webnovel

Rachel sudah Tak Mau Mendengarkan Sang Ibu

Radit kaget.

"Kenapa Mama tahu? Dan kalau Mama tahu kenapa Mama tanya Radit?" Radit bertanya-tanya kenapa ibunya tahu Arsya pergi? Apa dia punya mata-mata sendiri di kantor? Bisa jadi, kan?

"Kamu tidak perlu tahu itu. Biar saja si Arsya pergi, asal jangan kamu yang pergi Radit. Ingat itu ya! Kamu harus terlihat professional agar ayah tiri kamu lebih percaya sama kamu dibanding sama anaknya sendiri. Mama percaya sama kamu. Kamu pasti akan lebih bisa rajin dari si Arsya itu, dan Mama juga sudah masakin makanan kesukaanmu. Hati-hati di jalan ya, anak Mama. Love You, Sayang. Muachhh."

Kecupan yang ketika Radit masih kecil pasti memberi kesan penuh rasa sayang dari sang ibu kepadanya.

Tapi, setelah melihat sang ibu berubah entah mengapa perilaku ibunya yang memanjakan Radit—anaknya sendiri justru terkesan munafik di mata Radit.

Nia tengah bersandiwara, dan Radit sangat tidak menyukai itu.

Radit takut kalau ibunya nanti terkena batunya, karma yang menanti entah kapan.

Radit tetap mambalas ibunya tulus. "Love You too, Ma."

KLIK!

Panggilan mereka pun diakhiri.

***

Di dalam kamar, seorang perempuan tengah menunggu balasan pesan dari seorang lelaki.

Tapi bukan tunangannya melainkan teman dekatnya.

Kemudian, pesan yang dinanti-nantinya itu pun tak lama datang.

"Akhirnya …. Aku keterima kerja!" tulis si lelaki dalam chat whatsaap.

Si perempuan ini pun tersenyum bahagia.

"Syukurlah, kamu traktir aku dong besok?" tanyanya di chat, sambil menambah emot yang mengeluarkan air liur.

Saat si lelaki tengah mengetik, pintu kamar si perempuan itu terbuka. Si perempuan itu terperanjat karenanya.

"Mama?" Ternyata ibunyalah yang datang.

Ibunya kemudian menghampirinya, sambil melotot penuh emosi.

"Rachel, kenapa hari ini kamu enggak pergi ke kantor tunanganmu sendiri, hmmm? Bagaimana Irwan bisa mencintaimu kalau kedekatan kalian tidak intens? Jangan sampai kamu lengah, kita tidak pernah tahu alasan di balik Irwan menerima perjodohan ini. Kamu harus lebih cerdas dari dia dong."

Rachel terlihat malas membahas hal itu.

"Percuma saja, Ma! Percuma! Kak Irwan tidak akan pernah suka sama aku." Rachel kembali fokus dengan handphone-nya dan tersenyum-senyum membalas chat dari Shaka.

Dia adalah Arshaka, teman dekat Rachel dan juga Radit di kampus.

"Rachel! Irwan pasti luluh jika kamu terus merayu dia, enggak mungkin Irwan enggak luluh digoda sama kamu. Kalau perlu kamu ajak dia ke hotel." Ibunya—Mira tampak serius tapi Rachel terkejut mendengarnya.

"Mama! Mama udah gila gituh nyuruh aku lacurin tubuh aku? Aku masih waras, Ma!" Rachel setengah membentak, dadanya naik turun karena tidak menyangka atas ucapan ibunya barusan.

"Lagian kalau kak Irwan tetep enggak suka aku, ya udah mungkin kita belum jodoh jangan dipaksain juga Ma." Rachel beranjak dari kasurnya.

"Heh, kamu mau ke mana?" tanya Mira geram, dia menganggap sikap Rachel juga alasan Irwan masih belum bisa menyukainya. Rachel kurang serius merayu Irwan.

Dipanggil-panggil ibunya, Rachel tidak peduli. Dia terus pergi menuju dapur dan Mira, ibunya juga membuntutinya sambil mengomel-ngomel.

"Mama enggak mau tahu ya, kamu harus terus kunjungi Irwan dan … jangan lupa rayu dia terus, kamu bisa chat dia, kirimi makanan kek, telepon dia atau apa pun yang bisa buat Irwan tersentuh dengan sikap kamu."

Sampai di dapur, Rachel mengambil gelas dan menuangkan air dari teko kaca.

Dia duduk dan meneguk air itu.

Mendengar ibunya yang cerewet terus terasa gerah bagi Rachel, sebabnya dia sudah mulai ingin menyerah untuk dapatkan Irwan.

"Rachel! Kamu dengerin Mama enggak, sih?" Mira kemudian mendekat, tapi tangannya ditarik oleh seseorang.

"Ma, sudahlah Ma! Jangan paksa anak kita, Rachel juga mungkin malu terus maksa-maksain Irwan ke kantor. Sudahlah!" Sang suami—Adam menasehati istrinya.

