webnovel

Jodoh [Aku yang Memilihmu]

Gathan yakin kalau dia telah menjatuhkan hatinya pada wanita yang tepat. Maka dari itu dia akan menggunakan seluruh waktunya untuk mencintai wanita yang dipilih oleh hatinya. Meskipun akan sulit, tapi dia akan tetap berusaha. Sekalipun masalahnya ada pada keluarganya. Tanyakan pada hatimu, apakah ia siap untuk selamanya ku jatuhi? Jika jawabannya iya, aku akan membuatmu berada di pihak yang diperjuangkan sedangkan aku yang berjuang__Gathan. Jika jawabanku iya, tapi semesta tak mendukung kita. Apakah kamu masih mau memperjuangkan aku?__Rana.

seinseinaa · History
Not enough ratings
230 Chs

Bab 10

Jam istirahat Rana tetap di kelasnya. Bukan karena ia takut ketemu sama Gathan seperti kemarin, tapi karena dia sedang menyalin catatan Biologi minggu lalu. Dia harus menyalin 10 lembar tentang nama-nama latin tumbuhan dan hewan yang ada di dunia.

Hanya tersisa beberapa anak saja di dalam kelas. Sahabat Rana yang lain sudah pergi ke kantin lebih dulu. Dia masih sibuk menyalin tugas saat Kristi dan teman-teman yang lain kembali ke dalam kelas.

"Ini! Dari pujaan hati lo," ujar Kristi menyerahkan sterofom berisi siomay di meja Rana.

"Maksud lo?" tanya Rana tak mengerti.

"Tadi kita ketemu di kantin, Ran. Karena dia nggak ngelihat lo sama kita, dia nitip ini ke kita-kita. Katanya buat makan siang lo yang lagi ngerjain tugas," jawab Kia.

Rana hanya diam menatap kotak sterofom di depannya.

"Nggak di kasih racun kok, Ran. Buatan Mpok Minah di kantin. Aman dan terbukti kelezatannya. Lo nggak usah kawathir," canda Moka.

"Yee, siapa yang khawatir? Gue cuma nggak enak aja. Ngapain Gathan repot-repot bawain gue makanan."

"PDKT dong, Ran. Makanan adalah salah satu hal yang bisa membuat hati manusia luluh," sahut Kristi.

"Udah, makan, gih!" suruh Kia.

Kia dan juga Moka kembali ke bangkunya sendiri, sedangkan Kristi duduk di sebelah Rana.

"Kemarin bawain martabak ke rumah, sekarang beliin gue siomay," gumam Rana mulai menyendok siomay di hadapannya.

"Kemarin Gathan bawain martabak ke rumah lo?" tanya Kristi yang mendengar ucapan Rana barusan.

"Iya. Cuma sebentar sih, nganter doang nggak mampir. Gue pas nggak ada karena masih ada ekskul fotografi."

"Wah, ketemu sama orangtua lo dong."

"Ya, sekilas aja."

"Tinggal tunggu waktu dia main ke rumah lo, Ran."

Rana hanya tersenyum tipis.

*****

"Hai, Nar!" sapa Rana saat memasuki ruang klub fotografi sepulang sekolah.

"Hai, Ran!" sapa balik Binar.

Hanya ada pria itu di dalam ruangan, dia sepertinya sibuk dengan game di ponselnya. Rana mengambil tempat duduk di sebelah Binar.

"Yang lain belum datang?" tanya Rana kemudian.

"Keket nggak datang hari ini, dia lagi kencan," sahut Binar sedikit ketus.

Rana menyadari cara bicara Binar yang ketus. "Gue fikir Aneke itu pacar lo, lho. Ternyata bukan?" gumamnya kemudian.

"Gue sih berharapnya gitu." Suara Binar terdengar lesu saat mengatakannya. Pria itu lalu mengeluarkan laman game di ponselnya dan menaruh benda persegi panjang itu di atas.

"Kalian udah kenal lama?"

"Dia itu sahabat gue dari kecil," jawab Binar, meraih bola basket di sampingnya lantas memainkannya di tangan.

"Oh, pantes." Rana manggut-manggut.

"Pantes kenapa?" tanya Binar menoleh ke arah Rana.

"Gue percaya bahwa cowok dan cewek itu nggak bisa hanya sekedar saling berteman/bersahabat. Salah satu dari mereka pasti akan menaruh rasa pada sahabatnya, entah itu si cowok atau pun si cewek," ucap Rana menjelaskan.

Binar hanya diam mendengarkan.

"Lo ada contoh kesekian yang membuktikan teori itu."

"Masa' sih, diluar sana banyak kok yang bisa sahabatan padahal mereka lawan jenis," komentar Binar.

"Lo nggak tahu isi hati manusia, Nar. Sekalipun orang diluar sana terlihat menikmati kehidupan mereka sebagai sahabat. Gue yakin, entah kapan dan sejak kapan, mereka pernah menaruh rasa pada sahabatnya."

Binar hanya diam memikirkan ucapan Rana barusan.

"Sekarang gue tanya sama lo. Lo udah sahabatan sama Aneke dari kecil, nah, selama itu, lo punya ribuan waktu dan momen untuk menyatakan perasaan lo. Sekalipun rasa cinta lo baru di mulai beberapa tahun ke belakang. Alasan lo nunda apa?"

Binar merasa tertohok dengan kalimat dari Rana barusan. Gadis yang duduk di sebelahnya ini berkata benar. Dia punya ribuan momen bersama Aneke dan selama ini telah ia sia-siakan begitu saja. Dia tidak pernah menyatakan perasaannya pada Aneke.

