berada di Ledeng dan segera naik angkot ke Lembang. Kemacetan akibat hujan membuat mobil-mobil hampir tidak bergerak. Dengan putus asa ia kemudian menyadari bahwa jam lima sudah lewat dan ia masih jauh dari tujuan.
Cuaca menjadi gelap dengan sangat cepat sementara mobil-mobil baik dari maupun ke Lembang masih merayap lambat-lambat. Hampir jam 6 Rio pun tiba di tempat pertemuan, dan seperti yang diduganya teman-temannya sudah tidak ada. Hatinya sedih memikirkan kemungkinan dalam kemacetan tadi mereka berselisih jalan. Ia menggenggam gelang itu kuat-kuat.
Rio turun kembali ke Bandung dan menabahkan diri dengan kemacetan yang ada. Ia tiba di Ledeng jam 8 lebih dan hampir jam 10 saat mencapai daerah Dago. Hujan masih turun dengan lumayan deras. Ia hampir memutuskan pulang, tubuhnya kedinginan, apalagi sepatu dan kakinya telah basah. Tetapi ia meneruskan perjalanan ke sebuah tempat yang cukup akrab baginya, setahun terakhir ini ia dan teman-temannya sering datang ke sana dengan tujuan main atau belajar bersama.
Rio menatap rumah Katerina dan mulai ragu. Biasanya keluarga itu telah tidur sejak jam 9, tetapi menjelang ujian seperti sekarang ruang tengahnya masih tampak terang benderang. Katerina dan Susan sibuk belajar sementara ibunya mengerjakan beberapa pekerjaan kantor yang masih belum selesai.
Rio tahu ia tak akan pernah menyerahkan gelang itu langsung pada Katerina. Tadinya ia berharap mereka sekeluarga telah tidur agar ia bisa masuk diam-diam ke halaman lalu menaruh gelangnya di depan pintu. Dan ia tak mungkin bisa menunggu sampai larut malam hingga mereka benar-benar tidur karena ia tak tahu kapan mereka akan menyelesaikan pekerjaannya.
Katerina tampak berdiri dan masuk ke kamarnya, ruangan di sebelah kanan tiba-tiba diterangi lampu dan tampak Katerina melihat daftar buku-buku di kamarnya lalu keluar, kembali ke ruang tamu dengan tiga buah buku lain. Saat itulah Rio melihat bahwa jendela kamar Katerina masih terbuka. Ia kemudian membuat keputusan cepat.
Ia bergerak ke ujung pagar yang keadaannya paling gelap, melompat masuk dan berjingkat-jingkat menuju kamar Katerina. Ia meletakkan gelang itu di bawah jendela kamar seolah-olah tersangkut di bawah tirainya, menutupkan jendela dari luar lalu kembali melintasi halaman dan melompati pagar dan pergi.
Mama yang sedang menutup gorden ruang tamu sangat terkejut melihat ada bayangan yang melintasi halamannya. Ia hampir berteriak namun seketika mengenali sosok itu sebagai seorang dari 4 anak laki-laki yang sering datang ke rumahnya. Ia melihat baik-baik Rio menoleh ke belakang sekali sebelum kemudian melompati pagar.
"Mau apa anak itu ke sini?" pikirnya heran.
Katerina berdiri lagi dengan buku yang tadi salah ambil olehnya, masuk ke kamar untuk mengambil buku latihan soal Fisika yang ia butuhkan.
"Rin, jendelamu sudah dikunci belum?" tanya Mama khawatir. Ia tidak berpikir anak laki-laki itu melakukan suatu kejahatan dengan datang diam-diam seperti itu, tetapi ada baiknya berjaga-jaga. "Kalau belum, kunci saja sekarang!"
Katerina menurut. Ia berjalan ke arah jendela kamarnya, menguncinya baik-baik dan merapikan tirainya yang agak berantakan. Tak sengaja gelang itu tersentak jatuh ke lantai menimbulkan bunyi CRING CRING...
Katerina yang memungutnya di lantai sangat terkejut melihatnya, menjerit kegirangan.
"Maa! Gelangku ketemu! Gelang hadiah Papa nggak hilang! Ternyata nyangkut di jendela.... ! Pasti aku lupa ninggalin di situ..." Ia melompat-lompat girang ke ruang tamu. "Pokoknya mulai sekarang nggak akan pernah kulepas lagi..."
Mama tertegun. Ia telah menghabiskan waktunya seharian tadi memeriksa kamar Katerina untuk mencari keberadaan gelang itu. ia ingin memastikan Katerina mendapatkan kembali peninggalan terakhir papanya, tetapi ia gagal. Makanya beliau sangat heran mengetahui tiba-tiba Katerina menemukan gelangnya di jendela kamar...
Pikirannya melayang pada anak laki-laki barusan...
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
.
Katerina tersentak melihat jemari tangan kanan Rio tiba-tiba bergerak sedikit. Ia menepuk tangan itu pelan-pelan. "Rio... bangunlah... please.."
Jari-jarinya bergerak lebih kentara, lalu kemudian diam.
Katerina, yang hampir berpikir ia akan melihat mukjizat dan malam ini menemukan Rio terbangun, akhirnya menyerah. Pertahanan yang selama ini dibuatnya akhirnya runtuh juga oleh keputus-asaan... Akan berapa lama lagi Rio begini? Apakah ia akan pernah bangun..?
Pikirannya memusing dan Katerina menangis tersedu-sedu, membenamkan wajahnya ke tempat tidur. Ia takut sekali dengan kemungkinan terburuk saat mesin kardiogram tiba-tiba mengeluarkan bunyi siulan panjang dan gambar di monitor berubah menjadi garis lurus. Ia takut sekali...