Rencana mereka sama, tapi Adam masih bisa logis menjaga perasaan anaknya sendiri.

Selama ini, Rachel memang terlihat rendah harus nyosor-nyosor Irwan sedangkan si Irwannya sendiri acuh sekali.

"Ah, Papa enggak ngerti. Rachel itu harus dilatih biar dia bisa ngegaet hati si Irwan. Si Irwan itu asset Pa, dia asset berharga untuk mengangkat derajat keluarga kita." Mira tampak bersikeras dengan pendapatnya, sang suami juga terlihat sudah pusing juga sedangkan anak mereka?

Rachel hanya asik membalas chat Shaka hingga pada akhirnya dia pun kembali pergi meninggalkan kecerewetan ibunya.

"Rachel mau pergi ke luar," ucapnya ketus sambil melewati kedua orang tuanya.

Mira ingin menarik tangan Rachel, tapi Adam—sang suami mencegahnya.

"Ma, biar saja. Rachel butuh refreshing sebentar dari rencana kita. Sudah, biarkan saja!"

"Ih, Papa nih kok enggak ngerti-ngerti sih. Tadi tuh kata si Nia, si Arsya pergi-pergian mulu sama si Irwan. Kita harus curiga dong Pa." Mira pun pergi membuntuti Rachel yang kembali naik ke atas kamarnya untuk mengambil tas tapi belum sampai Mira menaiki tangga, Rachel sudah turun dan berjalan cepat sangat cepat.

Adam pun hanya diam, pikirnya percuma saja menasehati sang istri yang selalu punya argumen sendiri.

Mira jarang sekali menuruti keinginan suaminya, dia sangat keras kepala dengan rencana-rencana hidupnya sendiri dan kadang membuat Adam frustasi sendiri menanggapi watak istrinya yang keras kepala itu.

"Ma, Pa, Rachel pamit dulu ya." Meskipun kesal, Rachel tetap berpamitan tapi tanpa menyalami keduanya.

"Rachel! Rachel! Kamu enggak denger Mama ya?" Mira berteriak-teriak.

Rachel sudah masuk ke mobilnya dan menyalakan mesin, sebelum benar-benar ke luar gerbang dia membuka kaca mobil.

"Pulangnya Rachel akan berkunjung ke rumah tante Laura." Dia pun kemudian melaju pergi.

Mira lega sekali mendengarnya.

"Tuh, Ma. Rachel tuh anak yang nurut, dia punya caranya sendiri. Sudah jangan diatur-atur terus, dia sudah besar."

"Papa itu enggak ngerti, anak kita Rachel itu masih sangat polos Pa. Dia harus diarahin biar bener, biar rencana kita uga cepet," ucap Mira sambil berjalan masuk ke dalam rumahnya dan suaminya—Adam membuntuti di belakang.

"Ya … terserah Mamalah, Mama kan lebih pinter dari Papa sama Rachel."

"Iya dong, Papa sama Rachel tidak bisa diandelin, makanya nurut aja apa kata Mama jangan banyak bantah."

Adam hanya menarik napas panjang yang terasa berat di dadanya.

Punya istri kayak Mira terkadang terasa dipenjara karena semua aturan tergantung olehnya, dia dan anaknya—Rachel seperti hanya boneka yang diperalat saja.

Arti keluarga? Haha, boro-boro.

Merea seperti komplotan Mafia yang mengincar harta kekayaan dengan dalih perjodohan.

***

"Iya, aku ke sana Ka. Tunggu aku, ya! Kamu mau traktir aku sekarang emang?" tanya Rachel.

"Dateng aja ke sini!" balas Shaka di ujung panggilan telepon.

"Iya, aku lagi di jalan. Tunggu ya!"

Rachel tersenyum-senyum, dia pun menutup panggilan telepon di antara mereka setelah mendpaat persetujuan dari Shaka. Tidak aman juga kan mengemudi sambil menelpon.

"Mama nyebelin, dia enggak ngerasain gituh gimana posisi anaknya sendiri harus maksain laki-laki buat suka? Mama enak tinggal merintah-merintah doang, lha aku? Kadang mukaku kayak hilang saking tidak tahu dirinya pergi ke kantor Irwan terus-terusan dan ujung-ujungnya apa? Aku dicuekin mulu sama dia," dengus Rachel sendiri sambil menatap tajam jalanan.

***

"Lo parah sih, jadinya kebongkar." Arsya yang duduk di samping Irwan di dalam mobil, menyalahkan sahabatnya yang masih memikirkan kejadian tadi.

Jadi, tadi tuh pak Doni sama sekali tidak marah pada Irwan dan justru dia menjelaskan semuanya dan meminta maaf padanya karena telah menjadi alasan di balik putusnya hubungan mereka.

Tapi, Irwan juga bijak. Dia tidak memperpanjang dan menurutnya itu juga percuma saja.