"Sahabatan cowok sama cewek memang terkadang menyenangkan, Nar, untuk sebagian orang. Tapi untuk orang-orang yang nggak bisa menahan perasaan mereka, persahabatan itu bisa berubah jadi duri. Awalnya kalian sahabatan, terus baper, nahan cinta karena do'i nggak suka sama kita, nutup-nutupin perasaan kita dibalik kata 'sahabat'."

Rana terus menjelaskan dan Binar sibuk mendengarkan.

"Kalau pun kalian move on dengan punya pacar, kalian akan sulit menjaga perasaan pacar masing-masing. Persahabatan yang tanpa 'batas' kadang membuat orang yang melihatnya merasa iri."

Binar membenarkan kalimat Rana barusan. Dia pernah melakukan itu. Move on dari dari Aneke dengan menerima cinta perempuan lain. Tapi setiap kali dia pacaran, mereka selalu protes dengan kedekatan antara dirinya dan Aneke. Pada akhirnya mereka putus karena tidak bisa menemukan jalan keluarnya.

"Paling terakhir, dan paling menyebalkan. Saat kalian nantinya pacaran dan akhirnya putus, hubungan kalian nggak akan pernah kembali seperti saaat sebelum pacaran. Selalu ada perubahan walaupun itu kecil."

Binar masih tetap diam.

"Pada akhirnya, kalian semua akan tersakiti." Rana menghakhiri wejangannya dengan senyum miris.

"Lo pernah di posisi gue ya?" tanya Binar.

"Begitulah, gue punya sahabat dari kecil dan saat masuk SMA memutuskan untuk pacaran, kita hanya pacaran selama beberapa bulan dan akhirnya putus. Hubungan kita nggak berjalan dengan baik setelah kita putus, apalagi karena dia pergi ke luar kota."

Binar menunduk diam. "Tapi gue sayang banget sama Aneke," gumamnya pelan.

Rana tersenyum tipis. "Kalau begitu nyatakan. Mungkin saja Aneke juga sedang menunggu pengakuan dari lo."

"Ck, mana mungkin! Sekarang aja dia lagi kencan sama cowok lain," cibir Binar.

"Emang lo tahu isi hati Aneke yang sebenarnya, cinta itu di rasa, Nar, bukan di lihat. Cara lo memperlakukan cinta itu hanya sebuah proses. Nggak perduli sama lo bukan berarti dia nggak cinta dan sebaliknya, perduli sama lo bukan berarti cinta."

"Tapi gimana sama semua yang lo omongin barusan. Gimana kalau ternyata dia nggak cinta sama gue dan hubungan kita menjadi canggung."

"Ini 'kan, alasan kenapa lo nggak ciptain momen untuk kelian berdua. Lo takut semuanya berjalan nggak seperti yang ada di bayangan lo."

Binar hanya mengangguk.

"Mungkin saja lo dari golongan orang-orang yang beruntung dalam situasi ini. Kita nggak akan pernah tahu apa yang terjadi selanjutnya, Nar. Gue memperayai prinsip itu, menerapkan kalimat-kalimat yang gue ucapkan barusan dan pada akhirnya gue tetap jatuh. Hubungan persahabatan gue rusak. Tapi gue sama sekali nggak menyesal dengan keputusan gue. Mungkin memang dia nggak ditakdirkan menjadi pendamping gue atau pun sahabat gue. Kita nggak akan pernah tahu sebelum mencobanya, jadi karena kita terlanjur jatuh, bukankah sebaiknya kita mencoba masuk lebih dalam pada lubang ketakutan itu. Agar kita tahu seberapa dalam luka itu dan apa yang ada dibalik ketakutan itu."

"Lo itu cocok jadi motivator ya?" canda Binar tertawa kecil.

"Sepertinya begitu." Rana ikut tertawa.

"Ngomong-ngomong, kisah cinta lo sendiri gimana? Setelah putus dari mantan lo itu, lo udah bisa move on?" tanya Binar mulai memancing.

"Udah."

"Serius? Sama siapa? Anak seklah ini?" tanya Binar antusias.

Rana menatap Binar heran.

"Ehm, maksunya gue senang karena lo nggak berlarut-larut dalam kesedihan. Bagus kalau lo udah bisa move on." Binar buru-buru klarifikasi sebelum Rana mnegetahui niat busuknya.

"Gue memang udah bisa move on, tapi gue belum bisa move up."

"Kenapa?"

"Ya karena gue belum mau menjalin hubungan sama seseorang. Masih ingin menikmati waktu sendiri gue aja."

"Emangnya tipe cowok ideal lo kayak apa?" tanya Binar lagi.

Rana memicingkan matanya. "Lo lagi bantuin Gathan nyari informasi tentang gue ya?" tanyanya curiga.

"Hah?" Binar terlihat kaget. "Kok lo tahu?"

"Lo 'kan sahabatnya Gathan."

"Lo tahu gue sahabatnya Gathan? Dari awal?"

"Hehm." Rana mengangguk. "Gue pernah lihat lo makandi kantin sama Gathan."

"Oh, waktu lo salah tingkah terus numpahin botol kecap di atas meja." Binar tersenyum menggoda ke arah Rana.

"Eh, s-siapa yang salah tingkah. G-gue biasa aja kok," elak Rana cepat.

"Udah ngaku aja. Lo sebenarnya tertarik juga 'kan sama Gathan."

"Enggak! Eh, belum... Eh... Aduh, terserah deh." Rana jadi panik sendiri. Pipinya sudah merona merah karena godaan Binar barusan.

"Iya, santai aja. Gathan orangnya sabar nunggu kok."