Tiba-tiba ia merasa sebuah tangan menyentuh kepalanya dengan lembut, mengacak rambutnya pelan lalu terkulai ke bawah.
Ia serentak bangun dan hampir tak mempercayai matanya saat melihat... sepasang mata Rio terbuka dan kini sedang menatap langsung ke arahnya.
"Aaah...! Rio..kamu bangun! Kamu akhirnya bangun...!" Katerina memeluk leher Rio dengan haru dan membasahi bahunya segera dengan airmata. "Aku bahagia sekali..."
Rio tertawa pelan dan menepuk punggung Katerina sebagai tanda sayang. Ia melihat jam dinding menunjukkan pukul 4 lebih sedikit. Melihat dari situasi sekitarnya ia bisa menduga sekarang adalah menjelang dini hari.
"Berapa lama... aku koma?" bisiknya.
"Oh...entahlah...kira-kira dua bulan," jawab Katerina. Ia sudah berhasil menenangkan diri. "Bagaimana perasaan kamu sekarang?"
Rio menatap tangan Katerina yang sedang mengusap rambutnya yang berantakan. Entah kenapa rasanya ia rindu melihat gelang yang selama 10 tahun terakhir ini selalu dipakai Katerina.
Barusan ia tiba-tiba terkenang kembali hari ulang tahun Katerina yang dulu saat ia bersusah payah mengantarkan gelang itu padanya, sampai sekarang Katerina tidak mengetahui rahasia itu.
"Aku merasa baik. Sekarang sudah tanggal berapa?" tanya Rio lagi. Sesuatu mendesaknya untuk mengingat tanggal tertentu.
"Kemarin tanggal 5 Desember...karena sekarang sudah lewat dari tengah malam...berarti sudah tanggal 6," jawab Katerina. "Aku ingat soalnya besok tanggal 7, anak-anak ulangan umum."
Rio tersenyum, manis sekali, membuat Katerina seketika luluh. Rio sangat jarang tersenyum dan
karenanya membuat Katerina mengerti saat-saat istimewa, bila senyum itu muncul. "Happy birthday..."
Katerina mengerutkan kening, "Ulang tahun...? Sekarang kan tanggal...eh, astaga... aku melupakan ulang tahunku sendiri..."
"Pasti kamu terlalu sibuk bekerja."
"Tidak juga. Hanya saja ada banyak masalah di sekelilingku yang memerlukan perhatian," jawab Katerina. "Yang jelas aku sangat senang, tahun ini mendapatkan kado terbaik... yaitu kesembuhan kamu."
"Memangnya apa yang terjadi?" tanya Rio.
Katerina mengangkat bahu.
"Yah... Laura benar-benar menghilang dan tidak ada kabar apa pun selama sebulan pertama. Kami sangat kuatir... Tapi kemudian melalui Michael aku tahu keadaannya baik-baik saja. Kemarin Laura tiba-tiba nelepon mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya... Ia dan ibunya akan menghilang lagi. Lalu...ada muridku yang ternyata pernah dituduh membunuh, aku juga kurang mengerti letak permasalahannya... Dan yang terakhir..." Ia tersenyum sedikit. "Aku bertemu dengan ibu kandung Chris... namanya Donna dan dia adalah seorang penderita AIDS. Polisi yang membawaku dan Chris untuk menemuinya sebelum meninggal..."
"Kasihan sekali."
"Aku juga ketemu Irma... Dia berubah, lho... semakin cantik dan penampilannya bule banget. Katanya 9 tahun terakhir dia tinggal di Inggris dan hanya pulang ke Indonesia beberapa kali. Dia baik, lho..."
"Iya, dia memang baik.." Rio mengangguk. "Bagaimana kabarnya?"
"Sepertinya dia cukup bahagia." Katerina tiba-tiba teringat ucapan Irma waktu itu, lalu ia kembali memikirkan apa kiranya yang Irma tahu dan ia tidak? "Sebenarnya ... dia sempat ngomong sesuatu yang aku nggak ngerti, mungkin kamu bisa menjelaskan..."
Rio menatapnya keheranan. "Ya?"
"Dia bilang...aku harus menjaga kamu... soalnya kamu sayang banget sama aku... Entahlah, dia kok bisa ngomong begitu padahal sudah hampir 10 tahun kita nggak ketemu... Dia bahkan sama sekali nggak kaget dengar rencana pernikahan kita. Pasti kamu melakukan sesuatu yang bikin dia bisa berpikiran seperti itu..." Katerina menatap Rio balik. "Coba katakan... apa yang terjadi?
"Aku... nggak tahu." Rio mengerutkan keningnya mencoba mengingat-ingat. "Aku rasa tidak ada yang istimewa."
Sebenarnya ia mengingat peristiwa gelang itu, tetapi ia tidak tahu apakah Irma mengetahuinya atau tidak.
"Sayang sekali..." Katerina menggeleng. "Padahal aku benar-benar ingin tahu..."
Mungkin selamanya Katerina tidak akan mengetahui apa yang terjadi dulu, walau bagaimanapun penasarannya ia. Tetapi ia cukup puas mengetahui apa yang terjadi sekarang, yaitu Rio dan ia saling mencintai.
Rio segera keluar dari rumah sakit, tetapi ia masih harus memulihkan kesehatannya selama beberapa waktu sebelum bisa beraktivitas lagi.
Karena keluarganya jauh di Sidney dan rumahnya kosong, ia pun tinggal di kamar tamu rumah Katerina selama beberapa hari. Katerina setia merawatnya dan menjaga kesehatannya.